Perkembangan Pertanian Di Indonesia
Perkembangan Pertanian Di Indonesia
bawah garis kemiskinan. Kelima, pendapatan yang meningkatdari lapisan menengah ke atas
telah menciptakan potensi modal yang berasal dari tabungan pedesaan. (Sri Harjadi, 2012).
Akan tetapi kejayaan sektor pertanian pada saat itu yang tidak dibarengi dengan
kebijakan yang tepat justru menimbulkan sejumlah paradoks. Pertama, dengan tingginya
produk berbagai produk pertanian ternyata mengakibatkan rendahnya harga jual untuk
beberapa produk pertanian tersebut. Kedua, Tingginya produktivitas juga tidak diimbangi
dengan tingginya pendapatan petani, akan tetapi antara produktivitas dengan pendapatan petani
justru menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Ketiga, perkembangan perekonomian
yang lebih maju sebagai akibat positif dari adanya indutrialisasi justru mengurangi porsi
sumbangan dalam pembentukan PDB nasional, ditambah lagi merosotnya peranan relatif
angkatan kerja sektor pertanian dalam lapangan kerja keseluruhan.
Memasuki era baru sektor pertanian nampaknya masih belum menunjukkan
perkembangan yang berarti. Hal ini terbukti dengan masih rendahya kesejahteraan para petani
kecil yang merupakan pemeran utama dalam sektor ini. Tingginya tingkat kemiskinan
dikalangan petani seolah menjadikan sektor ini semakin dilema. Tidak hanya itu, tingginya
tingkat impor yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta juga semakin memperkeruh
keadaan. Sebut saja permasalahan kedelai yang tidak kunjung menunjukkan titik terang.
Kedelai yang merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia
sehingga bukan hal yang mengejutkan jikalau permintaan kedelai dalam negeri setiap tahunnya
cenderung mengalami kenaikan khususnya untuk produk turunannya seperi tahu dan tempe
yang memang menjadi santapan wajib bagi sebagian masyarakat terutama masyarakat
menengah kebawah. Berdasarkan sebuah survei tentang sosial ekonomi nasional pada tahun
2013, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rata-rata utnuk kedelai cenderung konstan yaitu
sebesar 0,052 kg per kapita. Akan tetapi untuk konsumsi rata-rata produk olahan kedelai seperti
tahu dan tempe justru mengalami kenaikan sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2013
yakni untuk produk tahu mengalami kenaikan sebesar 0,09 persen sedangakan untuk produk
tempe mengalami kenaikan sebesar 0,23 persen.
Akan tetapi tingginya tingkat konsumsi yang tinggi akan produk kedelai tidak dibarengi
dengan tingkat produksi kedelai dalam negeri yang justru setiap tahunnya cenderung masih
rendah dan sangat rentan terjadi penurunan. Hal tersebut diakibatkan impor kedelai yang
meledak-ledak ditambah lagi harga kedelai impor yang lebih rendah dibandingkan dengan
kedelai lokal, dan juga kenampakan dari kedelai impor dinilai lebih manis dibanding dengan
kenampakan rupa kedelai lokal. Hal ini justru menciutkan nyali para petani dalam negeri untuk
berkecipung dalam berusaha tani kedelai. Dan tidak jarang petani kedelai dalam negeri yang
justru berbalik haluan dengan berusaha tani komoditas lain seperti padi ataupun jagungakibat
suramnya usaha tani kedelai dalam negeri.
juga tidak kunjung mereda, melainkan semakin komplek. Sebut saja masalah lahan pertanian
yang semakin tahun semakin terkikis, entah itu beralih fungsi menjadi areal perumahan atau
bahkan menjadi arel industri. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun
2006, hampir sebagian besar lahan pertanian khususnya lahan sawah dari tahun 1980 sampai
dengan tahun 2005 mengalami penurunan luasan lahan yang cukup berarti.
Lahan sawah di Indonesia (tidak termasuk di Maluku dan Papua), pada tahun 1980
tercatat seluas 7,7 juta ha yang terdiri dari sawah irigasi (57,9%), sawah tadah hujan (37,0%)
dan sawah pasang surut/ lainnya (lebak) sekitar 5%. Pada tahun 1990 lahan sawah tersebut
bertambah luas menjadi 8,3 juta ha. Peningkatan yang significan terjadi pada sawah lebak dan
pasang surut dari semula pada tahun 1980 sebesar 5,1% pada tahun 1990 meningkat menjadi
19 % dan sawah irigasi meningkat 3,9%. Pada tahun 2000 lahan sawah menjadi 7.528.870 ha,
dengan demikian selama periode waktu 1990 2000 (10 tahun) lahan sawah berkurang
781,849 ha atau menyusut 78.184 ha per tahun. Penyusutan terjadi terutama pada sawah rawa/
lebak dan sawah tadah hujan. Dalam periode 5 tahun selanjutnya (tahun 2000 2005), menurut
catatan BPS, terjadi perluasan areal sawah dari 7,5 juta ha menjadi 7,8 juta ha atau bertambah
0,3 juta ha. Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan belum memperhitungkan adanya
konversi lahan (terutama di sekitar Pantai utara Pulau Jawa) sebagai dampak pesatnya
pembangunan akhir-akhir ini. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan di
luar sektor pertanian, konversi lahan pertanian termasuk lahan sawah semakin sulit dihindari,
dengan demikian sebenarnya justru luasan lahan sawah terutama di Pulau Jawa dan Bali dan
sekitar kota-kota besar lainya cenderung semakin berkurang. Penyusutan terjadi, justru pada
lahan sawah yang telah beririgasi dan mempunyai produktivitas yang tinggi.
Di Pulau Jawa pada periode tahun 1980-an sampai tahun 1995-an cenderung
menunjukan adanya peningkatan luasan lahan sawah, terutama pada sawah irigasi. Pada tahun
1980 tercatat luas area sawah di Pulau Jawa seluas 3,48 juta ha dan pada tahun 1995 seluas
3,55 juta ha atau mengalami peningkatan sebesar 66.432 ha atau bertambah 4.428 ha per tahun
(0,12% per tahun). Namun selama 10 tahun terakhir (1995 s/d 2005) tercatat lahan sawah
menyusut dari 3.556.376 ha, menjadi 3.235.533 ha, yaitu berkurang sebesar 320.843 ha
(9,02%). Hal ini diduga sebagai akibat kebutuhan lahan untuk pembangunan di sektor non
pertanian. Pada tahun 2005 sebagian besar lahan sawah di Pulau Jawa berupa sawah irigasi
(76,2%) sebagian besar (45,5%) sudah beririgasi teknis, dan sawah tadah hujan (23,6%). Sawah
pasang surut cenderung terus menurun, diindikasikan digunakan sebagai tambak (tambak
udang dan bandeng), karena dirasa secara ekonomi lebih menguntungkan. Sawah lebak/ sawah
rawa juga cenderung semakin menyusut, diindikasikan setelah didrainase menjadi sawah tadah
hujan atau sawah irigasi, tetapi kemungkinan sebagian dikonversi ke penggunaan non pertanian
(permukiman, industri).
Tabel 3 memperlihatkan luas konversi lahan sawah selama 2000-2002 yang diperoleh
dari hasil monitoring pada pelaksanaan Sensus Pertanian tahun 2003. Tampak bahwa luas
konversi lahan sawah nasional selama periode tersebut rata-rata sebesar 187,72 ribu hektar per
tahun atau 2,42 persen luas sawah yang tersedia. Konversi lahan sawah tersebut ternyata jauh
lebih tinggi di luar Jawa dibanding di pulau Jawa. Rata-rata luas konversi lahan sawah di luar
Jawa sebesar 132,01 ribu. hektar per tahun atau 2,98 persen luas sawah yang tersedia,
sedangkan di pulau Jawa sebesar 55,72 ribu per tahun atau 1,68 persen. Beberapa provinsi di
luar Jawa yang memiliki konversi lahan sawah tergolong tinggi yakni di atas 30 ribu hektar per
tahun adalah provinsi : Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Kalbar, dan Kaltim. Selama tahun 2000-
2002 luas konver-si lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan kegiatan nonpertanian
seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata
sebesar 110,16 ribu hektar per tahun atau 58,68 persen dari total luas sawah yang dikonversi.
Konversi lahan sawah yang ditujukan untuk penggunaan kegiatan nonpertanian tersebut sangat
dominan di pulau Jawa yang memiliki pangsa luas konversi lahan sebesar 78,25 persen.
Sedangkan di luar Jawa konversi la-han sawah yang ditujukan untuk kegiatan non pertanian
dan kegiatan pertanian bukan sawah relatif berimbang yaitu 50,42 persen dan 49,58 persen.
Yang termasuk kegiatan pertanian bukan sawah di antaranya adalah kolam, tambak, tanaman
perkebunan dan lain-lain. Secara nasional, konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian
terutama dialokasikan untuk pembangunan perumahan, dengan pangsa sebesar 48,96 persen
(Tabel 4). Posisi kedua ditempati oleh alokasi lahan untuk kegiatan lainnya (jalan dan saran
publik lainnya) yang memiliki pangsa sebesar 28,29 persen. Konversi lahan sawah untuk
pembangunan perumahan terutama sangat besar di pulau Jawa yaitu seluas 32,68 ribu hektar
per tahun atau 74,96 persen, sedangkan di luar Jawa seluas 21,25 ribu hektar per tahun atau
sebesar 31,92 persen. Sebaliknya, konversi lahan yang ditujukan untuk kegiatan lainnya jauh
lebih besar di luar Jawa yang mencapai 29,01 ribu hektar per tahun atau 43,59 persen,
sedangkan di Jawa hanya seluas 2,15 ribu hektar per tahun atau 4,93 persen.Uraian di atas
menjelaskan bahwa sumber permasalahan konversi lahan sawah di pulau Jawa berbeda dengan
di luar Jawa. Konversi lahan sawah di pulau Jawa terutama didorong oleh kebutuhan lahan
untuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertambahan jumlah penduduk
yang tinggi. Sedangkan di luar Jawa, konversi lahan sawah tersebut terutama disebabkan oleh
kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana publik lainnya dalam
rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan
perumahan.
Selain masalah lahan pertanian yang semakin menyempit permasalahan untuk sumber
daya pertanian juga masih belum bisa teratasi, yaitu ketenagakerjaan. Sektor pertanian yang
selama ini menyerap tenaga kerja paling banyak dibanding dengan sektor-sektor lainnya,
secara perlahan tapi pasti minat tenaga kerja untuk berkecipung di sektor ini semakin merosot
setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional,
tingkat angkatan kerja penduduk berusia 15 tahun keatas yang merupakan pekerja bebar di
sektor pertanian semenjak Februari tahun 2010 sampai Februari 2013 terus mengalami
penurunan. Sedangkan untuk pekerja bebas di non pertanian justru mengalami kenaikan.
Grafik Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama, 2004 - 2013
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Berusaha Sendiri
Buruh/Karyawan/Pegawai
2012
2013
Jika ditinjau dari kuantitas atau jumlah angkatan kerja yang mundur dai sektor
pertanian, memang masih belum parah. Akan tetapi jika hal ini terus-menerus dibiarkan tanpa
adanya sebuah tindakan tegas, maka bukan hal yang mustahil sektor pertanian tidak ada tenaga
kerja penggeraknya. Merosotnya minat tenaga kerja dalam sektor ini sebenarnya diakibatkat
oleh beberapa permasalahan mendasar. Pertama, tingkat pendapatan petani yang tidak
selamnya berbanding terbalik dengan tingkat produktivitas usaha tani yang digelutinya. Kedua,
munculnya rasa gensi yang kian menjamuri khususnya para anak muda jaman sekarang.
Mereka beranggapan bahwa bekerja menjadi pegawai atau karyawan lebih berkelas jika
dindingkan harus mencangkul atau menggerakkan traktor di sawah. Jikalau pun mereka
memiliki keinginan untuk bekerja di sektor pertanian biasanya mentok di perusahaan
perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit. Ketiga, rendahnya tingkat upah yang diberikan
kepada sebagian besar buruh tani.
Berkaca pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional, Rata-rata
upah nominal yang diberikan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 terus mengalami
peningkatan. Sedangkan untuk upah riil yang diberikan sepanjang tahun 2009 sampai dengan
tahun 3013 justru mengalami penurunan. Upah nominal adalah angka aktual dari upah yang
kita terima, sementara upah riil adalah nilai upah itu dibandingkan dengan harga-harga barang
yang ada. Dengan demikian, meskipun upah nominal mengalami kenaikan belum tentu bisa
lebih mensejahterakan petani. Apalagi jikalau upah riilnya mengalami penurunan bisa jadi
tingkat kesejahteraan buruh tani berbanding lurus dengan naik-turunnya upah riil yang
diberikan.
Grafik Rata-rata Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia (Rupiah), 2008 - 2013
2012
2011
2010
2009
Tabel. Rata-rata Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia (Rupiah), 2008 2013.
Tahun
Riil
2013
41895
27502
2012
40302
28374
2011
39153
28872
2010
38041
29669
2009
36827
30473
Jika sumber daya lahan dan tenaga kerja kian menunjukkan penurunan, hal tersebut
berbeda dengan yang dialami sumber daya modal. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik Nasional menunjukkan bahwa semenjak dari bulan Agustus 2012 sampai
dengan bulan April tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah debit kredit yang diberikan untuk
sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan. Meskipun pada dasarnya kenaikan yang terjadi
masih terbilan kecil, akan tetapi hal tersebut seolah menunjukkan titik terang dari suramnya
pinjaman kredit bagi sektor pertanian oleh lembaga keuangan khususnya perbankan.
Grafik Perkembangan Debit Kredit Sektor Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan (Miliar
Rupiah)
Namun demikian, jikalau dibandingkan dengan porsi yang diterima oleh sektor-sektor
lainnya, porsi yang diterima sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan masihlah terbilang
cukup besar. Akan tetapi dari porsi yang terima tadi masih harus dipecah lagi untuk
mendapatkan porsi yang sebenarnya untuk sektor pertanian. Dengan demikian sudh terlihat
jelas bahwa kredit pinjaman yang ditujukan pada sektor pertanian masih sangatlah rendah. Hal
tersebut justru berdampak pada produksi sebagian besar usaha tani dalam negeri yang
cenderung sangat sulit menunjukkan peningkatan. Hal ini pula yang menghambat
perkembangan sektor pertanian tersebut.
Sementara hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pinjaman yang diberika untuk
sektor pertanian yaitu ketidak percayaan lembaga keunagan perbankan untuk memberikan
pinjaman. Hal tersebut disebabkan oleh sektor pertanian dalam negeri sendiri yang konotasinya
masih didominasi oleh pertanian rakyat yang terbilang sangat rentan untuk mengalami gagal
panen. Ditambah lagi dengan cuaca yang tidak menentu, yang justru menambah kekhawatiran
lembaga keuangan perbankan untuk meminjamkan sejumlah dana untuk diusahakan di sektor
pertanian. Selain itu beluam adanya asuransi pertanian yang berjalan di dalam negeri. Hal ini
juga akan menyebabkan petani semakin terpuruk terutama saat terjadi bencana alam yang tidak
bisa diprediksi kedatangannya. Selain itu tidak adanya asuansi pertanian juga membuat
lembaga keuangan perbankan yang semakin enggan untuk meminjamkan dana bagi para
petani.
Selain masalah-masalah diatas, sektor pertanian dalam negeri juga mendapat tantangan
dari sisi sosial masyarakatnya. Hampir sebagian besar para petani yang berkecipung di sektor
ini, merupakan orang-orang yang bermodalkan minim, baik itu dari segi dana, ataupun tingkat
pengetahuan yang dimiliki. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki petani menyebabkan
mereka susah untuk menerapkan teknologi-teknologi pertanian sesuai perkembangan jaman.
Hal ini berdamak pada rendahnya tingkat produksi yang dihasilkan dan juga rendahnya posisi
tawar petani yang kerap kali membuat para petani harus merasakan pahitnya kerugian.
Berdasrkan salah satu penelitian yang dilakukan di daerah Kecmatan Denpasar Utara,
Kota Denasar, menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang berprofesi sebagai petani hanya
menuntaskan pendidikan tingkat sekolah dasar. Dan bahkan beberapa diantaranya tidak tamat
SD. Sementara itu, petani yang telah mengenyam pendidikan SMP dan SMA hanya sekitar
25,00 persen dan 26,19 persen dari total petani sampel. Ditambah lagi untuk petani yang
merupakan sarjana hanya meliuti sebagian kecil dari total 100 orang petani sampel yaitu hanya
2,38 persen atau hanya 2 orang petani yang mengenyam perguruan tinggi.
Tabel
Tingkat Pendidikan Petani di Kecamatan Denpasar Utara Kota
Denpasar Tahun 2011
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Formal
(Orang)
(%)
Tidak tamat SD
4
4,76
Tamat SD
35
41,67
SMP
21
25,00
SMA
22
26,19
Sarjana (S1)
2
2,38
Jumlah
84
100