Anda di halaman 1dari 12

Bab I

PENDAHULUAN
Dari AM, Menjadi GAM, Melalui Proses Dialog
dan Perundingan, Diakhiri dengan MoU Helsinki

BERAWAL dari perbedaan persepsi dan keyakinan, seolah-olah kolonial


Belanda telah menyerahkan Aceh kepada Republik Indonesia, pada saat
pengakuan ke-daulatan RI di tahun 1949.
Yang terjadi adalah, Belanda menyatakan pengakuan kedaulatan
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Menurut pemahaman Hasan Tiro,
tidak seharusnya kedaulatan Indonesia yang diakui oleh Belanda tersebut,
juga berlaku untuk Aceh. Karena menurut beliau, Aceh bukanlah bagian dari
Indonesia, atau Aceh adalah negara merdeka sejak awal.
Jika kita tarik ke belakang, ditemuilah pita emasnya bahwa, Belanda
sebagai bagian dari Sekutu, menyerah kepada Jepang di awal Perang Dunia II,
yang ditandai dengan penyerangan pangkalan Angkatan Laut Amerika
Serikat, Pearl Harbour, oleh Jepang, pada tahun 1942. Dengan demikian
Jepang menguasai Aceh atau diun-dang/dijemput masuk ke Aceh,
menggantikan penjajah Belanda. Kemudian Jepang menyerah kepada Sekutu
menyusul Bom Atom atas Hirosyima dan Nagasaki, pada tahun 1945, yang
menandai berakhirnya Perang Dunia II. Sementara Indonesia ketika itu
sedang sangat serius memproses Kemerdekaannya, dan kemudian berhasil
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Soekarno-Hatta.
Belanda tidak rela, maunya dia, agar Jepang meyerahkan kem-bali
Indonesia sebagai bekas jajahannya kepada Belanda, setelah Sekutu
dinyatakan menang perang. Sementara Indonesia yang ke-merdekaan sudah
hamil tua, ingin segera memproklamasikan kemerdekaannya tersebut.
Terjadilah gerakan perjuangan rakyat, untuk membela tanah air dari
cengkeraman aneka rupa penjajah baik baru maupun lama. Gerakan

BAB I: Pendahuluan

perjuangan ini ingin mengusir se-tiap penjajah dari setiap jengkal wilayah
Indonesia. Inilah yang dinamakan kemudian sebagai perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan penegakan kedaulatan Republik
Indonesia.
Belanda bersikukuh hendak menguasai kembali Indonesia, ter-masuk
Aceh, dan untuk itu dia memdompleng Sekutu yang ber-alasan masuk ke
Indonesia untuk melucuti Jepang, yang sudah kalah perang. Terjadilah dua
kali apa yang disebut sebagai Agresi (Aksi) Polisionil Sekutu/Belanda
terhadap Indonesia. Dalam agresi-agresi tersebut, seluruh wilayah Aceh tidak
terjamah kembali oleh Belanda, kecuali Sabang/Pulau Weh. Setelah capek
berperang dan banyak menelan korban, serta atas tekanan masyarakat Internasional, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pada tanggal 27
Desember 1949, lebih dari 4 tahun setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Pengertian Indonesia bagi Belanda adalah bekas jajahannya
yang lazim disebut sebagai Hindia Belanda, di mana Aceh ada di dalamnya.
Dalam pengakuan kedaulatan Indonesia tersebutlah, terkesan, seolaholah Belanda ikut menyerahkan Aceh kepada Indonesia.
Hasan Tiro dan pengikutnya, mengklaim bahwa Belanda tidak berhak
menyerahkan Aceh kepada Indonesia, dengan dua alasan. Pertama, Belanda
tidak mempunyai atau tidak memegang kedau-latan atas Aceh; dan kedua,
Aceh memang bukan atau belum pernah menjadi bagian dari Indonesia. Aceh
menurut beliau sejak semula merupakan suatu kerajaan yang merdeka dan
berdaulat. Our fatherland Acheh, Sumatra, had always been a free and
independent souvereign State since the world begun, kata Hasan Tiro dalam
berbagai kesempatan, dan juga disebutkan dalam Redeclaration of Acheh
Sumatra, December 4, 1976, yang artinya lebih kurang: Aceh sejak semula
adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sedang-kan di pihak lain,
Belanda menganggap Aceh adalah bagian dari Indonesia, mengingat daerah
ini adalah bagian dari Hindia Belanda (Nederlands Indie), bersama seluruh
Sumatra (kecuali Bengkulu), Jawa, Borneo, Celebes, pulau-pulau lainnya di
kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku dan Papua. Anthony Reid,
dalam bukunya1 menyebutkan bahwa, Gubernur Jendral Hindia Belanda Van
Swieten mengumunkan pada tanggal 31 Januari 1874: Aceh sebagai bagian
dari Hindia Belanda atas dasar hak pemenangan perang. 2 Belanda juga
mungkin merasa berhak atas kedaulatan Aceh, sejak dari ditandatanganinya
perjanjian oleh beberapa ulee-balang, yang menurut T. Ibrahim Alfian ada
sebanyak 31 uleebalang menandatanganinya, sebagai Penguasa dan atas
nama keuleebalang-annya. Perjanjian tersebut antara lain menyatakan bahwa
ke uleebalangan mereka menjadi suatu bagian daripada Hindia Belanda, dan
setia untuk selama-lamanya kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan
kepada wakil Baginda Sri Paduka yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dan oleh karenanya Gubernur Jenderal memberikan kepada
1
2

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, (terj.), 2005, hlm. 170.
Reid, ibid.

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

uleebalang tersebut jabatan peme-rintahan dalam keuleebalangan itu. 3


Selain itu menurut Anthony Reid, ada tujuh uleebalang (di antara 12
uleebalang semuanya) bersama Habib Abd ar Rahman dan Teuku Muda Baet,
yang dekat dengan mereka, yang berkuasa di sekitar Kutaraja dan Aceh
Besar, menyerah pada tanggal 13 Oktober 1878. Sedangkan uleebalang Pase,
dan Idi mendukung ekspedisi Belanda pada bulan Nopember 1876. Lalu
menyusul uleebalang-uleebalang lainnya seperti di Simpang Ulim, Tanjong
Seumantok, Langsa, Teunom, Lhokkruet, dan sebagainya. Kemudian
rangkaian pengakuan kepada Hindia Belanda tersebut diikuti dengan
menyerahnya Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud, pada tanggal 20
Januari 1903, yang diterima oleh Van Heutsz. Dalam pernyataan beliau
antara lain menyebutkan, bahwa: kerajaan Aceh merupakan bagian dari
Hindia Belanda dan oleh karena itu berada di bawah kedaulatan Belanda.
Selain itu, semenjak berseminya benih-benih perjuangan menuju Indonesia
Merdeka, Aceh sebagai bagian dari Hindia Belanda, telah bersama bagian
Indonesia lainnya, mengusir setiap penjajah dari bumi persada Nusantara.
Bahkan Presiden Soekarno memberi gelar kepada Aceh sebagai daerah modal
bagi Republik Indonesia. Hal tersebut disebutkan dalam pidatonya pada
rapat raksasa tanggal 18 Juli, 1948, di Bireuen, yang kemudian diulangi lagi
dalam pidatonya di Meulaboh, Aceh Barat, tanggal 4 September 1959. 1). Jika
dibedah perihal predikat tersebut, ditemuilah alasannya antara lain adalah:
1. Sementara wilayah Indonesia lainnya, dikuasai dan dijajah Belanda sekitar
350 tahun, Aceh, terus berjuang dengan gigih sejak awal mula Belanda
menyatakan perang kepada Aceh pada tahun 1873, sampai dengan
datangnya Jepang pada tahun 1942. Belanda hanya dapat mengklaim
telah mengusai Aceh secara formal, dalam bentuk pernyataan atau
perjanjian pengakuan kedaulatan oleh Sultan dan atau beberapa
uleebalang, namun secara material atau de facto, terjadi perlawanan dan
peperangan rakyat melawan pendudukan Belanda yang terus-menerus dan
di mana-mana.
2. Ketika kemerdekaan Indonesia masih bayi di tahun 1945, dan masih
mengalami berbagai krisis dan kontroversi, 4 orang ulama Aceh, yakni,
Tgk. H. Hasan Krueng Kale, Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. H. Jafar Lam
Jabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, tampil atas nama ulama
seluruh Aceh, menyatakan: Segenap lapisan rakyat telah bersatu padu
dengan patuh berdiri di belakang pemimpin Ir. Soekarno untuk menunggu
perintah dan kewajiban yang akan dijalankan. Menurut keyakinan kami
bahwa perjuangan ini (maksudnya: perjuangan kemerdekaan) adalah
perjuangan suci yang disebut perang sabil. Maka percayalah wahai
bangsaku, bahwa perjuangan ini adalah sebagai sam-bungan perjuangan
dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tengku Chik Ditiro, dan
pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai
bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah
Uleebalang Pidie, Teuku Pakeh Dalam, misalnya, menandatangani
pernyataan mengaku takluk kepada Belanda, dan membenarkan Belanda
mendirikan Benteng-nya di Pidie, pada tanggal 28 Februari 1876.
3

BAB I: Pendahuluan

maju kemuka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu.


Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita
untuk kesela-matan tanah air, agama, dan bangsa.
3. Gubernur Militer Aceh Tgk. M. Daud Beureueh menolak undangan Dr.
Tengku Mansur yang menamakan dirinya Wali Negara Sumatra Timur,
untuk hadir dalam Muktamar Sumatra yang dilaksanakan tanggal 28
Maret 1949 selama 5 hari di Medan. Abu Beureueh, mencium aroma lain
dari maksud penyelenggaraan Muktamar tersebut, yakni untuk tujuan
pendirian atau pengu-kuhan Negara Bagian Aceh, sebagai negara boneka
Belanda yang di arsiteki oleh Van Mook, seorang ahli pecah dan kuasai
(devide et impera). Beliau secara tegas menolaknya untuk hadir dengan
mengatakan, menurut Ibrahim Alfian dalam bukunya Wajah Aceh Dalam
Lintasan Sejarah, 1999, labih kurang sebagai berikut: Maksud Belanda
ialah hendak mendiktekan kepada Dr. Mansur, supaya menjalankan politik
devide et impera-nya lagi, sebab itu kita menolak adanya Muktamar
Sumatra tersebut, dan kita sendiri telah siap sedia menanti segala kemungkinan yang bakal terjadi dari sikap penolakan kita ini. Kita yakin
bahwa mereka yang telah menerima baik undangan Dr. Mansur tersebut,
bukanlah orang Republiken, tetapi adalah kaki tangan dan budak
kolonialisme Belanda yang selama ini sudah diberi makan roti. Kesetiaan
rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia bukan dibuat-buat
serta diada-adakan, tetapi kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari
lubuk hati mur-ni dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat
Aceh tahu pasti bahwa kemerdekaan secara terpisah-pisah, negara per
negara, tidak akan meguntungkan dan tidak akan membawa kepada
kemerdekaan yang abadi.
5. Ketika Indonesia di awal kemerdekaan sedang berada di jurang
kebangkrutan, terutama dari segi keuangan atau dana perjuang-an, rakyat
Aceh, terutama ibu-ibu Aceh secara beramai-ramai mengumpulkan
perhiasannya seperti: emas, suasa, intan, dan berlian, untuk
disumbangkan kepada Pemerintah, bagi menam-bah biaya perjuangan
menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Di lain
pihak para pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar
Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) urunan untuk membeli dua pesawat
terbang, yang kemudian satu pesawat diserahkan kepada Pemerintah
Pusat dengan nama Seulawah-01, sedangkan yang satu lagi tidak
diketahui entah ke mana diselewengkan oleh pihak tertentu. Dari laba
pengoperasian pesawat tersebut dijadikan tambahan dana perjuangan, dan
kemudian pesawat itulah sebagai cikal-bakal dari maskapai Garuda
Indonesian Airways. (GIA).
6. Ketika Belanda hendak menguasai kembali Indonesia dengan melakukan
agresinya di mana Belanda menyusup dalam ketiak Sekutu, dan
menyerang Medan-Sumut, secara bergelombang Aceh mengirimkan
pasukan dan bala tentaranya untuk memper-tahankan RI (dalam hal ini
Medan) di front pertempuran Medan Area Selatan. Memang, ketika itu
Sekutu tidak sampai men-jamah Aceh, kecuali Sabang. Oleh kerenanya
Aceh berperang melawan Belanda/Sekutu di Medan, dan bukan di Aceh.

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

Ke semua ceritera tersebut di atas, mengantarkan kita atau orang-orang


yang bersedia menjadikan ceritera di atas sebagai refe-rensi, kepada
kesimpulan bahwa Aceh adalah bagian integral dari Indonesia, betapun ada
pihak-pihak yang mengingkarinya. Kondisi dan kenyataan ini juga rupanya di
sadari dan dipahami betul oleh Belanda dan Jepang. Oleh karenanya menjadi
masuk akal (make sense) pula jika setelah Jepang menyerah kerena bom atom
Sekutu pada tahun 1945, Jepang tidak menyerahkan Indonesia kembali
kepada Belanda dan atau kepada Sekutu, tetapi kepada Indonesia yang telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 Demikian
pula ketika Belanda setelah dua kali gagal melakukan agresi dengan
menumpang pada keberadaan Sekutu. Akhirnya, harus mengakui kedaulatan
Indonesia pada tahun 1949.
Walaupun Hasan Tiro, mendalihkan gerakannya kepada kebe-naran
sejarah Aceh yang murni, tetap saja Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, bersikukuh
mengatakan bahwa Gerakan Aceh Merdeka yang dipim-pin Hasan Tiro, 4
Desember 1976 merupakan tindakan untuk men-cari keuntungan pribadi.
Sebab, lanjutnya, tingkah laku Hasan Tiro selama ini tidak hanya berkhianat
terhadap negara RI, tetapi juga kepada pemimpin Aceh Tengku M. Daud
Beureueh dan rakyat Aceh. Rakyat Aceh dibohongi, katanya, dengan menjual
hasil bumi untuk kepentingannya sendiri. Alfian juga mengatakan bahwa
yang menen-tang ajakan Hasan Tiro adalah Hasan Saleh, yang dalam
bukunya Hasan Saleh menyatakan bahwa Gerakan Aceh Merdeka pimpinan
Hasan Tiro merupakan upaya pembohongan terhadap Tengku M. Daud
Beureueh dan rakyat Aceh untuk ketiga kalinya. Hasan Saleh juga
mengatakan dalam bukunya tersebut bahwa: Saudarakan tahu bahwa Hasan
Tiro telah menipu Tengku Daud Beureueh dan rakyat Aceh sebanyak dua
kali?. Ganjilkah apabila hendak menipu untuk ketiga kalinya. 4 Namun,
Hasan Tiro secara diametral membantah tudingan tersebut, dengan antara
lain mengatakan: tidaklah mung-kin rakyat mau diajak untuk memberontak,
jika hanya untuk meme-nuhi kepentingan, atau atas keinginan satu atau
segelintir orang saja.
Hasan Tiro dengan pengetahuannya yang cukup dan kepiawai-annya
dalam mengorganisir orang-orang, mampu meyakinkan bebe-rapa kalangan
terutama para orang muda baik dari Universitas Sumatra Utara (USU),
maupun non-USU Medan, Unsyiah dan sebagainya. Mereka antara lain
adalah: Dr. Muchtar Yahya Hasbi, Dr. Husaini Hasan, Dr. Zaini Abdullah, Dr.
Zubir Mahmud, Marzuki Mahmud, Ir. Asnawi, Amir Ishak, Ilyas Nurdin,
Dailami, Munzir, Hasbi Abdullah, Nurdin Abdurrahman, dan juga dari
berbagai Perguruan Tinggi dan kalangan lain baik di Aceh maupun di luar
Aceh.
Tidak begitu jelas kapan persisnya Hasan Tiro bersama teman-teman
beliau (atau sendiri?) kemudian membentuk Aceh-Sumatra National
Liberation Front, disingkat ASNLF, kecuali yang kita ketahui adalah
4

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, 1992.

BAB I: Pendahuluan

redeklarasi dari The Independence of Acheh Sumatra di mana Hasan Tiro


menyatakan dirinya sebagai Chairman, National Liberation Front of Acheh
Sumatra, and Head of State. Abu Jihad mengatakan dalam bukunya Hasan
Tiro dan Pergolakan Aceh ANSLF dibentuk pada tanggal 29 Nopember 1976.
Namun, menurut catatan Hasan Tiro 5, pada tanggal tersebut, kegiatan beliau
dan teman-temannya adalah memindahkan Markas Besarnya dari Panton
Weng ke daerah Tiro. Memang ada dikatakan oleh beliau sebagai berikut: By
November 29, 1976, thirty days after may landing, our adherents have become
large enough and the formal Organization of the National Liberation Front of
Acheh Sumatra has become a reality. Penulisan ASNLF pun, yang dikutip
baik dalam bukunya Abu Jihad6 maupun bukunya Al Chaidar 7, ternyata
dalam catatan harian Hasan Tiro disebut sebagai NLFAS, yakni singkatan dari
National Liberation Front of Acheh Sumatra. Namun, kedua singkatan
(abriviation) tersebut sesungguhnya mewakili substansi yang sama. Gerakan
ini menyatakan akan berjuang untuk kemerdekaan dari apa yang mereka
sebut sebagai neokolonial Indonesia-Jawa. Gerakan ini menggunakan tema
pokok, tuntutan keadilan, anti diskriminasi, dan anti eksploitasi kekayaan
alam Aceh oleh dan untuk pihak lain, serta issu kesejahteraan atau
perbaikan hidup rakyat. Oleh karenanya relatip cepat mendapat perhatian
dan kemudian simpati rakyat. Sedangkan di lain pihak, Pemerintah terutama
aparat Keamanan melebelkan gerakan Hasan Tiro ini sebagai Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK) atau Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT),
dan kemudian sekitar awal tahun 2001, menamakannya sebagai Gerakan
Sipil Bersenjata Aceh (GSBA). Barulah pada atau sejak tanggal 11 April 2001,
melalui Konsideran Inpres No.4 tahun 2001, gerakan Hasan Tiro ini disebut
secara resmi sebagai Gerakan Separatis Bersenjata. Gerakan ini selain
disambut oleh beberapa intelektual muda Aceh, juga menarik perhatian dan
mendapat dukungan di kalangan sebagian masyarakat di akar rumput.
Rakyat Aceh lebih populer mengenalnya dan lebih lancar menyebut gerakan
ini sebagai Aceh Merdeka (AM). Merasakan kenyataan seperti itu, telah
memberikan semangat dan kebulatan tekad bagi Hasan Tiro dan pengikutnya,
untuk mendeklarasikan Kemerdekaan bagi Aceh-Sumatra pada tanggal 4
Desember 1976. Sejak itulah orang-orang GAM selalu memperingati tanggal 4
Desember sebagai hari Ulang Tahun GAM.
Secara perlahanlahan tetapi pasti gerakan ini meluas, merambat baik
dalam dimensi kalangan (strata) dan kelompok masyarakat maupun dalam
dimensi kewilayahan. Secara segmenter, pengaruh AM telah merasuk ke
hampir semua lapisan masyarakat, termasuk pegawai negeri dan bahkan para
oknum beberapa aparat keamanan. Pendukung atau simpatisan AM mulanya
adalah mereka yang menggandrungi keadilan, perubahan dan perbaikan,
Hasan Tiro, The Price of Freedom (The Unfinished Diary).
Abu Jihad, Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh, (Jakarta: Titian Ilmu Insani,
2000).
7
Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan
Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999).
5
6

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

serta berasumsi di sana akan ada sesuatu yang mereka harapkan. Salah satu
penyebabnya adalah adanya janji pimpinan AM, bahwa kalau masuk GAM,
tidak usah bekerja pun akan dapat gaji. Hasan Tiro menuliskan dalam
bukunya, yakni: menurut Edmund Burkue yang mengutip ucapan ahli negara
Perancis yang mengatakan: Belum pernah rakyat dari suatu negara
memberontak oleh karena pemerintahnya lemah dan kocar-kacir. Bagi rakyat,
yang telah menggerakkan mereka memberontak bukanlah keinginan buat
menyerang, tetapi kehilangan kesabaran buat menderita. Dan Edouard
Laboulaye menurut beliau, pernah mengatakan bahwa: pemberontakan
adalah usaha terakhir rakyat yang hak-haknya sudah dirampas oleh
penindasan.8
Selain itu, sebagian dari orang-orang yang mempunyai hu-bungan historis
dan tradisional serta kaitan emosional dengan DI/TII, juga merupakan
kelompok yang potensial menjadi pendukung AM. Sedangkan pada tahapan
perkembangan berikutnya, orang-orang atau keluarga yang teraniaya dan
terzalimi oleh kekerasan dan kekejaman Aparat Keamanan, adalah juga
pendukung potensial AM, dan bahkan ada yang terang-terang menjadi
anggata AM hanya untuk balas dendam, walaupun dia tadinya bukan AM.
Namun, ada hal yang cukup menarik untuk diamati, jika dibandingkan
dengan peristiwa DI/TII, maka pendukung terhadap AM dapat dikatakan
lebih merata. Jika kita sepakat dengan Snouck Horgronye dan juga diperkuat
oleh pendapat Nazaruddin Syam-suddin, dalam bukunya Revolusi di Serambi
Mekkah, (1999), yang membedakan elite Aceh menjadi 3 kelompok besar
yakni ulama, kalangan sultana dan kalangan uleebalang, maka DI/TII hampir
dapat dikatakan tidak didukung oleh kalangan uleelang, kecuali satu dua
orang. Di samping itu, DI/TII juga tidak didukung oleh kalangan ulama Perti
yang sebagian besar mendiami daerah pantai Barat/ Selatan (yang
menghadap Lautan Hindia), serta ulama dayah, yang umumnya alumni
Pesantren Darussalam Labuhan Haji di bawah Pimpinan Tengku H. Muda
Wali, sebagaimana dikatakan oleh Abu Adnan Bakongan dan Buya Zamzami
Syam, Singkil. Sedangkan AM, walaupun keseluruhan pendukungnya secara
kwantitatip relatip lebih kecil dari DI/TII, namun dapat dikatakan lebih
merata di kalangan semua kelompok dan wilayah Aceh. Dengan nama
gerakan seperti itu, jelaslah secara harfiah bahwa AM atau ASNLF bukanlah
gerakan yang berideologikan agama (baca: Islam) sebagaimana DI/TII, tetapi
lebih sebagai gerakan nasionalis yang sekuler yang berjuang untuk
kemerdekaan. Karena sifat sekulernya itulah, makanya para ulama tidaklah
secara unblock dan serta merta mendukungnya, sebagaimana DI/TII,
walaupun ada juga beberapa ulama atau pimpinan pesantren yang diketahui
umum, adalah orang-orang AM. Bahkan menurut Richard Barber, perjuangan
AM yang sekuler tersebut tidaklah menyenangkan atau memuaskan bagi para
ulama. Whilst sentiment in Aceh were sympathetic to the cause, this did not
translate to strong active participation, primarily because the relatively secular
8

Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia, 1958.

BAB I: Pendahuluan

nature of the independent state proposed by GAM did not satisfy the Islamic
objectives of the ulama.9
Ada beberapa issue atau berita miring yang terdengar pada awal mula
munculnya A.M. dan ketika maraknya GAM, antara lain
1. Hasan Tiro ingin mendirikan Negara Aceh Merdeka yang merupakan bagian
dari Commenwealth Inggris. ..).
2. Tgk. H.M. Daud Beureueh, mendukung perjuangan Hasan Tiro, dengan
motivasi untuk menjadikan Aceh sebagai bagian dari Negara Bagian
Kelantan Malaysia.
3. Hasan Tiro akan mendirikan negara Aceh yang Merdeka berbentuk
Kerajaan (absolut monarchi) dengan mengangkat dirinya sebagai Raja
Aceh, dan putera mahkotanya adalah Karim bin Hasan Tiro.
4. Akibat ketidak sepakatan soal bentuk negara tersebut dan ideologi yang
akan diterapkan, maka GAM telah terpecah menjadi dua faksi; yang
pertama disebut sebagai GAM, dipimpin oleh Malik Mahmud, di Stockholm;
dan yang kedua disebut MP GAM (Majelis Pemerintahan GAM), dipimpin
oleh Dr. Husaini Hasan, juga berada di Stockholm; serta kedua-duanya
mengakui dan mendaulat Hasan Tiro sebagai Wali Negara.
5. Ada keterangan yang mengatakan bahwa sebab khusus sebagai pemicu
munculnya ASNLF (Aceh-Sumatra National Liberation Front) yang
kemudian menjadi Aceh Mereka (AM), lalu menjadi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), adalah rasa kecewa yang mendalam dari gagalnya Hasan Tiro
mendapatkan konsesi untuk menjadi kontraktor di Mobil Oil, yang ketika
itu sedang memulai eksploitasi gas (LNG) di Arun, Aceh Utara.
Perjalanan waktu bergerak terus, GAM semakin membesar, sementara
orang-orang yang tadinya menganggap enteng atau anggap kecil (under
estimate), mulai menyadari kenyataan bahwa senjata GAM telah lebih banyak,
yang diawali dengan keberanian/ kenekatan mereka merampas senjata milik
Apkam RI, baik Polisi maupun tentara, dan mulai pula melalukan
penghadangan, pencu-likan dan penyerbuan secara terbuka. Usaha fund
rising di kalangan masyarakat di desa dan kota di Aceh, semakin untensip
dan merata, dengan dalih untuk membeli senjata. Sementara di kalangan
TNI/ Polri, menanggapinya secara terbelah, ada yang ingin melakukan
pendekatan kultural dan sosial-politik, yang ditentang habis-habisan oleh
kalangan garis keras yang menginginkan AM atau GAM, ditumpas, dibasmi,
diberantas, dan juga menggunakan istilah-istilah lainnya yang ganas dan
haus darah, seolah-olah GAM adalah barang mati, begitu saja dengan
mudah dapat dimusnahkan atau diberantas.
Adalah Presiden Habibie awal mulanya yang berupaya keras un-tuk
merubah sikap dan paradigma bangsa ini dalam melihat dan memposisikan
GAM. Kata beliau, GAM atau pendukungnya adalah orang Aceh, jadi mereka
adalah warga negara Indonesia. Orang Aceh adalah saudara kandung dari
orang Indonesia lainnya, jadi tidak selayaknya dan tidak masuk akal kita
memerangi mereka. GAM adalah persoalan dalam negeri kita, mari kita
9

Richard Barber, Aceh: The Untold Story, 2000.

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

selesaikan secara internal, dengan persuasif secara kekeluargaan, dengan


pendekatan budaya, dengan secara damai, adil, dan bermartabat serta berwawasan ke depan, kata beliau. Beliau pun telah mencabut DOM,
membebaskan tapol/napol dan memberikan amnesti, dan mem-bangun
beberapa proyek vital dan strategis, serta mempersiapkan bantuan bagi para
korban konflik, baik dalam bentuk uang, natura (in kind) maupun beasiswa.
Beliau sendiri menyatakan dan menye-diakan diri sebagai Bapak Angkat dari
beberapa siswa Aceh korban Konflik. Beliau sangat memberi perhatian kepada
pelanggaran HAM dan juga secara khusus yang berhubungan dengan adanya
kuburan masaal, ataupun kuburan orang-orang yang terbunuh karena kekejaman dan kekerasan, selama DOM.
Upaya damai melalui dialog untuk menyelesaikan masalah Aceh
diteruskan oleh Presiden Gus Dur, yang memprakarsai mengundang
keikutsertaan HDC, sebagai mediator dan fasilitator dialog antara Pem RI
dengan GAM. Dialog pun berlangsung di Jenewa, walaupun lebih banyak
secara tidak langsung, yang akhirnya menghasilkan Jeda Kemanusiaan atau
lengkapnya Joint Understanding on Huma-nitarian Pause ditandatangani pada
12 Mai 2001. Setelah berjalan beberapa waktu dan semua badan/istitusi yang
berkenaan dengan kesepahaman tersebut telah dibentuk dan telah bekerja
di Aceh, namun akhirnya, terpaksa terhenti. Hanya karena kedua pihak
kurang konsekuen dalam memenuhi tugas dan kewajibannya serta
komitment-komitmennya. Dalam Era Gus Dur, arus dan semangat
Referendum bertiup kencang dan menggetarkan banyak kalangan. Gus Dur
pun tidak mau ketinggalan dengan aspirasi tersebut, beliau lebih cenderung
menyesuaikan diri, sehingga terkesan, lebih memberi angin kepada
kemungkinan dilaksanakannya referendum. Hal itu tidak saya terkait dengan
bebagai statement beliau yang memang susah ditebak, dan suka bukin
kejutan, tetapi juga, ber-hubungan dengan sikap beliau sebelum menjadi
Presiden ketika membuka selubung referendum dihalaman Mesjid Raya Baitul
Rahman.
Kemudian Presiden Megawati, meneruskan upaya damai melalui dialog,
dengan tetap mendapat bantuan atau fasilitasi dari HDC. Kemudian Menko
Polkam yang waktu itu dijabat oleh SBY, membentuk Desk Aceh, di kantor
Menko Polkam, di mana 6 orang masyarakat sipil Aceh di Jakarta diangkat
sebagai penasehatnya. Walaupun diselingi dengan berbagai operasi dalam
rangka pelaksanakan beberapa Inpres, tantang Langkah-langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh, akhirnya pembicaraan
damai melalui dialog tersebut menghasilkan apa yang disebut dengan
Cessation of Hostilities Agreement (COHA). Yang ditandatangani pada
tanggal 9 Desember 2002. COHA itu pun kemudian dapat disebut gagal,
mengingat di ujung-ujungnya ternyata kedua pihak (entah siapa yang
memulai), tidak dapat memenuhi kewajibannya atau tidak dapat menahan
diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak kesepakatan
tersebut. Akhirnya diberlakukankanlah status Darurat Militer bagi Aceh
selama setahun (2 tahapan) sejak 19 Mai 2003 s/d 19 Mai 2004, dan

BAB I: Pendahuluan

kemudian disusul dengan status Darurat Sipil, selama 6 bulan. Sejak saat
Megawati pula, Menko Kesra Jusuf Kalla, mulai melirik soal penyelesaian
masalah Aceh secara damai, setelah beliau sukses menangani konflik Maluku
dan Poso, sehingga sering bertemu dengan penasihat Desk Aceh.
Terpilihnya SBY sebagai Presiden RI dan JK sebagai Wakil Presiden RI,
selain sebagai kemenangan bagi pencinta demokrasi Indonesia, juga
merupakan sesuatu harapan dari rakyat Aceh, karena kedua beliau, di mata
orang Aceh adalah sebagai tokoh yang menggandrungi penyelesaian masalah
Aceh secara damai, bukan melalui peperangan. Dengan dikomandani oleh JK,
tentunya setahu dan seizin Presiden, terjadilah penjajakan dan kemudian
mulailah perundingan generasi ketiga, yang di fasilitasi dan dimediasi oleh
mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, di Helsinki. Setelah melalui jalan
yang berliku dan beronak/duri, sampailah pada kemungkinan penandatangan MoU, antara Pem Ri dan GAM, dengan dise-pakatinya rumusan
berkenaan dengan beberapa substansi yang dianggap oleh Pem RI dan GAM
selama ini sebagai pengganjal. Substansi-substansi krusial tersebut antara
lain berkenaan dengan soal independence, soal self-government, soal special
autonomy, soal mobilisasi dan decommisioning senjata GAM, soal relokasi
TNI/ Polri non organik. Demikian pula substansi berkenaan dengan soal
Partai lokal, dan pemilihan lokal, soal-soal yang berkenaan dengan persetujuan DPRD/Pemerintahan Daerah, terhadap beberapa kebijakan pusat,
beberapa hal dibidang ekonomi, dan sebagainya.
Akhirnya dengan kelapangan dada masing-masing dan dengan keinginan
keras untuk menghentikan peperangan dan memulai damai, kedua pihak
menandatangani naskah final dari MoU Helsinki, pada tanggal 15 Agustus
2005, tepat 7 bulan 20 hari setelah terjadinya bencana Gempa dan Tsunami
di Aceh, dengan nama aslinya: Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia, dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia, and The Free
Aceh Movement). Penanda tanganan tersebut disambut secara beragam di
Aceh dan di berbagai kalangan Indonesia lainnya. Ada yang gembira dan
bersyukur, serta menaruh banyak harapan, ada pula yang menyambutnya
dengan pesimistis, bahkan ada pula yang secara terang-terangan menentangnya yang seungguhnya sejak dalam proses perundingan pun mereka sudah
menyuarakan ketidak setujuannya tersebut. Disadari bahwa masih banyak
yang harus dikerjakan, antara lain: yang berkenaan dengan ketaatan masingmasing pihak terhadap komitmen yang telah dibuat dalam MoU, demikian
pula yang berkenaan dengan reintegrasi baik GAM maupun masyarakat
korban konflik, kedalam masyarakat, berikut dengan pencairan dana bantuan
dan bantuan lainnya yang diberikan oleh pemerintah untuk memperlancar
reintegrasi. Bagaimana pula proses rekonsiliasi di tengah-tengah masyarakat,
adalah perkara yang sangat menentukan apakah damai di Aceh akan abadi
atau hanya sementara. Kesemuanya sang waktulah yang menjadi saksi
sejarah bagaimana juntrungan MoU Helsinki tersebut dalam pelaksa-naannya
(MoU in Action) dan bagaimana wujud ke depannya. Apakah pelaksanaannya

10

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

sesuai dengan yang tertulis dalam MoU, dan harapan rakyat, atau tidak,
akhirnya tingkah laku (performance) para pihak lah yang akan menentukannya. Oleh karenanya jangan berhenti berdoa dan berbuat. Semoga Allah Swt
menerangi hati mereka.***

BAB I: Pendahuluan

11

12

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

Anda mungkin juga menyukai