Anda di halaman 1dari 3

Memburu yang tak seharusnya kami Buru

Kehidupan itu memang banyak rasa dan warna, Manis pahit


kelam indah itulah rasa dan warna kehidupan. Semua itu
terbentuk karena adanya pengalaman, sebuah pengalaman yang
mengingatkanku akan saat saat yang berkesan dalam hidup saya,
Pengalaman memburu yang tak seharusnya kami buru.
Dimulai dengan ide salah satu sahabat saya yang bernama
Khoirul anam untuk memburu Duren di pegunungan belakang
pondok pesantren. Yah, kami memang tinggal dipondok
pesantren, sudah 3 tahun ini kami selalu bersama meski saat saat
dimana uang bulanan sudah habis semua. Kami berlima disatukan
dalam sebuah wadah yaitu ISTABA VOICE Nasyid pertama yang
ada di pesantren kami, semenjak itu kami menjadi sering
berkumpul untuk latihan atau sekedar mengobrol sampai sampai
kami pernah mengikuti sebuah Kontes Nasyid tingkat provinsi di
pondok pesantren Khusnul Khotimah Kuningan. Okeh, Lanjut
kecerita pengalaman saya..
Musim durian adalah Surga nya para santri, setiap sore
Bada Ashar para santri rela mencari duren meski Tugas hafalan
menumpuk dipikiran. Termasuk kami, Jumat sore adalah Freeday
nya santri kami yang sudah merencanakan untuk kegunung
belakang pondokpun segera mempersiapkan segalanya termasuk
sebuah tas besar yang rencananya sebagai wadah durian. Untuk
mencapai gunung belakang pondok kami harus melewati sebuah
pemakamam umum, sawah yang luas serta Sungai yang deras
dan banyak batu batuannya. Berhubung kami sudah biasa seperti
ini jadi kami santai saja. Tak perlu waktu lama. kami sudah
sampai ditempat tujuan dan tepat didepan beberapa pohon
durian, alangkah buruknya nasib kami ketika melihat pohon
durian yang sudah tak berbuah lagi atau memang buahnya sudah
habis diambil oleh santri lainnya.

Tak ada tujuan lagi selain pohon Durian ini, perjalanan kami
pulang melewati jalur lain yang tak biasanya kami lewati karena
agar lebih cepat sampai pemakaman umum tanpa harus melewati
sawah dan sungai. Tiba tiba salah satu teman kami melihat
sebuah batang pohon kecil yang mungkin sudah mati, tapi
dipenuhi serombongan Lebah madu bahkan dari jauhpun sudah
terlihat besarnya hampir sebesar pintu. Secara otomatis langkah
kaki kami pun menuju ke tempat tujuan tersebut. Saya kira
tempatnya dekat dan mudah untuk dilalui, ternyata oh ternyata
untuk mencapainya kami harus memanjat tebing kira kira
setinggi 20 meter dan melewati kebun bunga kertas yang banyak
durinya. Mata kami sudah dibutakan dengan Nikmatnya madu
lebah tersebut sehingga kami tak memperdulikan semua itu.
Sepuluh meter dari tempat lebah tersebut saya dan khoirul
anam membuat perapian agar lebah tak menggigit kami,
sedangkan yang lainya menuju lebah. Dengan peralatan
seadanya dan posisi tubuh tertutup semua, sahabat kami Uca
sudrajat berhasil secara perlahan menepis lebah yang sedang
menempel pada sarang madu tersebut, sedangkan posisi fajar
tepat berada disamping uca untuk memotong kecil kecil bagian
sarang madu tersebut, Dalam pikiran saya Dengan madu sebesar
itu semua santri pasti akan bisa merasakan nikmatnya madu
murni. Dalam beberapa menit setelah saya berfikir seperti itu,
sikap Jail dari salah satu sahabat saya yang bernama Edi itu
muncul dan mengacaukan semuanya, Ia memukul madu tersebut
Bak memukul pintu sehingga semua lebah bertaburan, sontak
saya dan khoirul anam langsung kaget dan lari pada ketinggian
20 meter dengan kemiringan tebing 45 derajat kami tidak bisa lari
begitu saja, ribuan Lebah langsung berhamburan dan mengejar
kami yang lari ketakutan, yang awalnya kami meiliki rute untuk
mencapai sarang lebah itu ternyata pas pulang kami hanya
mencari jalan seadanya saja, saya edi dan anam sudah pesimis
hidup pokoknya yang ada difikiran kami pun Mati,Mati dan Mati
mati terkena ribuan sengatan lebah atau mati jatuh dari tebing.

Pohon durian inilah sebagai garis Finish pelarian kami dari


lebah lebah tersebut, lebah tadi tidak mengikuti kami tapi lebah
tadi meninggalkan banyak sekali jarum jarum sengatan ditubuh
kami, Kami bertiga langsung tertawa terbahak bahak dengan
kejadian seperti itu kamipun saling membantu mencabuti jarum
jarum tersebut sampai sampai kami baru ingat kalau uca dan
fajar masih berada diatas sana dekat dengan sarang lebah. Mau
tak mau kami mesti kembali lagi ke bawah tebing untuk
mencarinya, Sesampainya ditebing kami teriak nama uca dan
fajar dan mereka keluar dengan keadaan selamat serta membawa
seember madu murni dan membawa ratu lebahnya. Perjalanan
pulang pun kami lalui dengan cerita cerita kejadian tadi, serta Uca
pun menasehati kami bahwa ia tersadar ketika lebah itu
bertaburan, bahwasanya kita semua telah merusak ketentraman
sebuah mahluk hidup, karena kami mengganggu mereka maka
mereka pun membalasnya begitupun juga kita ketika keluarga
kita sedang kumpul tapi ada orang luar yang tak kita kenal
merusak ketentraman keluarga kita ini maka kita pun tidak ambil
diam dan pasti kita memiliki respon tersendiri. Maka dari itu Uca
sudrajat membawa sang ratu lebah untuk diletakan di sarang
madu dekat pondok kami agar sang ratu bisa berkumpul kembali
bersama kawan kawanya.

Anda mungkin juga menyukai