Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

Merokok dalam Hubungannya dengan Kecemasan dan Depresi :


Bukti dari Survei Populasi Besar : Studi HUNT

Pembimbing :
dr. Eva Suryani, Sp. KJ
Disusun oleh :
Priscila Stevanni
2013-061-066

ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
7 Juli 2014 16 Agustus 2014

Abstrak:
Merokok dilaporkan berhubungan dengan depresi dan kecemasan. Penelitian ini (a)
menyelidiki hubungan ini dan juga memperhitungkan komorbiditas, (b) menyelidiki
faktor-faktor penyamar yang mungkin, (c) menyelidiki bagaimana mantan perokok
dibandingkan dengan perokok saat ini dan orang yang tidak pernah merokok dalam
hal kecemasan dan depresi, dan apakah kecemasan dan depresi menurun seiring
dengan waktu penghentian. Peserta (66%) berusia 20-89 tahun yang diambil dari
survey populasi berbasis kesehatan (N= 60.814) disaring dengan menggunakan
HADS. (a) Hubungan dengan merokok paling kuat ditemukan pada komorbid
kecemasan depresi, diikuti oleh kecemasan, dan hanya sebagian kecil pada depresi.
Hubungan lebih kuat pada wanita dan peserta muda. (b) Variabel yang sebagian
dapat diperhitungkan ke dalam hubungan adalah gejala somatik, sosio-demografis,
masalah alkohol, dan aktivitas fisik yang rendah. (c) Kecemasan dan depresi paling
banyak ditemukan pada perokok saat ini, diikuti oleh mantan perokok, dan orang
yang tidak pernah merokok. Tidak terdapat penurunan kecemasan atau depresi
seiring dengan waktu penghentian rokok. Penelitian-penelitian sebelumnya
mengenaik depresi dan merokok mungkin telah memperhitungkan secara berlebihan
hubungan keduanya dengan mengesampingkan komorbid kecemasan.

1.

Pendahuluan
Efek merugikan dari merokok terhadap kesehatan sudah diketahui jelas dan
angka kematian yang berhubungan dengan merokok terbilang tinggi. Merokok
diketahui berhubungan dengan gangguan jiwa yang luas. Pada survey WHO,
kebiasaan merokok setiap hari ditemukan pada 30% penduduk di bagian barat.
Studi epidemiologi menemukan bahwa orang dengan gangguan jiwa dua kali
lebih mungkin merupakan seorang perokok dibandingkan dengan populasi
umum, dan merupakan konsumen rokok yang tinggi. Mengingat gangguan
mental yang paling umum, hubungan antara depresi dan merokok telah terbukti
berulang kali, tapi studi yang lebih baru juga menyoroti pentingnya gangguan
kecemasan [Kecemasan dan depresi umumnya merupakan komorbid. Namun,
sejauh mana merokok secara unik terkait dengan kecemasan, sebagai lawan
untuk dihubungkan dengan yang memperngaruhi terjadinya depresi masih belum
jelas.
Faktor-faktor lain dapat mengacaukan hubungan antara merokok dan
kecemasan/depresi, termasuk diantaranya kesehatan tubuh, perilaku terkait
dengan kesehatan lainnya, status sosial-ekonomi, usia dan jenis kelamin. Sebuah
tinjauan literatur baru terhadap kecemasan dan merokok mengajak untuk lebih
berfokus pada moderator dan mekanisme untuk meningkatkan pemahaman
megenai etiologi. Faktor psikososial dan gangguan mental komorbid telah
terlibat sebagai perancu penting pada orang dewasa muda. Kegagalan untuk
memperhitungkan perancu ini mungkin telah menyebabkan keyakinan yang
salah dalam teori kausal pada hubungan antara merokok dan gangguan mental
yang spesifik.
Respon kesehatan masyarakat terhadap merokok biasanya terdiri dari
kampanye untuk berhento merokok atau mencegah masyarakat untuk merokok.
Penelitian sebelumnya yang mendukung kebijakan ini, memperlihatkan mood
yang membaik dan pelepasan stress setelah penghentian rokok, dan peneliti telah
menekankan pentingnya untuk fokus pada penghenti rokok pada orang dengan
gangguan jiwa. Di sisi lain, perokok yang berhenti dan memiliki riwayat major
deppresion disorder (MDD) mrmiliki tisiko yang meningkat untuk mengalami
MDD lagi dalam waktu empat minggu hingga enam bulan. Diluar jangka waktu

tersebut, hanya sedikit yang diketahui mengenai penghentia rokok pada orang
dengan gangguan jiwa. Terdapat beberapa spekulasi dan bukti empiris bahwa
kecemasan menghalangi penghentian.
Akhirnya, dalam hubungannya dengan penyebab, terdapat bukti bahwa
merokok meningkatkan risiko depresi. Untuk gangguan cemas tertentu dan
gangguan stres pasca-trauma tertentu, bukti menunjukkan hubungan yang
bertolak belakang. Terdapat bukti adanya faktor genetik yang diturunkan pada
hubungan antara merokok dan depresi, dan juga pada ketergantungan nikotin
dan gangguan stress pasca trauma. Orang yang berhenti merokok dilaporkan
tidak memiliki peningkatan risiko untuk mendapatkan episode depresi baru
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok, namun terdapat
masalah kekuatan pada kebanyakan studi tersebut. Perbandingan orang yang
berhenti merokok dan orang yang tidak pernah merokok (dan waktu berhenti
pada orang yang merupakan perokok) dalam hal penyakit mental mungkin akan
menjelaskan masalah hubungan sebab akibat ini.
Tujuan studi ini adalah untuk menempatkan masalah-masalah ini pada
analisis data sekunder dari populasi masyarakat yang besar. Tujuan khusus
adalah sebagai berikut: (a) untuk menyelidiki hubungan antara merokok,
kecemasan dan depresi dengan mempertimbangkan komorbiditas dari kedua
gangguan mental tersebut; (b) untuk menyelidiki sampai sejauh mana perancuan
yang dihasilkan oleh perilaku lain yang berhubungan dengan kesehatan, keluhan
kesehatan tubuh, dan faktor sosio-demografis; (c) untuk menyelidiki kecemasan
dan depresi pada mantan perokok: dalam hubungan tertentu dengan waktu sejak
penghentian. Kami berhipotesis (a) peningkatan kecemasan, depresi dan
kecemasan komorbid depresi pada perokok dibandingkan non-perokok, (b) dan
bahwa hubungan ini tidak sepenuhnya dijelaskan oleh faktor perancu. (c)
Selanjutnya, kami berhipotesis bahwa akan ada peningkatan kecemasan dan
depresi pada peserta yang berhenti merokok dibandingkan dengan mereka yang
tidak pernah merokok (hipotesis trait-association), tetapi juga kecemasan dan
depresi akan kembali ke tingkat normal dibandingkan dengan mereka yang tidak
pernah merokok seiring berjalannya waktu (hipotesis state-association).

2.

Metode

2.1 Desain, peserta, dan prosedur


Pada studi kesehatan potong lintang dari Nord-Trndelag County (HUNT-II),
pelaporan data mandiri terhadap merokok, kesehatan fisik dan mental, dan
informasi demografis dan status sosio-ekonomi dikumpulkan. Sebagai
tambahan, indeks massa tubuh (IMT) dan tekanan darah diukur oleh perawat
masyarakat yang terlatih. Dari 92.100 penduduk berusia 20-89 tahun yang
memenuhi syarat, 60.814 (60%) dengan variabel yang seluruhnya sesuai untuk
penelitian ini. Proporsi sampel perempuan adalah 52.7% dan keragaman etnis
minimal.
2.2 Definisi depresi dan kecemasan
The Hospital Anxiety and Depression scale (HADS) merupakan kuesioner
laporan pribadi yang terdiri dari 14 item 4 poin skala Likert; 7 untuk kecemasan
(HADS-A) dan 7 untuk depresi (HADS-D) dengan mengacu pada dua minggu
sebelumnya. Gejala somatik dan gangguan tidur / nafsu makan secara khusus
dieksklusi untuk menghindari kasus positif palsu pada individu dengan
gangguan fisik. Nilai cut-off 8 pada setiap subskala ditentukan untuk
memberikan keseimbangan optimal antara sensitivitas dan spesifisitas (keduanya
sekitar 0,8) untuk depresi dan kecemasan menurut DSM-III dan IV, atau ICD-8
dan 9. Dengan memberlakukan nilai ini, dua dikotomi untuk kasus-tingkat
kecemasan dan depresi dihitung. Untuk memeriksa kondisi murni dan
komorbiditas kecemasan depresi, variabel tambahan dihitung dengan empat
kelompok untuk kegelisahan saja, depresi saja, kecemasan dan depresi
komorbiditas, dan kelompok acuan tanpa gangguan. Sesuai dengan publikasi
sebelumnya yang menggunakan HADS, kami melakukan analisis sekunder
dengan menggunakan kecemasan dan depresi sebagai nilai dimensi.
2.3 Merokok
Untuk menyelidiki hubungan merokok saat ini dengan kecemasan/depresi,
perokok dibandingkan dengan seluruh peserta yang lain. Merokok didefiniskan
sebagai merokok rokok, cerutu, atau pipa setiap hari. Selanjutnya, perbandingan
dibuat antara orang yang tidak pernah merokok dengan kedua perokok baik yang
sekarang merokok maupun mantan perokok. Akhirnya, Akhirnya, prevalensi

kecemasan dan depresi di kalangan mantan perokok dibandingkan menurut


waktu sejak penghentian.
2.4 Faktor perancu
Faktor perancu yang dinilai diambil berdasar analisis yang telah dilakukan
pada basis data HUNT sebelumnya, dan variabel-variabel tersebut dijelaskan
secara lebih rinci pada publikasi sebelumnya. Informasi mengenai usia dan jenis
kelamin didapat dari sensus nasional. Usia dikelompokkan ke dalam beberapa
dekade dengan usia 20-29 tahun sebagai acuan. Seperti pada publikasi
sebelumnya, kesehatan fisik dinilai dengan satu dari sejumlah sistem organ yang
dilaporkan memiliki gejala somatik dan satu dari sejumlah diagnosis somatik.
Indeks dari diagnosis somatik dihitung sebagai jumlah (hingga 15) diagnosa
yang ditanyakan sebagai bagian dari survei. Kedua indeks dimasukkan dengan
kisaran 0-4 (nilai >4 dimasukkan ke dalam nilai 4). Faktor sosio-demografis
yang mencakup tingkat pendidikan (sekolah dasar, sekolah menengah, dan
tingkat universitas), status perkawinan (tinggal bersama pasangan atau
berpasangan versus tidak), dan status sosio-ekonomi didapat dari pekerjaan
sekarang (tujuh kategori). Masalah alkohol diukur dengan kuseioner CAGE,
yang terdiri dari empat pertanyaan mengenai perilaku minum, memberikan hasil
yang berkisar antara 0-4 termasuk kategori palsu, dengan kategori yang terpisah
untuk respon yang hilang. Frekuensi kegiatan fisik dinilai dengan dua
pertanyaan yang menanyakan tentang aktivitas ringan dan berat (empat kategori
dari tidak ada aktivitas sampai >2 jam seminggu). Pengukuran fisik yang
meliputi IMT, tekanan darah, dan kadar kolesterol total juga dimasukkan ke
dalam variabel kontinyu. HUNT disetujui oleh dewan etika penelitan di kawasan
kesehatan IV Norwegia.
2.5 Analisis Data
Menggunakan uji regresi logistik, kami menganalisa merokok (variabel tetap)
dengan hubungannya dengan kasus kecemasan, kasus depresi, dan kasus
komorbid kecemasan depresi pada analisis terpisah dengan non-kasus sebagai
kelompok acuan.
Kandidat faktor perancu/mediasi dipilih berdasarkan hubungannya yang
diketahui secara baik terhadap kedua gangguan mental yang umum dengan

merokok. Akan tetapi, etiologi dari banyak hubungan yang dikenali jelas ini
masih belum diketahui, oleh karena itu kami tidak dapat memisahkan faktor
perancu dengan faktor mediasi dalam analisis potong lintang ini. Daftar kovariat
kami luas, namun jelas tidak lengkap.
Kami juga membandingkan hubungan antara merokok saat ini dan kecemasan
dengan depresi menggunakan analisi regresi linier dengan skala skor z-score
untuk beban gejala kecemasan dan depresi saat ini. Selain penyesuaian untuk
usia dan jenis kelamin, dalam analisis hubungan antara gejala kecemasan dan
depresi kami disesuaikan untuk depresi, dan sebaliknya.
Selanjutnya, kami membandingkan prevalensi kecemasan dan depresi antara
perokok saat ini, orang yang berhenti merokok dan yang tidak pernah merokok,
dengan yang terakhir sebagai kelompok referensi, sekali lagi menggunakan
model regresi logistik dan kasus-tingkat kecemasan dan depresi. Mengerjakan
menggunakan statistik yang sama, termasuk orang yang berhenti merokok saja,
kami menganalisis prevalensi kecemasan dan depresi di seluruh kelompok
ditentukan oleh waktu sejak penghentian.
Terakhir, kami menganalisis hubungan kecemasan/depresi merokok yang
dikelompokkan berdasarkan usia (dekade) dan jenis kelamin, menggunakan
model regresi logistik, kami menguji interaksi untuk usia dan jenis kelamin.
3.

Hasil
Perokok saat ini dilaporkan oleh 29% sampel. 29% lagi melaporkan sudah
berhenti merokok, dan 42% melaporkan tidak pernah merokok. Tingkat
prevalensi untuk kasus kecemasan dan depresi adalah 15.5% dan 10.8%,
masing-masing; 9.6% mengalami kecemasan tanpa depresi, 4.9% mengalami
depresi tanpa kecemasan dan 5.9% mengalami keduanya. Karakteristik lebih
lanjut dari sampel dilaporkan pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik sampel

Setelah penyesuaian untuk usia dan jenis kelamin, hubungan antara merokok
dan kecemasan (OR 1.56, 95% CI 1.49-1.63) dan antara merokok dan depresi
(OR 1.48, 1.40-1.57) sangat mirip. Namun ketika gangguan murni dan
komorbiditas dibedakan (tanpa gangguan sebagai kelompok referensi), asosiasi
paling kuat terdapat pada kelompok kecemasan komorbid depresi (OR 1.82,
1.69-1.95), diikuti oleh kecemasan murni (1.43, 1.35-1.52), sedangkan hubungan

dengan depresi murni relatif lemah (OR 1.16, 1.07-1.26). Hubungan kuat dalam
komorbiditas kecemasan depresi adalah efek aditif (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik dan depresi dalam hubungannya dengan merokok, disesuaikan dengan faktor penyamar (OR dengan tingkat
kepercayaan 95%)

Kami mencapai kesimpulan yang sama menggunakan nilai skala z-scored


untuk beban gejala kecemasan dan depresi pada analisis sekunder: disesuaikan
dengan usia dan jenis kelamin, hubungan antara merokok dan kecemasan (B =
0.175) adalah serupa, meskipun sedikit lebih kuat daripada depresi (B = 0.153).
Hubungan antara beban gejala kecemasan dan merokok lebih kuat untuk
penyesuaian untuk beban gejala depresi (B = 0.084) dibandingkan dengan yang
sebaliknya (B = 0.052) (Tabel 3).

Tabel 3. Gejala kecemasan dan depresi dalam hubungannya dengan merokok

Tidak terdapat perbedaan hasil yang bermakna antara kelompok yang hanya
merokok rokok (N=16,686) dengan kelompok yang hanya merokok cerutu atau
pipa (N=569) atau kombinasi (N==432) (Semua p > 0.17 disesuaikan dengan
umur dan jenis kelamin).

Analisis faktor perancu disajikan pada Tabel 2, diurutkan berdasarkan


pengaruh faktor yang diberikan pada hubungan antara komorbiditas kecemasan /
depresi dan merokok. Skor gejala somatik adalah faktor terkuat untuk hubungan
antara kecemasan / depresi dan merokok, diikuti oleh faktor-faktor demografi
sosial, masalah alkohol dan aktivitas fisik. Penyesuaian untuk pengukuran fisik
(BMI, tekanan darah dan kadar kolesterol total) dan jumlah diagnosis fisik tidak
secara mendasar menjelaskan hubungan yang bermakna. Tidak terdapat satu
faktor pun yang menjelaskan lebih dari 25% dari hubungan tersebut, dan dengan
seluruh faktor termasuk dalam model, sekitar setengah dari hubungan antara
merokok dan kecemasan dan antara merokok dan komorbid kecemasan dan
depresi masih tidak dapat dijelaskan. Hubungan antara merokok dan depresi
sendiri hampir seluruhnya dijelaskan oleh penyertaan semua perancu dalam
model.
Pada Tabel 4, kecemasan dan depresi pada mantan dan perokok saat ini
dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok, disesuaikan dengan usia dan
jenis kelamin, dan kemudian untuk semua perancu yang dilaporkan dalam model
sebelumnya. Untuk kecemasan dan depresi, terdapat hubungan yang lebih kuat
pada perokok sekarang dibandingkan dengan mantan perokok. Hubungan paling
kuat untuk komorbid kecemasan/depresi, diikuti oleh kecemasan saja, dan lemah
untuk depresi saja. Hubungan yang kuat pada komorbid kecemasa dan depresi,
sekali lagi, merupakan efek adiktif. Semua odd ratio bermakna secara statistik
(juga pada model yang sepenuhnya disesuaikan), kecuali pada depresi saja yang
tidak bermakna pada mpdel yang disesuaikan. Penyesuasian pada semua perancu
menjelaskan sekitar dua per tiga dari hubungan untuk depresi sendiri, sedikit
lebih sedikit untuk kecemasan sendiri, dan paling sedikit (sekitar setengah)
untuk komorbid kecemasan depresi. Variabel yang memperhitungkan untuk
perbedaan antara yang tidak pernah merokok, mantan perokok, dan perokok saat
ini (tabel 4) secara umum sama dengan perbandingan perokok dan non-perokok.

Tabel 4. Kecemasan dan depresi pada perokok dan mantan perkok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok (OR dengan tingkat
kepercayaan 95%)

Saat mengeksklusi orang yang tidak pernah merokok dan perokok saat ini
dari analisis, kami tidak dapat menemukan hubungan apa pun antara waktu sejak
penghentian dan odds ratio dari kecemasan atau depresi (tabel 5). Walaupun
terdapat kecenderungan depresi sendiri yang lebih rendah dengan waktu sejak
penghentian (membandingkan individu yang berhenti merokok 15-25 dan >25
tahun lalu dengan 0-2 tahun lalu), tetapi di semua lima kategori untuk waktu
sejak penghentian, perbandingan ini tidak bermakna secara statistik (p=.085).
Kesimpulan ini sama ketika membatasi sampel kami kepada mereka yang cukup
tua untuk berhenti merokok sejak lama.

Tabel 5. Waktu sejak penghentian (hanya yang berhenti merokok) dalam hubungannya dengan kecemasan dan depresi, disesuaikan dengan
umur dan jenis kelamin (OR dengan tingkat kepercayaan 95%)

Hubungan merokok dengan kecemasan dan komorbid kecemasan/depresi


lebih kuat pada wanita dan peserta yang lebih muda (tabel 6).

Tabel 6. Perokok saat ini (ya/tidak) dalam hubungannya dengan kecemasan dan depresi

4.

Diskusi

4.1 Penemuan utama


Penelitan kami memiliki empat penemuan utama: (a) Kecemasan lebih erat
hubungannya dengan merokok daripada depresi dan hubungan antara merokok
dan depresi dapat dikesampingkan kecuali dengan adanya komorbid dengan
kecemasan. Hubungan lebih kuat pada wanita dan peserta yang lebih muda. (b)
Beberapa faktor dapat mengacaukan asosiasi, yang paling penting adalah gejala
somatik (walau tidak dilaporkan, gangguan fisik, IMT, kadar kolesterol, atau
tekanan darah), sosio-demografis, dan masalah alkohol. (c) Kecemasan dan
komorbid kecemasan/depresi berhubungan paling erat dengan perokok sekarang
dibandingkan dengan mantan perokok, paling tinggi pada perokok, diikuti
mantan perokok, dan orang yang tidak pernah merokok; semua perbedaan
bermakna secara statistik juga telah disesuaikan dengan faktor perancu yang ada.
Tidak terdapat hubungan antara kecemasan atau depresi dan waktu sejak
penghentian merokok pada mantan perokok.
4.2 Kelebihan dan keterbatasan
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan: ukuran sampel pada penelitian ini
besar, memberikan kekuatan yang cukup untuk menyelidiki hubungan-hubungan
yang kecil, tingkat partisipasi terbilang masuk akal mengingat ukuran populasi
yang dituju. Cakupan pengukuran kesehatan, faktor yang berhubungan dengan
kesehata, dan faktor sosio-demografis yang luas memungkinkan pemeriksaan
secara menyeluruh terhadap faktor perancu. Terakhir, survey yang berdasarkan
populasi mengurangi kemungkinan bias seleksi yang mungkin menjadi masalah
pada sampel klinis.

Keterbatasan utama adalah ciri khas penelitian potong lintang yang


membatasi kemungkinan kami untuk memeriksa secara empiris tingkat dan arah
kausalitas antara gangguan mental dan perilaku merokok. Morbiditas psikiatri
lebih tinggi di antara non-responden dalam survei kesehatan, dan konsumsi
tembakau yang tinggi di kalangan orang dengan masalah kesehatan mental,
mungkin telah menyebabkan perikiraan yang rendah mengenai hubungan antara
merokok dan kesehatan mental melalui partisipasi selektif.
Merokok dan penghentian merokok yang dilaporkan secara pribadi mungkin
dapat menyebabkan bias ingatan yang mengarah pada perliaku kesehatan yang
diinginkan responden, misalnya kurangnya pelaporan merokok dan pelaporan
penghentian yaang berlebihan dapat melemahkan hubungan.
Selanjutnya, ketergantungan kami dari pendekatan penilaian uni-metode ini
diketahui terkait dengan metode shared variance, suatu masalah yang dapat
mempengaruhi hubungan yang diamati. Akibatnya, penelitian selanjutnya di
bidang ini bisa mendapatkan keuntungan dengan menggunakan pendekatan
cross-method.
Data untuk penelitian ini dikumpulkan hanya di satu wilayah di dunia, yang
jelas menghalangi generalisasi untuk populasi lain yang berbeda.
Desain potong lintang menghalangi penguraian efek perancu dari mediasi
pada pemeriksaan kemungkinan mekanisme yang mendasari hubungan yang
berkaitan (tabel 2). Kekuatan utama dari analisis ini adalah untuk
mengidentifikasi sejauh mana variabel kandidat menjelaskan hubungan yang
berkaitan. Pada analisis empiris kami memasukkan mekanisme kandidat yang
lebih luas dari pada penelitan sebelumnya di bidang ini. Namun masih saja,
terdapat penjelasan kandidat yang tidak tersedia pada set data kami, termasuk
sebagai contohnya faktor genetik yang diturunkan, mekanisme adaptasi atau
kejadian hidup.
Akhirnya, penggunaan zat tidak tercakup dalam survei, dan mungkin
mewakili perancu yang tersisa. Hal ini, bagaimanapun, merupakan masalah yang
terbatas, sebagaimana penggunaan zat (misalnya penggunaan ganja) relatif
langka dalam populasi yang diteliti, dan seperti yang kita tahu individu yang
menggunakan narkoba biasanya kurang terwakili dalam survei kesehatan
masyarakat.

Mantan perokok juga cenderung menjadi kelompok yang dipilih sendiri.


Tidak adanya gangguan mental dapat membuat penghentian lebih mungkin dan
lebih sukses, dan dapat mengimbangi beberapa efek merugikan akibat penarikan
terhadap status kesehatan mental, meskipun meta-analisis baru-baru ini
menemukan bahwa riwayat depresi berat tidak berdampak pada tingkat
keberhasilan di masa depan.
4.3 Hubungan antara merokok dan gangguan mental umum yang sebagian
bergantung pada adanya kecemasan dan disamarkan oleh gejala somatik
Penelitian merokok dalam kaitannya dengan kesehatan mental sebelumnya
berfokus pada depresi dan psikopatologi yang parah. Baru-baru ini, peningkatan
perhatian telah diberikan pada gangguan kecemasan. Berbeda dengan temuan
Glassman, kami menemukan hubungan antara merokok dan depresi hampir
seluruhnya dijelaskan oleh kecemasan, dan hanya terdapat sedikit bukti
hubungan antara merokok dan gejala depresi kecuali dengan adanya gejala
kecemasan komorbid. Hubungan yang dilaporkan antara merokok dan depresi
sebelumnya mungkin telah dibesar-besarkan karena tidak memperhitungkan
kemungkinan dampak komorbid kecemasan. Hasil penelitian juga menyiratkan
bahwa gejala somatik adalah perancu yang paling penting dalam hubungan
merokok dibandingkan kesehatan mental meskipun sebagian besar tetap keluar
dari ruang lingkup literatur yang ada. Sebuah alternatif, namun dalam pandangan
kami kurang interpretasi hasil, mungkin mengikuti dari pilihan pengukuran:
HADS dirancang untuk menghindari kasus positif palsu dalam konteks di mana
gejala somatik merupakan sesuatu yang lazim dengan menghilangkan gejala
vegetatif depresi, sebuah fitur yang memisahkan HADS dari instrumen skrining
yang umum digunakan untuk depresi. Menerapkan instrumen yang memasukkan
gejala vegetatif depresi selain aspek kognisi dan anhedonia yang tercakup dalam
HADS akan mengungkapkan efek yang lebih kuat untuk depresi dan dapat
menyebabkan hubungan antara merokok dan depresi kurang dilemahkan ketika
menyesuaikan kecemasan dan gejala somatik.
Hubungan yang lebih erat antara merokok dan komorbid kecemasan dan
depresi daripada kecemasan atau depresi sendiri mungkin merupakan hasil dari
patologi yang lebih tinggi pada kelompok komorbid, tercermin dari misalnya

pencarian bantuan dan ketidakmampuan. Karena itu mungkin akan dianggap


sebagai hubungan dosis-respon dalam hubungannya antara gangguan mental dan
merokok.
Penilaian menyeluruh dari faktor penyamar sangat penting dalam hubungan
antara merokok dan gangguan mental karena variabel dalam kedua wilayah
terkait dengan beberapa hubungan sosial dan kesehatan yang merugikan. Secara
mengejutkan, pada analisis kami, efek dari gangguan fisik yang dilaporkan
diketahui sangat terkait dengan merokok hampir tidak ada efeknya pada
hubungan antara merokok dan depresi dan kecemasan; begitu pula ukuran IMT,
kadar kolesterol atau tekanan darah. Penyesuaian untuk faktor sosio-ekonomi
menjelaskan beberapa hubungan. Hal ini tidak mengherankan, karena merokok
serta gangguan mental yang umum dikenal lebih umum di golongan bawah pada
populasi Norwegia.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa masalah alkohol mungkin
merupakan faktor pengganggu yang penting bagi hubungan antara merokok dan
kecemasan, sesuai dengan temuan sebelumnya, dan mungkin menunjukkan
mekanisme ketergantungan bersama. Efek perancu masalah alkohol mungkin
telah dianggap remeh dalam penelitian ini melalui non-partisipasi selektif atau
kurangnya pelaporan, serta oleh keterbatasan dalam pengukuran yang
digunakan.
4.4 Terdapat psikopatologi yang lebih banyak pada perokok saat ini daripada
mantan perokok
Temuan kami mengenai masalah status mental pada perokok saat ini
dibandingkan mantan perokok sejalan dengan laporan sebelumnya yang
melaporkan peningkatan kesehatan mental akibat penghentian rokok. Di sisi
lain, psikopatologi mungkin menghalangi penghentian, sebuah hipotesis yang
didukung oleh hubungan dosis-respon yang dilaporkan dengan keparahan
masalah psikiatri. Misalnya, individu yang depresi memiliki gejalan putus yang
lebih parah pada hari-hari pertama penghentian dan sebuah pendapat
mengatakan bahwa nikotin dapat berperan sebagai anti-depresan yang dapat
menjadi hambatan besar bagi penderita depresi untuk berhenti. Untuk
kecemasan, kepercayaan terbesar diantara para perokok adalah merokok

memiliki efek menenangkan dan berperan sebagai pereda-stres, gagasan ini


mungkin berasal dari gejala putus yang menyerupai gejala inti dari gangguan
cemas.
4.5 Tidak terdapat hubungan antara kesehatan mental dengan waktu sejak
penghentian
Penurunan risiko gangguan mental jangka pendek setelah penghentian telah
dilaporkan. Akan tetapi, studi kami mencoba untuk memeriksa efek dari
penghentian terhadap penyakit jiwa dalam sudut pandang seumur hidup.
Mengingat adanya perbedaan pada prevalensi kecemasan dan depresi diantara
mantan dan perokok saat ini, kami mengharapkan penurunan kecemasan dan
depresi seiring dengan waktu penghentian obat. Meskipun ukuran sampel dan
tingkat kekuatan statistik tinggi dalam penelitian ini, kami tidak dapat
membuktikan hubungan tersebut. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa
peningkatan status mental dari penghentian hanya berlaku dalam waktu singkat
(kemungkan dalam 6 bulan pertama sejak penghentian), dan tidak berlangsung
dalam jangka panjang, seperti halnya bagi banyak konsekuensi kesehatan
lainnya yang berhubungan merokok. Akan tetapi kesimpulan harus ditarik
dengan catatan mengenai desain potong lintang kami, dan adanya bias terkait
daya ingat dan penghentian.
4.6 Mantan perokok memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap gangguan mental
daripada orang yang tidak pernah merokok
Literatur mengenai perbedaan kesehatan mental dari mantan perokok dan
orang yang tidak pernah merokok adalah langka. Pada penelitan kami
menemukan peningkatan prevalensi dari kecemasan dan komorbid kecemasan
dan depresi pada mantan perokok dibandingkan dengan orang yang tidak pernah
merokok, bahwan sesudah penyesuaian terhadap faktor penyamar yang
potensial. Penemuan ini dapat dijelaskan melalui berbagai cara: (i)
meningkatnya kemungkinan memulai merokok dilaporkan pada individu dengan
penyakit mental. (ii) selanjutnya, individu yang rentan terhadap penyakit mental
mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami ketergantungan nikotin.

(iii) Penghentian dilaporkan membebankan risiko jangka pendek perkembangan


atau remisi kesehatan mental, akan tetapi hal ini tidak dapat menjadi penjelasan
karena mantan perokok pada penelitian ini telah berhenti merokok beberapa
tahun lalu. (iv) Efek merugikan jangka panjang dari merokok tidak dapat
disingkirkan, meskipun kami tidak memiki indikasi empiris untuk hal ini.
4.7 Umur dan jenis kelamin
Kami menemukan bahwa hubunagn merokok terhadap kecemasan dan
komorbid kecemasan depresi lebih kuat pada peserta muda dan wanita. Terdapat
bukti yang inkonklusif bawah gangguan mental umum menghalangi
penghentian. Mengikuti argumen ini, kami berspekulasi bahwa kampanye publik
anti rokok yang meningkat belakangan ini mungkin lebih efektif untuk
pencegahan atau penghentian dikalangan orang yang tidak memiliki faktor risiko
tertentu seperti kecemasan dan depresi.
5.

Kesimpulan
Penelitian sebelumnya dari hubungan antara depresi dan merokok mungkin
telah melebihkan hubungan dengan tidak memperhitungkan komorbid
kecemasan dan faktor penyamar yang relevan. Hubungan merokok dan
kecemasan lebih erat dan lebih kuat daripada depresi. Penelitian kami
mengilhami hipotesis bahwa kecemasan dan depresi sudah meningkat sebelum
dimulainya kebiasaan merokok, yang perlu diuji pada penelitian longitudinal
mendatang pada anak atau remaja.

Ucapan Terima Kasih


Data untuk penelitian ini diperoleh dari The Nord- Trndelag Health Study
(The HUNT Study). The HUNT Study merupakan kolaborasi antara HUNT Research
Centre, Fakultas Kedokteran, Universitas Norwegia Sains dan Teknologi (NTNU,
Verdal), Norwegian Institute of Public Health, dan Nord-Trndelag County Council.
Pekerja penelitian Kari Eriksen diakui untuk mengkaji kontribusi literatur terbaru
dan asisten teknis. Penulis pertama memegang hibah penelitian oleh Dewan
Penelitian Norwegia.

Anda mungkin juga menyukai