05-Guideline RAD GRK 2011 04 08
05-Guideline RAD GRK 2011 04 08
1|Page
1.2
1.3
RAN-GRK ............................................................................................................................... 8
1.4
2.2
Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ................... 10
2.2.1
2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.2.5
2.2.6
2.3
2.3.1
2.4
3.2
3.2.1
3.2.2
Sektor Energi.................................................................................................................. 27
3.2.3
Sektor Transportasi......................................................................................................... 39
3.2.4
3.2.5
3.3
4.2
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
6.2
6.3
6.4
6.5
REFERENSI ......................................................................................................................................... 81
3|Page
menyusun dokumen RAD GRK). Paragraf-paragraf berikut ini menjelaskan ringkasan dari setiap bab
yang terdapat di dalam buku ini.
Bab I menjelaskan
tentang tanggapan resmi Pemerintah Republik Indonesia terhadap masalah
perubahan iklim, informasi tentang RAN GRK, dan perlunya menyertakan Pemerintah Daerah (Provinsi)
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi emisi gas rumah kaca (RAD GRK).
Tujuan dan kerangka buku panduan RAD GRK juga dijelaskan dengan ringkas.
Bab II menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan nasional dan sektoral yang sudah ada pada saat ini
yang terkait dengan (dan mendukung) penyusunan rencana dan pelaksanaan RAD GRK di daerah.. Pada
bab ini juga dijelaskan peran dan kewenangan administratif dan teknis yang dimiliki oleh Pemerintah
Provinsi dan lembaga-lembaga sektoral daerah dalam upaya mempersiapkan dokumen RAD GRK dan
dalam tahap implementasinya untuk beberapa sektor terkait, yang mengacu pada dokumen perencanaan
nasional RAN-GRK dalam upaya membangun keterpaduan dan kesesuaian program/kegiatan mitigasi
antar jenjang pemerintahan.
Bab III menfokuskan pada materi-materi teknis yang sangat mendasar dan penting dalam merencanakan
dan membuat usulan-kegiatan kegiatan sektoral yang dapat mereduksi emisi GRK di daerah, yaitu: 1)
penetapan acuan/referensi emisi berdasarkan pada kondisi bisnis yang berjalan normal, seperti biasa, dan
tanpa intervensi kebijakan (Business as usual baseline) untuk beberapa sektor yang relevan dan potensial
di suatu daerah dalam kurun waktu yang panjang sampai dengan tahun 2020, 2) pembuatan skenarioskenario mitigasi untuk beberapa sektor terkait/terpilih (mitigation scenario establishment) berdasarkan
asumsi-asumsi yang sahih , dan 3) membuat usulan-usulan kegiatan mitigasi sektoral yang berpotensi
untuk menurunkan emisi GRK di daerah tersebut (proposed mitigation actions development) berikut
dengan perhitungan biaya mitigasi yang dibutuhkan (abatement cost estimation). Untuk lebih memahami
materi-materi ini, Pemerintah melalui kelompok kelompok kerja sektoral yang ada di Bappenas (selaku
Kordinator Nasional) akan memberikan penjelasan dan bimbingan teknis yang diperlukan kepada
kelompok-kelompok kerja yang ada di Pemerintah Provinsi
Terkait materi no 1 dan 2 di atas, yaitu untuk metodologi ,data dan informasi yang diperlukan serta
proses penetapannya bisa dikumpulkan dan dikelola oleh kelompok kerja nasional (top-down approach)
atau bisa juga dikumpulkan dan dilakukan oleh kelompok kerja Pemerintah Provinsi (bottom-up
approach) atau gabungan keduanya (mixed approach) tergantung pada tingkat kesulitan yang dihadapi
dan tingkat keakuratan hasil yang diinginkan (tier principle). Sedangkan, materi yang ke-3, dapat dibuat
oleh pemerintah daerah berdasarkan perkiraan potensi reduksi emisi sektoral yang ditunjang oleh
karakteristik , kewenangan , dan prioritas daerah. Hasilnya diusulkan ke pemerintah pusat untuk
digabungkan dan diseleksi lebih lanjut (merging and selection) dalam upaya mencapai target reduksi
emisi nasional.
Bab IV menjelaskan secara singkat tentang aspek pendanaan. Pada dasarnya, Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi akan menyediakan anggaran untuk membuat dokumen perencanaan RAN-RAD GRK. Demikian
juga anggaran akan disediakan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk tahap implementasi guna
mencapai target reduksi emisi nasional sebesar 26 %. Sesudah itu akan ada dana bantuan dari badan PBB
melalui kerangka kerja UNFCCC (United Nations Framework for Climate Change Convention) bagi
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk mencapai target tambahan sebesar 15% , sehingga mencapai target
nasional sebesar 41%.
5|Page
Bab V mejabarkan tentang format dan substansi dari dokumen RAD GRK yang harus disusun oleh
Pemerintah Provinsi. Deskripsi untuk setiap bab juga dijabarkan dengan ringkas dan jelas, sehingga tim
penyusun RAD GRK di daerah akan lebih memahaminya dan dapat langsung menyusun dokumen
perencanaan ini.
BAB VI memfokuskan pada proses dan prosedur untuk menyusun dokumen RAD GRK. Ada lima tahap
yang harus dilalui oleh kelompok kerja , yaitu 1) tahap persiapan , 2) tahap pengunpulan data, 3) tahap
analisis, 4) tahap pembuatan rencana aksi, dan 5) tahap penetapan/pengesahan. Ada bebagai kegiatan
penting untuk setiap tahapan yang sejalan dengan konsepsi dan tujuan RAD, misalnya untuk tahap 2 dan
3 akan terkait erat dengan materi-materi teknis yang dijabarkan di bab 3, sedangkan pada tahap ke-5
dokumen RAD GRK yang telah disusun tersebut ditetapkan sebagai Peraturan Gubernur . Diharapkan
semua tahapan dan kegiatan yang telah dijadwalkan tersebut dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu
tahun setelah ditetapkannya RAN GRK sebagai Peraturan Presiden.
6|Page
Bab 1 Pendahuluan
Dewi Retno Gumilang (2009), Indonesia Scenario Towards Low Carbon Societies,
Center for Research on Energi Policy ITB, 2009
7|Page
Untuk mendukung pelaksanaan RAN GRK, pemerintah daerah perlu merumuskan kegiatan pada
setiap sektor. Panduan RAD-GRK ini akan membantu pemerintah daerah untuk melakukan
penyusunan kegiatan pengurangan emisi GRK di tingkat provinsi. Pada akhirnya apabila usulan
yang terdapat pada RAD GRK tidak terpilih untuk masuk ke dalam NAMAs, usulan usulan
tersebut masih dapat bersifat proaktif dalam turut membangun rencana pembangunan di daerah.
Lebih lanjut, usulan usulan tersebut dapat dikaitkan dengan prinsip prinsip sustainable
development.
1.3 RAN-GRK
Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca dikembangkan untuk mencapai target
nasional, target sektoral, acuan dan aksi prioritas untuk mitigasi perubahan iklim semua sektor
yang memproduksi emisi. RAN-GRK berfungsi sebagai sebuah panduan kebijakan pemerintah
pusat pada tahun 2010-2020 dan sektor-sektor yang terkait untuk mengurangi emisi sebanyak
26% dan 41% jika mendapat bantuan internasional. RAN GRK terdiri atas kegiatan-kegiatan inti
dan kegiatan-kegiatan pendukung untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan target pada setiap
sektor. Sektor-sektor utama pada RAN GRK adalah kehutanan dan lahan gambut, pertanian,
energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan sampah. Pembangunan berkelanjutan di tingkat
regional tidak dapat dicapai jika emisi-emisi yang diakibatkan oleh perubahan iklim tidak diatasi
secara tepat.
RAN-GRK menganjurkan perlunya untuk membuat RAD-GRK sebagai dokumen kerja yang
menjadi dasar untuk pemerintah daerah, masyarakat dan swasta untuk melaksanakan aktivitasaktivitas langsung dan tidak langsung yang bermaksud untuk mengurangi emisi GRK pada kurun
waktu 2010-2020 dan mengacu kepada rencana pembangunan daearah. Sebagaimana telah
disebutkan, pasal 2 dan ayat 2 RAN-GRK mengamanatkan bahwa RAN-GRK adalah dasar bagi
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor bisnis di dalam merencanakan,
melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi RAD-GRK.
1.4 Tujuan dan Kerangka Panduan
Tujuan dari panduan ini adalah untuk menyediakan acuan yang mudah dipahami untuk
menyusun rencana aksi, membuat sebuah strategi untuk mengurangi emisi, untuk
memformulasikan cara mitigasi dan mengidentifikasi institusi kunci/organisasi dan sumber daya
keuangan bagi provinsi-provinsi untuk melakukan dan menghitung emisi yang diproduksi setiap
provinsi.
Panduan ini terdiri atas enam bab yang disusun sebagai berikut. Bab 1 menjelaskan tanggapan
Pemerintah Indonesia terhadap perubahan iklim, informasi tentang RAN GRK dan perlunya
untuk menyertakan pemerintah provinsi/daerah. Bab 2 menjelaskan peran-peran dari pemerintah
provinsi di dalam mempersiapkan RAD GRK dan peran-peran kewenangan dari setiap lembaga
pemerintah di dalam pelaksanaan program RAD-GRK yang mengacu kepada RAN-GRK. Bab 3
menjelaskan baseline, skenario dan opsi mitigasi, Bab 4 menjelaskan mekanisme pendanaan
8|Page
kegiatan RAD-GRK. Bab 5 menjelaskan format RAD-GRK untuk provinsi. Bab 6.menjelaskan
proses dan prosedur penyusunan RAD-GRK.
Pendahuluan (Bab 1)
9|Page
Bab ini akan membahas mengenai isu-isu kebijakan yang mendukung penyusunan dan
pelaksanaan RAD GRK.
2.1 Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Mengenai Perubahan Iklim
Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI) telah menghasilkan beberapa peraturan dan
kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa dokumen utama antara
lain: Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Indonesia
Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). RAN GRK adalah dokumen perencanaan jangka
panjang yang mengatur usaha usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan
substansi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM). RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat
nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi
pengurangan emisi gas rumah kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan
Presiden.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi
pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi
Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Substansi pada RAN GRK
merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan RAD GRK sesuai dengan
kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan pembangunan masing masing provinsi.
Dengan demikian, RAD GRK kemudian akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur.
Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-up yang menggambarkan
bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah
kaca, sesuai dengan kapasitas masing masing. Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu
menghitung besar emisi gas rumah kaca masing masing, target pengurangan, dan jenis sektor
yang akan dikurangi emisinya.
2.2 Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Berdasarkan keputusan Bali Action Plan (2007), disebutkan perlunya peran negara-negara
berkembang melalui pengurangan emisi secara sukarela. Indonesia dalam hal ini di G20
Pittsburg (September 2009) mengajukan untuk menurunkan sebesar 26% dari BAU pada tahun
2020 dengan usaha sendiri dan dapat meningkat menjadi 41% dengan dukungan internasional.
Upaya pengurangan emisi secara sukarela ini disebut juga Nationally Appropriate Mitigation
Actions (NAMAs). Secara internasional belum terdapat kesepakatan mengenai metodologi
NAMAs. Akan tetapi, arah perkembangan negosiasi antar negara terkait dengan pengurangan
emisi mengindikasikan bahwa Indonesia perlu membuat Nasional baseline (acuan dasar).
Nasional baseline ini perlu membuat landasan yang komprehensif tentang baseline dari emisi
10 | P a g e
nasional maupun berbagai skenario penurunan emisi dari emisi per sektornya. Salah satu
pertimbangan utama agar program-program mitigasi dapat dikategorikan dalam program
NAMAs adalah program-program yang berbiaya murah (least cost principle).
Kedudukan program-program mitigasi dalam dokumen RAD dapat dipertimbangkan sebagai
bagian dari program-program NAMAs, jika program-program tersebut mengacu kepada
Nasional baseline. Selanjutnya, jika dari aspek biaya program-program dari RAD ada yang
termasuk dalam kategori biaya yang lebih murah, maka dapat diusulkan masuk dalam programprogram NAMAs. Selanjutnya biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan program-program
tersebut dapat bersumber atau mendapat insentif dari pemerintah pusat.
2.2.1 Kebijakan Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Dokumen ICCSR, Yellow Book, dan RAN GRK memberikan pengayaan kepada setiap bentuk
produk perencanaan pembangunan. Dalam hal ini mengikuti tatanan yang diatur di dalam UU
25/2004 mengenai Sistem Pembangunan Nasional. UU 25/2004 tersebut membagi produk
perencanaan pembangunan ke dalam 3 jenis : a) perencanaan jangka panjang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (Nasional / Daerah), b) perencanaan jangka menengah Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (Nasional / Daerah) / Rencana Strategis K/L, serta c) rencana
tahunan Rencana Kerja Pembangunan / Rencana Kerja K/L.
Dengan demikian, pada dasarnya belum terdapat keterkaitan langsung antara dokumen kebijakan
yang memperkaya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam hal perubahan iklim
maupun dari Undang undang mengenai lingkungan hidup kepada penyusunan RAD GRK.
Ketentuan langsung yang mengamanatkan penyusun RAD GRK terdapat pada RAN GRK,
yang juga berarti bahwa RAN GRK adalah acuan penyusunan dan substansi RAD GRK. Namun
demikian, RAD GRK yang diusulkan Pemerintah Daerah juga berfungsi sebagai bahan untuk
mengkaji ulang target dan aksi pada RAN GRK2.
Dokumen kebijakan pada tingkat nasional memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan penyusunan RAD GRK pada tingkat Provinsi (Gambar 1). Lebih lanjut, ini merupakan
kombinasi dari hubungan Dokumen ICCSR dengan Sistem Pembangunan Nasional serta
Dokumen RAN GRK dengan Sistem Pembangunan Nasional 3. Kombinasi tersebut menjelaskan
bagaimana keterkaitan Dokumen ICCSR, RAN GRK, dan RAD GRK yang dihasilkan oleh
Pemerintah Provinsi. RAD GRK tentu perlu disusun karena merupakan ketentuan langsung yang
diatur di dalam Peraturan Presiden mengenai RAN GRK, kemudian Gambar 1 menjelaskan
bahwa substansi peta jalan (Roadmap) pengurangan emisi pada setiap sektor di dalam ICCSR
pada dasarnya dapat diadopsi (dijadikan pertimbangan) oleh Pemerintah Provinsi untuk
menentukan aksi mitigasi.
11 | P a g e
12 | P a g e
Formulasi prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai inventori emisi
(Inventori Gas Rumah kaca nasional), ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat
mungkin untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun
internasional6. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi atas
sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan.
Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya
ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
1) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR
mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori Kategori 1 Manajemen Data, Informasi,
dan Pengetahuan ;
2) Kategori 2 Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi;
3) Kategori 3 Implementasi, Kontrol, dan Evaluasi.
Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di dalam ICCSR setidaknya
meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi kegiatan, serta waktu pelaksanaan.
Kerangka waktu pelaksaan yang disusun terbagi ke dalam kurun waktu 2010 2029.
Yellow Book National Development Planning: Indonesias Response to Climate Change
Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif
terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen perencanaan pembangunan
nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan melengkapi susbtansi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 2014. Secara umum maksud
penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
dengan sistem perencanaan pembangunan, 2) menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral
5
6
13 | P a g e
14 | P a g e
Peraturan Menteri 39/2009 mengenai Tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan (REDD). Beberapa peraturan terkait sektor kehutanan juga berasal dari Kementerian
Lingkungan Hidup.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, sektor kehutanan
memiliki potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK, diantaranya yaitu pengelolaan
hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, serta
pembatasan konversi lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan
hutan pada lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan
emisi GRK di bidang kehutanan di arahkan untuk mensinergikan program-program bidang
kehutanan seperti;
1. Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku kepentingan di
bidang kehutanan.
2. Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang
kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab deforestasi dan
degradasi hutan.
3. Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
4. Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.
5. Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar, kebakaran
hutan, konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.
6. Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk
keperluan industri kehutanan.
Secara umum, Indonesia mengejar strategi ganda untuk upaya mitigasi pada sektor kehutanan,
yang mencerminkan dua fungsi utama hutan dalam konteks perubahan iklim, yaitu sebagai
sumber karbon dan penyerap karbon. Melindungi hutan yang ada akan menjaga stok karbon dan
kapasitas penyerapan, reboisasi dan rehabilitasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan
sebagai penyerap karbon, sedangkan deforestasi dan degradasi hutan akan meningkatkan emisi
gas rumah kaca. Maka strategi sebagai bentuk mitigasi dapat diringkasi sebagai berikut:
1. SFM Strategi Mitigasi Hutan 1, peningkatan stok karbon hutan dan menghindari emisi
terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.
2. RED Strategi Mitigasi Hutan 2, mengurangi jumlah emisi melalui manajemen konversi
lahan hutan.
3. Perkebunan Strategi Mitigasi Hutan 3 - Meningkatkan kapasitas penyerapan karbon
melalui promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.
Dalam kebijakan saat ini banyak peran dari perkebunan untuk meningkatkan kapasitas
penyerapan karbon. Tetapi sedikit yang terencana, di luar pengembangan KPHs, untuk
memastikan bahwa pohon-pohon yang terpelihara dengan baik dan tumbuh, atau untuk
memantau secara akurat pertumbuhan perkebunan dan penyerapan karbon. Pembangunan dan
pembentukan KPH merupakan sarana penting untuk menjaga keabadian dari penyerapan karbon
di hutan dan karena itu harus dilihat sebagai prasyarat penting untuk semua aktivitas mitigasi.
15 | P a g e
16 | P a g e
18 | P a g e
Pada RAN-GRK terdapat Kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka mitigasi
perubahan iklim dilakukan dengan pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R (Reduce,
Reuse, Recycle), fasilitasi prasarana pengumpulan/pengangkutan sampah, pembangunan/
peningkatan Tempat Pemrosesan akhir (TPA) sampah menjadi sanitary landfill dan juga
pengembangan TPA yang terpadu dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi.
Dalam ICCSR, kebijakan pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua
kebijakan utama. Kebijakan pertama adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak
mungkin, digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA.
Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi
masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai prinsip dasar pengelolaan sampah
sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu,
partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan
dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri juga
akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer Responsibility) yaitu prinsip
untuk produsen dan importir sampah B3.
Pada Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014 arahan kebijakannya berupa
pengelolaan persampahan dikelola secara lebih efektif dan efisien melalui pola BLU (Badan
Layanan Umum) ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen
keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dalam 5
(lima) tahun ke depan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum) merencanakan
untuk terus mendorong berbagai alternatif pembiayaan untuk investasi pembangunan
infrastruktur, termasuk pola-pola KPS, yang salah satunya pengelolaan persampahan.
2.3 Peran Institusi dan Kewenangannya
Penyiapan institusi untuk RAD GRK pada tingkat provinsi juga perlu diawali dengan
inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait dengan emisi gas rumah kaca. Panduan
ini memberikan gambaran kewenangan yang dapat dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota pada sektor terkait emisi GRK dengan mengacu kepada kegiatan
yang ada di dalam RAN-GRK dan berdasarkan kerangka kelembagaan yang ada (UU 32/2004,
dan PP 38/2007).
2.3.1 Kerangka Institusi Nasional
Penyiapan institusi untuk RAD GRK pada tingkat provinsi juga perlu diawali dengan
inventarisasi pembagian kewenangan / urusan kepemerintahan pada setiap sektor yang terkait
dengan emisi gas rumah kaca. Panduan ini memberikan gambaran kewenangan dari nasional,
provinsi, dan kota/kabupaten terhadap program-program yang terdapat pada RAN-GRK. Dengan
mengacu kepada UU 32/2004 dan PP 38/2007 maka dari program yang ada di dalam RAN-GRK
setiap sektornya dapat diketahui kewenangan setiap lembaga (Nasional. Provinsi,
Kota/Kabupaten) untuk melaksanakan program pada RAN-GRK tersebut.
19 | P a g e
Perlu dipahami bahwa RAN GRK mengatur pembagian kegiatan pengurangan emisi gas rumah
kaca ke dalam beberapa bidang yang pada Dokumen RAN PI ataupun ICCSR diklasifikasikan
sebagai sektor dan juga terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu
diselaraskan dengan pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan
pemerintahan, sebagaiman diatur di dalam PP 38/2007. Berikut ialah tabel komparasi sektor /
bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca :
Tabel 2.1 Komparasi Pembagian Sektor Bidang Urusan Pemerintahan terkait Kegiatan
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
ICCSR
1)
2)
3)
4)
5)
Sektor Transportasi
Sektor Kehutanan
Sektor Industri
Sektor Energi
Sektor Pengelolaan
Persampahan
RAN GRK
1) Bidang Kehutanan dan
Pengelolaan Lahan Gambut
2) Bidang Pertanian
3) Bidang Energi dan Transportasi
4) Bidang Industri
5) Bidang Pengelolaan Limbah
PP 38 / 2007*
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Pekerjaan umum
Perumahan
Penataan ruang
Perencanaan pembangunan
Perhubungan
Lingkungan hidup
Pertanian dan ketahanan pangan
Kehutanan
Energi dan sumber daya mineral
Perindustrian
* keterangan : PP 38/2007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi bersama
antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya menampilkan yang berkaitan dengan pembagian pada
PP 38/2007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.
Kegiatan kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam RAN GRK
ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan kewenangan dan
juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing masing lembaga. Oleh karenanya,
ketentuan di dalam UU 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah dan juga PP 38/2007 mengenai
Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan acuan dalam penentuan lembaga
penanggungjawab maupun pelaksana kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca. Padanan
pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada RAN GRK dengan urusan
pemerintahan pada PP 38/2007 menunjukkan bahwa seluruh bidang berada pada urusan
pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan 9. Gambar 2
memperlihatkan keterkaitan antara bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan
pembagian urusan pemerintahan. Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan
pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota bergantung kepada karakteristik wilayah masing masing. Urusan wajib ialah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar 10. Adapun urusan pilihan
9
10
20 | P a g e
adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan11.
Tabel 2.2 Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan Pembagian
Urusan Pemerintahan
Pembagian Urusan Pemerintah (PP 37 Tahun 2008)
Pertanian
Pekerjaan Umum
Perumahan
Kehutanan
Perindustrian
Pengelolaan Limbah
Lingkungan Hidup
Bidang
Perhubungan
Perencanaan Pembangunan
Urusan Pilihan
Penataan Ruang
Urusan Wajib
Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan, pada
umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni eksternalitas,
akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan12. Pada praktiknya, pembagian urusan pemerintahan ini sifatnya akan sangat
konktektual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan antara suatu periode ke periode
lainnya maupun antar daerah. Oleh karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan
pemerintahan perlu dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui
kementerian/lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah
tersebut.
Secara umum Pemerintah Pusat melalui Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen
memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk
pelaksanaan urusan wajib dan pilihan. NSPK tersebut kemudian berfungsi sebagai pedoman bagi
11
12
21 | P a g e
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan setiap
urusan wajib serta pilihan tersebut. Tabel 2 di bawah memberikan ilustrasi pembagian
kewenangan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kota/Kabupaten
berdasarkan PP 38/2007. Hal tersebut merupakan kerangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang juga melingkupi kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tabel 2.3 Kerangka Pembagian Urusan Pemerintahan
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Pemerintah
Kabupaten/Kota
RAD GRK, sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang
direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang sesuai dan
telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan dalam mendukung
pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:
Tabel 2.4 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK
Institusi
Tugas / Peran
Kementerian
Koordinator
Perekonomian
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional /
Kepala Bappenas
Kementerian
Lingkungan Hidup
Kementerian Dalam
Negeri
22 | P a g e
Kementerian / Lembaga
Gubernur / Pemerintah
Provinsi
a) Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.
b) Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur
c) Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya
pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
Gambar 2.2 Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi
Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar tingkat
pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada dasarnya adalah
membangunan kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
(NSPK) (Nurhadi, 2009). Pemerintah Provinsi, di sisi lain, adalah perpanjangan tangan dari
Pemerintah Pusat di daerah: Dengan demikian memiliki kewenangan untuk pengendalian
implementasi kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga memiliki peran dalam
memfasilitasi isu antar kabupaten/kota. Adapun konteks desentralisasi untuk setiap sektor pada
dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan sektoral.
23 | P a g e
24 | P a g e
Baseline with
own action.
Baseline with
support.
Actual Performance
2011
25 | P a g e
3.
Kasus yang sangat mungkin terjadi (Most likely): pasar dan institusi tidak
diasumsikan berperilaku sempurna. Dapat memiliki implikasi pada opsi mitigasi no
regrets.
Contoh nyata dari ekonomi yang tidak efisien, khususnya dalam sektor seperti
energy dan transportasi di OECD dan Negara berkembangan (kesenjangan
efisiensi).
Efficiency gap terjadi karena distorsi pasar dan hambatan atau alas an sosial,
politik dan budaya.
Plausible baselines dapat dianggapmost likely case: sejauhmana persistensi dari
efficiency gap, pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan potensi pertukaran
capat dari saham teknologi.
Baseline pada tingkat provinsi merupakan baseline multisektoral yang perlu ditetapkan melalui
proses integrasi dengan menjumlahkan baseline setiap sektor dalam nilai absolute sehingga dapat
digunakan sebagai referensi provinsi untuk mengukur apakah target pengurangan emisi provinsi
tercapai atau tidak. Baseline dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:
26 | P a g e
Baseline
Multi sektoral
tren masa lalu
dan keadaan
emisi saat ini
Sektor 1
Sektor 2
Emisi Gas
Rumah Kaca
Sektor 3
Sektor 4
Sektor Sektor 6
Emisi GRK
masa depan
T0
T1
Aksi Mitigasi
Setiap Sektor
Tn
Waktu
27 | P a g e
terintegrasi sangat penting untuk mengembangkan akurasi dan konsistensi internal dalam
menghitung biaya keseluruhan dan dampak emisi, karena dampak pengurangan emisi dapat
terjadi karena melaksanakan opsi tertentu yang tergantung pada opsi lainnya dalam skenario.
Contohnya, tingkat pengurangan dalam emisi GRK yang diasosiasikan dengan opsi yang
menghemat listrik tergantung pada sumber listrik yang akan dihindari (contoh: batu bara,
minyak, hidro, atau campuran)
Jenis-Jenis Tujuan Skenario Mitigasi
Terdapat beberapa jenis tujuan menyusun skenario mitigasi yaitu untuk mengetahui
1. CO2 emissions per unit dari penggunaan bbm (atau produksi) yang kemungkinan
berubah karena teknologi baru dikenalkan.
2. Faktor-faktor emisi karena gas kemungkinan akan dipengaruhi oleh perubahan teknologi.
3. Target pengurangan emisi. Contohnya: 12.5% pengurangan emisi hingga 2015 dan
pengurangan emisi 25% untuk 2030, dari tingkat baseline. Alternatif digunakan untuk
merinci pengurangan dari tingkat base year, untuk menghindari membuat jumlah
pengurangan tergantung pada skenario baseline tertentu.
4. Identifikasi opsi pada biaya per ton pengurangan emisi. Pengurangan emisi diberikan dari
hasil pencampuran teknologi yang merefleksikan tingkat pengurangan yang dapat dicapai
pada biaya marginal tertentu.
5. No regret scenario. Skenario ini merupakan varian yang biasa dari tujuan sebelumnya,
dimana screening intinya zero cost per tonne of GHG reduced.
6. Opsi specifik atau paket opsi. Contoh dari jenis skenario ini misal skenario gas alam,
skenario energy terbarukan atau skenario nuklir.
3.2.1 Sektor Kehutanan dan Pertanian
3.2.1.1 Konsep Baseline dan Metodologi
Baseline untuk sektor berbasis lahan (land based), seperti sektor kehutanan dan sektor pertanian,
pendekatannya dilakukan berdasarkan pada sejarah dari baseline dan disesuaikan dengan
pertimbangan lain, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial kependudukan dan akan lebih baik lagi
jika model ini juga mempertimbangkan dinamika tanah yang terencana dan tidak terencana.
BAU dan skenario dibuat berdasarkan perkiraan tren emisi masa depan. Nilai tersebut sebaiknya
tidak boleh terlalu rendah atau terlalu tinggi untuk menghindari dua resiko berikut, yaitu:
-
Jika BAU terlalu rendah Indonesia akan kehilangan potensi manfaat, dan
Jika BAU yang terlalu tinggi Indonesia bisa gagal untuk mematuhi prinsip, manfaat
nyata untuk perubahan iklim, sehingga dapat dikritik dan tidak dapat diterima negara lain.
Baseline akan ditetapkan melalui proses politik dan negosiasi, gabungan argumentasi secara
ilmiah dan berbagai kebijakan. Untuk skenario BAU berbasis lahan, sejumlah parameter telah
diusulkan oleh Departemen Kehutanan dan ke dalam strategi REDD + Nasional.
Beberapa isu-isu kunci dalam sektor landbased yang harus dikonfirmasi, yaitu:
29 | P a g e
1) Mendefinisikan historis baseline (tahun dasar atau periode referensi) dan periode
komitmen Indonesia, yaitu 2010-2020 menurut RAN-GRK (2010);
2) Memilih pengurangan emisi kumulatif atau non kumulatif;
3) Mengidentifikasi gas yang akan diukur dalam sektor landbased (baik fokus pada emisi
CO2 langsung atau juga termasuk gas lainnya seperti CH4, N2O , NOx dan CO),
4) Mengatur subjek BAU untuk ketersediaan data yang lebih baik.
3.2.1.2 Tren Emisi
Emisi dari sektor berbasis lahan adalah meliputi emisi dari gambut, perubahan tata guna lahan
dan kehutanan serta pertanian. Emisi sektor gambut saat ini mencapai 38% dari keseluruhan
emisi di Indonesia (tahun?), dan sampai pada tahun 2030 akan tetap terus dominan apabila
menggunakan skenario BAU. Skenario BAU memperkirakan emisi pada lahan gambut akan
meningkat sampai dengan 20% dari 772 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 972 MtCO2e pada
tahun 2030. Emisi dari gambut berasal dari pembakaran dan pembusukan lahan gambut.
Pembakaran merupakan sumber utama emisi terkait gambut. Pada tahun 2005, pembakaran
berkontribusi sebesar 472 MtCO2e, lebih dari 60 persen dari total emisi terkait lahan gambut.
Pembusukan lahan gambut akibat pengeringan merupakan sumber terbesar kedua emisi terkait
lahan gambut, memberikan tambahan 300 MtCO2e.
Perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF) memiliki kontribusi terhadap emisi total di
Indonesia sebanyak 35%, yaitu 745 MtCO2e pada tahun 2005 dan diperkirakan akan meningkat
pada tahun 2030 walaupun emisi bersih terkait LULUCF tersebut menurun menjadi 570
MtCO2e. Emisi tersebut terutama disebabkan oleh deforestasi, perusakan hutan dan pembakaran
hutan. Deforestasi disebabkan oleh konversi lahan untuk pertanian, budidaya kelapa sawit, dan
perkebunan bubur kayu serta pembalakan liar. Deforestasi diperkirakan akan konstan yaitu 1,1
juta ha per tahun dan menghasilkan sekitar 750 MtCO2e emisi bruto. Untuk perusakan hutan
akibat kegiatan pembalakan yang tidak lestari di hutan-hutan produksi Indonesia, rata-rata
berkontribusi sebesar 250 MtCO2e emisi bruto per tahun apabila pembalakan tersebut tidak
segera ditangani. Sedangkan untuk pembakaran hutan, diperkirakan memberikan kontribusi
terhadap emisi sebesar 78 MtCO2e per tahun.
Selanjutnya untuk pertanian, merupakan sektor dengan emisi yang cukup tinggi di Indonesia.
Pada tahun 2005 emisi dari pertanian mencapai 132 MtCO2e. Apabila menggunakan skenario
BAU, pada tahun 2030 akan meningkat 25 % dari kondisi pada tahun 2005 menjadi 164
MtCO2e.
3.2.1.3 Potensi Skenario Mitigasi
Langkah-langkah utama untuk menyiapkan skenario mitigasi untuk sektor landbased yaitu:
1) Rumit, ada klasifikasi lahan di Indonesia, kelas lahan untuk semua lahan, yang merupakan
daerah dengan penggunaan lahan secara homogen, dalam stratifikasi kelas lebih lanjut dapat
dibuat sesuai dengan kerapatan stok karbon,
30 | P a g e
2) Mengumpulkan peta, data daerah sesuai dengan kelas dan strata, faktor emisi dan penyerapan
yang berkaitan dengan kelas,
3) Mengidentifikasi pendorong perubahan penggunaan lahan dan kemungkinan perubahan yang
disebabkan manusia dalam penyerapan karbon / emisi setiap kelas,
4) Memvalidasi pilihan asumsi terbaik di transisi tanah dan perubahan penyerapan / emisi setiap
kelas,
5) Mengintegrasikan asumsi lainnya seperti pertumbuhan, perubahan penduduk dan tenaga
kerja, permintaan makanan dan kayu,
6) Mendefinisikan setiap skenario serangkaian kegiatan,
7) Mengidentifikasi modal keuangan untuk kegiatan mitigasi dan antisipasi investasi berbagai
kegiatan landbased.
BAU dan berbagai skenario strategi mitigasi dapat ditetapkan oleh multipihak dan proses
bertingkat. Rencana aksi juga harus diformulasikan dalam bentuk kegiatan yang selaras dengan
rencana pembangunan daerah dan dukungan teknis dan keuangan.
3.2.1.4 Indikator Kunci
Tabel 3.1 Indikator Kunci Sektor Kehutanan dan Pertanian
Komponen yang diukur
Jenis data
Pengurangan Emisi
Pengurangan Biaya
Indikator Pengembangan
Keuangan
Jumlah (Rp)
Aliran
Bagaimana digunakan
Peningkatan Kapasitas :
Manfaat Tambahan :
Teknologi
kriteria, termasuk faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi, dan lainnya sehingga membuat
perbandingan pilihan lengkap. Kriteria fisik seperti ketersediaan lahan, produktivitas biomassa,
dan arus gas rumah kaca bersih untuk setiap opsi yang telah dijelaskan di atas. Dibawah ini ada
beberapa evaluasi kriteria ekonomi yang disarankan.
A. Fisik Input dan Output
Meskipun kriteria fisik menentukan kapasitas dari berbagai opsi untuk mengurangi perubahan
iklim, kriteria ekonomi adalah variabel keputusan penting dalam memilih opsi mitigasi. Pada
bagian ini, dibahas pendekatan dan isu yang terlibat dalam menyusun kriteria ekonomi. Langkah
pertama adalah mengidentifikasi dan menghitung semua input fisik yang diperlukan untuk
melaksanakan setiap opsi yang meliputi operasi awal, manajemen, pemanenan (jika ada), dan
lainnya ini harus mencakup perkiraan tanah, tenaga kerja, peralatan, dan bahan yang dibutuhkan
untuk mendukung proyek atau pilihan sepanjang masa. Untuk opsi lahan intensif, berbagai
kategori tanah harus diidentifikasi dan kesesuaian mereka untuk berbagai pilihan dinilai. Untuk
semua pilihan, analis juga harus mengidentifikasi menghambat faktor-faktor seperti keahlian,
teknologi, dan investasi modal karena ini dapat mempengaruhi biaya serta kemungkinan
pelaksanaan opsi. Bersama dengan masukan fisik, kita harus memperkirakan output fisik dalam
hal produk yang diinginkan seperti kayu, woodfuel, dan hasil pertanian (untuk opsi-opsi
agroforestri) yang diharapkan dari setiap opsi mitigasi.
B. Satuan Biaya dan Manfaat
Manfaat
Dalam rangka menciptakan kebijakan dan tindakan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca di
masa depan, nasional pembuat kebijakan memerlukan informasi mengenai biaya dan manfaat
pilihan selain implikasi karbon mereka. Para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan biaya,
manfaat, dan dampak mitigasi perubahan iklim dan pilihan adaptasi dalam menghadapi
persaingan untuk dana yang terbatas dari pemerintah dan sumber lain. Tujuan kebijakan untuk
opsi-opsi mitigasi perubahan iklim adalah untuk mengidentifikasi campuran pilihan terbaik
untuk mencapai tujuan pemanfaatan sumber daya hutan yang diinginkan dengan biaya sedikit.
Dengan kata lain, kebijakan harus berusaha untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial
dari hutan sementara meminimalkan dampak lokal dan global bagi lingkungan dan sosial. Hal
ini penting untuk menarik batas sistem di mana biaya dan manfaat suatu proyek akan dievaluasi.
Biaya dan manfaat harus dievaluasi . Roadside biaya akan termasuk biaya kayu panen, yang pada
gilirannya meliputi hutan-jalan biaya yang diperlukan konstruksi. Dengan memilih untuk
melaporkan biaya hanya sampai pinggir jalan (roadside), hal ini tidak termasuk biaya dan emisi
karbon yang terkait dengan transportasi menghasilkan ke pasar. Ini juga menghilangkan
kebutuhan untuk mengumpulkan data dan membuat proyeksi pada lokasi pabrik yang
kemungkinan akan berubah jika besaran besar proyek harus diterapkan dalam rangka untuk
mengurangi emisi secara nasional. Biaya pasca-pinggir jalan harus ditangani di sektor akhir
tergantung masing-masing penggunaannya seperti industri (penggergajian kayu) dan perumahan
(bahan bakar biomassa). Untuk setiap input fisik (misalnya, tenaga kerja), seseorang harus
32 | P a g e
memperoleh biaya per unit pada saat digunakan. Untuk setiap produk yang diinginkan (misalnya,
kayu atau woodfuel), estimasi harga produk akan diperlukan. Data ini akan digunakan untuk
menghitung biaya dan manfaat dari elemen moneter setiap opsi.
Biaya
Biaya penyimpanan karbon dari suatu opsi mitigasi termasuk nilai sekarang dari arus beban yang
cukup untuk menutup perencanaan proyek, pengembangan, dan biaya sesekali dan berulang, dan
nilai kini biaya peluang proyek. Untuk pengelolaan terus-menerus dari proyek hutan tertentu,
manfaat yang dihasilkan selama putaran pertama mungkin cukup untuk menutupi operasi dan
pengelolaan rotasi masa depan. Laporan 1990 IPCC Respon Strategi Perubahan Iklim mencatat
bahwa menghentikan deforestasi adalah pilihan murah untuk mengurangi unit karbon atmosfer
(IPCC, 1991).13 Laporan tersebut mengutip biaya regional tahunan rata-rata sekitar $ 8/tC untuk
penghijauan tropis dan pengurangan deforestasi, dan sekitar $ 28/tC untuk reboisasi di negaranegara OECD non-AS. Biaya mendirikan perkebunan aforest, tidak termasuk biaya kesempatan
dari tanah, diperkirakan berkisar dari $ 230 sampai $ 1000 per hektar dengan biaya rata-rata $
400 per ha (IPCC, 2001) 14 ).
Kedua, komponen biaya lainnya seperti sewa tanah (biaya kesempatan), pemeliharaan, dan
monitoring dan evaluasi, yang tidak dimasukkan dalam laporan IPCC sebelumnya, kini sedang
ditangani (IPCC, 2001). 15 Evaluasi biaya kesempatan penting karena menangkap manfaat yang
diperoleh dari pemanfaatan lahan dengan tidak adanya pilihan mitigasi, mengingat luas lahan
saat ini menggunakan pola. Biaya peluang dapat dievaluasi dengan menggunakan berbagai
metode tergantung pada tanah yang bersangkutan dan kemungkinan memproduksi berbagai
barang dan / atau jasa jika tidak digunakan untuk opsi yang diberikan. Pendekatan ini meliputi
sewa tanah, harga tanah pasar, dan keuntungan bersih yang diperoleh dari pemanfaatan lahan
alternatif. Dalam semua kasus ini, nilai-nilai dan manfaat tanah dari penggunaan alternatif harus
disesuaikan untuk memperhitungkan ada distorsi harga yang signifikan karena subsidi, peraturan
zonasi, dan lainnya. Selain penyimpanan karbon, menerapkan pilihan mitigasi akan
menghasilkan manfaat moneter maupun non-moneter lainnya. Manfaat ini dapat diklasifikasikan
sebagai manfaat langsung atau tidak langsung tergantung pada peran mereka dalam, dan tingkat,
aktivitas ekonomi dan nilai-nilai hutan non moneter. Manfaat langsung dapat mencakup barangbarang seperti kayu bakar, kayu untuk kebutuhan usaha dan jasa seperti rekreasi. Manfaat tidak
langsung dapat mencakup item seperti lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, polusi udara
dan pengendalian iklim mikro, perlindungan DAS, dan pengembangan infrastruktur sosial seperti
sekolah, jalan, dan rumah sakit. Selain manfaat, hutan memiliki nilai yang berasal dari saham
sebagai sumber daya. Nilai ini mungkin akan dipengaruhi oleh perhatian untuk generasi
mendatang dan status sosial. Tidak ada konsensus saat ini pada nilai moneter mengurangi unit
karbon atmosfer. Awal perkiraan biaya marjinal (termasuk pajak) menstabilkan emisi dari
13
Assessment of the Vulnerability of Coastal Areas to Sea Level RiseA Common Methodology
1991
14
Climate Change 2001: Mitigation, IPCC
15
Climate Change 2001: Mitigation, IPCC
33 | P a g e
pembakaran bahan bakar fosil di kisaran US antara $ 100 sampai 200 per tC (IPCC, 2001)
berdasarkan model top-down.
16
),
Indikator ini mengekspresikan NPV dari proyek per unit karbon atmosfer berkurang
dibandingkan untuk pengurangan emisi bersih. Dengan demikian, ia menangkap waktu tinggal
atmosfer karbon. Perumusan indikator bervariasi dengan tingkat di mana kerusakan ekonomi
dapat meningkat, dan itu memungkinkan evaluasi tergantung waktu karbon atmosfer yang
16
19
34 | P a g e
mungkin dianggap perlu. Ekspresi untuk menurunkan BRAC ketika kerusakan ekonomi yang
disebabkan oleh peningkatan karbon atmosfer pada tingkat sosial riil diskon diberikan di bawah
ini. Untuk cakupan yang lengkap atas indikator BRAC, lihat Sathaye et al. (1993) 20. Dimana:
NPV
a
Te
Ct
Rencana Aksi
Pengelolaan lahan
gambut pertanian
berkelanjutan
Rehabilitasi
reklamasi dan
revitalisasi lahan
gambut
terlantar/terdegrada
si pada areal
pertanian
Penelitian dan
pengembangan
teknologi serta
metodologi/MRV
pada areal
pertanian
Volume
Kegiatan
Biaya
(Rp. Trilliun)
Periode
Lokasi
325.000 ha
20102020
Aceh
Sumut
Riau
Jambi
Sumsel
Sumbar
Lampung
Kalbar
Kalsel
Kaltim
Kalteng
8 kegiatan
20102020
20
20102014
20152020
Sum
ber
2300
2400
APBN
Kementrian
Pertanian
103.432500
0.600
0.600
APBN
Kementrian
Pertanian
100750.000
APBN
Kementrian
Pertanian
20102020
Jumlah selama 10
tahun
Penanggung
Jawab (Pj/
Pelaksana)
Target
Penurunan
Emisi
Ton CO2/10
thn
2,970
3,080
204.192.500
35 | P a g e
0.0204
Skenario 1 Target penurunan emisi dengan efektivitas teknologi mitigasi 21% dengan efektivitas program
75%
Skenario 2 Target penurunan emisi dengan efektivitas teknologi mitigasi 21% dengan efektivitas program
60%
Skenario 3 Target penurunan emisi dengan efektivitas teknologi mitigasi 21% dengan efektivitas program
50%
0.0153
0.0123
0.0102
bahkan masa depan suatu daerah dapat memberikan informasi yang berguna untuk spesifikasi
dari sebuah skenario baseline. Namun, tidak mungkin bahwa setiap parameter yang diperlukan
untuk menyelesaikan skenario baseline akan ditemukan dalam dokumen nasional, atau bahkan
dokumen akan memberikan gambaran yang konsisten. Seperti banyak dari proses pemodelan,
penilaian analis dalam membuat asumsi yang wajar dan pilihan sangat diperlukan.
3.2.2.2 Tren Emisi
Dalam (RUPTL 2010-2019) disebutkan bahwa emisi CO2 pada sistem interkoneksi Jawa-Bali
akan meningkat dari 97 juta ton pada tahun 2010 menjadi 212 juta ton pada tahun 2019 bila
tanpa ada intervensi pemerintah untuk menggunakan energi yang rendah dan bebas dari karbon.
Emisi jangka panjang ini dapat dianggap sebagai referensi skenario dengan batasan waktu
sampai dengan 2019 yang mencerminkan businessasusual (BAU) dari sektor listrik, karena
berasal dari kapasitas rencana ekspansi jangka panjang tanpa intervensi kebijakan perubahan
iklim. Emisi tersebut dapat turun menjadi 189 juta ton pada tahun 2019 ketika kebijakan untuk
mengembangkan panas bumi diterapkan.
Sejalan dengan rencana 10 tahunan pengembangan listrik PLN (RUPTL 2010-2019), emisi CO2
nasional akan meningkat dari 123 juta ton CO2 pada 2010-256.000.000 ton CO2 pada tahun
2019 ketika kebijakan pemerintah untuk mengembangkan banyak panas bumi diperhitungkan.
Faktor grid rata-rata emisi akan meningkat dari 0,725 Kg CO2/kWh tahun 2010-0,675 Kg
CO2/kWh tahun 2019. Peningkatan faktor emisi grid tersebut diberikan untuk pengembangan
panas bumi dan adopsi tanaman batubara efisien terutama di Jawa (Supercritical dan tanaman
Ultra batubara superkritis).
3.2.2.3 Potensi Skenario Mitigasi
Proses penyusunan skenario mitigasi dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan dari skenario
dan menggabungkan opsi-opsi tertentu dalam skenario yang terintegrasi. Analisis integrasi
skenario diperlukan untuk menghasilkan akurasi dan konsistensi secara internal dari semua biaya
dan dampak emisi karena pengurangan emisi aktual dari melakukan sebuah opsi mitigasi dapat
tergantung kepada opsi-opsi lainnya yang terdapat dalam skenario. Sebagai contoh, tingkat
pengurangan emisi GRK dapat terkait dengan opsi untuk menyimpan energi yang bergantung
kepada tipe dari pembangkit-pembangkit listrik yang dapat dihindari (contoh: batubara, minyak,
air, atau gabungannya). Pada kenyataannya, tipe dari pembangkit listrik dapat berubah sejalan
dengan waktu dan jika semakin sedikit emisi GRK yang ditimbulkan, dan ini dimunculkan dalam
skenario, penyimpanan opsi efisiensi juga dapat terjadi. Integrated scenario analyses bermaksud
untuk menangkap hal ini dan berbagai efek interaktifnya.
Jika menggunakan model optimisasi, perbedaan pada data input untuk skenario baseline dan
mitigasi skenario ditandai dengan jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan model, dimana
pilihan-pilihan teknologi adalah exogenous terhadap model. Optimasi model dipilih dari
kumpulan pilihan-pilihan dari teknologi yang tersedia untuk memenuhi kendala tertentu.
37 | P a g e
Struktur Biaya
Total biaya sistem energi dapat dibagi menjadi tiga komponen:
1. Biaya investasi untuk menggantikan dan memperluas modal saham dalam pasokan
energi, konversi dan sektor pengguna akhir;
2. Biaya pasokan bahan bakar, dipecah menjadi pengeluaran untuk bahan bakar domestik
dan untuk bahan bakar ramah lingkungan yang diimpor, dan
3. Biaya lain-lain, seperti biaya operasi dan pemeliharaan
Selain memahami bagaimana jumlah biaya berubah ketika pindah ke tingkat emisi lebih rendah,
penting juga untuk memantau bagaimana perubahan komponen biaya. Biasanya biaya modal
merupakan komponen yang paling penting ketika meningkatkan biaya dalam skenario mitigasi.
Nuklir energi, teknologi terbarukan, lebih peralatan efisien, dan investasi dalam penghematan
energi semua meningkatkan biaya investasi sebagai pengganti modal untuk bahan bakar fosil.
Dalam beberapa kasus, seperti ketika menggunakan hidrogen bebas karbon harganya lebih
mahal daripada bahan bakar fosil.
Meningkatnya biaya investasi menjadi sangat penting untuk negara-negara berkembang dimana
modal bersifat langka. Sebagai contoh, jika sistem kenaikan biaya total sebesar 0,5% dari PDB
dalam skenario mitigasi, dan kenaikan biaya terdiri dari biaya modal 1% lebih tinggi dan biaya
bahan bakar 0,5% lebih rendah, biaya modal tambahan dapat meningkatkan jumlah investasi
dalam perekonomian (biasanya sekitar 15-30% dari PDB di negara-negara berkembang)
sebanyak 4-7%.
Sepanjang informasi tentang implikasi kurs mata uang asing untuk pilihan teknologi yang
berbeda termasuk dalam model ini, dampak total selisih kurs harus disajikan untuk setiap
skenario.Jika informasi kurs mata uang asing tidak langsung tersedia dari model ini, dampak
terhadap devisa dari ekspor impor bahan bakar dan dapat dilaporkan dengan menghadirkan
pengeluaran bersih pada bahan bakar impor.
Nilai biaya efektif (cost-effectiveness value) atau biaya pengurangan teknologi (abatement cost
of technology) dihitung dengan membagi reduksi dari biaya teknologi awal terhadap NPV dari
teknologi untuk reduksi emisi pada average technology lifetime. Formula yang digunakan adalah
:21
CE =
Dimana :
CE
= nilai efektivitas biaya atau biaya abatemen biaya teknologi (dalam $/ton)
21
National Economic, Environment and Development Study (NEEDS) for Climate Change Indonesia Country Study FINAL REPORT
December 2009, DNPI
39 | P a g e
NPV
ER
Bt
Ct
= tingkat diskon
Alternatif tindakan mitigasi dimasukkan dalam kurva biaya dari opsi biaya terendah ke tertinggi.
Biaya terendah yang dipandang paling efektif harus diukur. Sektor energi lebih siap
dibandingkan sektor lainnya untuk tindakan mitigasi, tetapi beberapa teknologi di sektor energi
(pembangkit listrik misalnya) memiliki jangka waktu yang lebih lama untuk memiliki dampak
terhadap pengurangan emisi.
3.2.3 Sektor Transportasi
3.2.3.1 Konsep Baseline dan Metodologi
Sudah menjadi upaya awal untuk mengembangkan data dasar untuk sektor transportasi, terutama
oleh KEMENHUB (2010). Hal ini ditetapkan dalam kerangka dasar yang menyeluruh untuk
mengembangkan subsektor angkutan jalan di Indonesia, dan membuat eksplisit berbagai asumsi
pertumbuhan lalu lintas, split modal, efisiensi kendaraan, split bahan bakar dan kendala
infrastruktur. Hal ini juga mengidentifikasi tantangan-tantangan kunci yang terkait dengan
pengaturan baseline, terutama berkaitan dengan ketersediaan data pada aktivitas perjalanan yang merupakan persyaratan utama untuk mengukur emisi melalui proses bottom-up.
Di bawah pendekatan bottom-up, emisi diperkirakan sebagai produk aktivitas transportasi (A),
struktur sektor dalam hal split modal (S), intensitas konsumsi bahan bakar (I) dan intensitas CO2
dari setiap bahan bakar (F). Dalam praktek, dan seperti dicatat dalam Schipper dan Ng (2010),
hal ini membutuhkan pengetahuan tentang:
Jumlah kendaraan bermotor menurut jenis bahan bakar dan tipe kendaraan (misalnya,
mobil, roda dua, roda tiga, truk dan bus) secara tahunan.
Jumlah tahunan rata-rata km perjalanan kendaraan tiap jenis
Para penumpang atau ton-km yang diproduksi oleh setiap mode
40 | P a g e
Penggunaan bahan bakar / km untuk setiap kombinasi bahan bakar kendaraan dan kemudian
dapat diturunkan dari tiga jenis data. Umumnya dalam rangka untuk mengukur dampak
kebijakan transportasi (dan khususnya yang terkait dengan Avoid dan strategi Shift), Bottomup metodologi diperlukan, ketika pendekatan top-down tidak bisa menunjukkan alasan mengapa
konsumsi bahan bakar di sektor transportasi telah turun . Hanya dengan mengukur aktivitas
perjalanan, seseorang bisa memperkirakan dampak langsung dari perhitungan transportasi
dimasukkan ke dalamnya.
3.2.3.2 Tren Emisi
Sehubungan dengan terus meningkatnya aktivitas transportasi dan kendaraan, Indonesia
menghadapi tantangan besar dalam mengambil langkah-langkah mitigasi di sektor transportasi.
Transportasi menghasilkan 23% dari total emisi CO2 dari sektor energi di tahun 2005, atau
20,7% persen dari keseluruhan emisi CO2 negara (dengan emisi tahunan sebesar 67.680.000 ton
CO2) . Transportasi merupakan kontribusi terbesar ketiga untuk emisi sektor energi. Emisi dari
sektor transportasi diperkirakan meningkat sekitar tiga kali lipat selama 20 tahun berikutnya
(BAPPENAS, 2010). Transportasi jalan sejauh ini merupakan komponen terbesar dari emisi
transportasi, yang mewakili sekitar 89% dari emisi CO2 dan 91% dari konsumsi energi dari
sektor
3.2.3.3 Potensi Skenario Mitigasi
Sebagaimana terdapat dalam ICCSR (2010), tiga strategi utama untuk potensi mitigasi di sektor
transportasi adalah:
41 | P a g e
Kebijakan /
Tindakan
Tipe
Pengeluaran
Total Biaya
Relatif
terhadap
BAU
NPV (relatif
ke BAU)
(disc.rate:
12%)
Abatement
Kumulatif
CO2
(Mill.Rp.)
(Mill.Rp.)
(Mill.Ton)
Avoid
Measures
Public
9,9
150
Private
74,3
32
Shift
Measures
Public
88
529
Private
133,1
152
Public
25,3
53
Improve
Measures
(Mill.
Rp./mil.ton
CO2)
(US$ /
MIL.TON
CO2)
0,89
185,96
18,6
5,48
248,51
24,9
4,80
236,52
23,7
42 | P a g e
6. Pendekatan ini telah banyak diterapkan di Indonesia, karena keuntungan menggunakan data
agregat dari konsumsi energi, sektor rata-rata atau pertumbuhan tingkat emisi, yang
menggambarkan perkembangan industri secara keseluruhan.
7. Data yang diperlukan untuk pendekatan Top Down tersedia lebih lengkap dibandingkan
menggunakan pendekatan Bottom Up, misalnya statistik penjualan perusahaan-perusahaan
energi milik Negara seperti Pertamina dan PLN. Meskipun statistik mungkin menanggapi
beberapa industri sub-sektor penting, namun secara keseluruhan ketidakpastian mengenai
kontribusi sub-sektor untuk emisi gas rumah kaca cukup tinggi. Oleh karena itu, akurasi
cukup menghambat keputusan untuk mengambil tindakan mitigasi yang tepat. Selain itu,
pendekatan Top Down tidak akan memenuhi standar MRV masa depan, yang tidak hanya
meminta peningkatan frekuensi, tetapi secara eksplisit untuk kualitas yang lebih baik dari
informasi yang dilaporkan.
8. Pendekatan Bottom Up adalah penggabungan sub-sub sistem (di sini sub-sektor industri)
untuk membentuk suatu sistem yang lebih besar (di sini sektor industri). Dengan demikian,
sistem yang asli menjadi sub-sistem. Berkenaan dengan industri, berarti, bahwa pertamatama setiap industri sub-sektor ini dijelaskan secara rinci. Tergantung pada tingkat agregasi
dimulai dari klasifikasi industri, kelas-kelas, kelompok dan / atau divisi tersebut kemudian
dihubungkan bersama untuk membentuk industri sub-sektor, yang kemudian pada gilirannya
dihubungkan sampai gambar lengkap industri terbentuk. Dataset komprehensif dibutuhkan
untuk pendekatan ini. Meskipun beberapa data yang mungkin tersedia untuk sub-sektor
penting seperti semen atau besi & industri baja, penelitian sumber daya dan juga memakan
waktu lebih banyak diperlukan untuk mendapatkan gambaran industri yang lebih lengkap.
8.2.1.1 Tren Emisi
Indonesia Climate Change Roadmap (ICCSR) telah menunjukkan emisi gas rumah kaca di
bawah skenario BAU tahun 2005-2030 dari Konsumsi Energi. Sub-sektor industri yang dibahas
adalah mineral non-logam (termasuk semen), besi & baja, pulp & paper, tekstil, pupuk, dan
lainnya. Di bawah skenario BAU, emisi gas rumah kaca dari sektor industri akan meningkat dari
97,49 megaton CO2 pada tahun 2005 dan 150,87 megaton CO2 pada tahun 2030. Dengan adanya
skenario langkah-langkah efisiensi energi, emisi gas rumah kaca dari sektor industri akan
meningkat dari 97,49 megaton CO2 pa pada tahun 2005 dan 104,93 megaton CO2 pada tahun
2030 dan berarti bahwa skenario yang akan memberikan pengurangan 30,45% dari emisi gas
rumah kaca pada tahun 2030.
8.2.1.2 Potensi Skenario Mitigasi
Pengembangan skenario mitigasi akan melibatkan beberapa identifikasi yang memerlukan
tindakan/skenario. Menggunakan metodologi yang sama untuk pengembangan baseline, potensi
mitigasi emisi gas rumah kaca harus dianalisis untuk setiap skenarionya. Tiga opsi yang berbeda
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yaitu hasil dari penggunaan energi, harus dianalisis
untuk sektor industri:
43 | P a g e
Mengurangi jumlah energi yang digunakan setiap produk: Opsi pertama yaitu target
penurunan energi melalui peningkatan efisiensi energi, yang kemudian akan mengarah
pada mitigasi emisi gas rumah kaca.
Mengubah sumber energi / menggunakan energi campuran untuk produksi: Opsi kedua
menyarankan substitusi bahan bakar dari jenis yang menghasilkan emisi besar dengan
bahan bakar alternative seperti biomassa, limbah padat kota, yaitu bahan bakar yang
memiliki kandungan karbon lebih kecil dari bahan bakar fosil.
Proses modifikasi Mayor: Penggunaan energi dapat dikurangi dengan mengubah
produk, bahan baku, atau meningkatkan efisiensi bahan misalnya daur ulang.
8.2.1.3 Indikator Kunci
Tabel 3.4 Indikator Kunci Sektor Industri
Komponen yang diukur
Kunci terkait data industri :
- Intensitas energi
- Intensitas Karbon
Kunci terkait Biaya :
Jenis Data
Konsumsi energi (termasuk energi) per ton
produksi (GJ/t produksi)
Emisi CO2 dari proses dan emisi konsumsi
energi per ton produk (t CO2 / t produk)
Biaya total mitigasi dan biaya sistem
pengurangan
44 | P a g e
melalui penerapan peraturan yang membatasi emisi GRK. Pengurangan biaya ditentukan
menggunakan analisa cash-flow dimana penghematan biaya sama dengan biaya itu sendiri.
Biaya energi itu diasumsikan 50USD/tonne batubara, 75USD/barrel minyak, biomassa
0.08USD/kWh 25USD/tonne dan listrik PLN. Biaya modal seharusnya untuk skenario-efisiensi
Energi didasarkan pada studi pilihan mitigasi emisi GRK dalam industri semen misalnya. Biaya
satu kali berhubungan dengan instalasi diasumsikan 4.00USD/tonne semen kapasitas untuk
efisiensi tinggi grinding teknologi, 0.20USD/tonne semen kapasitas untuk motor efisiensi tinggi,
1.00USD/tonne semen kapasitas untuk kecepatan drive disesuaikan dan semen 2.00USD/tonne
kapasitas untuk pengklasifikasi efisiensi tinggi. Idealnya semua teknologi ini akan dilaksanakan
[ICF, 2009].
Energy-Cost-Sensitive Options
Pilihan energi-biaya-sensitif termasuk rendah untuk perbaikan menengah-biaya efisiensi energi
modal produksi yang ada, dan penggunaan peralatan hemat energi yang lebih, dan pergantian
bahan bakar. Banyak efisiensi energi pilihan yang berlaku di industri. Opsi generik ini seringkali
memiliki manfaat selain penghematan energi-biaya yang mungkin signifikan terhadap adopsi
pergantian bahan bakar.
Non Energi-Biaya-Sensitif Pilihan
Dua pilihan teknologi adalah (1) investasi pada pabrik yang ada, dan (2) pengenalan pabrik baru.
Dalam setiap kasus, ada beberapa pilihan yang memiliki berbagai tingkat investasi dan
penggunaan energi, serta implikasi lingkungan yang berbeda. Beberapa jenis retrofits dapat
dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi dalam tanaman yang ada. kapasitas produksi baru
dapat menggunakan teknologi tersedia atau terbaru. Untuk masing-masing pilihan, kriteria utama
adalah:
1. Biaya produksi secara keseluruhan per unit output (termasuk operasi serta tahunan
biaya investasi);
2. Kebutuhan modal per unit output, dan
3. Intensitas energi untuk bahan bakar yang berbeda dan listrik.
Karakter rata-rata konsumsi energi dan biaya standar baru dan efisiensi tinggi motor; CCE
perkiraan. Sumber data terbaik pada efisiensi motor baru adalah uji data untuk motor yang
tersedia di negara studi. Efisiensi yang dilaporkan oleh produsen motor juga dapat digunakan.
Biaya dapat didasarkan pada harga motor aktual, setelah dikurangi pajak. Jika efisiensi tinggi
motor tidak diproduksi secara lokal untuk jenis tertentu / ukuran, mereka mungkin tersedia
sebagai impor. Biaya yang digunakan dalam analisis tersebut harus bersih dari bea masuk.
Perkiraan konsumsi energi rata-rata memerlukan data pada pemanfaatan khas (jam/ tahun) untuk
setiap jenis / ukuran motor. Estimasi seumur hidup motor harus mempertimbangkan kondisi
operasi di negara itu. Data tersebut mungkin berasal dari survei penilaian ahli.
45 | P a g e
Selain itu, karena karakteristik limbah padat sangat berbeda di daerah perkotaan dan pedesaan di
Indonesia, setidaknya dua skenario harus dibangun untuk mitigasi emisi GRK dari pembuangan
limbah padat, satu untuk perkotaan dan yang lainnya untuk daerah pedesaan. Dalam rangka
untuk menghitung emisi BAU di sektor limbah, rumus dari IPCC First Orde Decay (FOD)
model (IPCC, 2006) dapat digunakan. Untuk dapat menghitung emisi dari sektor limbah ICCSR
telah menghitung faktor emisi untuk setiap kegiatan pengelolaan sampah.
8.2.2.2 Tren Emisi
Dalam Roadmap Indonesia Perubahan Iklim Sektoral 2010, tren emisi CO2 di sektor limbah telah
dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan,
proyeksi penduduk ditransfer ke dalam proyeksi timbulan sampah. Faktor Emisi, data kegiatan
dan asumsi tertentu tentang perkembangan sektor yang digunakan dalam mengembangkan tren
masa depan sektor limbah di Indonesia. Asumsi yang digunakan untuk memproyeksikan trend
emisi CO2 di sektor sampah di daerah perkotaan adalah (ICCSR, Limbah Sektor, Maret 2010):
1.
Daerah pembuangan akhir adalah open dumping, hanya persentase kecil yang
mempergunakan sanitary landfill (0,5% dari total limbah diperlakukan dalam sanitary
landfill pada tahun 2005 dan diproyeksikan akan meningkat sampai dengan 0,9% pada tahun
2030).
46 | P a g e
2.
3.
4.
Limbah dikumpulkan dan diangkut oleh Pemerintah sebesar 50% pada tahun 2005 dan akan
ditingkatkan sampai 80% pada tahun 2020 dan sampai 90% di tahun 2030.
Pembakaran sampah padat di daerah pembuangan akhir adalah 0,5% pada tahun 2005, dan
akan ditingkatkan menjadi 0,8% pada tahun 2020 dan sampai 0,9% pada tahun 2030.
Bagian sampah yang dibuang secara terbuka di perkotaan 49,5% pada tahun 2005, dan
karena persentase yang lebih tinggi dari sampah yang diangkut ke daerah pembuangan akhir,
jumlah akan meningkat hingga hampir 90% pada tahun 2030.
Gambar 3.3 Tren Emisi CO2 di Sektor Sampah Untuk Daerah Perkotaan
Gambar 3.4 Tren Emisi CO2 di Sektor Sampah Untuk Daerah Perdesaan
47 | P a g e
pengurangan limbah pada skenario sumber yang mengurangi timbulan sampah di sumber;
3R dan skenario kompos, yang menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) bersama
dengan kompos di stasiun pengumpulan sampah dan di stasiun pemrosesan akhir;
konversi untuk sanitary landfill dan dikendalikan tanpa TPA (LFG) skenario gas
pengumpulan, dan '
Konversi ke Sanitary Landfill dengan skenario koleksi LFG yang meliputi konversi
metana (CH4) menjadi energi listrik.
Sedangkan skenario yang tersedia untuk mengurangi emisi untuk limbah pedesaan saat ini
adalah sebagai berikut:
Qualitative
48 | P a g e
ACERS =
49 | P a g e
ACERS
NPV
ERS
Jenis dan
Jumlah
Sampah/Limbah
Jenis : sampah
padat perkotaan
Jumlah 48,8
Mt/year
Estimasi emisi
CH4
578 Gg/year
Dihitung dari
SWDS
Kondisi
eksisting
Investasi
O&M
10.000 20.000
$/ton cap/hari
20 40 $/ton
25.000 50.000
$/ton cap/hari
30 50 $/ton
10.000 20.000
$/ton cap/hari
20 40 $/ton
25.000 50.000
$/ton cap/hari
30 50 $/ton
Input Teknologi
Perkotaan :
dibuang ke
pembuangan 40
%,
penimbunan
illegal 7,5%
Kompos :
Teknologi rendah
MBT :
Teknologi rendah
Teknologi Tinggi
Teknologi Tinggi
Estimasi
pengurangan
emisi metan
dengan
penambahan
teknologi 2025
Pada proses
kompos : DOC
dikonversikan ke
CO2 dan sedikit
keN2O
Emisi CH4
berkurang
sebanyak 90%
dibandingkan
dengan kondisi
anaerob
Pada proses MBT
: DOC
dikonversikan ke
CO2 dan sedikit
keN2O
Emisi CH4
berkurang
sebanyak 90%
Biaya Langsung
Biaya Tidak Langsung
- Peningkatan pekerjaan domestik
- Penurunan pembayaran impor
Konsisten Denagn Tujuan Pembangunan
- Berpotensi untuk kesejahteraan
generasi
- Konsisten dengan MDGs
Konsisten Dengan Tujuan Lingkungan
- Berpotensi mengurangi polusi
air, udara, dll.
Keberlanjutan pilihan secara jangka
panjang
Data
- Ketersediaan
- Kualitas
Kelayakan (politik, sosial, teknik)
Opsi Mitigasi 1
Ton/CO2
Nilai/Peringkat
(Low/Medium)
Rp/Ton
C/B Rasio
Nilai/Peringkat
Opsi Mitigasi 2
Opsi mitigasi 3
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
Nilai/Peringkat
51 | P a g e
Komunikasi nasional
Roadmap Perubahan
Iklim
RPJP
2004-2025
RPJMN
2004-2009
2010-2014
RKP
2010
RKP
2010
Anggaran Tahunan
Pemerintah
YELLOW BOOK
Anggaran Tahunan
Pemerintah
RPJMN
2010-2014
PROJECT DIGEST
Gambar diatas menunjukkan keterkaitan antara inisiatif perubahan iklim yang telah ada dengan
dokumen-dokumen yang ada dan juga proses penganggaran pemerintah, dimana kegiatan
perubahan iklim dianggarakan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah 2010-2014. Inisiatif yang ada tertulis dalam beberapa dokumen dan inisiaitif
tersebut perlu dimasukkan dalam dokumen perencanaan di tingkat nasional dan dianggarkan.
Penyusunan anggaran untuk perubahan iklim terkait dengan struktur komunikasi dan koordinasi
dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang dipimpin oleh
Bappenas. Pada dasarnya, mekanisme perencanaan pembangunan tetap digunakan oleh
pengambil keputusan menyangkut isu yang berhubungan dengan inisiatif perubahan iklim.
Dokumen-dokumen terkait perencanaan pembangunan seperti RPJPN, RPJMN, RKP dan Buku
Biru (buku yang berisikan daftar proyek dan proposal bantuan teknis) menjadi pedoman untuk
semua kementrian dan lembaga pemerintah (K/L) untuk melaksanakan inisitiatif pengurangan
emisi GRK. Fungsi dari tim koordinasi perubahan iklim adalah untuk menjadi katalis dan
harmonisasi dari masukan terkait perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan dan proses
anggaran. Tim ini juga melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan, strategi dan program
perubahan iklim. Tim juga membantu donor untuk berkomunikasi secara langsung dengan mitra
kerja mereka di Kementrian dan Lembaga (K/L). Dalam hal isu trust fund, tim akan menjadi
perwakilan dari pemerintah Indonesia dalan Trust Fund Steering Committee.
Koordinator : Bappenas
Anggota :
Kementerian/Badan yang
berhubungan
Strategi
Nasional
dan
Rencana
Aksi
RPJP, RPJMN,
RKP, BLUE
BOOK
Strategi
Regional
Komitmen
Internasional
K/L
Peraturan Pemerintah No.2/2006
Strategi
Sektor
Alokasi Anggaran
Gambar 4.2 Struktur Komunikasi dan Koordinasi Terkait Integrasi Perubahan Iklim
dalam Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran
53 | P a g e
Selain struktur komunikasi dan koordinasi, ada beberapa peraturan yang memberikan dasar bagi
kebijakan pendanaan terkait dengan perubahan iklim, diantarnya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: memuat tentang
pembiayaan kegiatan pembangunan nasional dan daerah. Implikasinya pada penyusunan
rencana keuangan berupa anggaran untuk keuangan nasional dan daerah yaitu APBN dan
APBD.
2. Undang-Undang Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
memuat mengenai asas, ruang lingkup, penyusunan, penetapan, pengendalian dan
evaluasi rencana pembangunan nasional dan daerah.
3. Peraturan Pemerintah No.2/2006 tentang Pedoman Proses Pinjaman dan / atau
Persetujuan Grant dan Anak Perusahaan Pengaturan tentang Pinjaman dan / atau Hibah:
memuat kewenangan melakukan pinjaman luar negeri, sumber, jenis dan persyaratan
pinjaman, perencanaan dan pengadaan pinjaman hibah luar negeri, pelaksanaan dan
penatausahaan pinjaman dan atau hibah luar negeri.
4. Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua BAPPENAS
No 05/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Proposal dan Menilai Proyek
yang didanai oleh Pinjaman Eksternal dan/atau Hibah: memuat ketentuan mengenai
sumber pendanaan luar negeri.
5. Keputusan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Nomor PER-67/PB/2006 tentang
Tata Cara Pendaftaran dan Pengesahan Hibah Luar Negeri
Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mendanai kegiatan pengurangan emisi di
daerahnya melalui dana APBD. Kegiatan pengurangan emisi ini harus dilakukan dahulu,
kemudian mereka dapat mengusulkan kegiatan mitigasi ke Bappenas untuk dilihat apakah bisa
masuk ke dalam NAMAs. Setelah dikaji oleh pemerintah pusat maka dapat diputuskan apakah
kegiatan daerah tersebut dapat memperoleh pendanaan dari pusat. Daerah harus memberikan
kontribusi berupa pengurangan emisi dahulu untuk target pengurangan emisi secara nasional
yaitu 26%.
Ada beberapa tahap yang harus dilakukan dalam merumuskan kebijakan pendanaan untuk
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca, yaitu:
1. Melakukan penghitungan biaya mitigasi,
2. Mengidentifikasi sumber dana,
3. Merumuskan strategi pendanaan.
4.2 Perhitungan Biaya Mitigasi
Dalam analisis ekonomi, biaya mitigasi dihitung sebagai perbedaan/selisih dalam biaya
(didefinisikan dalam unit moneter antara situasi referensi dan yang terbaru dicirikan secara lebih
rendah. (In any economic analysis, the cost of mitigation is calculated as a difference in costs
(defined in monetary units) between a reference situation and a new one characterized by
54 | P a g e
NPVi $
$
CSC
tC NPE j tC
22
55 | P a g e
NPV
NPE
= net present value, atau jumlah diskonto emisi (E) pada tingkat diskonto j
56 | P a g e
pasar dan non pasar. Model ini walau memiliki keterbatasan, tetapi dapat digunakan untuk
menghitung strategi pengendalian optimal.
Hasil yang berhubungan dengan optimal CO, tingkat pengendalian emisi (persentase
pengurangan emisi relatif terhadap emisi baseline) dan pajak karbon (ekuivalen dengan biaya
marginal dari pengurangan emisi karbon yang efisien) pada dekade ke depan sangat bervariasi.
Menurut model ini semakin tinggi biaya pengendalian, estimasi kerusakan rendah, dan tingginya
tingkat diskonto akan mengurangi tingkat pengendalian yang optimal, dimana biaya
pengendalian menjadi lebih rendah bila estimasi kerusakan lebih tinggi dan tingkat diskonto
rendah dapat menuju pada tingkat pengendalian yang lebih tinggi. Contohnya apabila
pengembangan teknologi baru sanagt responsif pada tingkat pengendalian, biaya pengendalian
rendah yang terjadi dalam suatu masa, dan tingkat pengenalian optimal tinggi akan berlaku.
Dalam analisis biaya-manfaat, yang menjadi unitnya adalah moneter, non-moneter dan
intangible, isu penting dalam analisis adalah: tingkat dinskonto (discount rates), biaya peluang
(opportunity cost )dan efek multiplier.
Discount Rate
Tingkat diskonto merupakan laba atas investasi yang dibutuhkan untuk membenarkan
pengeluaran langka sekarang daripada masa depan. Dalam hal ekonomi perubahan iklim, ada
orang yang berpendapat bahwa masa manfaat yang diberikan oleh pengurangan gas rumah kaca
harus didiskontokan pada tingkat yang sama dengan laba rata-rata pada investasi sektor swasta
khas (Nordhaus, 1994). Demikian pula, beberapa pihak berpendapat bahwa bobot yang sama
harus melekat pada kesejahteraan baik generasi sekarang dan mendatang. Para ekonom telah
lama mengakui bahwa penggunaan tingkat diskonto rendah (misalnya 1 persen) mendukung
langkah-langkah agresif untuk menstabilkan iklim global.
(2) Cost effectiveness analysis
Analisi efektifitas biaya merupakan analisis biaya-manfaat khusus dimana semua biaya dari
proyek portofolio dihitung dalam hubungannya dengan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan
merepresentasikan manfaat dari project dan dampak lain diukur sebagai biaya positif atau negatif
(biaya negatif, dengan pengecualian manfaat dari tujuan kebijakan), akan berkorespondensi
dengan manfaat kebijakan. Tujuan kebijakan memberikan arahan untuk tujuan pengurangan
emisi GRK. Hasil dari analysis dapat berbentuk biaya ($/ton) dari pengurangan emisi GRK.
Efektifitas biaya, memilih tingkat kinerja yang diinginkan, serta memilih opsi untuk mencapai
tingkatan tersebut dengan biaya terrendah. Analisis efektifitas biaya dapat membantu memilih
opsi, tetapi berbeda dengan kriteria biaya-manfaat, tidak dapat mengindikasikan apakah opsi
tersebut layak digunakan atau tidak.
Kriteria efektifitas biaya menyangkut perbandingan dari aliran biaya akhir dan pengurangan
emisi GRK yang terjadi pada titik yang berbeda pada suatu waktu. Aliran biaya dapat
dibandingkan melalui Net Present Value (NPV):
57 | P a g e
Biaya dapat direpresentasikan sebagai biaya levelised dimana biaya annual pengurangan emisi
GRK- ditransformasikan menjadi aliran annual konstan dalam investasi masa hidup. Proyek
mitigasi yang memiliki konstanta pengurangan emisi annual dapat langsung dibandingkan
dengan biaya levelised pada titik dalam suatu waktu. Biaya total levelised C0 dari projek yang
dapat dihitung dengan formula:
Levelised cost dimana investasi Ii menjadi lebih menarik dibandingkan investasi I 2 apabila
levelised cost I1 per unit pengurangan GRK lebih kecil dibandingkan levelised cost I2 per unit
pengurangan emisi GRK. Biaya levelised harus dihitung untuk lifetime investment, dengan
inclusi dari nilai terminal untuk investasi jangka panjang.
Biaya penuh ekonomi dari project dan tidak hanya biaya financial langsung, mengukur
efektifitas biaya yang dapat diformulasikan
Cfull = C/E
Dimana C dan E dapat berupa NPV atau Levelised Costs.
Ada beberapa indikator dari efektifitas biaya:
1. Biaya initial per ha dan per tC
Tidak termasuk future discounted investments yang diperlukan untuk periode rotasi
Dapat memberikan informasi yang berguna untuk sumber daya yang diperlukan pada
saat permulaan untuk menjalani proyek.
Jumlah dari biaya permulaan (initial cost) dan nilai diskounted sebagai investasi masa
depan dan biaya recurring selama lifetime dari proyek.
Untuk rotasi proyek, yang diasumsikan bahawa biaya rotasi akan dibayarkan oleh
pendapatan dari rotasi sebelumnya.
Juga disebut dengan biaya endowment karena memberikan estimasi dari present value
sumber daya yang diperlukan untuk memelihara proyek selama durasi proyek.
Menyediakan manfaat non-karbon dari net discounted value yang diperoleh dari
proyek.
Untuk perkebunan dan hutan, harus positif pada discount rate harus reasonable
Untuk opsi seperti perlindungan hutan, indicator NPV harus positif apabila manfaat
tidak langsung dan nilai hutan dimasukkan, keduanya menjadi subyek dari evaluasi
yang kontroversial.
Indikator ini merupakan estimasi dari net manfaat pengurangan karbon emisi
atmospheric dibandingkan net pengurangan emisi.
Indikator juga menjelaskan NPV dari proyek dalam hal jumlah karbon atmospheric
yang dikurangi, memperhitungkan waktu pengurangan emisi dan atmospheric
residence of the emitted carbon.
pada atribut dan pembobotan untuk menghitung dan mengevaluasi pertukaran antara criteria
yang berbeda. Meier dan Munasingh (1994) memberikan lima langkah dalam analisis ini:
1. Pemilihan dan definisikan atribut-atribut, misal Ai (i=1N) dipilih untuk merefleksikan
tujuan perencanaan yang penting.
2. Kuantifikasi dari tingkatan Aij dimana atribut I diestimasikan untuk setiap J alternative.
3. Penskalaan atribut dimana tingkatan atribut dapat diterjemahkan ke dalam pengukuran
nilai, Vi (Aij) (juga dikenal sebagai fungsi nilai atribut). Kadang dikombinasikan dengan
prosedur normalisasi(biasanya dari skala 0 sampai 1 dimana nilai terrendah atribut adalah
0, atribut tertinggi nilainya 1).
4. Pemilihan bobot w1 untuk setiap atribut.
5. Penentuan dan aplikasi dari aturan pengambilan keputusan, yang amalgamates informasi
menjadi satu nilai keseluruhan atau ranking dari opsi yang tersedia atau yang mengurangi
sejumlah opsi.
Aturan pengambilan multi atribut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dimana wi adalah bobot dan Vi (Ai) adalah fungsi nilai dari atribut Ai.
Salah satu elemen yang paling kompleks dalam rancangan analisis multi atribut adalah seleksi
atribut. Walau kelihatannya bagus untuk memilih dan mengevaluasi sebanyak mungkin atribut,
tetapi hal ini belum tentu menjadi dasar yang baik dalam pengambilan keputusan. Atribut harus
dipilih secara hati-hati didasarkan pada metodologi yang konsisten dan pertimbangan praktis.
Beberapa isu utama metodologi berhubungan dengan double accounting, kebebasan nilai,
proliferation of attributes dan kepentingan atribut dalam hubungannya dengan pengambilan
keputusan (Meier dan Munasinghe, 1994). Selain itu atribut harus dapat diukur dan
diprediksikan.
Penentuan atribut bobot merupakan isu yang sulit. Terdapat beberapa metodologi yang berbeda
sebagai kerangka untuk menentukan bobot. The assignment dari nilai moneter pada dampak
project merupakan salah satu metodologi dari penentuan bobot. Sumber informasi adalah
preferensi konsumen yang ada di pasar. Metodologi lainnya merancang system untuk membuka
preferensi berdasarkan wawancara dari pengambilan keputusan, stakeholder atau expert.
60 | P a g e
Teknologi
Rendah Karbon
Teknologi
Konvensional
Harga energi,
Tingkat suku
bunga
Emisi
CO2
Biaya annual
Teknologi
Emisi
CO2
Biaya annual
Teknologi
Pengurangan emisi
CO2 (tC)
Biaya Abatement($/tC)
Biaya tetap = $
Biaya O& M = $/yr
Biaya energi = $/yr
Tingkat suku bunga = %
Service Lifetime = yr
b. Analisis sektoral harus mengikuti dari analisis ekonomi makro, yang akan
mengidentifikasi variabel kebijakan umum untuk semua sektor. Sektor kebijakan dan
program investasi harus konsisten dengan analisis ekonomi makro yang lebih luas
c. Analisis tingkat proyek hanya harus mencakup proyek-proyek yang merupakan bagian
dari solusi dilemparkan oleh analisis sektoral. Meskipun biaya yang muncul dari
penyelidikan yang lebih rinci mungkin berbeda dari perkiraan analisis tingkat yang lebih
tinggi, himpunan keseluruhan proyek harus dalam perencanaan sektoral. Demikian juga
emisi baseline untuk evaluasi proyek harus konsisten dengan orang-orang untuk evaluasi
sektoral.
Tabel 4.1 Kerangka Kerja dari Model untuk Menghitung Biaya Mitigasi
Tingkat
Makro
Sektor
Baseline
Tujuan
Perkiraan
emisi GRK
di tingkat
makro
Target emisi
regional
Proyek
pada
tingkat
sektor
Bagaimana
pengurangan
diukur
Target
pengurangan
emisi untuk
sektor
(contoh:
Energi,
Kehutanan
)
Pilihan
Makro
ekonomik dan
kebijakan
sektoral,
Mendefinisikan
rangkaian opsi
sebagai set S1.
Program
investasi
sektoral
dan
Kebijakan.
Mendefinisikan
rangkaian opsi
sebagai
S2
S2 S1.
Metode
CGE model
Makro
ekonomi
model
Output
Biaya
Kumulatif yang
berhubungan
dengan sekto
dan proyek
yang dapat
diidentifikasi
Disagregat
dari
kebijakan
sektor
Implementsi
kebijakan/
program
investasi
Isu rancangan
program dan
kebijkan.
Definisikan
rangkaian opsi
mitigasi,
kebijakan dan
investasi
Hubungan
Discounting ke
tingkatan rendah
Pengukuran
makroekonomic
modeling dampak
Perlakuan terhadap
Dividen ganda dan
tujuan
Integrasi
sektoral
model untuk
mitigasi
Biaya terendah
NPV termasuk
biaya sekunder
dan manfaat
Discounting
Perlakuan terhadap
biaya dan manfaat
tidak langsung.
Perlakuan tentang
biaya bersama
Perlakuan dari opsi
no-regrets
Kebijakan
mitigasi
Proyek
Isu Biaya
Metode
Appraisal
Proyek
Discounting
Definisi dan
penggunaan harga
bayangan, termasuk
modal, biaya
gabungan
Biaya Ekonomi
Biaya keuangan.
Perlakuan terhadap
biaya eksternal.
62 | P a g e
YA, masuk ke
dalam NAMAs
memutuskan
Tidak, masuk ke
dalam NAMAs
memutuskan
Pendanaan dari
Pemerintah Pusat
(APBN)
Dapat di danai
dari Pemerintah
Provinsi (APBD)
64 | P a g e
Substansi
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Visi Misi RAD-GRK
1.3 Tujuan dan Sasaran RAD-
Deskripsi
Pemerintah Provinsi menguraikan latar
belakang,visi,misi dan tujuan penyusunan RAD
GRK. Hal ini meliputi uraian mengenai perubahan
iklim, kerangka hukum dan institusi yang ada di
Provinsi terkait perubahan iklim, dan gambaran
65 | P a g e
Bab RAD
GRK
Substansi
GRK
Deskripsi
umum wilayah.
KERANGKA KEBIJAKAN,
RUANG LINGKUP, SERTA
KONSEP PENYUSUNAN
3.1.Kerangka Kebijakan
RAD-GRK
a.
b.
c.
d.
4
Metodologi Penetapan
Kegiatan dan Target
Penurunan Emisi
Prinsip-prinsip RADGRK
Ruang Lingkup RADGRK
Pengembangan RADGRK
Sektor Tertutip
4.2.1.1Arah Kebijakan
4.2.1.2 Rencana Aksi
4.2.2
Sektor Terbuka
4.2.2.1 Arah Kebijakan
4.2.2.2
Rencana Aksi
66 | P a g e
Bab RAD
GRK
Substansi
4.2.3.1
Arah Kebijakan
4.2.3.2
Rencana Aksi
PENDANAAN
5.1 Kebijakan Pendanaan
5.2 Sumber Pendanaan
5.3 Mekanisme Pendanaan
Deskripsi
Pemerintah
Provinsi
menyiapkan
kebijakan
pendanaan sebagai pendukung tindakan mitigasi
provinsi. Lebih lanjut, Pemerintah Provinsi harus
dapat mengidentifikasi sumber sumber pendanaan
yang akan digunakan untuk setiap tindakan mitigasi.
Terkait identifikasi sumber pendanaan, mekanisme
pendanaan perlu disiapkan oleh Pemerintah Provinsi
sesuai dengan peraturan yang ada.
MONITORING, EVALUASI,
KAJI ULANG DAN
PELAPORAN
PENUTUP
Pemerintah Provinsi
68 | P a g e
Proses dan prosedur penyusunan Rencana Aksi Daerah Perubahan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAD GRK) dilakukan di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi dengan melibatkan Dinas
dinas terkait dan pemangku kepentingan di daerah. Tahapan proses penyusunan meliputi 5
langkah sebagai berikut: (1).Tahap Persiapan, (2). Tahap Pengumpulan Data, (3). Tahap
Analisis, (4). Tahap Rumusan Rencana Aksi, dan (5). Tahap Penetapan(Gambar 5.1). Jangka
waktu penyusunan RAD GRK oleh Pemerintah Provinsi maksimal 12 (dua belas) bulan
sebagaimana dirincikan dalam tahapan pada Gambar 6.1.
69 | P a g e
dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan
penggunaan lahan;
4. RAD GRK merupakan kontribusi daerah terhadap komitmen Indonesia dalam
mendukung kepentingan nasional dan upaya-upaya global penurunan emisi GRK;
5. RAD GRK merupakan rencana aksi dengan pendekatan baru dalam pembangunan yang
lebih memperhatikan upaya-upaya pengurangan emisi GRK.
6.1 Tahap Persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal bagi Pemerintah Provinsi dan/atau pihak ke-3 yang ditunjuk
dalam menyiapkan RAD GRK. Pada dasarnya tahap ini adalah persiapan persiapan umum
sebelum kegiatan perencanaan yang sesungguhnya dilakukan. Tahap Persiapan pada Penyusunan
RAD GRK dilakukan selama 1 (satu) bulan.
70 | P a g e
Kajian Awal sebagai tahapan proses penyusunan RAD GRK dapat dilakukan mandiri oleh
Pemerintah Provinsi ataupun pihak ke-3. Dalam tahap langkah ini terdpat 3 tiga) hal yang
harus dilakukan, yakni:
a) Penyusunan narasi pemahaman mengenai perubahan iklim dan kaitannya dengan
emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor sektor pembangunan di daerah.
b) Identifikasi sektor sektor pembangunan di daerah yang merupakan penghasil emisi
gas rumah kaca; sesuai dengan klasifikasi sektor penyumbang emisi GRK menurut
RAK GRK, yakni pengelolaan persampahan dan kehutanan.
c) Identifikasi kondisi inventori emisi gas rumah kaca yang sudah dilakukan untuk
tingkat daerah provinsi.
3) Persiapan Teknis
Langkah persiapan teknis akan memformulasikan rencana kerja yang lebih detail untuk
proses penyusunan RAD GRK dengan berdasarkan kepada hasil kajian awal. Berikut ialah
hal hal yang terckup ke dalam persiapan teknis:
a) Penyimpulan data awal, setidaknya mencakup gambaran wilayah perencanaan, profil
sektor penghasil emisi, terutama untuk sektor-sektor bersifat tertutup maupun
campuran), dan pengenalan awal potensi dan persoalan terkait upaya pengurangan
emisi gas rumah kaca.
b) Perumusan metodologi, yakni penyusunan secara detail metode pengumpulan data
dan analisis untuk merencanakan pengurangan emisi gas rumah kaca di daerah.
Meskipun secara nasional terdapat metodologi tertentu yang perlu diacu, hal ini
dapat dilakukan apabila kondisi daerah provinsi memungkinkan untuk penerapan
metodologi yang lebih lanjut.
c) Penyusunan rencana kerja, yakni penyusunan secara detail kegiatan kegiatan yang
akan dilakukan Pemerintah Provinsi sampai dengan terumuskannya usulan kegiatan
mitigasi daerah. Detail kegiatan dapat berbeda dari satu daerah provinsi dengan yang
lainnya, selama memenuhi tahapan tahapan yang ada dan dilaksanakan selama 12
bulan.
d) Persiapan perangkat survey, yakni pembuatan dan penggandaan alat alat
pengumpulan data yang diperlukan bagi penyusunan RAD GRK, terdiri dari alat
bantu desk study, pedoman wawancara, kuesioner, dan lembar observasi.
4) Pemberitaan Penyusunan RAD GRK
Pemberitaan kepada publik mengenai penyusunan RAD GRK, melalui cara pemberitaan
yang lazim dilakukan pada provinsi terkait. Pemberitaan langsung setidaknya melibatkan
unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah, LSM, dan swasta. Pemberitaan
dilakukan sebagai bentuk tranparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan penyusunan RAD
GRK, membuka peluang inisiatif dari pihak pihak terkait di sektor penghasil emisi, serta
sekaligus untuk membuka komunikasi awal bagi pengumpulan data.
71 | P a g e
RPJMD
Renja Dinas
1
Renja Dinas
2
RTRW
Sektor/Bagian
(khusus RTRW)
Isi
Sektor 1
Sektor 2
Sektor 1
Sektor 2
Sektor 1
Sektor 2
5) Kelembagaan (aktor dan peraturan) yang terkait dengan kegiatan kegiatan pada
penghasil emisi
Pemerintah Provinsi di dalam penyusunan RAD GRK perlu dengan jelas mencatat
informasi kelembagaan (institusi dan peraturan) pada setiap sektor penyumbang emisi
gas rumah kaca serta mengindikasikan keterkaitan keberadaan komponen kelembagaan
tersebut terhadap peluang implementasi RAD GRK. Berikut ialah contoh tabel yang
dapat digunakan untuk keterkaitan antara keberadaan komponen kelembagaan dengan
usaha pengurangan RAD GRK:
Tabel 6.2 Format Tabel Identifikasi Keterkaitan Kelembagaan dan Sektor
Penghasil Emisi
Komponen
Kelembagaan
Aktor
Nama Institusi/
Peraturan
Dinas A (misal:
Dinas
Perhubungan)
Dinas B (misal:
Dinas
Persampahan)
Keterkatitan dengan
Usaha Pengurangan Emisi
GRK (contoh)
Dapat ditingkatkan untuk
implementasi kegiatan
mitigasi
73 | P a g e
Peraturan
(Misal: Peraturan
Walikota Bandung)
Berpotensi untuk
ditingkatkan menjadi
peraturan di tingkat provinsi
dalam rangka mendorong uji
emisi
(Misal: Keputusan
Gubernur
DKI
Jakarta 95//2000)
Jakarta
Berpotensi untuk
memperketat jumlah moda
kendaraan yang layak
beroperasi.
Uraian kegiatan
Lokasi kegiatan
Keikutsertaan
hutan adat pada
kegiatan REDD
Car Free Day
(misal: Kalimantan
Tengah)
(misal:
Bandung)
Kota
74 | P a g e
75 | P a g e
Nama Aktor
Kepentingan
terhadap
Mitigasi
Pengaruh
terhadap Mitigasi
77 | P a g e
Kumulatif
BAU
(MtCO2)
Pilihan
Mitigasi
Pengurangan
emisi kumulatif
(MtCO2)
Total Biaya
Mitigasi
(Billion USD)
Biaya Sistem
Abatement
(USD/tCO2)
PersentaseRe
duksi emisi
setiap sektor
78 | P a g e
80 | P a g e
REFERENSI
UNEP Collaborating Centre on Energy and Environment, (1998) Mitigation and Adaptation Cost
Assessment: Concepts, Method and Appropriate Use, Ris National Laboratory, Denmark.
The Government of Indonesia (2010) Draft Perpres Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Draft Presidential Decree on National Action Plan to Reduce
GHG emissions. The Government of Indonesia.
Transport and Climate Change Module 5e. Sustainable Transport: A Sourcebook for Policymakers in Developing Cities. GTZ
82 | P a g e
LAMPIRAN
Opsi Mitigasi
Tabel 1
Opsi Mitigasi Sektor Kehutanan
Pelaksana
No
Sumber
Program
Pengendalian Kerusakan
Ekosistem Gambut
Penyusunan Kriteria Baku
Kerusakan Ekosistem
Gambut
1
2
Keterangan
Nasional
Provinsi
Kota/Kab
Fasilitasi rehabilitasi
lahan kritis pada DAS
prioritas
Fasilitasi pengembangan
hutan kota
RAN GRK
6
Peningkatan Kesatuan
Pengelolaan Hutan
(Penetapan wilayah
KPHK)
Penanganan perambahan
kawasan hutan lahan
gambut
83 | P a g e
Pelaksana
No
Sumber
Program
Keterangan
Nasional
Provinsi
Kota/Kab
10
Pengendalian Kebakaran
Hutan
11
Demonstration Activities
12
13
Inventarisasi dan
pemetaan kesatuan
hidrologis ekosistem
gambut
14
Inventarisasi dan
pemetaan karakteristik
ekosistem gambut.
15
16
17
18
19
Peningkatan, rehabilitasi
dan pemeliharaan jaringan
reklamasi rawa (termasuk
lahan bergambut yang
sudah ada).
Percepatan Penetapan
Perda RTRW Provinsi
dan Kabupaten/Kota
berbasis Kajian
Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS)
Pengelolaan lahan gambut
untuk pertanian
berkelanjutan
Rehabilitasi, reklamasi
dan revitalisasi lahan
gambut terlantar,
terdegradasi, pada areal
pertanian
Konservasi hutan
dan/lahan rawan terbakar
melalui pemberian
insentif kepada
84 | P a g e
Pelaksana
No
Sumber
Program
Keterangan
Nasional
Provinsi
Kota/Kab
masyarakat
20
21
22
Fasilitasi pembangunan
hutan rakyat kemitraan
23
24
Pemberantasan illegal
logging Pencegahan
kehilangan kayu
25
Penanganan Perambahan
Hutan dan Penanganan
Konflik Kawasan
Lindung dan Konservasi
26
Peningkatan Kesatuan
Pengelolaan Hutan
(Penetapan wilayah
KPHP)
27
Peningkatan Kesatuan
Pengelolaan Hutan
(Penetapan KPHL)
28
29
Peningkatan Pengelolaan
Hutan Alam Produksi
Melalui SFM
a. Pengelolaan Hutan
Alam dengan IUPHHKRE
Peningkatan Pengelolaan
Hutan Tanaman :
a. Penambahan Areal
85 | P a g e
Pelaksana
No
Sumber
Program
Keterangan
Nasional
Provinsi
Kota/Kab
30
Penyusunan Perpres
Kawasan Strategis
Nasional (KSN) &
Rencana Tata Ruang
(RTR) Pulau
31
32
33
34
Monitoring Evaluasi
RTRW Nasional dan
Pulau dan Program
Infrastruktur Nasional
35
36
Peningkatan Produksi
Penebangan Bersertifikat
Legalitas Kayu
37
38
Pengendalian Penggunaan
Kawasan Hutan
86 | P a g e
Pelaksana
No
Sumber
Program
Keterangan
Nasional
Provinsi
Kota/Kab
39
Penyelesaian permohonan
Ijin Pakai KH dengan
kompensasi PNBP
40
41
Kebijakan bidang
Planologi dan Peraturan
perundangan
pengendalian dan
penertiban penggunaan
KH tanpa izin
42
43
44
45
46
Penelitian dan
Pengembangan
Kehutanan dan Perubahan
Iklim
Iptek dasar dan terapan
bidang landscape hutan,
perubahan iklim, dan
kebijakan kehutanan
47
Peningkatan kapasitas
Aparatur dan Masyarakat
48
Penyelesaian kasus
perambahan hutan
49
Penetapan Wilayah
KPHK
87 | P a g e
Pelaksana
No
Sumber
Program
Keterangan
Nasional
Peraturan perundangundangan
penyelenggaraan KPH
Pengawasan pemanfaatan
ruang dan evaluasi
pemanfaatan ruang
Berdasarkan daya dukung
dan daya tampung
lingkungan yang terpadu
dan bersifat lintas K/L
50
51
Provinsi
Kota/Kab
52
Penyusunan Perpres
Kawasan Strategis
Nasional (KSN) &
Rencana Tata Ruang
(RTR) Pulau
53
Menghindari deforestasi
yang direncanakan pada
gambut (misalnya tanah
swap).
54
Menghindari deforestasi
yang tidak terencana.
55
56
57
58
Landuse
NAMAs
Meningkatkan
manajemen pengelolaan
gambut di lahan hutan.
Meningkatkan
pengelolaan taman
nasional konservasi
nasional dan hutan
lindung.
Meningkatkan
manajemen konsesi
penebangan, misalnya
RIL.
59
Konservasi hutan
cadangan karbon.
60
Manajemen lahan
pertanian.
Tabel 2
Opsi Mitigasi Sektor Pertanian
88 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
Pemanfaatan pupuk
organik dan bio-pestisida
dalam budidaya tanaman
untuk mencegah
laju peningkatan emisi
GRK melalui penggunaan
Alat Pengolah Pupuk
Organik
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
Pemanfaatan
kotoran/urine ternak dan
limbah pertanian untuk
biogas, biofuel dan pupuk
organik
Penerapan teknologi
budidaya tanaman untuk
mengurangi gas rumah
kaca
RAN GRK
Perbaikan dan
pemeliharaan sistem
irigasi
Penerapan pembukaan
lahan tanpa bakar (PLTB)
melalui pembuatan
kompos, arang dan briket
arang
Penelitian system
pengelolaan air pada
daerah irigasi
Penelitian metode
pengurangan emisi Gas
Rumah Kaca di Waduk
Penelitian dan
pengembangan teknologi
rendah emisi, metodologi
MRV sektor pertanian
10
Pengembangan areal
perkebunan (sawit, karet,
89 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
kakao) di lahan tidak
berhutan/lahan
terlantar/lahan
terdegradasi (APL)
Penerapan
pembukaan/pernyiapan
lahan tanpa bakar melalui
pembinaan pada lahan
11
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
Sub Sub Bidang Lahan
Perkebunan. Hal 661
Pengurangan deforestasi
melalui optimalisasi lahan
12
Pemanfaatan pupuk
organik dan pestisida
hayati/agens hayati dalam
kegiatan budidaya
tanaman pangan untuk
menekan laju emisi GRK
Pegembangan budidaya
tanaman pangan dengan
TOT untuk mengurangi
laju emisi GRK
13
14
ICCSR
15
16
17
18
19
Pemanfaatan kotoran/
urine ternak untuk
biogas/bio-urine.
Pertemuan koordinasi
pengendalian
kebakaran lahan/kebun
Pelatihan pengendalian
kebakaran
Pengadaan peralatan
PLTB (tracktor dan
mulcher)
90 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
20
21
22
23
24
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
Tabel 3
Opsi Mitigasi Sektor Industri
No
SUMBER
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Penyusunan kebijakan
teknis pengurangan emisi
CO2 di industri
RAN GRK
Keterangan
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang Perubahan
Iklim dan Perlindungan
Atmosfer. Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang No 17
Perubahan Iklim dan
Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing). Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang No 17
Perubahan Iklim dan
Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
91 | P a g e
No
SUMBER
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Penghapusan Bahan
Perusak Ozon (BPO) dan
implementasinya di
industry refrigerant,
foam, chiller dan
pemadam api
Penyusunan dan
pengembangan
roadmap/peta jalan
Green Industry dan
implementasinya.
Peningkatan capacity
building bagi aparat
pemerintah dan pelaku
industry
Keterangan
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing). Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang Perubahan
Iklim dan Perlindungan
Atmosfer. Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang No 17
Perubahan Iklim dan
Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing). Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Industri Sub Bidang SDM
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Hal 304 Sub
Bidang Pengendalian
Lingkungan Hidup Sub Sub
Bidang No 17 Perubahan Iklim
dan Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing)
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Sub Bidang
Pengendalian Lingkungan Hidup
Sub Sub Bidang No 17
Perubahan Iklim dan
Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing, sebelum
membuat program, harus
dilakukan inventori terlebih
dahulu). Hal 304
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Industri Sub Bidang Monitoring,
Evaluasi, dan Pelaporan
92 | P a g e
No
SUMBER
Program
Nasional
10
11
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Keterangan
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Lingkungan Hidup Hal 304 Sub
Bidang Pengendalian
Lingkungan Hidup Sub Sub
Bidang No 17 Perubahan Iklim
dan Perlindungan Atmosfer
(Nasional, Provinsi, Kab/Kota
dapat menetapkan kebijakan
untuk pelaksanaan pengendalian
dampak lingkungan berdasarkan
skala masing-masing)
Dilakukan oleh Bidang
Lingkungan Hidup coba lihat
ICCSR
Tabel 4
Opsi Mitigasi Sektor Energi
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
Audit Energi
Peningkatan sambungan
rumah yang teraliri gas
bumi melalui pipa
Penyediaan dan
pengelolaan energi baru
terbarukan dan konservasi
energi
Pemanfaatan biogas
RAN GRK
4
93 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
Pemantauan Implementasi
kebijakan pengurangan
volume pembakaran gas
flare
10
Penyediaan dan
pengelolaan energy baru
terbarukan dan konservasi
energy
11
12
Penelitian system
pembangkit listrik tenaga
gelombang & arus laut
13
14
PAKLIM
15
16
Nasional
Mengembangkan
pengaturan mengenai
energi dan listrik untuk
tingkat nasional;
Pengaturan tarif listrik
bagi PKUK dan IUKU
yang izin adalah pada
tingkat nasional
Penerbitan izin untuk
menyiapkan pembangkit
listrik diri sendiri bahwa
instalasi adalah melintasi
batas-batas provinsi
termasuk ijin untuk
menjual listrik over
produksi
Mengembangkan
pedoman, standar, dan
kriteria untuk penerangan
jalan umum;
94 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Menyediakan bebas
Energi Audit untuk
bangunan komersial
dipilih dan industri;
Program tentang
Pengelolaan Demand
Side;
Program Penghematan
Energi Cahaya sebagai
sebuah kolaborasi antara
DESDM, PLN, dan
produsen dan konsumen
lampu listrik dengan
lampu hemat energi.
Provinsi
Mengembangkan
pengaturan mengenai
energi dan listrik untuk
tingkat provinsi;
Pengaturan tarif listrik
bagi PKUK dan IUKU
yang izin adalah pada
tingkat provinsi;
Penerbitan izin untuk
menyiapkan pembangkit
listrik diri sendiri bahwa
instalasi adalah melintasi
batas-batas kota termasuk
ijin untuk menjual listrik
over produksi;
Masyarakat Banding pada
jam / kerja operasional
untuk efisiensi energi
pada publik / bangunan
komersial dan kantor
(misalnya lampu CFL, Air
Condition, dll) di kotakota yang paling;
Sosialisasi pada efisiensi
energi untuk publik
melalui media.
Kota
Mengembangkan
pengaturan mengenai
energi dan listrik di
tingkat kota;
Pengaturan tarif listrik
bagi PKUK dan IUKU
Provinsi
Keterangan
Kota/Kab
PP 38 Tahun 2007 Bidang
ESDM Sub Bidang Minyak buni
dan Gas (Pelaksanaan
berdasarkan skala wilayah). Hal
784
PP 38 Tahun 2007 Bidang
ESDM Sub Bidang
Ketenagalistrikan (Nasional
memberikan izin, kab/kota
memberikan rekomendasi
lokasi). Hal 782 dan 784
95 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
yang izin yang ada di
tingkat kota;
Penerbitan izin untuk
menyiapkan pembangkit
listrik diri sendiri bahwa
instalasi adalah dalam
administrasi kota
termasuk ijin untuk
menjual listrik over
produksi;
Peraturan Daerah atau
Perusahaan Publik
Banding (sirkulasi surat)
pada operasional / jam
kerja untuk efisiensi
energi pada publik /
bangunan komersial dan
kantor (misalnya lampu
CFL, Air Condition, dll)
di kota-kota besar;
Penggantian lampu jalan
dan lampu taman untuk
efisien-lampu di beberapa
kota;
Sosialisasi pada efisiensi
energi untuk publik
melalui media di sebagian
besar kota;
Inisiasi pada panel surya
di beberapa kota
29
30
31
32
33
34
ICCSR
35
Provinsi
Melaksanakan penelitian
lintas sektor pada dampak
dari pendekatan biaya
yang paling efektif untuk
mengurangi Emisi CO2.
Ini mungkin untuk
mengidentifikasi beberapa
pengorbanan yang bisa
membantu untuk
menentukan cara terbaik
untuk memenuhi target
pengurangan emisi CO2 di
Jawa Bali dan, relatif
untuk sektor-sektor
mitigasi lainnya
Memberikan dukungan
politik untuk menjamin
keanekaragaman dan
keamanan pasokan energi
primer, karena ini akan
terus menjadi prioritas
Keterangan
Kota/Kab
Ketenagalistrikan (Pelaksanaan
berdasarkan skala wilayah).
96 | P a g e
No
Sumber
Pelaksana
Program
Nasional
36
37
38
39
keamanan nasional
Membentuk jadwal
khusus untuk
melaksanakan peta jalan
untuk mencapai tujuan
Dimasukkan ke dalam
prosedur untuk
memastikan bahwa
teknologi baru yang
tersedia pada waktu dan
bilamana diperlukan
Pastikan bahwa pilihan
teknologi akan diminta
untuk menyesuaikan diri
dengan teknologi karbon
rendah campuran. Sesuai
mungkin termasuk
menyetujui kerangka
waktu untuk pengenalan
listrik baru menghasilkan
kemampuan ke dalam
campuran kapasitas
pembangkitan tenaga
listrik yang ada
Menempatkan kerangka
untuk memastikan bahwa
teknologi tersebut akan
menjadi dan tetap
kompetitif, mencakup
inisiatif kebijakan,
persyaratan peraturan, dan
pilihan pembiayaan
Keterangan
Kota/Kab
40
Provinsi
Konservasi energi.
41
42
43
44
Melakukan pemantauan
terhadap Gas Rumah
Kaca.
Memodifikasi dan
mengganti teknologi.
Menyetujui perjanjian
cooperative perubahan
iklim.
Melakukan pelaksanaan
audit energi dan rencana
penghematan.
97 | P a g e
Tabel 5
Opsi Mitigasi Sektor Transportasi
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Pembangunan ITS
(Inteligent Transport
System)
Penerapan Pengendalian
Dampak Lalu-Lintas
(Traffic Impact
Control/TIC)
Pengembangan KA
Perkotaan Bandung (jalur
ganda, elektrifikasi,
pengadaan KRL)
Manajemen Parkir
Peremajaan armada
angkutan umum
RAN GRK
Keterangan
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Nasional sebagai
pembuat pedoman). Hal 181
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Nasional sebagai
pembuat pedoman). Hal 191
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Untuk pedoman
dibuat oleh nasional dan untuk
penyelenggaraan sesuai skala
wilayah). Hal 182 dan 192
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perkeretaapian (Berdasarkan skala
wilayah dan berkaitan dengan PT
KAI). Hal 215
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Pedoman pada
nasional sedangkan untuk
pemberian izin di kota/kab). Hal
182
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Untuk pedoman
dibuat oleh nasional dan untuk
penyelenggaraan sesuai skala
wilayah). Hal 183 dan 191
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Pedoman pada
nasional sedangkan untuk
pemberian izin di provinsi,
kota/kab). Hal 181
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Untuk pedoman
dibuat oleh nasional dan untuk
98 | P a g e
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Pemasangan Converter
Kit (Gasifikasi angkutan
umum)
10
11
Pembangunan
doubledouble Track
(termasuk elektrifikasi)
12
13
Pengadaan KRL
14
15
Pajak kendaraan
(berdasarkan emisi CO2)
16
Pembangunan
peningkatan dan
preservasi jalan
17
Pengembangan pedoman
bagi perkotaan
pembangunan /
perencanaan transportasi,
termasuk aturan tentang
penggunaan lahan.
infrastruktur bersepeda
ICCSR
Keterangan
99 | P a g e
No
18
19
20
21
22
23
24
25
Sumber
Program
dan zona pejalan kaki.
Penerapan pengendalian
dampak lalu lintas c (TIC)
di daerah perkotaan
pembangunan
Pengenalan platform
logistik modern untuk
pembatasan wilayah
distrik bisnis
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Langkah-langkah untuk
mempromosikan
bersepeda, berjalan, dan
penggunaan ruang publik
Pelatihan dan materi
penjangkauan untuk
memberikan
informasi tentang
transportasi umum dan
pilihan NMT
Menetapkan biaya yang
lebih tinggi dalam kondisi
padat
Mengembangkan,
konsultasi dan persetujuan
kebijakan transportasi dan
strategi perkotaan,
termasuk
skema keuangan untuk
investasi transportasi
perkotaan yang
berkelanjutan
Langkah-langkah untuk
memperbaiki dan
meningkatkan kualitas
transportasi umum
Keterangan
100 | P a g e
No
Sumber
Program
Menetapkan standar emisi
bahan bakar efisiensi
baru sepeda motor
26
28
29
Peraturan desain
kendaraan (desain
standar) dan penggunaan
teknologi modern dan
konsumsi bahan bakar
standar
Peraturan standar bahan
bakar misalnya
menambahkan
2 generasi biofuel (bukan
kelapa sawit) dari
sekitar 10%,
meningkatkan
penggunaan CNG, mobil
listrik
dan sepeda)
Mengembangkan
kebijakan nasional pada
sistem angkutan umum
30
31
32
PAKLIM
33
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
182
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Nasional yang
menetapkan pedoman). Hal 180
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Nasional yang
menetapkan pedoman). Hal 180
Pelaksanaan UU 22/2009
Keterangan
101 | P a g e
No
34
Sumber
Program
Kementrian
Lingkungan Hidup
Mengembangkan
kebijakan nasional pada
waktu check emisi untuk
kendaraan bermotor
Inisiasi dan melakukan
cek emisi gratis untuk
umum
35
36
Menyelenggarakan
pelatihan bagi pemerintah
daerah dalam melakukan
cek emisi (sebagai bagian
dari pengembangan
kapasitas)
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Keterangan
Provinsi Perhubungan
37
Mengembangkan
kebijakan provinsi di
sistem transportasi umum
berdasarkan rencana
nasional
Inisiasi transportasi umum
(massa sistem transit)
38
39
40
41
Provinsi Lingkungan
Hidup
Mengembangkan
kebijakan provinsi pada
waktu check emisi untuk
kendaraan bermotorberdasarkan standar
nasional
Inisiasi dan melakukan
cek emisi gratis untuk
umum
102 | P a g e
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
Keterangan
4berdasarkan skala wilayah).
42
Menyelenggarakan
pelatihan bagi pemerintah
daerah dalam melakukan
cek emisi (sebagai bagian
dari pengembangan
kapasitas)
Kota Perhubungan
44
Mengembangkan
kebijakan kota pada
sistem angkutan umum
berdasarkan rencana
nasional dan provinsi
Peraturan untuk
membatasi jumlah
kendaraan dalam kota
45
43
46
47
49
50
103 | P a g e
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi Kota/Kab
51
Keterangan
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Perhubungan Sub Bidang
Perhubungan Darat Sub Sub
Bidang LLAJ (Untuk pedoman
dibuat oleh nasional dan untuk
penyelenggaraan sesuai skala
wilayah). Hal 182 dan 192
Tabel 6
Opsi Mitigasi Sektor Pengelolaan Sampah
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi
Kota/Kab
Pembangunan sarana
prasarana air limbah
dengan system off-site
dan on-site
Pengawasan Kegiatan
pembakaran terbuka
(open burning) sampah
Peningkatan kapasitas
pengelolaan sampah
RAN GRK
ICCSR
Melaksanakan kajian
inventarisasi GRK dari
sektor sampah yang lebih
lengkap dan sempurna
dengan disertai rencana
pengurangan GRK yang
sistematis.
Menerapkan kebijakan
pembangunan
infrastruktur bidang
persampahan berwawasan
lingkungan yang
didukung oleh
pengembangan dan
penelitian teknologi
Keterangan
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Pekerjaan Umum Sub Bidang
Persampahan Sub Sub Bidang
Pembinaan (Untuk Nasional
Fasilitasi bantuan teknis
sedangkan provinsi dan kota
memberikan pembinaan bantuan
teknis). Hal 54
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Pekerjaan Umum Sub Bidang
Persampahan Sub Sub Bidang
Pembangunan (Dibedakan secara
skala wilayah). Hal 54
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Pekerjaan Umum Sub Bidang
Persampahan Sub Sub Bidang
Pengawasan (Dibedakan secara
skala wilayah). Hal 55
PP 38 Tahun 2007 Bidang
Pekerjaan Umum Sub Bidang
Persampahan Sub Sub Bidang
Pembangunan (Dibedakan secara
skala wilayah). Hal 54
104 | P a g e
No
10
11
12
13
14
Sumber
Program
terapan berwawasan
lingkungan.
Mengembangkan
penerapan kebijakan
lingkungan hidup untuk
prinsip 3R (reduce, reuse,
recycle) dalam
pengelolaan persampahan.
Pengurangan sampah
(reduce) dari sumbernya
sebanyak mungkin,
digunakan kembali
(reuse) dan didaur ulang
(recycle) (3R) sebelum
diangkut ke TPA.
Pembangunan TPST 3R
di semua kota/kab di
Indonesia.
Pengelolaan persampahan
di TPAS dari open
dumping menjadi
controlled landfill di kota
kecil dan menengah;
sanitary landfill di kota
besar dan metropolitan.
Peningkatan metoda
pengelolaan gas sampah
(landfill gas LFG)
melalui pengumpulan dan
pembakaran atau melalui
penerapan energy
recovery system.
Mengembangkan
pembangunan
infrastruktur yang
berkelanjutan (dengan
menjaga keseimbangan 3
pilar pembangunan, yaitu
ekonomi, sosial, dan
lingkungan) dengan
mengurangi emisi GRK
(Gas Rumah Kaca) dan
meningkatkan penyerapan
karbon.
Menyelenggarakan
pembangunan
infrastruktur bidang
persampahan yang lebih
memperhatikan aspek
peningkatan kapasitas
(capacity building) SDM
Nasional
Pelaksana
Provinsi
Kota/Kab
Keterangan
105 | P a g e
No
15
16
17
18
19
20
21
Sumber
Program
dan institusi termasuk
kompetensi dan
kemandirian pemda dalam
pembangunan
infrastruktur yang
berwawasan lingkungan
serta mendorong peran
sektor swasta dan
masyarakat.
Mengembangkan
teknologi pengelolaan
sampah yang ramah
lingkungan dan antisipatif
terhadap perubahan iklim.
Mengembangkan
teknologi peningkatan
kualitas landfill: (1)
Controlled Landfill (CLF)
untuk kota kecil dan
menengah, (2) Sanitary
Landfill (SLF) untuk kota
besar dan kota
metropolitan (3)
Penghentian Open
Dumping.
Mengembangkan
penerapan EPR (Extended
Producer Responsibility)
untuk produsen dan
importir limbah B3
Mengembangkan
kebijakan nasional dan
strategi pengelolaan
limbah padat dan
pengolahan prasarana
limbah termasuk norma,
standar, pedoman, dan
kriteria.
Menyiapkan instansi yang
bertanggung jawab untuk
mengelola limbah padat
dan layanan air limbah
dan penerbitan izin.
Memfasilitasi resolusi
konflik di seluruh
provinsi untuk
permasalahan sampah
padat.
Meningkatkan kapasitas
dan memfasilitasi
kemitraan swasta, publik,
termasuk masyarakat
dalam pengelolaan limbah
Nasional
Pelaksana
Provinsi
Kota/Kab
Keterangan
106 | P a g e
No
Sumber
Program
Nasional
Pelaksana
Provinsi
Kota/Kab
Keterangan
padat.
22
23
24
25
28
29
30
31
26
27
Memfasilitasi bantuan
teknis dalam pengelolaan
limbah padat
Menerbitkan pengelolaan
sampah di kabupaten/kota
Bekerja sama dengan
sektor swasta untuk
mendukung pelayanan
infrastruktur air limbah di
kabupaten/kota
Memberikan bantuan
teknis pengelolaan
sampah untuk kecamatan,
desa, dan kelompok
masyarakat.
Inisiasi pemisahan
sampah di beberapa kota.
107 | P a g e