Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era reformasi ini, saat sidang paripurna banyak artis ditemukan bersidang di ruang
sidang DPR RI. Fenomena ini membuat kita terheran-heran, mengapa artis yang biasanya
berakting atau menyanyi di atas panggung bisa menjadi seorang anggota DPR. Pada era orde
baru, hal semacam ini tidak ditemukan, tetapi saat ini artis seakan berlomba lomba ingin menjadi
anggota DPR. Penyebab fenomena ini belum dapat dijelaskan dengan pasti.
Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih. Selain sebagai yang memilih setiap
warga negara juga berhak untuk dipilih. Hal ini dijamin oleh Undang-undang dasar (UUD) 1945
pasal 28C Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya dan pasal 28D Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ini berarti siapa saja
berhak mengajukan diri untuk ikut serta dalam pemilihan umum baik sebagai anggota legislatif,
pemerintah ataupun penyelenggara negara.
Tumbangnya Orde baru 17 tahu yang lalu telah melahirkan sistem demokrasi yang
berbeda. Jika pada masa Orde baru kita sebagai warga negara disuguhi oleh pilihan yang terbatas
yaitu 3 partai saja, saat ini ada banyak partai yang berpartisipasi dalam Pemilu. Jika pada masa
Orde baru Pemilu berarti pemilihan legislatif sekalian pemilihan presiden sudah tersaji satu paket
di dalamnya namun pada masa sekarang kita bisa memilih langsung wakil rakyat yang kita
inginkan dan memilih langsung Presiden untuk 5 tahun mendatang.
Atmosfer demokrasi yang berbeda juga sangat terasa. Pada masa Orde baru hanya
dikenal 3 pilihan partai yang masing-masing berkampanye memajukan program kerjanya. Di era
reformasi kampanye partai politik terasa bagaikan iklan. Dimana-mana baliho, spanduk, pamflet
bermunculan tidak hanya mengusung nama partai yang kini lebih dari 3 tetapi juga nama pribadi
calon legislatif dari partai tersebut. Ini adalah suatu pemandangan yang tidak biasa dijumpai 17
tahun yang lalu. Belum lagi kampanye di media massa dan kampanye berupa panggung musik,
bakti sosial dan pengobatan gratis.
Dewasa ini kita melihat artis maju menjadi calon anggota legislatif. Sebetulnya ini bukan
hal yang baru karena di masa Orde Baru memang ada beberapa artis yang maju untuk menjadi
anggota legislatif. Namun karena di masa reformasi ini ada banyak partai maka banyak pula artis
yang diajukan oleh partai untuk ikut serta dalam bursa legislatif. Makin banyaknya artis yang
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ini menimbulkan pertanyaan. Pertama apakah artis

yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup serta mampu mengemben
tugas sebagai wakil rakyat. Kedua alasan dan motivasi yang mendorong artis mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif. Ketiga bagaimana sambutan masyarakat yang mungkin sudah bosan
melihat wajah-wajah lama dan menginginkan wajah baru yang lebih menjanjikan. Dan akhirnya
sampai pada pertanyaan yang paling penting apakah artis tersebut layak dipilih untuk
mengemban tugas sebagai wakil rakyat.
Dengan makin banyaknya partai, persaingan semakin ketat sehingga memunculkan
dugaan bahwa artis direkrut oleh partai politik sebagai vote gatter saja mengingat popularitasnya
yang sudah tinggi, penampilan yang menjual dan financial yang juga cukup untuk mendanai
kampanye. Hal tersebut diamini oleh pernyataan dari Syamsudin Haris, pengamat politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan, meningkatnya jumlah artis yang maju
sebagai caleg di berbagai partai politik menunjukan fenomena kegagalan kaderisasi dan
kepemimpinan parpol. "Ini menunjukkan bahwa parpol tidak siap berdemokrasi dengan sehat,
karena gagal melaksanakan kaderisasi," tuturnya. Sudah bukan rahasia lagi, dia melanjutkan, saat
ini hampir seluruh partai Politik berebut meminang artis sebagai caleg. Tujuannya tentu saja
sebagai penarik minat masyarakat untuk memilih partai yang bersangkutan. Di lain pihak, ada
politisi-politisi yang sudah merintis karier sejak lama, memiliki pendidikan tinggi,
berpengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menjadi wakil rakyat namun tenggelam
namanya karena kalah oleh popularitas artis di partainya.
DPR RI terdiri dari beberapa fraksi yang mana saat ini terjadi persaingan yang ketat di
antara partai yang ada. Artis sebagai figur yang populer di masyarakat dimanfaatkan oleh
sebagian partai untuk mendongkrak suara mereka sehingga bisa mendapatkan kursi di DPR RI.
Fasilitas dan tunjangan yang didapat oleh aggota DPR RI saat ini tidaklah sedikit, hal ini bisa
menjadi daya tarik bagi artis untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa terjadi persaingan ketat dalam sistem multipartai?
2. Mengapa terjadi lemahnya sistem pendidikan partai yang berakibat turunnya kualitas

partai?
3. Mengapa tunjangan dan fasilitas anggota DPR menjadi daya tarik bagi artis?
1.3 Tujuan

1.3.1

Tujuan Umum
Menjelaskan artis yang ditemukan mengikuti sidang paripurna di ruang sidang DPR RI
periode 2014-2019

1.3.2

Tujuan Khusus
1. Menjelaskan persaingan antarpartai di DPR RI
2. Menjelaskan lemahnya sistem pendidikan partai
3. Menjelaskan daya tarik fasilitas dan tunjangan anggota DPR RI

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis


1. Menambah pengetahuan tentang sistem pendidikan partai
2. Menambah pengatahuan tentang persaingan antarpartai di DPR RI
3. Menambah pengetahuan tentang fasilitas dan tunjangan anggota DPR RI
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan masukan kepada partai untuk memperbaiki sistem pendidikan
kadernya.
2. Untuk memberikan masukan kepada DPR untuk meningkatkan kualitas anggotanya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persaingan Ketat Multipartai Dalam Sistem Pemilihan di Indonesia
Sistem multipartai menurut Duverger pada tahun 1954 adalah sistem kepartaian suatu
negara yang memiliki banyak partai dan tidak hanya satu partai saja yang dominan. Sistem
multipartai ini sebelumnya sudah pernah di gunakan di Indonesia pada tahun 50-an, dan
kemudian muncul lagi setelah runtuhnya Orde Baru pada pertengahan tahun 1998 sejak
gerakan reformasi di canangkan oleh mahasiswa dan para reformis.
UUD 1945 tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa yang harus
diimplementasikan, tetapi pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai.

Pemilu

2014

adalah

pemilu

keempat

di

era

Reformasi.

Berbeda dengan era Orde Baru yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, pemilu pada era
Reformasi diikuti oleh puluhan partai politik. Kebebasan berpolitik yang terbuka di era
Reformasi telah memungkinkan lahirnya puluhan parpol baru di tanah air dengan beragam latar
belakang ideologinya masing-masing. Dalam sistem multipartai tidak ada partai politik yang
menjadi mayoritas mutlak dengan perolehan suara di atas 50%. Sistem multipartai membuat
jumlah suara terdistribusi sedemikian rupa ke banyak partai politik. Perolehan suara partai
politik pemenang pemilu bahkan tidak ada yang melebihi 35% dan partai politiknya pun
berganti-ganti berdasarkan pengalaman tiga kali pemilu di era Reformasi.
Sistem multipartai akan memberikan keterbukaan bagi masyarakat sehingga tidak
sedikit para aktivis partai atau artis secara mendadak berubah dari warga negara biasa menjadi
politisi dalam waktu yang sangat singkat. Tingkat keawaman mereka dalam berpolitik masih
terlalu tebal sehingga mereka tidak bisa mengelola partai politik tersebut. Sistem multipartai
ini juga memiliki kelemahan yaitu tidak ada kestabilan poltik yang ada di Indonesia dan akan
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah.
Fenomena artis masuk dalam partai politik merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari
di era demokrasi modern. Artis dinilai tidak hanya sebagai vote gather, tetapi juga bisa
mendekatkan politik kepada masyarakat karena aktivis yang secara kemampuan politik jauh
lebih memadai tidak mampu mendekatkan diri dengan masyarakat. Demokrasi juga butuh
untuk dekat dengan masyarakat karena persaingan dalam dunia politik, baik persaingan antar
partai politik maupun antar calon yang maju untuk dipilih pada pemilu, sudah terjadi jauh
sebelum pelaksanaan pemilu demi untuk merebut hati dan simpati masyarakat.
Calon legislatif yang berasal dari kalangan artis banyak memperoleh kritikan dan
tanggapan karena dianggap kurang mempunyai kapasitas yang memadai. Mekanisme kaderisasi
yang tidak memadai, penggunaan cara yang terlalu instan untuk memperoleh dukungan dan
sebagai syarat pemenuhan kuota minimal 30 persen calon legislatif adalah perempuan oleh
suatu partai politik dianggap sebagai suatu kesalahan dalam merekrut artis ke dalam dunia
politik.
Arie Sudjito, seorang pengajar sosilogi politik dari Uiversitas Gadjah Mada,
berpendapat calon legislatif yang berasal dari kalangan artis justru akan merugikan partai

politik dalam jangka waktu panjang karena menunjukkan ketidakseriusan partai politik dalam
merekrut kadernya.

2.2 Sistem Pendidikan Partai yang Lemah


Politik, pendidikan, dan pendidikan politik memang, politik adalah segala bentuk
tindakan yang disengaja dan dipandu oleh tujuan dan nilai-nilai. Dalam masyarakat majemuk.
Pertanyaannya adalah bagaimana dan apakah mungkin untuk mencapai konsensus tentang
nilai-nilai. Tetapi mereka yang bertanggung jawab untuk pendidikan politik harus memastikan
bahwa nilai-nilai yang digunakan adalah nilai-nilai sah yang terlegitimasi dan diupayakan
terkonsentrasi pada nilai-nilai positif. Untuk semua ini, politik tidak boleh dipahami sebagai
perwujudan dari nilai-nilai yang paling penting, melainkan sebagai cara mengatur konflik dan
sebagai perjuangan untuk mencapai sistem terbaik berdasarkan tujuan umum yang dapat
dianggap sebagai pedoman yang mendasari sebuah proses yang tidak pernah berakhir.
Jika partai politik memiliki good will untuk memperbaiki diri maka tentunya sebagai
salah satu instrumen penting dalam pendidikan politik masyarakat,parpol dapat memberikan
kontribusi nyata terhadap perubahan dan perbaikan. Tidak hanya menekan angka golput dan
huru hara pada saat pemilu, pendidikan politik yang baik bahkan dapat mendorong tingginya
angka keterwakilan perempuan seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan
meningkatnya keinginan dan kapasitas perempuan, baik kader partai maupun non partai, untuk
terjun di dalam politik. Salah satu yang paling essensial adalah bahwa partai politik juga
berperan dalam membangun karakter bangsa.
Pendidikan politik yang diberikan sejatinya dapat memperkental karakter toleransi dan
kekeluargaan sehingga dapat meningkatkan nasionalisme dan penerimaan atas keberagaman.
Dengan demikian jika fungsi pendidikan politik ini dijalankan secara maksimal maka tidak
hanya dapat merekrut kader atau simpatisan partai tetapi juga dapat dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat terutama pemilih pemula terhadap urgensi keterlibatan mereka di dalam
proses-proses politik seperti di dalam Pemilu dalam membangun masa depan bangsa.(Setiawan
D)
Dinamika politik Indonesia selama 15 tahun terakhir, sejak gerakan reformasi dimulai,
menunjukkan bangunan politik yang mengalami kerapuhan. Dasar pembangunan pendidikan
politik cenderung diabaikan sehingga partai politik banyak bermunculan dan mengalami

bongkar pasang kepengurusan sebagai akibat rapuhnya pendidikan politik. Salah satu faktor
yang menimbulkan kerapuhan politik adalah pendidikan politik sejak 15 tahun terakhir belum
berjalan secara maksimal dan cenderung sporadis. Partai politik yang seharusnya memiliki
tanggung jawab utama untuk memberikan pendidikan partai politik bagi kadernya dan
simpatisan tidak berjala sebagaimana mestinya. Akibatnya, proses demokrasi mengalami
banyak persoalan dari aspek sistem yang berjalan sampai pada aspek pendidikan untuk pemilih
pemula.(hastangka)
Kegagalan partai politik dalam menjalankan kepentingan masyarakat bisa dilihat pada
salah satu partai politik di indonesia yaitu PDIP yang gagal menjalankan fungsinya. Dimana
partai politik ini dianggap oleh masyarakat tidak memilki kualitas yang kuat didalamnya. Yang
menjadi penyebabnya adalah ketika Puan Maharani di usung oleh PDIP untuk menjadi capres
2014 lantaran ia sebagai adik Megawati Soekarno Putri. Dalam konteks tersebut partai lebih
mengutamakan faktor popularitas ketimbang kadernya untuk bisa maju sebagai calon presiden
dan calon legislatif. Sehingga hampir setiap partai politik mengusung artis untuk menjadi calon
legislatif dari partainya. Oleh karena itu, Fungsi partai politik tidak berjalan seperti sosialisasi
politik, kaderisasi dan agregasi kepentingan masyarakat.
Masalahnya, ketika terpilih menjadi anggota dewan di parlemen tidak bisa mengerjakan
tugasnya sebagai mestinya tugas anggota parlemen. Sehingga dengan ketikmampuannya dalam
mengurusi semua kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat dia atas segalanya. Maka
tidak sedikit yang melakukan tindakan korupsi seperti Agelina Shondakh. Selain itu,
terabaikannya fungsi-fungsi sebagai anggota dewan yang mementingkan kepentingan rakyat
seperti, fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran tidak akan berjalan malah cenderung
kacau balau. Karena mereka tidak tahu bagaimana cara menangani tugas legislasi, pengawasan
dan penganggaran.
(prayoga)

2.3 Tunjangan dan Fasilitas Anggota DPR yang Menjadi Daya Tarik
Para anggota baru DPR periode 2014-2019 yang belum mendapatkan fasilitas rumah dinas
akan mendapatkan insentif Rp 10 juta per bulan, di luar gaji pokok dan penghasilan bulanan
mereka. Mereka juga mendapatkan uang muka mobil dinas. Menurut Sekretaris Jendral DPR

Winantuningtyastiti mengatakan anggota DPR akan mendapatkan gaji pokok Rp. 4,2 juta per
bulan. Di luar itu, ada juga tunjangan untuk keluarga, tunjangan pembayaran listrik kesehatan,
dan lainnya. Jika ditotal berkisar antara Rp. 58 juta-60 juta. Fasilitas rumah dinas, ruang kerja
dan uang muka pembayaran senilai mobil Toyota Innova juga diberikan dan nilainya tidak lebih
dari Rp. 150 juta (Anonim, 2014).
Ada 30 juta penduduk di Indonesia atau sekitar 15 persen dari seluruh penduduk
Indonesia berpenghasilan Rp. 12 ribu per hari. Bandingkan dengan penghasilan anggota dewan
yang kurang lebih menerima Rp 787 juta per tahun atau sekitar 2,1 juta per hari (Rumekso,
2014).
Pramono Anung dalam disertasi Doktornya di universitas Pajajaran tanggal 11 januari
2013 yang berjudul Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap
konstituen (Studi Interpretatif Pemilu 2009) mengatakan bahwa motivasi utama orang ingin
menjadi anggota legislatif adalah kepentingan ekonomi. Pram menjelaskan bahwa mereka
menganggap DPR ini adalah tempat untuk mencari nafkah. Maka jelaslah ketika sudah terpilih
anggota DPR kasak kusuk bermain proyek dan mencari celah untuk korupsi demi memperkaya
dirinya dan partainya (Ali, 2013).
Saat ini rekrtmen anggota legislatif telah mengabaikan aspek integritas, kualitas dan
rekam jejak calon legislative. Parpol hanya mengedepankan figure popular sebagai mesin suara
Pemilu 2014 dan juga lebih mengutamakan calegg berduit daripada caleg berkualitas sehingga
bisa menghemat bahkan menambah anggaran pemilu 2014. Parpol tidak lagi memiliki seleksi
administrative yang ketas tetapi juga tidak ada seleksi komperensi, moralitas dan hukum (Ali,
2013).

Mewabahnya caleg dari kalangan artis menunjukkan bahwa parpol selama ini gagal
menjalankan fungsi politiknya terutama dalam pengkaderan politik yang seharusnya prosesnya
panjang untuk menghasilkan caleg berkualitas (Ervianto,2013).
Sistem yang tidak menuntut pengalaman dan kualitas kader disambut dengan antusias oleh para
artis yang menyadari bahwa popularitasnya di dunia artis hanya sementara dan bisa meredup
sehingga mereka mulai mengadu nasib sebagai caleg dan kebetulan parpol membutuhkan
mereka sebagai penyedap pandangan. Ini adalah simbiosis mutualisme di bidang politik yang
mempertemukan kepentingan dan kebutuhan. (Ervianto, 2013).
Indikasi lain dari mewabahnya caleg artis adalah secara langsung ataupuntidak langsung
sebenarnya karena parpol yang konsolidasi internalnya terganggu dengan adanya konflikkonflik internal. Padahal konsolidasi partai politik juga berperan sebagai sumber kerawanan
potensi kegagalan jika gagal dilaksanakan. Konsolidasi internal yang lemah membuat parpol
menyiapkan strategi lain di luar mekanisme formal bisa melalui rekayasa dan sabotase untuk
menjamin kemenangan (Ervianto, 2013).

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Ginting
D
E,
2012.
Sistem
http://dhesielfriyanti.blogspot.com/
Megasari
O,
2012.
Makalah:
http://oktaviamegasari.blogspot.com/

Sistem

Multipartai

Multipartai

di Indonesia.

di

Diunduh

Indonesia.

Diunduh

dari

dari

Partono, 2010. Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah. Diunduh
dari

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/438-sistem-multi-partai-presidensial-dan-

persoalan-efektivitas-pemerintah.html
Budiman

MA,

2014.

Menimbang

Partai

Pilihan

pada

Pemilu

2014.

Diunduh

dari

http://politik.kompasiana.com/2014/04/08/menimbang-partai-pilihan-pada-pemilu-2014647515.html

Maulidy S, 2013. Persaingan Antar Partai Politik Sebelum Dilaksanakanya Pesta Demokrasi. Diunduh
dari http://politik.kompasiana.com/2013/10/29/persaingan-antar-partai-politik-sebelum-dilaksanakanyapesta-demokrasi-604935.html

Dalimunthe, I,2014.Sejak Rezim Soeharto Fenomena Artis Sudah JAdi Momok Menakutkan.
Diunduh dari: http://politik.rmol.co/read/2014/02/25/145246/1/Sejak-Rezim-SoehartoFenomena-Artis-Jadi-Momok-Menakutkan
Setiawaty D,2014. Lumpuhnya Pendidikan Politik Partai. Diunduh dari:
http://www.rumahpemilu.org/in/read/5040/Lumpuhnya-Pendidikan-Politik-Partai-oleh-DiahSetiawaty
Hastangka,2014. Pentingnya Pendidikan Politik. DIunduh dari: http://krjogja.com/liputankhusus/opini/2668/pentingnya-pendidikan-politik.kr
Prayoga R,2013. Kegagalan Fungsi Partai Politik. Diunduh dari:
http://www.lintasgayo.com/44627/kegagalan-fungsi-partai-politik.html

Anonim.

2014.

Ini

Intensif

Fasilitas

dan

Gaji

Anggota

DPR.

Available

at

www.nasional.kompas.com/read/2014/10/04/13490021/ini.intensif.fasilitas.dan.gaji.anggota.D
PR accessed March 19 th 2014 11.15
Rumekso, S. 2014. Penghasilan Rakyat 12 ribu, Anggota DPR 2,1 juta/hari. Available from:
www.m.kompasiana.com/post/read/683668/1/penghasilan-rakyat-12-ribu-anggora-dpr-21jutahari.html accessed march 19th 2015 10.30
Ali, F. 2013. Perlu Budaya Politik Bermutu Tinggi sebagai solusi penyelamatan bangsa.
Available

from

www.theglobalreview.co./content_detail.php?lang=id&id=12375&tipe=2

accessed march 2020th 2015 05.29


Ervianto,T. 2013. Mewabahnya caleg artis, mengindikasikan apa?. Available from
www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id=11867&type=2 accesed march 20 th
2015 06.25

Anda mungkin juga menyukai