Anda di halaman 1dari 11

PERANCANGAN TAHAN GEMPA GEDUNG 48 LANTAI

PLAZA INDONESIA II
Davy Sukamta1

1. PENDAHULUAN
Proyek Plaza Indonesia II adalah extension dari kompleks Plaza Indonesia dan hotel
Grand Hyatt Jakarta. Pengembangan ini terdiri dari 2 tower, yaitu tower perkantoran (42
lantai) dengan podium 8 lantai dan 5 lapis besmen; dan tower hunian yang dinamakan
Keraton, 48 lantai dengan podium 7 lantai dan 5 lapis besmen. Kedua tower akan
mempunyai helipad. Apabila selesai dikerjakan, Keraton akan menjadi gedung tertinggi
di Indonesia. Gambar 1 menunjukkan pandangan udara proyek tersebut.
Kedua tower berikut podium dan besmen-nya dibangun di atas lahan yang sangat
terbatas. Bangunan ini akan berdiri di antara gedung pertokoan Plaza Indonesia, EX
Center dan Kedutaan Jepang (Gambar 2). Sehubungan dengan jarak tepi besmen yang
sudah dekat dengan bangunan sekeliling, maka untuk pembangunan besmennya dipilih
cara top-down construction. Karena masalah jadwal, dipilih juga metode bottom-up,
dimana kelak pada saat pengerjaan besmen selesai, struktur atas akan mencapai lantai
10.

Gambar 1 Pandangan udara proyek Plaza Indonesia II

Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia


Principal, DavySukamta & Partners, Structural Engineers, Indonesia

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Gambar 2 Bangunan diantara EX dan Kedutaan Jepang

2.

KRITERIA PERANCANGAN

Keterlibatan kami dalam proyek dimulai pada saat tender, dimana SsangYong
Engineering Construction Co menunjuk kami melakukan perancangan ulang atas
rancangan awal yang dilakukan perusahaan enjinering dari Amerika Serikat. Karena
rancangan arsitek sudah mengacu pada system struktur berupa dual system dari
corewall dan openframe, dan demikian pula dengan sistem ME/P yang tidak meminta
intermediate ME/P floor, maka sistem struktur yang baru tidak bisa tidak harus
mengadopsi sistem lateral serupa. Dalam melakukan optimasi rancangan struktur,
perencana awal sudah memberikan kriteria rancangan berupa imposed load yang harus
diikuti, performance struktur, dan kriteria perancangan gempa dan angin.
Dalam hal gempa, sesuai dengan IBC 2003, maka struktur harus dirancang terhadap
gempa 475 tahun dan 2475 tahun. Peraturan gempa di Indonesia, SNI 03-1726-2002
hanya meninjau gempa 475 tahun. Studi gempa yang dilakukan konsultan geoteknik dari
USA juga memberikan suatu hasil dimana response spectra rancangan yang
direkomendasikan serupa dengan response spectra tanah sedang zone-3 (Jakarta)
menurut SNI. Menurut studi tersebut, tanah di lokasi termasuk jenis site class D pada
peraturan UBC 1997 dan IBC 2003.
Dalam perancangan Plaza Indonesia II, beberapa kriteria dasar yang sangat
menentukan rancangan adalah besaran percepatan batuan dasar, amplifikasi
gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah dan penentuan faktor R
(faktor modifikasi respons seismik). Hal-hal ini akan dibahas dalam uraian berikut.
3. PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD ANALYSIS
Gelombang gempa akan merambat dari hypocenter ke lokasi bangunan sebagai P wave
dan S wave. Untuk menentukan design response spectra, kita perlu mencari berapa
percepatan yang terjadi akibat gempa di permukaan batuan dasar, yang mana untuk
daerah Jakarta berkisar pada kedalaman 300 m dari permukaan tanah. Untuk Plaza
Indonesia II, kami mengembangkan probabilistic seismic hazard analysis untuk mencari
berapa percepatan maksimum yang terjadi pada batuan dasar, dengan
mempertimbangkan regional tectonic setting, seismisitas regional dan kondisi geologi,
perkiraan kecepatan pengulangan dan magnitude maksimum dari kejadian-kejadian

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

gempa di patahan-patahan yang diketahui dan di zona sumber gempa dalam radius 500
km dari Jakarta, termasuk pengaruh sumber dekat, karakteristik atenuasi gerakan tanah
dan pengaruh kondisi tanah terhadap pergerakan.
Sebagai nilai percepatan batuan dasar, dipakai nilai yang mempunyai 2% probabilitas
terlampaui dalam kurun waktu 50 tahun (gempa 2475 tahun) dan nilai probabilitas
terlampaui 10% untuk kurun waktu yang sama (gempa 475 tahun). PSHA dilakukan
dengan menggunakan pendekatan 3-D seismic zoning dan hasilnya ditunjukkan pada
tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1 Hasil PSHA
__________________________________________________
Koordinat lokasi PGA pada batuan dasar Jakarta
475 tahun
2475 tahun
__________________________________________________
106.850 E, -6.200S
0.195 g
0.276 g
__________________________________________________

Sebagai perbandingan, SNI 03-1726-2002 menggunakan nilai 0.150 g sebagai


percepatan puncak pada batuan dasar untuk gempa 475 tahun.

4. SITE SPECIFIC RESPONSE SPECTRA


Setelah mendapatkan nilai percepatan puncak pada batuan dasar, langkah berikutnya
yang dilakukan adalah mencari respons spektra rencana di lokasi yang didasarkan atas
karakteristik tanah setempat, yang didapatkan dari hasil perataan site response analysis
dengan masukan beberapa gempa sintetis yang telah diskalakan terhadap percepatan
batuan dasar sesuai hasil PSHA.
Suatu model site respons harus dikembangkan berdasarkan pengukuran kecepatan
perambatan gelombang di lokasi. Pada kasus Plaza Indonesia II pengukuran nilai Vs
(kecepatan rambat gelombang geser) dilakukan pada dua lokasi, dimana pada lokasi
pertama nilai Vs diukur mulai dari muka tanah sampai dengan -50 m dan pada lokasi
kedua nilai Vs diukur mulai dari muka tanah sampai dengan -30 m. Pengukuran Vs
dilakukan menurut metoda seismic down-hole test. Gambar 3 menunjukkan grafik Vs
terhadap kedalaman yang digunakan dalam analisa site response. Data ini digunakan
sebagai input untuk analisa dengan menggunakan program NERA dan PLAXIS.
Sebagai input motion, SNI mensyaratkan sekurang-kurangnya digunakan 4 input motion,
dimana salah satunya adalah El Centro. Pada Plaza Indonesia II untuk frerquency
domain analysis dengan program NERA dipakai gempa Chi-Chi 1999, Mexico 1985, El
Centro 1940, Salvador dan Kobe 1995. Hasil analisa berdasarkan frequency domain
(FD) dan time domain (TD) dikombinasikan dengan hasil analisa URS dengan bobot
40% TD, 40% FD dan 20% URS. Rekomendasi design response spectra untuk gempa
475 tahun dan gempa 2475 tahun diberikan dalam Gambar 4 dan Gambar 5.
Rekomendasi ini kemudian dipakai dalam analisa respons spektrum untuk perancangan
gempa proyek Plaza Indonesia II.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Gambar 3 Grafik Vs terhadap kedalaman yang digunakan dalam analisa site response

Gambar 4 Design response spektra untuk gempa 475 tahun

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Gambar 5 Design response spektra untuk gempa 2475 tahun

5. FALSAFAH PERANCANGAN GEMPA


Sesuai peraturan gempa Indonesia dan mengacu pula pada peraturan luar seperti UBC
1997 dan IBC 2003, maka perancangan gempa proyek Plaza Indonesia II sudah
melewati tahapan-tahapan analisa tertentu yang mana akan diuraikan di bawah ini.
Sebagai dual system, dengan kombinasi corewall dan open frame, faktor modifikasi
respons seismic R diambil senilai 8.5. Berarti struktur harus dapat mendisipasi energi
secara daktail penuh. Dalam hal ini, baik elemen shearwall maupun elemen kolom dan
balok, harus dirancang dengan detailing yang ketat. Untuk perancangan shearwall,
digunakan metode yang dianjurkan ACI 318 dan UBC 1997 yang mana juga diambil SNI
beton kita, dimana pembatasan tegangan pada elemen corewall menentukan perlunya
dipasang boundary elemen atau tidak. Lihat gambar 6 yang menunjukkan diagram alir
rancangan shearwall.
Open frame dirancang sebagai sistem rangka momen pemikul khusus, atau disebut
sebagai special moment frame. Elemen kolom dirancang untuk mempunyai kapasitas
lentur sekurang-kurangnya 1.20 x kapasitas lentur balok. Tegangan yang terjadi di beton
pada pada daerah pertemuan balok-kolom dibatasi sampai senilai 1.00 ~ 1.66fc.AJ
(satuan SI)
Pola keruntuhan balok harus secara lentur, sehingga sengkang yang terpasang harus
mampu mengatasi gaya lintang akibat kapasitas leleh balok aktual dan akibat beban
gravitasi yang bekerja. Demikian pula sengkang kolom harus mengikuti persyaratan
jarak, jumlah tulangan sebagai confinement, dan sebagainya. Semuanya diatur dalam
SNI 03-2746-2002 pasal 23 atau ACI 318-05 pasal 21. Gambar 7 menunjukkan foto
tulangan kolom pada saat pelaksanaan berlangsung. Sedangkan Gambar 8
menunjukkan pelaksanaan corewall dengan tulangan diagonal pada coupling beam.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

No

Yes
P
Is . Abs u 0 . 35 ?
P0

No

Yes
No

Pu
Is . Abs

Ag f

'

0 .05 ?

Yes

Yes

Pu
Is . Abs

Ag f

'

0 . 10 ?

No

Yes
Yes

Mu
Is. Abs
1 .0 ?
Vu Lv

No
Mu
Is. Abs
3 .0 ?
Vu Lv

No

Yes
No

Yes

Gambar 6 Diagram alir rancangan shearwall

Gambar 7 Tulangan kolom

Sebagai dual system, untuk menjamin bahwa open frame bisa memberi back-up yang
handal terhadap corewall, maka open frame secara sendiri saja tanpa interaksi dengan
Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

shearwall harus mampu menahan sekurangnya 25% base shear. Hal ini terkait dengan
redundansi sistem struktur, dimana shearwall akan mengembangkan 1 (satu) buah sendi
plastis saja di sekitar tarap penjepitan lateralnya, sehingga apabila hal ini terjadi maka
keamanan seluruh sistem akan sangat tergantung dari perilaku histeresis sendi plastis
tersebut. Dengan adanya cadangan kekuatan yang cukup dari open frame, maka
keseluruhan sistem akan mampu mendisipasi energi dengan kinerja setara SRPMK
(ductile open frame).

Gambar 8 Pelaksanaan corewall dengan tulangan diagonal pada coupling beam

Gambar 9 dan 10 menunjukkan distribusi gaya geser arah X dan Y yang terjadi pada
open frame dan corewall pada tower hunian Keraton. Dari gambar ini dapat dilihat
bahwa pada zone bawah, corewall sangat efektif dalam menahan beban lateral,
sedangkan open frame akan lebih aktif di zona atas. Gambar tersebut menunjukkan
distribusi 25% gaya geser pada open frame yang bekerja sendiri tanpa bantuan
corewall. Dengan membandingkan kurva-kurva tersebut kita bisa melihat, tanpa interaksi
dengan corewall, open frame akan menerima gaya geser yang lebih besar dalam kondisi
25% base-shear, dibandingkan dengan open frame yang sama dengan 100% baseshear tetapi berinteraksi dengan corewall.
Struktur bawah dan pondasi juga harus dirancang sebagai struktur tahan gempa. Dalam
perancangan struktur atas, gaya gempa hasil analisa respons spektrum bisa kita
turunkan dengan menggunakan faktor R. Hal ini dapat dilakukan karena struktur bisa
men-disipasi energi gempa pada saat terjadi ekskursi ke wilayah inelastik.
Dalam persamaan energi, bisa ditulis bahwa EI = EE+ED, dimana:
EI = Energi yang masuk
EE = Energi elastik yang disimpan, terdiri dari Ek (energi kinetis) dan Es (energi regangan
elastis / elastic strain energy)
ED = Energi yang ter-disipasi, terdiri dari energi yang ter-disipasi secara histeretik akibat
viscous damping dan akibat pelelehan dan gesekan.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Grafik Perbandingan Gaya


Geser Kumulatif Arah X yang
Ditahan Core Wall dan Kolom

2.00E+06

1.80E+06

1.60E+06

1.40E+06

1.20E+06

1.00E+06

8.00E+05

6.00E+05

4.00E+05

2.00E+05

0.00E+00

Gaya Lateral

Kolom sebagai open frame terpisah, 25% base shear

HELIPAD
LEVEL 47M
LEVEL 46
LEVEL 43
LEVEL 41
LEVEL 39
LEVEL 37
LEVEL 35
LEVEL 33
LEVEL 31

Corew all berinteraksi dengan kolom

LEVEL 29

Lantai

LEVEL 27
LEVEL 25
LEVEL 23
LEVEL 21
LEVEL 19
LEVEL 17

Kolom berinteraksi dengan corew all

LEVEL 15
LEVEL 13
LEVEL 11
LEVEL 9
LEVEL 7
LEVEL 5M
LEVEL 4
LEVEL 2

Gambar 9 Distribusi gaya geser arah X yang terjadi pada open frame
dan corewall pada Keraton

Dalam persyaratan SNI gempa disebutkan bahwa struktur bawah tidak boleh gagal lebih
dahulu daripada struktur atas (Pasal 5.1.5). Untuk itu, terhadap pengaruh gempa, unsurunsur struktur bawah harus tetap berperilaku elastik penuh. Untuk struktur besmen, bisa
dipakai nilai R = 1.6, jadi beban-beban gempa harus dikalikan f2. Untuk pondasi, harus
dikalikan faktor (overstrength factor), yang dalam SNI gempa disebut f = f1 x f2.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Grafik Perbandingan Gaya


Geser Kumulatif Arah Y yang
Ditahan Core Wall dan Kolom

HELIPAD
LEVEL 47M
LEVEL 46
LEVEL 43
LEVEL 41
LEVEL 39
LEVEL 37
LEVEL 35
LEVEL 33

Kolom sebagai open frame terpisah, 25% Base shear

1.95E+06

1.75E+06

1.55E+06

1.35E+06

1.15E+06

9.50E+05

7.50E+05

5.50E+05

3.50E+05

1.50E+05

-5.00E+04

Gaya Lateral

Corew all berinteraksi dengan kolom

LEVEL 31
LEVEL 29

Lantai

LEVEL 27
LEVEL 25
LEVEL 23
LEVEL 21
LEVEL 19

Kolom berinteraksi dengan shear w all

LEVEL 17
LEVEL 15
LEVEL 13
LEVEL 11
LEVEL 9
LEVEL 7
LEVEL 5M
LEVEL 4
LEVEL 2

Gambar 10 Distribusi gaya geser arah X yang terjadi pada open frame
dan corewall pada Keraton

6. PONDASI
Untuk menahan massa gedung yang sangat besar, pada proyek ini digunakan pondasi
dalam berupa bored-pile diameter 1.5 m dan 1.8 m, panjang total berkisar antara 58 m
68 m dengan daya dukung 1070 ton untuk tiang diameter 1.5 m dan 1500 ton untuk
tiang diameter 1.8 m. Selain itu sudah terdapat tiang barrette untuk daerah tower dan
tiang bor diameter 1.2 m untuk daerah podium, hasil rancangan konsultan terdahulu.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

Untuk memfasilitasi up-down construction, dipasang kolom-kolom pipa baja terisi beton
(composite infilled tube), hal mana memungkinkan pekerjaan besmen dilakukan
serempak dengan struktur atas. Menurut rencana pada saat pekerjaan besmen selesai,
struktur atas akan mencapai lantai 10. Gambar 10 menunjukkan pekerjaan struktur
besmen. Gambar 11 menunjukkan kesibukan alat-alat berat di lantai dasar, dimana
pengaturan lalu lintas kendaraan merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat
sempitnya lokasi. Disini dapat dilihat excavator machine mengisi truk-truk pengangkut
tanah, dimana tanah dikeluarkan lewat lubang void yang sudah dirancang untuk itu.
Gambar 12 menunjukkan struktur atas yang sedang dikerjakan.
Plaza Indonesia II direncanakan akan selesai pada pertengahan tahun 2009. Bila
selesai, menara apartemen Keraton akan menjadi gedung tertinggi di Jakarta dengan
ketinggian mencapai 225 m.

Gambar 11 Pekerjaan besmen pada Plaza Indonesia II

Gambar 12 Excavator machine sedang mengisi truk pengangkut tanah yang dikeluarkan
lubang void yang telah dirancang

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

10

7.

REFERENCES

1. ASCE Standard ASCE / SEI 7-05: Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures
2. BSN, 2002, SNI 03-1726-2002: Code for the Design of Earthquake Resistant Building,
Indonesia
3. International Building Code, 2003
4. International Building Code, 2006
5. Lythe, G.R; and Isyumov N, 1995, A Study of Wind Effects for Amartapura the Residential
Palace, Jakarta, Indonesia, BLWT-5523-1995, Canada.
6. Sukamta, Davy, 1995, Structural Design Report of The 52-storey Amartapura Residential
Palace, Jakarta.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Back to Table of Contents

11

Anda mungkin juga menyukai