Anda di halaman 1dari 1

Dalam bentuk sastra tulis, carita Guru Gantangan ternyata jauh lebih

kompleks dari sekedar carita pantun. Dalam babad ini diga- bungkan dua
pola cerita pantun yang selama ini kita kenal, yakni pola vertikal-manusia
sempurna seperti terdapat pada pantun Mundinglaya Dikusumah dan
Lutung Kasarung, serta pola horizontal-mandala kekuasaan seperti
terdapat dalam pantun Nyi Sumur Bandung dan Panggung Karaton.
Dalam Guru Gantangan, kedua pola ini dijalin dalam kisah satu tokoh
saja, yakni Guru Gan- tangan, putera Prabu Siliwangi. Saya tidak akan
menguraikan ringkasan kisahnya dulu, baru ditafsirkan, tetapi
menceritakan kembali dan sekaligus memberikan tafsir kosmologi Sunda
atasnya. Mudah-mudahan metode ini tidak membosankan pembaca.
Memang lebih baik lagi kalau pembaca dapat ikut membaca naskah
aslinya, baik yang berbahasa Jawa- Sunda maupun terjemahannya dalam
bahasa Indonesia. Dengan cara ini, pembaca dapat mengakurkan antara
tafsir dan pembuktian naskah aslinya. Untuk keperluan itu, tulisan
ringkas ini harus diter- bitkan sebagai sebuah buku. Masyarakat Sunda
sendiri tentu akan kesulitan memahami naskah ini karena ditulis dalam
bentuk tembang macapat Jawa, dan dalam bahasa Jawa pula. Justru
orang Jawa yang akan memahami isinya, lantaran ditulis dalam bahasa
sastra seperti dikenal dalam karya-karya sastra zaman Surakarta awal
abad 19. Orang Jawa akan membaca babad ini seperti membaca Babad
Giyanti, misalnya, yang ditulis oleh pujangga kraton Solo, Yosodipuro.
Inilah bagian dari sastra Sunda di zaman para menak. Orien- tasi mereka
kepada budaya Mataram-Islam masih kuat sampai abad 19 tersebut,
meskipun kekuasaan Mataram atas tanah Parahiyangan sudah berakhir
dalam abad 17.

Anda mungkin juga menyukai