PENDAHULUAN
Dari AM, Menjadi GAM, Melalui Proses Dialog
dan Perundingan, Diakhiri dengan MoU Helsinki
BAB I: Pendahuluan
perjuangan ini ingin mengusir se-tiap penjajah dari setiap jengkal wilayah
Indonesia. Inilah yang dinamakan kemudian sebagai perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan penegakan kedaulatan Republik
Indonesia.
Belanda bersikukuh hendak menguasai kembali Indonesia, ter-masuk
Aceh, dan untuk itu dia memdompleng Sekutu yang ber-alasan masuk ke
Indonesia untuk melucuti Jepang, yang sudah kalah perang. Terjadilah dua
kali apa yang disebut sebagai Agresi (Aksi) Polisionil Sekutu/Belanda
terhadap Indonesia. Dalam agresi-agresi tersebut, seluruh wilayah Aceh tidak
terjamah kembali oleh Belanda, kecuali Sabang/Pulau Weh. Setelah capek
berperang dan banyak menelan korban, serta atas tekanan masyarakat Internasional, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pada tanggal 27
Desember 1949, lebih dari 4 tahun setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Pengertian Indonesia bagi Belanda adalah bekas jajahannya
yang lazim disebut sebagai Hindia Belanda, di mana Aceh ada di dalamnya.
Dalam pengakuan kedaulatan Indonesia tersebutlah, terkesan, seolaholah Belanda ikut menyerahkan Aceh kepada Indonesia.
Hasan Tiro dan pengikutnya, mengklaim bahwa Belanda tidak berhak
menyerahkan Aceh kepada Indonesia, dengan dua alasan. Pertama, Belanda
tidak mempunyai atau tidak memegang kedau-latan atas Aceh; dan kedua,
Aceh memang bukan atau belum pernah menjadi bagian dari Indonesia. Aceh
menurut beliau sejak semula merupakan suatu kerajaan yang merdeka dan
berdaulat. Our fatherland Acheh, Sumatra, had always been a free and
independent souvereign State since the world begun, kata Hasan Tiro dalam
berbagai kesempatan, dan juga disebutkan dalam Redeclaration of Acheh
Sumatra, December 4, 1976, yang artinya lebih kurang: Aceh sejak semula
adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sedang-kan di pihak lain,
Belanda menganggap Aceh adalah bagian dari Indonesia, mengingat daerah
ini adalah bagian dari Hindia Belanda (Nederlands Indie), bersama seluruh
Sumatra (kecuali Bengkulu), Jawa, Borneo, Celebes, pulau-pulau lainnya di
kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku dan Papua. Anthony Reid,
dalam bukunya1 menyebutkan bahwa, Gubernur Jendral Hindia Belanda Van
Swieten mengumunkan pada tanggal 31 Januari 1874: Aceh sebagai bagian
dari Hindia Belanda atas dasar hak pemenangan perang. 2 Belanda juga
mungkin merasa berhak atas kedaulatan Aceh, sejak dari ditandatanganinya
perjanjian oleh beberapa ulee-balang, yang menurut T. Ibrahim Alfian ada
sebanyak 31 uleebalang menandatanganinya, sebagai Penguasa dan atas
nama keuleebalang-annya. Perjanjian tersebut antara lain menyatakan bahwa
ke uleebalangan mereka menjadi suatu bagian daripada Hindia Belanda, dan
setia untuk selama-lamanya kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan
kepada wakil Baginda Sri Paduka yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dan oleh karenanya Gubernur Jenderal memberikan kepada
1
2
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, (terj.), 2005, hlm. 170.
Reid, ibid.
BAB I: Pendahuluan
BAB I: Pendahuluan
serta berasumsi di sana akan ada sesuatu yang mereka harapkan. Salah satu
penyebabnya adalah adanya janji pimpinan AM, bahwa kalau masuk GAM,
tidak usah bekerja pun akan dapat gaji. Hasan Tiro menuliskan dalam
bukunya, yakni: menurut Edmund Burkue yang mengutip ucapan ahli negara
Perancis yang mengatakan: Belum pernah rakyat dari suatu negara
memberontak oleh karena pemerintahnya lemah dan kocar-kacir. Bagi rakyat,
yang telah menggerakkan mereka memberontak bukanlah keinginan buat
menyerang, tetapi kehilangan kesabaran buat menderita. Dan Edouard
Laboulaye menurut beliau, pernah mengatakan bahwa: pemberontakan
adalah usaha terakhir rakyat yang hak-haknya sudah dirampas oleh
penindasan.8
Selain itu, sebagian dari orang-orang yang mempunyai hu-bungan historis
dan tradisional serta kaitan emosional dengan DI/TII, juga merupakan
kelompok yang potensial menjadi pendukung AM. Sedangkan pada tahapan
perkembangan berikutnya, orang-orang atau keluarga yang teraniaya dan
terzalimi oleh kekerasan dan kekejaman Aparat Keamanan, adalah juga
pendukung potensial AM, dan bahkan ada yang terang-terang menjadi
anggata AM hanya untuk balas dendam, walaupun dia tadinya bukan AM.
Namun, ada hal yang cukup menarik untuk diamati, jika dibandingkan
dengan peristiwa DI/TII, maka pendukung terhadap AM dapat dikatakan
lebih merata. Jika kita sepakat dengan Snouck Horgronye dan juga diperkuat
oleh pendapat Nazaruddin Syam-suddin, dalam bukunya Revolusi di Serambi
Mekkah, (1999), yang membedakan elite Aceh menjadi 3 kelompok besar
yakni ulama, kalangan sultana dan kalangan uleebalang, maka DI/TII hampir
dapat dikatakan tidak didukung oleh kalangan uleelang, kecuali satu dua
orang. Di samping itu, DI/TII juga tidak didukung oleh kalangan ulama Perti
yang sebagian besar mendiami daerah pantai Barat/ Selatan (yang
menghadap Lautan Hindia), serta ulama dayah, yang umumnya alumni
Pesantren Darussalam Labuhan Haji di bawah Pimpinan Tengku H. Muda
Wali, sebagaimana dikatakan oleh Abu Adnan Bakongan dan Buya Zamzami
Syam, Singkil. Sedangkan AM, walaupun keseluruhan pendukungnya secara
kwantitatip relatip lebih kecil dari DI/TII, namun dapat dikatakan lebih
merata di kalangan semua kelompok dan wilayah Aceh. Dengan nama
gerakan seperti itu, jelaslah secara harfiah bahwa AM atau ASNLF bukanlah
gerakan yang berideologikan agama (baca: Islam) sebagaimana DI/TII, tetapi
lebih sebagai gerakan nasionalis yang sekuler yang berjuang untuk
kemerdekaan. Karena sifat sekulernya itulah, makanya para ulama tidaklah
secara unblock dan serta merta mendukungnya, sebagaimana DI/TII,
walaupun ada juga beberapa ulama atau pimpinan pesantren yang diketahui
umum, adalah orang-orang AM. Bahkan menurut Richard Barber, perjuangan
AM yang sekuler tersebut tidaklah menyenangkan atau memuaskan bagi para
ulama. Whilst sentiment in Aceh were sympathetic to the cause, this did not
translate to strong active participation, primarily because the relatively secular
8
BAB I: Pendahuluan
nature of the independent state proposed by GAM did not satisfy the Islamic
objectives of the ulama.9
Ada beberapa issue atau berita miring yang terdengar pada awal mula
munculnya A.M. dan ketika maraknya GAM, antara lain
1. Hasan Tiro ingin mendirikan Negara Aceh Merdeka yang merupakan bagian
dari Commenwealth Inggris. ..).
2. Tgk. H.M. Daud Beureueh, mendukung perjuangan Hasan Tiro, dengan
motivasi untuk menjadikan Aceh sebagai bagian dari Negara Bagian
Kelantan Malaysia.
3. Hasan Tiro akan mendirikan negara Aceh yang Merdeka berbentuk
Kerajaan (absolut monarchi) dengan mengangkat dirinya sebagai Raja
Aceh, dan putera mahkotanya adalah Karim bin Hasan Tiro.
4. Akibat ketidak sepakatan soal bentuk negara tersebut dan ideologi yang
akan diterapkan, maka GAM telah terpecah menjadi dua faksi; yang
pertama disebut sebagai GAM, dipimpin oleh Malik Mahmud, di Stockholm;
dan yang kedua disebut MP GAM (Majelis Pemerintahan GAM), dipimpin
oleh Dr. Husaini Hasan, juga berada di Stockholm; serta kedua-duanya
mengakui dan mendaulat Hasan Tiro sebagai Wali Negara.
5. Ada keterangan yang mengatakan bahwa sebab khusus sebagai pemicu
munculnya ASNLF (Aceh-Sumatra National Liberation Front) yang
kemudian menjadi Aceh Mereka (AM), lalu menjadi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), adalah rasa kecewa yang mendalam dari gagalnya Hasan Tiro
mendapatkan konsesi untuk menjadi kontraktor di Mobil Oil, yang ketika
itu sedang memulai eksploitasi gas (LNG) di Arun, Aceh Utara.
Perjalanan waktu bergerak terus, GAM semakin membesar, sementara
orang-orang yang tadinya menganggap enteng atau anggap kecil (under
estimate), mulai menyadari kenyataan bahwa senjata GAM telah lebih banyak,
yang diawali dengan keberanian/ kenekatan mereka merampas senjata milik
Apkam RI, baik Polisi maupun tentara, dan mulai pula melalukan
penghadangan, pencu-likan dan penyerbuan secara terbuka. Usaha fund
rising di kalangan masyarakat di desa dan kota di Aceh, semakin untensip
dan merata, dengan dalih untuk membeli senjata. Sementara di kalangan
TNI/ Polri, menanggapinya secara terbelah, ada yang ingin melakukan
pendekatan kultural dan sosial-politik, yang ditentang habis-habisan oleh
kalangan garis keras yang menginginkan AM atau GAM, ditumpas, dibasmi,
diberantas, dan juga menggunakan istilah-istilah lainnya yang ganas dan
haus darah, seolah-olah GAM adalah barang mati, begitu saja dengan
mudah dapat dimusnahkan atau diberantas.
Adalah Presiden Habibie awal mulanya yang berupaya keras un-tuk
merubah sikap dan paradigma bangsa ini dalam melihat dan memposisikan
GAM. Kata beliau, GAM atau pendukungnya adalah orang Aceh, jadi mereka
adalah warga negara Indonesia. Orang Aceh adalah saudara kandung dari
orang Indonesia lainnya, jadi tidak selayaknya dan tidak masuk akal kita
memerangi mereka. GAM adalah persoalan dalam negeri kita, mari kita
9
BAB I: Pendahuluan
kemudian disusul dengan status Darurat Sipil, selama 6 bulan. Sejak saat
Megawati pula, Menko Kesra Jusuf Kalla, mulai melirik soal penyelesaian
masalah Aceh secara damai, setelah beliau sukses menangani konflik Maluku
dan Poso, sehingga sering bertemu dengan penasihat Desk Aceh.
Terpilihnya SBY sebagai Presiden RI dan JK sebagai Wakil Presiden RI,
selain sebagai kemenangan bagi pencinta demokrasi Indonesia, juga
merupakan sesuatu harapan dari rakyat Aceh, karena kedua beliau, di mata
orang Aceh adalah sebagai tokoh yang menggandrungi penyelesaian masalah
Aceh secara damai, bukan melalui peperangan. Dengan dikomandani oleh JK,
tentunya setahu dan seizin Presiden, terjadilah penjajakan dan kemudian
mulailah perundingan generasi ketiga, yang di fasilitasi dan dimediasi oleh
mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, di Helsinki. Setelah melalui jalan
yang berliku dan beronak/duri, sampailah pada kemungkinan penandatangan MoU, antara Pem Ri dan GAM, dengan dise-pakatinya rumusan
berkenaan dengan beberapa substansi yang dianggap oleh Pem RI dan GAM
selama ini sebagai pengganjal. Substansi-substansi krusial tersebut antara
lain berkenaan dengan soal independence, soal self-government, soal special
autonomy, soal mobilisasi dan decommisioning senjata GAM, soal relokasi
TNI/ Polri non organik. Demikian pula substansi berkenaan dengan soal
Partai lokal, dan pemilihan lokal, soal-soal yang berkenaan dengan persetujuan DPRD/Pemerintahan Daerah, terhadap beberapa kebijakan pusat,
beberapa hal dibidang ekonomi, dan sebagainya.
Akhirnya dengan kelapangan dada masing-masing dan dengan keinginan
keras untuk menghentikan peperangan dan memulai damai, kedua pihak
menandatangani naskah final dari MoU Helsinki, pada tanggal 15 Agustus
2005, tepat 7 bulan 20 hari setelah terjadinya bencana Gempa dan Tsunami
di Aceh, dengan nama aslinya: Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia, dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia, and The Free
Aceh Movement). Penanda tanganan tersebut disambut secara beragam di
Aceh dan di berbagai kalangan Indonesia lainnya. Ada yang gembira dan
bersyukur, serta menaruh banyak harapan, ada pula yang menyambutnya
dengan pesimistis, bahkan ada pula yang secara terang-terangan menentangnya yang seungguhnya sejak dalam proses perundingan pun mereka sudah
menyuarakan ketidak setujuannya tersebut. Disadari bahwa masih banyak
yang harus dikerjakan, antara lain: yang berkenaan dengan ketaatan masingmasing pihak terhadap komitmen yang telah dibuat dalam MoU, demikian
pula yang berkenaan dengan reintegrasi baik GAM maupun masyarakat
korban konflik, kedalam masyarakat, berikut dengan pencairan dana bantuan
dan bantuan lainnya yang diberikan oleh pemerintah untuk memperlancar
reintegrasi. Bagaimana pula proses rekonsiliasi di tengah-tengah masyarakat,
adalah perkara yang sangat menentukan apakah damai di Aceh akan abadi
atau hanya sementara. Kesemuanya sang waktulah yang menjadi saksi
sejarah bagaimana juntrungan MoU Helsinki tersebut dalam pelaksa-naannya
(MoU in Action) dan bagaimana wujud ke depannya. Apakah pelaksanaannya
10
sesuai dengan yang tertulis dalam MoU, dan harapan rakyat, atau tidak,
akhirnya tingkah laku (performance) para pihak lah yang akan menentukannya. Oleh karenanya jangan berhenti berdoa dan berbuat. Semoga Allah Swt
menerangi hati mereka.***
BAB I: Pendahuluan
11
12