Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia, manusia tidak
bisa dipisahkan dengan tanah. Oleh karenanya, sesuai dengan konsepsi Hukum
Tanah Nasional yang bersifat Komunalistik Religius, Bangsa Indonesia meyakini
bahwa seluruh tanah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah Karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,
dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus kebersamaan. Hukum
Tanah Nasional kita diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mengenal hak atas tanah yang primer dan hak atas tanah yang
sekunder. Ragam hak atas tanah primer telah dikenal dan akrab dengan tugas
kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi di
samping hak atas tanah yang primer, yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, UUPA juga menetapkan hak atas tanah yang
sekunder yang didasarkan pada perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah
dengan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas tanah sekunder tersebut
di antaranya adalah Hak Guna Bangunan (atas tanah Hak Milik) dan Hak Pakai
(atas tanah Hak Milik). Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih
lanjut mengenai masalah agrarian dan hukum mengenai tanah di Indonesia.
1.2
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin
agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan,
pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan
pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa
inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang
dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam
batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum
agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang
mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian. Hukum agraria
dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Beberapa
definisi hukum agraria menurut para ahli :
a) Mr. Boedi Harsono
Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
b) Drs. E. Utrecht SH
Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal
tentang agraria, melakukan tugas mereka.
c) Bachsan Mustafa SH
saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan
dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
2. Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)
3. Asas hukum adat yang disaneer
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah
hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
4. Asas fungsi sosial
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh
bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta
keagamaan(pasal 6 UUPA)
5. Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun
keturunan berhak memilik hak atas tanah
6. Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu
asas
yang
melandasi
hukum Agraria
(UUPA).UUPA tidak
membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini
tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI
berhak memilik hak atas tanah.
Hak milik
Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27
UUPA
Mempunyai sufat turun temurun
Terkuat dan terpenuh
Mempunyai fungsi social
Dapat beralih atau dialihkan
Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah
penduduk
Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama
kepemilikan itu sah berdasar hukum
Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan
hukum tertentu
Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk
perusahaan pertanian atau peternakan.
Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang
cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun
Hak yang harus didaftarkan
Dapat beralih karena pewarisan
Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2,
PP 40/96
Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan
yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu
perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP
40/96).
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak
maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)
Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang
lain yang keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau
bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4
ayat 4, PP 40/96)
-
Pendaftaran Tanah
Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas
bangunan.
Persil adalah nomor pokok wajib pajak.
Korsil adalah klasifikasi atas tanah.
Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban lain yang membebaninya.
- Dasar hukum pendaftaran tanah :
UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38.
PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan dig anti dengan PP No 24/1997
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997
yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi :
-
Kepastian hokum atas obyek atas atas tanahnya yitu letak, batas dan
luas.
pastian hokum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi
pihak-pihak
yang
pemakaian bersama.
Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan
menurut syariah.
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif
mendapatkan tanah yang luas, tanah adalah objek yang rawan akan permasalahan,
bahkan tidak jarang permasalahan itu menimbulkan nyawa hilang.
mungkret tiada henti, dimana hak purba kuat, disitu hak perorangan lemah;
demikian sebaliknya.Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu
dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin ia dianggap
melakukan
pelanggaran.
dalam
artian,
pendatang
yang
hendak
Disamping
pertangguna
jawaban
itu
adapula
Hak perorangan pada hak purba hak perorangan ialah suatu hak yang
diberikan kepada warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada
di wilayah hak purba persekutuan hukum yang bersangkutan.
Jenis hak perorangan ialah ;
a. Hak milik
Hak terkuat, tidak dapat disangkal kebenarannya kecuali ada bukti lain yang
kuat untuk dapat menyangkalnya. Cara memperoleh hak ini ialah dengan
membuka hutan, dengan mewaris tanah, dengan penerimaan (pembelian,
penukaran, hadiah) dan karena daluwarsa.
b. Hak wenang pilih
Hak yang diperoleh seseorang yang utama dibandingkan yang lainnya,
misalnya atas tanah yang dipilih oleh orang tersebut atas tanah yang telah
diberinya tanda-tanda larangan, atas belukar yang berbatasan dengan tanahnya.
c. Hak menikmati hasil
Hak yang dapat diperoleh, baik oleh warga persekutuan hukum sendiri
maupun orang luar dengan persetujuan para pemimpin persekutuan untuk
mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali panen.
d. Hak pakai
e. Hak menggarap
f. Hak keuntungan jabatan
hak seorang pamong desa atas tanah jabatan yang ditunjuk untuknya dan yang
berarti bahwa ia boleh menikmati hasil dari tanah itu selama ia memegang
jabtannya. Maksudnya untuk menjamin penghasilan para pejabat itu. Ia boleh
mengerjakan tanah jabatan namun tidak boleh menjualnya atau menggadaikannya.
Jika ia berhenti, tanah yang bersangkutan kembali kepada hak purba. Bila tanah
dalam keadaan ditanami pada saat pergantian yang berhak menikmati ialah ; bila
tanaman masa penen masih lama, yang menikmati ialah
sedangkan bila masa panen masih lama, yang menikmati ialah pejabat lama
sedangkan pejabat yang beru dapat menikmati sebagian.
sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun
dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan
yang merupakan suatu sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2
(dua), yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;Hak penguasaan atas
tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum
2.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak
atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas
pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.Asas pemisahan horisontal yaitu
suatu asas yang mendasrkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari
segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal
yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda yang melekat
padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi Asas pemisahan
horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan
yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan
hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan
vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan
dalam
pengaturan
KUH Perdata.Dalam
bukunya,
Djuhaendah
Hasan
masih tetap berlaku selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum
diganti dengan hukum yang baru. Dasar politik hukum agraria nasional
dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan :
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia
merdeka, yaitu
a. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Dala pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas kebijaksanaan baru dengan
memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini, conthnya adalah menegenai hubungan
domein verklaring, yaitu negara tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan
negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai
tanah.
b. Penghapusan hak-hak konversi.
Salah satu warisan yang sangat merugikan rakyat adalah lembaga konversi
yang berlaku di karasidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah
dianggap milik raja. Rakyat hanya sekedar memakainya, yang diwajibkan
menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah
pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada
anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau setia kepada raja
diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan
hak raja atau sebagian hasil tanah tersebut di atas. Mereka pun berhak menuntut
kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel apanage.
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau penegang apanage disewakan kepada
pengusaha-pengusaha asing unutk usaha pertanian, berikut hak untuk memungut
sebagian dari hasil tanam rakyat yang mengusahakan tanah itu. Keputusan raja,
c.
d.
e.
apra petani kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang
siusulkan untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang
macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan
f.
b. Panitia Jakarta.
1. Dasar Hukum.
Rakyat.
Untuk
membahas
rancangan
tersebut,
DPR
perlu
: A.M. Tambunan
Anggota-anggota
: Notosoekardjo
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa
tanah antara lain :
1
haknya.
Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang
ulayat);
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari
persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam
kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data
atau
gambaran
obyektif
kondisi
pertanahan
setempat
(teknis),
atau
2
3
4
5
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir
dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang
disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa
tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya
akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri
yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan
istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya.
Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa
Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas,
perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun
waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960,
masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini
ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti
untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak
bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflikkonflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab
terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan
persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan
tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk
dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang
warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota
TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat
Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa
Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian.
Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara
TNI
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah
merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang
meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan
pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai
komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam
pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional
Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung
adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan
dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber
daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya
buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya
pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak
masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di
Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui
pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam UndangUndang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang
dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu
hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu
sumber
peraturan
pertanahan
yang
sama
yaitu
UUPA,
namun
pada
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah
TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu
antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar
yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang
diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun
sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu
yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah
yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di
Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam
liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi
seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat
nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi
yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang
pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek
lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian
tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka
fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau
kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batasbatasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu
melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi
pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak
teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu
juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan
alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk
selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi
para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai
lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara
sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari
negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI
menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh
TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma,
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
1
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang
berwenang.
Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang
dibebankan atas benda orang lain, untuk dengan memelihara bentuk dan sifatnya
serta selaras dengan maksudnya memakai sendiri benda itu dan mengambil hasilhasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.
Pemerintah
tentang
Insentif
Perlindungan
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG INSENTIF PERLINDUNGAN
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional.
(2) Petani Pangan yang selanjutnya disebut Petani adalah setiap warga negara
Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan lahan untuk komoditas
pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
memberikan
Insentif
perlindungan
Lahan
Pertanian
BAB II
JENIS, PERTIMBANGAN, DAN TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF
Bagian Kesatu
Jenis Insentif
Pangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
Pemerintah memberikan Insentif perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
kepada Petani dengan jenis berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Berkelanjutan; dan/atau
penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi
Pasal 6
f.
Berkelanjutan; dan/atau
penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi.
Pasal 7
Berkelanjutan; dan/atau
g. penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi.
Paragraf 2
Pengembangan Infrastruktur Pertanian
Pasal 8
Pengembangan infrastruktur pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
meliputi:
a.
b.
c.
a.
d.
Paragraf 3
Pembiayaan Penelitian dan Pengembangan Benih dan Varietas Unggul
Pasal 10
(1) Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, Pasal 6 huruf b, dan Pasal 7 huruf
c meliputi:
a. penyediaan demonstrasi pilot pengujian benih dan varietas unggul, hibrida,
dan lokal; dan
b. pembinaan dan pengawasan penangkar benih.
(2) Penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul ditugaskan kepada
lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya yang mempunyai
kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hasil penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disebarluaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Petani dan hanya digunakan untuk
kepentingan Petani.
Paragraf 4
Kemudahan dalam Mengakses Informasi dan Teknologi
Pasal 11
(1) Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c, Pasal 6 huruf c, dan Pasal 7 huruf d berbentuk penyediaan
serta distribusi informasi dan teknologi.
(2) Penyediaan serta distribusi informasi dan teknologi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan melalui kelembagaan penyuluhan pertanian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5
Penyediaan Sarana Produksi Pertanian
Pasal 12
(1) Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf d paling sedikit meliputi penyediaan benih dan/atau bibit,
alat dan mesin pertanian, pupuk organik dan anorganik, pestisida, pembenah
tanah, zat pengatur tumbuh, dan fasilitas produksi.
(2) Fasilitas produksi pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
meliputi:
a. penggilingan padi dan lantai jemur; dan
b. gudang.
(1) Sarana dan prasarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada Petani sesuai dengan kebutuhan dan rekomendasi dari tim
penilai yang dibentuk oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai unsur keanggotaan dan tata kerja tim penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 13
(1) Penyediaan sarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf d paling sedikit meliputi penyediaan benih dan/atau bibit, alat dan mesin
pertanian, pupuk organik dan anorganik, pestisida, pembenah tanah, dan zat
pengatur tumbuh.
(2) Sarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Petani sesuai dengan kebutuhan dan rekomendasi dari tim penilai yang dibentuk
oleh gubernur.
(3) Ketentuan mengenai unsur keanggotaan dan tata kerja tim penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 14
(1) Penyediaan sarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf e paling sedikit meliputi penyediaan benih dan/atau bibit, alat dan mesin
pertanian, pupuk organik dan anorganik, serta pestisida.
(2) Sarana produksi pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Petani sesuai dengan kebutuhan dan rekomendasi dari tim penilai yang dibentuk
oleh bupati/walikota.
(3) Ketentuan mengenai unsur keanggotaan dan tata kerja tim penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Paragraf 6
Penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 15
(1) Jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e diwujudkan melalui
program sertipikasi tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
(2) Program sertipikasi tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pendaftaran tanah secara
sporadik dan sistematik yang diselenggarakan oleh instansi yang membidangi
urusan pertanahan.
(3) Dalam melaksanakan program sertipikasi tanah pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, instansi yang membidangi urusan pertanahan berkoordinasi
dengan Menteri dan satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan
pertanian pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pasal 16
(1) Bantuan dana penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e disediakan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
(2) Program dan penganggaran bantuan dana penerbitan sertipikat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi yang membidangi
urusan pertanahan.
Pasal 17
(1) Bantuan dana penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f disediakan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
(2) Program dan penganggaran bantuan dana penerbitan sertipikat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi yang membidangi
urusan pertanahan.
Paragraf 7
Penghargaan Bagi Petani Berprestasi Tinggi
Pasal 18
(1) Penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf f, Pasal 6 huruf f, dan Pasal 7 huruf g diberikan dalam bentuk:
a. pelatihan;
b. piagam; dan/atau
c. bentuk lainnya yang bersifat stimulan.
(2) Penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
berdasarkan penilaian tim yang masing-masing dibentuk oleh Menteri, gubernur,
dan bupati/walikota.
(3) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penilaian Petani berprestasi tinggi oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
(4) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penilaian Petani berprestasi tinggi oleh
Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Gubernur.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penilaian Petani berprestasi tinggi oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
Paragraf 8
Bantuan Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan
Pasal 19
(1) Bantuan keringanan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.
(2) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyediakan dana untuk memfasilitasi
keringanan pajak bumi dan bangunan pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan milik Petani melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota.
(3) Penyediaan dana untuk memfasilitasi keringanan pajak bumi dan bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan kriteria yang diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Bagian Kedua
Pertimbangan Pemberian Insentif
Pasal 20
kewenangan
Pemerintah/Pemerintah
Provinsi/
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Pasal 22
(1) Kesuburan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b didasarkan pada
tingkat kesuburan.
(2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan tingkat kesuburan rendah
diberikan jenis Insentif lebih banyak dibandingkan dengan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dengan tingkat kesuburan tinggi.
(3) Ketentuan mengenai tingkat kesuburan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berdasarkan kesesuaian lahan pada komoditas tertentu diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 23
Luas tanam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c paling sedikit 25 (dua puluh
lima) hektar dalam satu hamparan.
Pasal 24
(1) Irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d didasarkan pada kinerja
jaringan irigasi serta tingkat operasi dan pemeliharaan irigasi.
(2) Insentif diprioritaskan pada daerah irigasi yang:
a. memerlukan rehabilitasi jaringan irigasi; dan
(1) Perencanaan
pemberian
Insentif
mengikuti
mekanisme
perencanaan
dan
BAB III
KEWAJIBAN PETANI PENERIMA INSENTIF
Pasal 41
(1) Petani penerima Insentif wajib:
a. memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya;
b. menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah;
c. mencegah kerusakan lahan; dan
d. memelihara kelestarian lingkungan.
(2) Dalam hal pada Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan terdapat jaringan irigasi
dan jalan usaha tani, Petani penerima Insentif wajib memelihara dan mencegah
kerusakan jaringan irigasi dan jalan usaha tani.
Pasal 42
Kewajiban Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dilakukan dengan:
a. mengusahakan lahannya setiap tahun dengan komoditas yang sesuai dengan pola
tanam sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan
b. melaksanakan optimasi lahan pertanian pangan secara lestari dan berkelanjutan
atas dasar rekomendasi teknologi spesifik lokalita dan/atau kearifan lokal
Pasal 43
Kewajiban Petani memelihara dan mencegah kerusakan irigasi dan jalan usaha tani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan jalan usaha tani serta
melaporkannya kepada para pemangku kepentingan jika terjadi kerusakan.
BAB IV
PENCABUTAN INSENTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 44
Bagian Ketiga
Pembinaan Pasca Pencabutan Insentif
Pasal 49
(1) Bagi Petani yang dikenakan pencabutan Insentif wajib mendapatkan pembinaan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pembinaan pasca pengenaan pencabutan Insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan guna meningkatkan kinerja dan memberi motivasi bagi Petani.
BAB V
PENUTUP
Pasal 50
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo. 1982.
Yogyakarta: Liberty
Pandangan-pandangan
agrarian
Indonesia.