Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal yang dipicu oleh rhinitis.
Penyebab utamanya adalah selesma atau common cold yang merupakan infeksi virus lalu
dilanjutkan dengan infeksi bakteri.Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sementara bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, sementara sinus frontal dan
sphenoid jarang. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang
atas, maka infeksi gigi mudah menyebar kesinus,disebut sinusitis dentogen.Sinusitis dapat
menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi keorbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Gejala dari sinusitis sendiri antara lain hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada wajah,
ingus purulen yang sering turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala lain seperti
demam dan lesu, sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis
(sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang terpenting adalah serangan asma yang sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
LAPORAN KASUS
Dilaporkan seorang pasien berusia 50 tahun datang pada tanggal 7 Juni 2015 ke RSUP
Persahabatan dengan keluhan hidung mampet sejak 2 tahun yang lalu, mengaku diberikan obat
dari puskesmas namun setelah obat habis ingus mampetnya kembali lagi.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya ada 1 atau
2 saja dari gejala di bawah ini antara lain sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik ke muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.

Selain itu, pasien mengaku sering pilek dengan ingus bening, penciumannya terganggu, sering
bersin-bersin dengan mata berair jika terkena debu. Pasien juga mengaku memiliki riwayat
penyakit asma dan alergi terhadap udang dan penicillin.
Dalam kasus, pasien mengaku memiliki riwayat asma, riwayat alergi makanan serta sering
bersin-bersin dan pilek dengan ingus bening. Riwayat asma dan alergi makanan menjelaskan
bahwa pasien memiliki kecenderungan alergi, serta sering bersin-bersin dan pilek dengan ingus
mening menjelaskan bahwa rhinitis atau pilek yang diderita pasien merupakan rhinitis alergi.
Rhinitis alergi merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab dari rhinosinusitis.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan nasoendoskopi. Pada
rhinoskopi anterior ditemukan adanya deviasi septum, sementara pada pemeriksaan
nasoendoskopi ditemukan adanya pus di meatus medius dan adanya polip di rongga hidung.
Deviasi septum merupakan bentuk septum yang tidak sempurna di garis tengah. Deviasi septum
yang ringan tidak akan menggangu akan tetapi bila deviasi itu cukup berat menyebabkan
penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan
menyebabkan komplikasi. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus sehingga menjadi
predisposisi terjadinya rhinosinusitis.
Kemudian dilakukan CT-Scan dan ditemukan adanya air fluid level di sinus maksilaris, adanya
hipertrofi konka pada sinus frontalis, kompleks osteomeatal yang tertutup, dan adanya deviasi
septum.
Air fluid level adalah gambaran dari akumulasi pus yang ditemukan khas pada sinusitis. Selain
itu juga ditemukan adanya kompleks osteomeatal yang tertutup karena adanya edema mukosa
setempat. Edema mukosa tersebut dapat disebabkan oleh rhinitis alergi atau karena infeksi
saluran nafas atas, yang kemudian menghambat jalan keluar pus sehingga terjadi gambaran air
fluid level. Hipertrofi konka dapat disebabkan oleh adanya peradangan yang berulang, dan dapat
menyebabkan hidung terusumbat. Deviasi septum dapat menjadi penyumbat ostium sinus
sehingga menjadi predisposisi rhinosinusitis.

Dari pemeriksaan yang dilakukan disimpulkan pasien menderita rhinosinusitis kronik, hipertrofi
konka dan deviasi septum. Disarankan kepada pasien untuk dilakukan operasi.
Pasien kembali ke rumah sakit untuk operasi pada tanggal 10 Juni 2015. Operasi yang dilakukan
adalah FESS, reduksi konka serta septoplasti.
PATOFISIOLOGI
Pada sinusitis, beberapa faktor etiologi yang berpengaruh antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti sindroma
Kartagener dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu
dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-bakterialdan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam
sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik.Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut,
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.Mukosa makin membengkak dan ini
merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik
yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista.

Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari luar
hidung,palpasi rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transluminasi, pemeriksaan radiologik dan
sinoskopi.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi Waters,
PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila
dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau
penebalan mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis rinosinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis rinosinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada rinosinusitis akut bakterial untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman
telah resisten atau memproduksi beta-laktamase maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat
atau jjenis sefalosporin generasi ke-2. Pada rinosinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari
meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada rinosinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai
untuk kuman gram negative dan anaerob.
Selain dekongestan terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik,
steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).
Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila
atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Anda mungkin juga menyukai