Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

STRIKTUR URETRA

Pembimbing

: dr. Benny Kristyantoro, Sp.U

Disusun oleh

: Alie Anwar Sutisna

Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah Urologi
RSAL Dr. Midiyato Suratani
Tanjung Pinang

BAB 1
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal MRS

: Tn. SG
: 46 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Penjaga Keamanan
: Jln. Pemuda Tanjung Pinang
: 10 Mei 2015

1.2. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesa dengan pasien pada tanggal 10 Mei pukul : 10.30 WIB
Keluhan utama : Pancaran air kencing melemah
a. Riwayat Perjalanan Penyakit :
6 bulan lalu os mengeluh buang air kecil tidak lancar. Frekuensi buang air
kecil tiap 2 jam sekali dengan jumlah sedikit dan pancaran lemah, keluhan
dirasa memberat terutama pada malam hari. Buang air kecil harus mengejan
dan disertai rasa nyeri. Os merasa buang air kecil tidak tuntas. Keluhan dirasa
setiap hari hingga mengganggu aktivitas. Keluhan disertai nyeri perut tengah

bagian bawah. Nyeri bertambah saat duduk dan ditekan.


1 hari SMRS keluhan dirasa semakin memberat. Jumlah buang air kecil
semakin sedikit dan frekuensi buang air kecil setiap satu jam sekali. Lalu os
dibawa oleh keluarga ke Klinik Spesialis Urologi dan dirujuk ke RSAL untuk

dilakukan tindakan operasi.


Keluhan tidak disertai kencing darah, tidak menetes, pancaran tidak terbelah
menjadi dua, demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri menjalar (-), nyeri
pinggang (-), BAB tidak ada keluhan, tidak ada gangguan seksual.

b. Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku memiliki riwayat kencing batu pada tahun 2003. Awalnya
pinggang kiri terasa sakit, namun os tidak berobat dan buang air kecil
mengeluarkan 2 batu sebesar kepala jarum pentul. Lalu nyeri pinggang kiri

hilang.
Pada tahun 2008 pinggang kiri os kembali sakit dan os mengaku juga tidak
memeriksakan ke dokter. 1 bulan kemudian buang air kecil kembali

mengeluarkan 2 batu dengan ukuran yang sama yakni sebesar kepala jarum
pentul dan nyeri pinggang hilang
Riwayat trauma genitalia disangkal
Riwayat pemakaian kateter disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
c. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit serupa disangkal.
1.3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada 10 Mei 2015
VAS

: 1-2

GCS

: E4V5M6 = 15

Vital Sign

: Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 36,8C

Pernafasan

: 18 x/menit

A. Status Generalis
a.

Kulit

: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,


turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan
teraba hangat.

b.

Kepala

: Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, Rambut


distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

c.

Mata

: Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d.

Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas.
2) Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran


kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.

e. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis (-)
b) Palpasi : Ictus cordis teraba pelan
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri
:
ii. Batas atas kanan
:

SIC II LPS sinsitra


SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri


iv. Batas bawah kanan
d)

:
:

SIC V LMC sinistra


SIC IV LPS dextra

Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan
tidak terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonki pada kedua pulmo.
Tidak terdengar suara wheezing
f. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
:
Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi :
Terdengar suara bising usus
c) Perkusi
:
Timpani
d) Palpasi
:
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien
tidak teraba.
g. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
B. Status Urologikus
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi

: Bulging (-)

Palpasi

: Ballotement (-)

Palpasi

: Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
Inspeksi

: Bulging (+)

Palpasi

: Buli teraba penuh, nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna :


Inspeksi

: bloody discharge (-)

Rectal Toucher (RT):

Tidak ada kelainan perianal, TSA baik, BCR (+), mukosa recti licin, teraba
prostat tidak membesar, konsistensi kenyal. Darah (-), feses (-)
1.4.

Pemerikaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin (10 Mei 2015)
Hb

: 14,4 g/dl

(L: 14-18 g/dl)

Ht

: 44 vol%

(L: 40-48 vol%)

Leukosit

: 6.600/mm3

(L: 5000-10.000/mm3)

Trombosit

: 273.000/mm3

(200.000-500.000/mm3)

Kimia Klinik (10 Mei 2015)


GDS

: 97 mg/dl

Ureum

: 35 mg/dl

(15-39 mg/dl)

Creatinin

: 1,2 mg/dl

(L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)

SGOT

: 34 U/L

(L: <37 U/L)

SGPT

: 24 U/L

(L; <42 U/L)

Imunologi (10 Mei 2015)

1.5.

HbsAg

: Negatif

HIV

: Negatif

Diagnosis Primer
Weakness of Stream ec Striktur Uretra

1.6.

Diagnosis Sekunder
(-)

1.7.

Penatalaksanaan
-

Uretrotomi interna (Sachse)

1.8.

Prognosis
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pendahuluan
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan
wanita, uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh.
Saluran uretra juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi
pria. Uretra pria berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat
terbentuknya jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan
gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai
sama sekali tidak dapat mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat
keluar dari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi
terberat adalah gagal ginjal. Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering
ditemukan pada bagian dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
dari pada wanita, karena uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena
infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang
dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu jarang terjadi.

2.2.

Anatomi Uretra

Gambar 1. Anatomi Uretra

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian
buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang
bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan
bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra
pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra
dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita
30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9
mm.
1. Uretra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini
dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior
ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau
memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.
2. Uretra bagian posterior
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya
adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua
bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang
membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan
kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat
dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis
dapat mencederai uretra membranasea.
2.3.

Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
2. Cedera uretral
3. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia

4. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars


membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang
mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang
hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter
yang salah.
5. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
6. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika
atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya
namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur
ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain;
infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah
dengan

menghindari

kontak

dengan

individu

yang

terinfeksi

atau

menggunakan kondom.
2.4.

Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium
eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan
erektil vaskular. Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi
penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan
lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini
menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehinggaterjadi
striktur uretra.

Gambar 2. Patofisiologi Striktur Uretra


2.5.

Derajat Penyempitan
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di
korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

2.6.

Gambaran Klinis
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil
dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi,
urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis
yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi
urin.
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari
penyebab striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga
normal menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan
dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai
panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan
cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara

retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui
sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter
dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila
dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan
lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan
adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu
memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
2.7.

Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi
dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.

2.8.

Penatalaksanaan
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun.
Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan
insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan
bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan
lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie.
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan

kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai
ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan
dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan
meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut.
Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi
pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis. Apabila striktur sangat
tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan
bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai
bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi
menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok
atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan
yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang
pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap
dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik
untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan
dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil
kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan
asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse,
laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior
terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi
juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan
bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior

masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada
fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien
dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2
minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu
kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det
dilakukan bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara
ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson;
dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. Stadium I,
daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di
proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke
penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari. Stadium II, beberapa bulan
kemudian bila daerah striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasti
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm
atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah
striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan
dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit
preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
2.9.

Komplikasi
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat,
maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu
saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-

mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada
fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi
dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam
otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel bulibuli adalah tonjolan mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat
tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu
adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung
kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan
buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan
intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana
urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan
setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan
dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka bulibuli mudah
terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul
refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi
maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari
striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli buli atau uretra menyebabkan
timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses,
abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

2.10.

Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani

pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.

10

BAB III
ANALISIS KASUS
Dari kasus di atas, pasien laki-laki usia 46 tahun tinggal di Tanjung Pinang
datang dengan keluhan pancaran buang air kecil melemah sejak 6 bulan yang lalu.
Dari anamnesa didapatkan keluhan berupa sulit BAK, BAK mengejan, setelah
BAK penderita merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan miksi seringkali miksi berhenti kemudian memancar lagi (intermitensi).
Keluhan ini merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi kesimpulan yang diambil
bahwa penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran kemih. Dan juga ditemukan
adanya keluhan sering berkemih (frequency) terutama pada malam hari (nocturia),
sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif dari saluran kemih.
Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala obstruktif dan gejala
iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi terputus
(intermitten) dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif meliputi rasa ingin
miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency), sering miksi pada
malam hari (nocturia) dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dari keluhan utama dan
anamnesis pada pasien ini didapatkan pancaran buang air kecil melemah yang disebabkan
berkurangnya diameter dan atau elastisitas urethra yang disebabkan oleh jaringan uretra
yang diganti jaringan ikat yang kemudian mengkerut meyebabkan lumen urethra
mengecil. Penyempitan lumen urethra yang disebabkan oleh dinding urethra mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, 12 tahun yang lalu os mengaku
memiliki riwayat kencing batu. Awalnya pinggang kiri terasa sakit, namun os tidak
memeriksakannya ke dokter dan buang air kecil mengeluarkan 2 batu sebesar kepala
jarum pentul, lalu nyeri pinggang kiri hilang. Lalu hal tersebut terulang kembali di 5

11

tahun berikutnya, os tidak berobat ke dokter dan BAK kembali mengeluarkan 2 batu
sebesar kepala jarum pentul. Riwayat pernah trauma, pemakaian kateter, penyakit gula
darah dan penyakit tekanan darah tinggi disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign dalam
batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada inspeksi regio CVA
dan regio supra pubik didapatkan dalam keadaan normal, regio genitalia externa tidak
ditemukan bloody discharge. Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination (Rectal
Toucher) didapatkan tonus spingter ani dalam keadaan baik sehingga hal ini dapat
menyingkirkan diagnosis bahwa retensio urine yang terjadi diakibatkan oleh neurogenic
bladder. Selain itu juga prostat dalam keadaan normal, sehingga diagnosis retensio urine
akibat hiperplasia prostat dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia klinik dalam batas
normal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini didiagnosa dengan
Striktur Uretra.
Pada pasien ini akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik dan analgetik
untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk dilakukan uretrotomi
interna dengan pisau sachse.
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam dubia ad bonam.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsuhidayat, R. Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta : 1997
2. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi Edisi kedua. CV. Sagung Seto. Jakarta : 2003
3. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/, diakses tanggal 13 Juli
2011.
4. Gousse, Angelo. Urethral Stricture, Male Workup.
http://www.emedicine.medscape.com , diakses tanggal 13 juli 2011.

13

Anda mungkin juga menyukai