Partai Politik Islam, Harapan Dan Kenyataannya
Partai Politik Islam, Harapan Dan Kenyataannya
G Class
Agung Ramadhan, Aditya Rifky Suryadi, Ilham Hadi
Sukma
Jika kita melihat kancah perpolitikan di Indonesia saat ini, sungguh
sangat memprihatinkan, selain pemahaman tentang demokrasi yang jauh
dari cita-cita terminologi demokrasi itu sendiri, perilaku elit politik dan
praktisi hukum juga jauh dari kesan mendahulukan kepentingan negara dan
bangsa secara umum, yang ada hanyalah kebijakan-kebijakan yang
cenderung menguntungkan satu kelompok atau golongan, mafia hukum dan
rekayasa-rekayasa politik seperti yang terjadi pada praktek demokrasi di
negara-negara sekuler yang pada intinya jauh dari tujuan demokrasi.
Berangkat dari realita semacam itu, menilai perjuangan pemimpinpemimpin Islam dengan cara mendirikan Partai politik yang berbasis dan
berideologi Islam sangat dibutuhkan, karena selain untuk melegalkan
gerakan dakwah Islam juga untuk mengimbangi kebijakan-kebijakan
penguasa diktator. Setidaknya ada beberapa harapan mengapa Partai Islam
berdiri.
1. Pengaruh
negatif
penguasa-penguasa
diktator
terhadap
perkembangan dakwah Islam secara umum, kebebasan beribadah
secara khusyu dan benar serta penegakan syariat Islam secara
khusus, ini semua dikarenakan umat Islam berada di bawah bayangbayang penguasa atau pemimpin dzalim bahkan kafir.
Pada kenyataanya, meskipun di sebagian negara sekuler umat
Islam diberikan keleluasaan untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran
Islam, akan tetapi pada wilayah tertentu umat Islam tidak
mendapatkan peran yang pada hakikatnya wilayah (di mana umat
Islam dilarang mendekatinya) itu merupakan inti atau kepala yang
mampu melegitimasi dan menjamin kebebasan umat Islam
menjalankan agamanya secara sempurna, dengan kata lain kepala itu
adalah kekuasaan dan otoritas yang akan melindungi dari
kemungkinan intimidasi dari pihak penguasa atau kelompok pro
penguasa. Telah terbukti pada rezim orde baru para dai tidak
diberikan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara terbuka
dan langsung dengan semua objek dakwah. Otoritariarisme dan
kediktatoran membuat dakwah (di Indonesia) masa itu tidak bisa
bernafas lega. Di sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas.