Anda di halaman 1dari 11

PLURALISME AGAMA DAN MASA DEPAN INDONESIA1

Musdah Mulia2

Pendahuluan
Perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu prinsip penting
dalam negara demokrasi yang menghormati HAM. Di Indonesia, prinsip ini telah ditegaskan
dalam landasan bernegara. Tidak hanya Konstitusi, tapi juga peraturan hukum lain. Konstitusi
telah menegaskan kebebasan ini sebagai hak asasi setiap warganegara. Hak ini bersifat
fundamental yang tidak boleh dibatasi dan dikurangi dalam kondisi apapun.
Pentingnya prinsip itu juga didasarkan pada kebutuhan faktual bahwa
masyarakat kita sangat majemuk yang terdiri dari berbagai golongan, seperti
tercermin dalam agama dan kepercayaan yang plural di masyarakat. Sebagai
fundamen yang membentuk bangsa ini, menjaga dan melindungi
kemajemukan itu sebagai hal yang mutlak. Tidak sekedar pengakuan, tapi
juga kepastian semua entitas memiliki ruang yang sama untuk hidup dan
berkembang.
Sayangnya,
ancaman
terhadap
kebebasan
beragama
dan
berkeyakinan bukan berarti tidak ada. Sebaliknya, intoleransi dan kekerasan
terhadap minoritas justru merebak di masyarakat. Kasus ini meningkat tajam
di sejumlah daerah dan setiap tahun selalu jadi sorotan publik, baik di level
nasional maupun internasional.
Kekerasan terhadap minoritas acapkali dikaitkan dengan merebaknya
sikap intoleransi di sebagian masyarakat. Dengan menggunakan ruang politik
di masa demokrasi, sejumlah ormas berupaya mendesakkan agendanya.
Masalah muncul karena mereka tidak memiliki kelengkapan sikap kewargaan
untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Bukannya mereka
mempromosikan kebebasan dan HAM, sebaliknya justru mendorong sikap
kebencian dan bahkan kekerasan untuk memerangi minoritas.
1Disajikan pada Dialog Publik dengan tema: Harmoni dalam Keberagaman,
diadakan oleh Kelompok orang muda lintas agama (KOMPAK) Kupang,
Akapela NTB & KOMPAS Belu, bertempat di Kupang, tanggal 25 Maret 2015.
2Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ketua Umum Yayasan ICRP (Indonesian
Conference on Religion and Peace), dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id

Keterlibatan ormas-ormas intoleran itu dapat dilihat dalam sejumlah


kasus. Misalnya, kekerasan yang terjadi dalam konteks pemberantasan aliran
sesat, seperti terhadap jemaat Ahmadiyah. Kasus lain, misalnya, dalam
sengketa pendirian rumah ibadah, seperti dialami Gereja Yasmin dan HKBP di
Jawa Barat.
Lepas dari permasalahan itu, hal yang penting adalah bagaimana
peran aparatur negara sendiri dalam menangani masalah ini. Sudah menjadi
kewajiban negara untuk menjamin, melindungi, dan memastikan setiap
warganegara bisa menikmati hak-haknya, termasuk dalam kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Kewajiban itu harus dijalankan oleh
aparaturnya, baik di pusat maupun di daerah.
Kebhinekaan Indonesia
Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang
kompleks dan rumit. Masalah itu, antara lain berkaitan dengan jumlah
penduduk yang sangat besar, yakni sekitar 215 juta jiwa, Indonesia
menduduki urutan ke-4 di dunia setelah RRC, India, dan USA. Hal itu di
tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari
sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal
dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 13.000 pulau,
besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia.
Masalahnya, kita sering memandang kondisi heterogen yang
terbentuk secara alami itu sudah cukup menjadi fondasi dasar bagi bangunan
demokrasi di Indonesia. Karena itu, selama ini hampir-hampir tidak terlihat
upaya-upaya serius untuk menumbuhkan rasa saling menerima dan
menghargai keragaman di dalam masyarakat, baik dalam pendidikan di
lingkungan keluarga, terlebih lagi di lingkungan lembaga pendidikan formal
dan nonformal. Padahal, kesadaran pluralisme dalam diri seseorang tidak
tumbuh secara otomatis, melainkan membutuhkan stimulan, latihan dan
pengalaman konkret. Penghargaan terhadap kebhinekaan Indonesia harus
ditumbuhkan secara terus-menerus, harus dirajut melalui berbagai cara yang
beradab.
Selain keragaman budaya, keanekaragaman bentuk kesenjangan juga
membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari
orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan orang-orang yang buta
huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang
sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat
kaya, bahkan mungkin yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin,
mungkin juga yang paling miskin di dunia. Demikian pula dari aspek
keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat
saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan
keagamaan sangat tolerans dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik
dan eksklusif. Realitas sosiologis yang ada menunjukkan betapa majemuk
keadaan bangsa Indonesia.
6

Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai


heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia.
Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para
pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam
merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang
demikian beragamnya itu.
Pentingnya Agama
Masih perlukah kita beragama ? Itulah pertanyaan yang seringkali
mengusik akhir-akhir ini berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk tindak
kekerasan yang menyertai aneka ragam konflik di masyarakat yang jika tidak
diselesaikan akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan.
Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita melihat,
agama
masih sangat diperlukan, terutama di dalam membangun
masyarakat yang humanis, damai dan bahagia. Karena itu, menurut saya,
pertanyaan yang relevan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai alat
yang dapat memanusiakan manusia atau dengan ungkapan lain, bagaimana
mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.
Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21
ideologi sekuler mengalami keruntuhan. Kejatuhan komunisme di Uni Soviet
dan Eropa Timur serta munculnya berbagai kritik keras terhadap modernisme
dan kapitalisme menandai suatu era yang sering disebut the End of History
of Idiology yang berlangsung selama lebih satu abad. Ideologi-ideologi besar
tersebut telah memainkan peran sebagai agama semu (pseudo religion)
yang menawarkan dan menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan umat
manusia di muka bumi.
Pada mulanya, ideologi-ideologi sekuler tadi dirancang untuk
mewujudkan
kesejahteraan
manusia,
namun
kenyataan
empirik
membuktikan ideologi-ideologi itu telah gagal dalam mengangkat harkat dan
martabat manusia. Komunisme dengan watak totalitarianismenya telah gagal
mewujudkan keadilan sosial, demikian pula dengan kapitalisme yang
menempatkan manusia hanya sekedar alat produksi. Modernisme dengan
paradigma
developmentalisme pembangunan
juga tidak mampu
mewujudkan pemerataan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ideologi
ini ternyata malah membuat negara-negara berkembang sangat tergantung
pada negara maju. Singkatnya, berbagai ideologi yang menjelma sebagai
agama semu tersebut telah mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai
kemanusiaan dan ketidakadilan yang membawa kepada krisis kemanusiaan.
Kondisi yang memprihatinkan ini seharusnya memberikan harapan
kepada agama untuk menyelamatkan kembali umat manusia dari
dehumanisasi. Harapan tersebut sangat wajar mengingat agama pada
dasarnya merupakan respon ilahi terhadap berbagai problem yang dihadapi
6

umat manusia. Setiap agama diklaim oleh penganutnya sebagai pedoman


bagi umat manusia untuk hidup damai dan sejahtera, serta menghindari
eksploitasi sesama manusia.
Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar
menjadi baik dan sehat yang meliputi sehat fisik maupun mental, jasmani
dan ruhani. Intisari dari semua ajaran agama sesungguhnya berkisar pada
penjelasan tentang hal-hal baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana
perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa
kebahagiaan, dan sebaliknya mana perbuatan buruk dan jahat yang
membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan
kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari
perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang
pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan
yang diwahyukan-Nya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia
mengabaikan tuntunan-Nya.
Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu
seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama
penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan
dan diskriminasi gender dilakukan atas nama agama. Di antaranya dapat
disebutkan kasus pembunuhan massal yang dimotori Gerakan Restorasi
Keagamaan Ten Commandments di Rwanda; bunuh diri massal yang
dilakukan oleh sekte David di Weco, Texas, Amerika; Tindak kekerasan yang
dilakukan kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang; konflik antara Yahudi, Muslim
Arab, dan Kristen di Palestina; konflik laten antara Muslim dan Kristen di
Indonesia; dan ketimpangan jender dalam berbagai aspek kehidupan, baik
dalam ranah publik maupun domestik.
Agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati
sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara
sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk konflik, kekerasan, dan teror
yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk
ketidakmampuan manusia memahami ajaran agamanya secara utuh.
Semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan
pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama seringkali
menimbulkan sikap fanatik sempit dan fundamentalisme yang berujung pada
aksi-aksi kekerasan berbasis agama.
Saya yakin semua agama memiliki ajaran yang menekankan pada dua
aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal
merupakan ajaran agama yang berisi seperangkat kewajiban manusia
kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang
mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia
dengan alam sekitarnya. Namun, dalam realitas sosiologis aspek horisontal
ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya
dalam interaksi dengan sesama manusia. Akibatnya, dimensi kemanusiaan
6

yang merupakan refleksi aspek horisontal agama kurang mendapat perhatian


di kalangan umat beragama.
Kondisi inilah, antara lain
yang kemudian membawa kepada
penampilan wajah agama yang tidak humanis dalam kehidupan publik.
Akibatnya, semakin seseorang beragama, bukannya semakin peduli kepada
sesama manusia, melainkan semakin tidak manusiawi. Buktinya, manusia
semakin tega kepada sesama, terlihat dari indikasi korupsi, kasus-kasus
kriminal, termasuk semua bentuk perilaku stereotif, diskriminatif, dan
perilaku kekerasan dengan basis apa pun. Rasa solidaritas dan peduli sesama
serta keinginan membantu kelompok rentan dan marjinal semakin melemah,
padahal di situlah letak esensi agama.
Komitmen keagamaan seseorang yang berujung pada menguatnya
sikap spiritualitas seharusnya terbangun sejak dari lingkungan rumah tangga.
Lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang
komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu. Akan tetapi, anehnya
dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan
anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di
masyarakat. Artinya, banyak keluarga yang sepenuhnya menyerahkan
pendidikan keagamaan anak-anak mereka kepada lembaga-lembaga di luar
keluarga, padahal pembinaan mental keagamaan seorang anak hendaknya
dimulai sejak usia dini di dalam kehidupan keluarga. Persoalannya, para
orang tua itu sendiri seringkali tidak menyelami hakikat ajaran agama yang
mereka anut, lalu bagaimana mungkin mereka dapat mensosialisasikan
ajaran agama tersebut kepada anak-anak mereka.
Kehidupan beragama di rumah tangga perlu diciptakan dengan
suasana rasa kasih sayang atau silaturahmi antara ayah, ibu, anak, dan
seluruh anggota keluarga lainnya. Sejumlah penelitian ilmiah, di antaranya
penelitian Stinnet, J DeFrain pada 1987, membuktikan bahwa seseorang yang
dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius akan mendapatkan resiko yang
lebih besar untuk terlibat dalam berbagai bentuk tindak kekerasan daripada
mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang religius. Hasil penelitian itu
setidaknya menghimbau agar para orang tua bersikap proaktif di dalam
membangun nilai-nilai keagamaan dalam diri anak-anak mereka, bukan
menyerahkan tugas tersebut kepada lembaga lain, seperti sekolah.
Membangun Kesadaran Pluralisme
Pada tataran realitas empiris tidak satu pun di antara komunitas
agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi yang banyak memiliki
pengalaman dalam hal pluralitas kehidupan. Sebab, secara historis,
komunitas agama relatif hidup dalam satuan-satuan homogen yang terpisah
dari komunitas agama lain. Bahkan, seringkali suatu komunitas agama
berada di bawah otoritas komunitas agama lain. Hubungan yang benar-benar
setara di antara berbagai komunitas agama hampir mustahil dalam sejarah
6

manusia. Karena itu, toleransi menjadi suatu keniscayaan, meskipun terasa


sulit bagi komunitas agama.
Khusus bagi komunitas Islam, realitas toleransi dan pluralitas diakui
memiliki legitimasi keagamaan. Piagam Madinah, misalnya dapat dijadikan
landasan yang kuat untuk melegitimasi kehidupan pluralistik bagi
masyarakat kosmopolit. Di samping itu, dalam Islam dikenal ajaran yang
menekankan perlunya berpegang pada kesamaan pandangan (kalimah
sawa`) terhadap komunitas agama lain. Hal-hal di atas menurut hemat
penulis, dapat mendorong terjadinya toleransi dan pluralitas kehidupan yang
kokoh.
Pada era globalisasi ini persoalan terbesar yang dihadapi umat
beragama adalah konflik agama, baik konflik antar intern pemeluk agama
maupun antaragama, karena umat beragama tidak lagi hidup dalam sekatsekat yang terisolasi dari pengaruh dunia luar. Konflik antaragama
merupakan fenomena yang memprihatikan, baik yang terjadi di luar maupun
di dalam negeri. Di Bosnia, terlihat betapa menggenaskannya pertikaian
antara penganut agama Katolik dan Islam. Konflik serupa, meskipun memiliki
nuansa yang lain, terjadi di Azerbaijan, Sudan, Kashmir, dan Sri Lanka.
Sementara di dalam negeri sendiri hal yang sama mulai merisaukan, seperti
terjadi di Ambon dan beberapa tempat lainnya.
Mencegah timbulnya berbagai konflik seperti di atas, sejumlah solusi
ditawarkan, dan yang paling menjanjikan tampaknya adalah bagaimana
menciptakan kondisi dan suasana yang memungkinkan terjadinya dialog di
antara umat yang berbeda agama. Melalui dialog mereka diharapkan dapat
saling mengenal dan memahami agama mitra dialog mereka masing-masing
yang pada gilirannya nanti akan mencari sisi-sisi yang sama di antara ajaran
agama yang berbeda itu untuk dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu
masyarakat. Untuk itu, perlu ada semacam gentleman agreement, yakni
bahwa di antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tersebut tidak akan
saling mengintervensi atau saling mempengaruhi keyakinan masing-masing.
Agar dialog dapat berjalan efektif dan menghasilkan keputusan yang
dapat diterima oleh semua pihak, maka para pelaku dialog harus memiliki
komitmen untuk menerima toleransi dan pluralisme. Toleransi pada intinya
adalah kemampuan menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan,
sedangkan pluralisme adalah kesediaan menerima kemajemukan untuk
kemudian terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemajemukan
tersebut sebagai sesuatu yang harus diterima.
Dalam konteks agama, pluralisme berarti setiap pemeluk agama
harus berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya
bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai
agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan agama.
Hanya saja perlu diwaspadai agar pluralisme yang dicita-citakan itu tidak
menjelma menjadi sinkretisme, kosmopolitanisme, dan relativisme. Untuk
6

menghindari ketiga hal tersebut, maka pluralisme yang akan diwujudkan


hendaknya beranjak dari komitmen yang kuat dari setiap pemeluk agama
terhadap ajaran agama masing-masing.
Tentu saja menciptakan suasana dialog yang diwarnai dengan
toleransi dan pluralisme bukanlah perkara mudah, mengingat setiap agama
memiliki klaim kebenaran, bahwa ajarannyalah yang paling benar dan paling
selamat, namun justru itulah tantangannya. Terserah kepada umat beragama
itu sendiri apakah mereka akan memilih hidup berdampingan secara
harmonis ataukah membiarkan diri mereka tercabik-cabik oleh konflik yang
sebenarnya dapat mereka elakkan.
Bagaimana Memahami dan Menghargai Keberagaman Agama?
Setiap agama memiliki dasar teologisnya sendiri untuk mengklaim
kebenaran dirinya. Akan tetapi, dalam waktu yang sama semua agama juga
mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan
wahyulah yang merupakan kebenaran absolut. Tugas manusia hanyalah
menyampaikan kebenaran dan membuat interpretasi atas kebenaran yang
diyakininya itu. Karena itu, interpretasi manusia atas wahyu menjadi
kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka sejalan dengan
keterbatasannya sebagai manusia. Setiap agama diyakini mengajarkan nilainilai kebenaran dan kebaikan untuk keselamatan manusia, bukan hanya di
dunia ini melainkan juga di hari kemudian. Ironisnya dalam fakta empirik
agama ternyata tidak selamanya membawa manusia kepada keselamatan,
melainkan manusialah yang senantiasa menjaga keselamatan agama yang
dipeluknya itu.
Seharusnya klaim seseorang atas kebenaran agamanya tidaklah harus
membuat orang bersangkutan kehilangan respeknya pada realitas yang ada
di sekelilingnya. Adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa di
sekeliling kita hidup beragam agama dan kepercayan. Keberagamaan kita
hendaknya mengantarkan kita menjadi orang yang respek pada penganut
agama lain atau kepercayaan lain dan selanjutnya memandang keragaman
agama dan kepercayaan itu sebagai asset bangsa yang sangat berharga.
Sejarah agama menuturkan bahwa agama selalu berkaitan dengan
masalah sosial. Karena itu, agama dapat dilihat sebagai suatu sarana
perubahan sosial. Konflik-konflik agama lebih sering merupakan manifestasi
dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan-tujuan
tertentu. Dalam hal nilai kemanusiaan dan sosial umumnya, banyak alasan
bagi agama-agama untuk tidak saja hidup rukun dan bertoleransi positif,
melainkan juga lebih jauh dari itu, yakni bekerjasama secara akrab dalam
reformasi sosial, perubahan sosial atau transformasi sosial.
Sesungguhnya yang menjadikan masalah dalam setiap agama adalah
bahwa di setiap agama sebagian besar penganutnya adalah awam dan
hanya sedikit yang terpelajar dan mengerti sungguh-sungguh ajaran
6

agamanya. Karena itu, peningkatan wawasan keagamaan di kalangan awam


menjadi sangat relevan. Peningkatan wawasan umat yang awam itu bisa
menjadikan iman dan takwanya berfungsi dengan baik yang pada gilirannya
akan meningkatkan kualitas dan prestasi takwa mereka.
Dalam beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan
yang relatif atau nisbi sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan dan
pertentangan agama yang pasti merusak kesatuan dan persatuan bangsa.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika semua agama mengambil sikap
yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama bukan lagi merupakan
faktor pemecah belah yang akan membawa malapetaka bagi kehidupan
manusia, melainkan sebagai faktor perekat yang akan menebarkan rahmat
bagi semua manusia, bahkan bagi alam semesta. Sikap hidup yang relatif
seperti inilah
yang sangat dibutuhkan oleh setiap umat beragama di
Indonesia sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan
bertangungjawab dalam usaha kesatuan dan persatuan bangsa dalam
negara dan masyarakat Indonesia yang pluralistik berdasarkan Pancasila.
Karenanya, kebangkitan agama-agama jangan dilihat sebagai hal yang
meresahkan selama kebangkitan tersebut dimaksudkan sebagai kebangkitan
dari sikap absolutisme yang mematikan menuju sikap relativitas yang
menghidupkan.
Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang
dimaksudkan kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan dan
dialami manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama
dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan
umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika
seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama seperti
ini, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya
satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafirmengkafirkan yang berakhir pada munculnya berbagai bentuk konflik dan
diskriminasi agama di tanah air.
Namun, manusia seringkali terlalu bersemangat dalam beragama
sehingga memposisikan diri sebagai Tuhan yang absolut. Dengan sikap
absolut tersebut manusia lalu menginginkan agar seluruh manusia lain
masuk ke dalam agama mereka, bahkan satu aliran. Semangat yang
menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan
pandangan dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain
yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk
neraka. Padahal Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap
manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya, silahkan
dan siapa yang menolak, terserah juga baginya.
Saya yakin bahwa setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi
manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang
merupakan sumber ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna,
6

Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan


kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaanNya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh
makhlukNya. Sedemikian agungnya Tuhan sehingga manusia tetap diberi
kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu
pula Dia menuntut ketulusan dan keikhlasan beragama dan tidak
membenarkan paksaan dalam bentuk apa pun, baik nyata maupun
terselubung.
Penutup
Sejarah telah mengajarkan kita betapa suatu kepalsuan tidak dapat
bertahan langgeng. Harmoni dan pluralisme agama yang selama Orde Baru
dibangga-banggakan ternyata tidak lebih dari sekedar alat penguasa untuk
mempertahankan kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan
berbeda.
Akibatnya, jalinan keharmonisan yang dielu-elukan itu menjadi porakporanda seperti terlihat akhir-akhir ini. Indonesia lalu diguncang beragam
konflik dan kekerasan agama yang secara signifikan menjadikan negeri ini
terpuruk di dunia Internasional. Sejumlah tempat di mana umat Islam dan
Kristen pernah hidup berdampingan selama puluhan tahun kini menjadi area
konflik yang brutal dan kejam dan tentu saja agama kemudian menjadi faktor
yang paling memicu karena agama merupakan hal yang sangat sensitif
dalam kehidupan manusia.
Pluralisme agama, sebagai bangunan penting demokrasi, hedaknya
menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para pemuka agama dan
penyelenggara negara. Apalagi, di masa lalu, pluralisme agama telah
dipromosikan sedemikian rupa menjadi instrumen kontrol, yakni sebagai
instrumen hegemoni kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah pluralisme agama dari
sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu kekuatan politik yang efektif dan
mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan aksi-aksi kekerasan
fundamentalisme agama.
Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama ini setidaknya
ditawarkan dua strategi mendasar bagi upaya membangun pluralisme agama
di Indonesia.
Pertama, dialog yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama,
bukan tidak pernah dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi,
kebanyakan dialog terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokohtokoh dan pemuka agama tingkat nasional, dan itupun hanya berlangsung di
ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di kalangan elite,
melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput". Kelompok pemuda,
kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan di
masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog
6

pun harus difokuskan pada proses rekonsiliasi. Di samping itu, dialog


hendaknya dimaksudkan untuk saling mengenal antara mitra dialog dan
memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaanpersamaan yang dapat dijadikan landasan hidup bermasyarakat. Perlu
dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa kesediaan semua pihak
untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran masing-masing dan hal
ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama sungguh-sungguh
memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak setengahsetengah.
Kedua, aktivitas partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan
menyusul kegiatan dialog. Melalui kegiatan ini, para penganut agama yang
berbeda-beda itu dimungkinkan untuk memperoleh pengalaman hidup
bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya dalam bentuk
kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau
bantuan medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami
musibah. Pengalaman hidup bersama atau bekerja bersama di dunia nyata
pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka anggap
berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah
pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu
agama -yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu
sangat berbeda dengan diri mereka- mampu menyimpulkan bahwa mereka
itu juga seperti saya. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda itu
ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan
dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.
Ketiga, penting mengatur kembali pola hubungan antara agama dan
negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya modernisasi di masa
lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi cara-cara yang represif,
otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari aspek kuantitasnya
daripada kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang sangat sentralistis,
dan didominasi oleh birokrasi dan militer. Ke depan diperlukan langkahlangkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di
dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat
kontrol, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Sudah selayaknya kita
semua mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada
misi spiritualnya yang sejati, sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Wallahu a`lam bi al-shawab.
Jakarta, 20 Maret 2015

DAFTAR BACAN UTAMA

Madjid, Nurcholish, Islam: Doktrin dan Peradaban, Paramadina,


Jakarta, 1992.
Musdah Mulia, Negara
Paramadina, Jakarta, 1997.

Islam:

Pemikiran

Politik

Husain

Haikal,

Richard W. Bulliet, Islam The View From The Edge, Columbia Univ, New
York, 1994.
Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Bina Aksara,
Jakarta, 1989.
Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo,
Jakarta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1998.
Wahid, Abdurrahman dkk., Islam Tanpa Kekerasan, LKiS, Yogyakarta,
1998.
................, Agama dan Kekerasan, Elsas, Jakarta, 1998.
Woodward, Mark R., Jalan Baru Islam, Mizan, Bandung, 1998.
Yafie, Ali dkk. Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, Jakarta, 1991.

Anda mungkin juga menyukai