Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam.1-9Penyakit ini terutama menyerang wanita usia
reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.1-5,8
Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10 dengan rasio
jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. 10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien
SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.13
Etiologi
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas.Menurut anggapan sekarang penyakit SLE
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi
antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal,
akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi
patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan
nonself.14,15. Selain itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyakit ini adalah 16
1. Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens
yang tinggi untuk penyakit pada jaringan ikat.
2. Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi
pada hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah
terapi selama 3 tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan
200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50
mg/hari
27

3. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
4. Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE
atau penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat
ditemukan antibodi terhadap radiasi ultraviolet.
5. Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik
fisik maupun mental.16
6.
Patogenesis
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan
yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk 17
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan

RNA dalam

RNA/protein self-antigen
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan
Limfosit B)
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.

Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh


sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen autoantibody, dan
kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang,
menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.17
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2
(IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)
10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik
SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming
growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah
produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan
berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang
menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.1
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin,
chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis akumulasi
growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide
vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor
28

dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.17
Tabel 1. Autoantibodi pada Lupus Eritematosus Sistemik14
Antibodi
Antinuclear antibodies
Anti-dsDNA

Prevalensi (%)
98
70

Manfaat Klinis
Tes skrining terbaik
Titer tinggi adalah spesifik untuk
SLE dan pada beberapa pasien
berhubungan

Anti-Sm

dengan

aktivitas

penyakit, nefritis, vaskulitis


Spesifik untuk SLE; tidak

25

ada

korelasi klinis; banyak pasien juga


memiliki anti-RNP; lebih banyak
pada kulit hitam dan Asia daripada
Anti-RNP
Anti-Ro (SS-A)

40

kulit putih
Tidak spesifik untuk SLE; titer tinggi

30

berhubungan dengan sindrom .........


Tidak
spesifik
untuk
SLE;
berhubungan dengan sindrom sicca,
predisposisi

untuk

lupus

subkutaneus, dan neonatal lupus


dengan blok jantung kongenital;
berhubungan
Anti-La (SS-B)

dengan

penurunan

risiko nefritis
Biasanya berhubungan dengan anti-

10

Ro; berhubungan dengan penurunan


Antihistone
Antiphospholipid

70

risiko nefritis
Lebih sering pada drug-induced

50

lupus daripada SLE


Tersedia tiga tes-ELISA
kardiolipin
prothrombin

dan

2G1,
time

untuk
sensitif

(DRWT);

predisposisi untuk pembekuan, fetal


Antieritrosit
Antiplatelet

loss, trombositopeni
Diukur seperti tes Coomb direk
Berhubungan
dengan

60
30

trombositopenia tetapi sensitivitas


29

dan
Antineuronal

spesifitasnya

kurang;

tidak

bermanfaat untuk tes klinis


Pada beberapa rangkaian tes positif

(termasuk 60

reseptor anti-glutamat)

CSF berhubungan dengan lupus CNS

Antiribosomal P

aktif
Pada beberapa rangkaian tes positif

20

pada serum berhubungan dengan


depresi atau psikosis akibat lupus
CNS
Manifestasi Klinis
Penderita systemic lupus erythematosus (SLE) 90% adalah pada wanita periode usia
muda- dewasa muda, dan ras negroid lebih cenderung tiga kali lipat menderita SLE
dibanding dengan ras lain. Gejala yang umum pada SLE, antara lain 14

Gejala Konstitusional
Kelelahan.
Penurunan berat badan. Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam tidak disertai menggigil.
Lain-lain. Gejala lain yang dapat dijumpai pada penderita SLE sebelum ataupun seiring
dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,

pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal paling sering dijumpai (lebih dari 90%) pada pasien
SLE.Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan

suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.


Manifestasi Kulit
SLE muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitivitas,
diskoid

LE

(DLE),

subacute

cutaneous

lupus

erythematosus

(SCLE),

lupus

profundus/paniculitik, alopecia, SLEi vaskular berupa eritema periungual, livedo


reticularis, teleangiectasia, fenomena Raynauds atau vaskulitis atau bercak yang menonjol
berwarna putih perak dan dapat pula bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak

atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.


Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau

shrinking lung syndrome.


Manifestasi Kardiologis
30

Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat

terlihat pada pasien SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Manifestasi Renal
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500/24 jam
atau 3+ semi kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau
gabungan serta piuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum
kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada pasien SLE. Akan tetapi melalui

biopsi ginjal akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gstrointestinal tidak spesifik pada pasien SLE karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat
pengobatan.Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
vasculitis, inflamatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat pasien dalam keadaan
tertekan dan sifatnya episodik.
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada lebih kurang 50% pasien SLE lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum.
Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik ditandai dengan nyeri di daerah abdominal
bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan. Pembuktian
adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% pasien SLE. Keluhan ditandai dengan
adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum
amilase.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Keluhan ini
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid,

terutama salisilat.
Manifestasi Neuropsikiatrik
Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakan diagnosis ini. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai
epilepsi, hemiparesis, SLEi syaraf kranial, SLEi batang otak, meningitis aseptik atau
myelitis transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai
neuropati perifer, miastenia gravis atau mononeuropati multipel. Dari segi psikiatrik,

gangguan fungsi mental dapat bersifat organik atau non-organik.


Manifestasi Hemik-Limfatik
31

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada pasien


SLE.Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi sampai 3-4
Diagnosis
Berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR), Bila didapatkan 4
dari 11 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.Kriteria ini mempunyai sensitivitas
75% dan spesifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik7,9


Kriteria
1. Malar rash

Definisi
Eritema yang rata atau sedikit menimbul di atas
permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu,

2. Ruam diskoid

biasanya tidak mengenai plika nasolabialis


Ruam berbentuk bulatan menimbul di atas
permukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama

3. Fotosensitifitas

mungkin berbentuk jaringan parut.


Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas
terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis

4. Ulserasi oral/nasofaring

atau pemeriksaan fisik.


Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari

5. Artritis non-erosif

pemeriksaan fisik.
Artritis non erosif mengenai dua sendi atau lebih,
bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi

6. Serositis

sinovial.
a) Pleuritis adanya riwayat nyeri pleura atau
terdengar bunyi gesekan pleura (pleuritic friction
rub) pada pemeriksaan atau ada efusi pleura.
atau
b) Perikarditis dari EKG atau didapatkan bunyi

32

gesekan perikardium (pericardial friction rub)


atau ada efusi perikardium
a) Proteinuria menetap > 0,5 g/hari atau

7. Kelainan ginjal

pemeriksaan proteinuria urin sewaktu >3+


atau
b) Cellular cast dapat berupa sel eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
a) Kejang spontan, bukan karena obat-obatan

8. Kelainan neurologis

atau

gangguan

ketoasidosis

metabolisme

dan

seperti

gangguan

uremia,

keseimbangan

elektrolit
atau
b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obatobatan atau gangguan metabolisme seperti uremia,
ketoasidosis

dan

gangguan

keseimbangan

elektrolit
a) Anemia hemolitik dengan retikulositosisatau

9. Kelainan hematologik

b) Leukopeni kurang dari 4000/mm3 pada


2/lebih pengukuran atau
c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada
2/lebih pengukuran atau
d) Trombositopenia - kurang dari 100.000/mm 3
tanpa obat-obatan yang dapat menimbulkan
10. Kelainan imunologis

trombositopenia
a) Anti-DNA : titer abnormal antibodi terhadap
native DNAatau
b) Anti-SM : adanya antibodi terhadap antigen inti
otot polosatau
c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan
pada :
(1) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi
anti-kardiolipin atau
(2)Antikoagulan

lupus

positif

dengan

menggunakan metode standar atau


(3) Uji serologis positif semu selama minimal 6
33

bulan dan dikonfirmasi oleh uji imobilisasi


Treponema pallidum atau uji fluoresensi
11. Antibodi Antinuclear

absorbsi antibodi treponema


Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode
imunofluoresensi atau cara lain yang setara, yang
dilakukan pada waktu yang sama atau adanya
sindroma lupus karena obat

Penatalaksanaan SLE
1. Edukasi dan Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakaitabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan.
2. Terapi Medikamentosa
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.Dosis KS juga bervariasi.
Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
a.
b.
c.
d.
e.

Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari


Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari
34

Indikasi Pemberian Kortikosteroid


Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Seringkali
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan
untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya.
Efek samping kortikosteroid
Efek yang tidak dikehendaki dari pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaukoma, diabetes melitus,
miopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosa. Oleh
karenanya, setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan
atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari. Pemantauan
yang bisa dilakukan pada saat pemeberian kortikosteroid adalah pemeriksaan tekanan darah
dan glukosa. Untuk meminim alisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000
mg/hari pada pasien dengan ekskresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula
vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah
osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau
actonel).18,20

NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)20


NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatanyang efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hatihati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan
merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko
serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika
digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin
Selain

itu

NSAID

juga

dapat

menimbulkan

perdarahan

saluan

cerna,hepatotoksik,sakit kepala,hipertensi, aseptik meningitis,nefrotoksik,Darah rutin,

35

kreatinin, urin rutin, AST/ALT, Gejala gastrointestinal,Darah rutin,kreatinin,


AST/ALT setiap 6 bulan.

Anti malaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena
risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.Toksisitas pada mata
berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif,Selama dosis tidak melebihi,
resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkanuntuk memeriksa ketajaman visual
setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini
pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan
diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera

Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis
purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan
tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi,sedangkan leukopenia dan
trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4%kasus. Pemantauan efek obat bisa
menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine
dianggap aman digunakan selama kehamilan.
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin,proliferasi
limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid,MMF tidak
menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit
menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia(kebotakan). Obat ini juga
diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra
indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur
bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya
waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi
yang direncanakan.
c. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen
sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada selsel sistem kekebalan
tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika
36

diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin
untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi,
leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat
terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan
penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi.
d. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi
efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatini nserum merupakan efek
samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin
sangat penting. Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam
dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi
ginjal.
e. Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ
internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan
terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga
banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit
paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena.
Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama yang harus diperhatikan
adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung
kemih, dan peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu
fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat
harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi.

Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan
methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi.
Rituximab telah Menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini
Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.jaringan yang
menetap serta cukup aman pada kehamilan.
Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:
a) Ruam kulit
Sun block/tabir surya
37

Topikal kortikosteroids
b) Nyeri dan bengkak pada sendi
Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
Topikal analgesik
Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama
analgesik pada pasien sekunder fibromyalgia untukmengatasi stress
akibat rasa nyeri yang berkepanjangan
c) Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
d) Sariawan dan kekeringan rongga mulut
Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atausemprot
berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucin
Obat kumur steroid
e) Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi jangka
panjang bagi penderita trombositopenia berat
f) Osteoporosis
Vitamin D
kalsium
g) Risiko penyakit jantung koroner
Asam folat
Obat penurun kadar lemak darah
Untuk melihat aktifitas penyakit ini, diperlukan penilaian lebih lanjut.
Penilaian Aktivitas Penyakit21,22
Bobo
t
8

Deskripsi

Definisi
Onset baru. Kecuali akibat metabolik, infeksi atau

Kejang

obat.
Perubahan kemampuan fungsi aktivitas normal
akibat gangguan berat pada persepsi realitas.

Termasuk

Psikosis

halusinasi,

inkoherensi,

asosiasi

longgar, kemiskinan isi pikiran, pikiran irrasional,


bizarre, disorganisasi, atau perilaku katatonik.

Organic
Syndrome

Brain

Kecualli akibat uremia dan obat.


Perubahan fungsi mental dengan gangguan
orientasi, memori atau fungsi intelegensia lain,
dengan onset cepat bentuk klinis fluktuatif.
Termasuk kesadaran berkabut dengan penurunan
kapasitas

fokus,

38

dan

ketidakmampuan

mempertahankan atensi terhadap lingkungan,


ditambah minimal dua dari berikut : gangguan
persepsi, inkoherensi bicara, insomnia atau
mengantuk siang hari, atau peningkatan atau
pennrunan aktivitas psikomotor. Kecuali akibat
metabolik, infeksi atau obat.
Perubahan retina SLE. Termasuk badan cytoid,
8

Gangguan visual

Gangguan

Lupus Headache

CVA

Vaskulitis

pada koroid, atau neuritis optik. Kecuali akibat

hipertensi, infeksi obat.


nervus Neuropati sensorik atau motorik onset baru

kranialis

perdarahan retina, eksudat serius atau hemoragik

Artritis

Miositis

Urynary cast

Hematuria

Proteinuria

4
2

Piuria
New Rash

Alopesia

Mucosal ulcers

Pleuritis

termasuk nervus kranial.


Nyeri kepala persisten

berat

mungkin

migrenous, tetapi harus tidak responsif terhadap


narkotik analgesia.
Insidens cerebrovaskular onset baru. Kecuali
arteriosklerosis.
Ulserasi, gangren, nodul jari halus, infark,
hemoragik,

atau

biopsi

atau

angiogram

membuktikan vaskulitis.
Lebih dari 2 sendi dengan nyeri dan tanda
inflamasi (seperti bengkak atau efusi).
Nyeri/kelelahan otot proksimal, berhubungan
dengan peningkatan kreatinin fosfokinasi/adolase
atau perubahan elektromiogram atau biopsi
menunjukkan miositis.
Silinder heme-granular atau eritrosit.
Eritrosit >5/LPB. Kecuali akibat batu, infeksi atau
penyebab lain.
>0,5 mg/24 jam. Peningkatan onset baru atau
terakhir >0,5 mg/24 jam.
Leukosit >5/LPN. Kecuali infeksi.
Ruam tipe inflamasi onset baru atau rekurens.
Kehilangan rambut abnormal, sebagian atau difus
onset baru atau rekurens.
Ulserasi nasal onset baru atau rekurens.
Nyeri dada pleuritis dengan pleural friction
rubatau efusi, dengan penebalan pleura.
39

Nyeri perikardial dengan minimal 1 dari berikut :


2

Perikarditis

gesekan,

Low complement
Increased

DNA

efusi,

atau

konfirmasi

elektrokardiogram.
Penurunan CH50, C3, atau C4 di bawah batas
bawah nilai normal tes laboratorium.
>25% binding dengan Farr assay atau di atas nilai

binding
normal untuk tes laboratorium.
1
Demam
>38oC. Kecuali akibat infeksi.
1
Trombositopenia
<100.000/mm3.
1
Leukopenia
Leukosit <3000/mm3. Kecuali akibat obat.
_____ Total skor (Penjumlahan bobot)
Total skor :
0

= tidak ada aktivitas

1-5

= aktivitas ringan

6-10

= aktivitas sedang

11-19 = aktivitas berat


20

= aktivitas sangat berat

Flare ringan atau sedang


- Perubahan SLEDAI > 3 poin

- Diskoid baru/memburuk, fotosensitif,


profundus, vaskulitis kutaneus, lupus
bullous.
- Pleuritis
- Perikarditis
- Arthritis
- Demam (SLE)

Flare berat
- Perubahan SLEDAI >12
- CNS-SLE baru/memburuk
- Vaskulitis
- Nefritis
- Miositis
- Pk <60.000
- Anemia : Hb <7% atau penurunan Hb
>3%
- Membutuhkan : prednison dobel
-

Prednison

>0,5

mg/kgBB/hari

perawatan
- Peningkatan Prednison, tapi tidak
>0,5 mg/kgBB/hari
- Penambahan NSAID atau Plaquenil
- Penambahan PGA () 1,0, tapi tidak
>2,5

- Prednison >0,5 mg/kgBB/hari


- Cytoxan, Azathioprine, Methotrexate,
Perawatan baru (SLE)
- Peningkatan PGA hingga >2,5

40

Hipertensi
Hipertensi didefinisikan apabila tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik (TDD) 90 mmHg
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa 18 tahun menurut JNC-7 2003 2
Klasifikasi

Tekanan Sistolik( mmHg)

Diastolik (mmHg)

Darah
Normal

<120

dan < 80

Prehipertensi

120-139

Atau 80-89

Hipertensi stadium 1

140-159

Atau 90-99

Hipertensi stadium 2

>160

Atau>100

BAB 3
PEMBAHASAN
Seorang wanita 21 tahun datang dengan keluhan utama demam tinggi. Demam naik
turun, demam turun dengan obat penurun panas.

41

Kecurigaan ke arah SLE disebabkan adanya gejala konstitusional seperti demam yang
tidak disertai menggigil, penurunan berat badan, rambut rontok dan nyeri kepala yang disertai
adanya gejala kemerahan pada wajah jika terkena sinar matahari, bahkan 2 jam sebelum
masuk rumah sakit saat pasien hendak kontrol kembali ke poli RSDK, di perjalanan keluhan
ruam kemerahan makin tersebar dan semakin banyak. Pasien juga terdapat keluhan kejang
pada saat awal terkena paparan . Dari anamnesis, didapatkan gejala penurunan berat badan
walau tidak bisa dipastikan penurunan berat badan yang dialami. Nyeri sendi di kedua lutut
dan pinggang. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya pembesaran limfonodi baik di
leher, axilla, ataupun inguinal. Asam urat sebagai salah satu tanda adanya hipermetabolik
kemudian dicek untuk melihat kemungkinan ke arah keganasan dan didapatkan hasil yang
normal. Dari pemeriksaan imunologi rheumatoid factor diddapatkan hasil negatif. Sehingga,
dari alur pikir tersebut, kita bisa mendiagnosa bahwa nyeri sendi bukan karena faktor
rheumatoid namun dimungkinkan karena SLE.
Kejang merupakan salah satu gangguan neurologi pada SLE. Dalam hal ini pasien
pernah mengalami keluhan kejang sehingga harus dipikirkan kemungkinan kelainan
intrakranial seperti infeksi (kecurigaan ke arah meninencephalitis TB) atau epilepsi dan juga
kelainan ekstrakranial seperti kelainan metabolik. Pasien terdiagnosa sebagai suspek epilesi
sekunder dan diberikan obat fenitoin. Pasien juga terdapat ruam diseluruh tubuh, vesikel,
erosi dan dari hasil pemeriksaan sementara didapatkan kemungkinan pasien menderita Steven
Johnson Syndrome akibat penggunaan obat feniotin. Dari hasil pemeriksaan bagian mata juga
tidak terdapat papil odem sebagai salah satu tanda peningkatan TIK. Dengan demikian
kelainan intrakranial yang mengakibatkan kejang dapat disingkirkan. Harus disingkirkan
apakah terdapat gangguan metabolik yang dapat mencetuskan kejang tersebut seperti uremia,
ketoacidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit. Dalam hal ini, tidak ditemukan dari hasil
pemeriksaan adanya gangguan metabolik tersebut.
Selain itu dari hasil pemeriksaan fungsi hati ternyata ditemukan adanya peningkatan
enzim-enzim hepar. Pemeriksaan USG dan serologi hepatitis dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan penyebab gangguan LFT. Hasil serologis (-) diduga hal ini berkaitan dengan
SLE pada pasien ini.
Penegakan diagnosis SLE dapat dibuat dengan menemukan gejala, tanda dan hasil
pemeriksaan laboratorium sesuai kriteria ACR (American College Rheumatology). Diagnosis
harus memenuhi 7 dari 11 kriteria atau 3 kriteria. Protein urin dan silinder urin (untuk
menentukan adanya gangguan renal), darah rutin( untuk menentukan ada tidaknya gangguan
hematologi). Dalam kasus ini, hasil yang menunjang diagnosis adalah terdapatnya
42

leukopenia. Anemia normositik normokromik juga ditemukan dalam kasus ini, akan tetapi
tidak disertai dengan adanya peningkatan bilirubin indirek dan retikulosit sehingga
kemungkinan besar bukan anemia hemolitik seperti yang tercantum dalam kriteria ACR. Pada
kasus ini, hasil anamnesis dan pemeriksaan yang memenuhi kriteria adalah:
1. Ruam malar
2. ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Gangguan hematologi
6. Gangguan neurologi
7. Pemeriksaan dsDNA didapatkan positif
Dengan demikian, pasien ini memenuhi 7 kriteria dari sebelas kriteria ACR, sehingga
diagnosis SLE dapat ditegakkan.
Untuk menilai aktivitas penyakit ini, dilakukan penilaian dengan skor SLEDAI (SLE
Disease Index Activity) dimana pada pasien ini didapatkan nilai yang menunjukkan adanya
aktivitas sangat berat dari penyakit ini yaitu dengan skor 39. Pemantauan yang ketat terhadap
aktivitas penyakit ini harus dilakukan mengingat perjalanan penyakit SLE yang ditandai
dengan eksaserbasi dan remisi.

BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Deinition and clasiication of systemic lupus
erythematosus.In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 7th
ed. Philadelphia.Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
2. Lahita RG. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In:Lahita RG,
Tsokos G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus erythematosus, 5th ed. San
Diego. Elsevier; 2011:525-540

43

3. Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus, 2nd ed.
Philadelphia:Lippincott-Raven, 19964.
4. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. In: Koopman WJ. Editor.
Arthritisand Allied conditions. 15th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
2005: 1473-1474
5. Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus erythematosus. In:
HochbergMC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors.
Rheumatology 5th ed.Philadelphia: Mosby Elsevier. 2011:1229-1246
6. Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory features. In:
Klippel JH,Stone JH, Croff ord LJ, White PH. Editors. Primer on the rheumatic
diseases. 13th ed. Atlanta:Arthritis Foundation Springer . 2008:303-307
7. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al. The 1982
revised criteria for the classiication of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum 1982;25:1271-7
8. Tassiulas IO, Boumpas DT. Clinical features and treatment of SLE. In: Firestein GS,
Budd RC,Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS. Editors. Kelleys Textbook of
rheumatology. 8th ed. Philadelphia. WB Saunders Elsevier. 2009:1263-1300
9. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for
theclassiication of systemic lupus erythematosus. Arthrituis Rheum 1997;40:1725
10. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus. 2006;15(5):308-18
11. Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Tsokos
GC,Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus
erythematosus.Philadelphia. Mosby 2007:1-18
12. Data dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010Data dari
poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010
13. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010
14. Hahn BV. Systemic Lupus Erythematosus. In : Longo Dan L, Kasper Dennis L,
Jameson J Larry, Braunwald E, Fauci S, Hauser SL. In Harrisons Principles of
Internal Medicine. 18thed. New York: McGraw-Hill. 2012. p.1960-7
15. Kalunian KC. Definition, Classification, Activity and Damage Indices. In: Wallace
DJ, Hahn BV, Dubois Lupus Erythematosus. 5 th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.1930
16. Saraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa Media
Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan Kelamin RSUD
Wangaya. 2006. 26-0
17. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In :
Harrisons Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2006. 779-85.
44

18 Wachyudi RG, Pramudiyo R. Diagnosis dan Terapi Lupus. Pusat Informasi Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS Dr.Hasan Sadikin
Bandung. 2006
19 Ginzler EM and Dvorkina. Newer Therapeutic Approaches for Systemic Lupus
Erythematosus. In: Urowitz MB. Rheumatic Disease Clinics of North America. 2005.
p.315-28
20 Lupus- Diagnosis and Treatment, Lupus UK,www.medical.lupusuk.org.uk
21 Mosca M, Bombardieri S. Assessing Remission in Systemic Lupus Erythematosus.
2006. Available from :http://www. clinexprheumatol.org
22 American College of Rheumatology. Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity
Index SELENA Modification. Available from : http://www.rheumatology.org

45

Anda mungkin juga menyukai