Anda di halaman 1dari 10

Cara mereferensi tulisan ini:

Firdaus, M. (2006). Struktur Informal: Potensi organisasi yang terabaikan. Jurnal


Administrasi Negara 12 (4)

Struktur Informal: Potensi organisasi yang terabaikan


Muhammad Firdaus

Abstrak
Organisasi dapat ditinjau dari dua dimensi struktur. Pertama, setiap organisasi memiliki
struktur formal yang mencerminkan alur kerja dan hierarkhi rantai komando. Struktur ini
merupakan kerangka tubuh yang nampak secara ekplisit dan menjadi identitas suatu
organisasi. Karenanya, investasi sumberdaya untuk pengembangan organisasi umumnya
tertuju pada perombakan dan reka ulang struktur formal tersebut. Kedua, tersembunyi
dibalik organisasi formal ini, terdapat struktur informal yang bersifat fleksibel dan adaptif,
yang senatiasa berubah mengikuti kebutuhan dan kondisi lingkungan organisasi. Ia bisa
diandaikan sebagai pusat sistim syaraf organisasi yang mampu mensinergikan berbagai
pemikiran dan tindakan anggota organisasi. Struktur semacam ini terbangun diatas jejaring
hubungan sosial antar pegawai yang mampu melintasi batas-batas divisi, fungsi dan jenjang
hierarkhi. Struktur informal ini masih merupakan potensi organisasi yang terabaikan dan
perlu dipikirkan strategi pemanfaatannya.
Pendahuluan
Efektivitas penyelenggaraan pemerintahan tidak lepas dari berbagai faktor. Salah satunya
adalah struktur organisasi. Sebagai upaya mendorong efektivitas pemerintahan di daerah,
pemerintah mengeluarkan PP No. 84 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan PP No. 8
Tahun 2003 tentang pedoman organisasi perangkat daerah. Akan tetapi perubahan struktur
kelembagaan pemerintah daerah

tersebut tidak kunjung membuahkan hasil

yang

diharapkan, misalnya dalam bentuk pelayaan publik yang berkualitas (lihat Suara Merdeka,
14 Desember 2006).
Kelemahan utama dari pendekatan pemerintah tersebut di atas adalah karena perhatian
hanya difokuskan pada organisasi formal, yakni struktur yang menunjukkan hubungan
rantai komando, rentang kendali dan hubugan kerja secara resmi. Membenahi organisasi
formal tersebut memang penting, tetapi tidak memadai untuk mendukung pengembangan
kinerja pemerintah. Pemerintah perlu menyadari bahwa dibalik organisasi formal tersebut,
terdapat organisasi informal yang sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya kinerja
pemerintahan.
Tulisan ini mencoba mengungkap sisi informal organisasi yang sejauh ini belum tersentuh.
Pembahasan dimulai dengan mengupas teori-teori mengenai model organisasi birokrasi
yang hingga kini masih dominan, lalu dilanjutkan dengan melihat berbagai perubahan
lingkungan yang mendorong para ahli mencari model organisasi alternatif. Selanjutnya,
tulisan ini berargumen bahwa sebenarnya model-model alternatif tersebut sudah terbentuk,
hanya saja keberadaannya belum disadari karena berada pada dimensi informal.
Pembahasan dilanjutkan dengan melihat wujud organisasi informal tersebut beserta peranan
dan hambatan penerapannya. Akhirnya, dikemukakan beberapa strategi yang diharapkan
bisa membantu dalam mendayagunakan organisasi informal.
Model Organisasi dalam Era Perubahan
Organisasi bukanlah temuan baru atau produk masyarakat modern. Bangunan monumental
seperti piramida di Mesir, Borobudur di Indonesia dan maha karya lainnya yang termasuk
dalam tujuh keajaiban dunia merupakan hasil karya masyarakat sebelum era industri yang
mustahil bisa dibangun tanpa organisasi.
Hanya saja diera masyarakat modern, organisasi semakin kompleks, dan seiring dengan itu
berkembang menjadi institusi dominan. Segenap kegiatan manusia berlangsung dalam
konteks organisasi. Menurut Etzioni (1964), organisasi menempati posisi dominan dalam
masyarakat karena manusia lahir, belajar, bekerja dan bermain dalam organisasi. Organisasi
adalah unit sosial yang teratur (Weber, 1978) dan yang dikonstruksi dan direkonstruksi
secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu (Etzioni, 1964).

Organisasi Formal
Organisasi formal dibentuk secara sengaja yang mencerminkan pembagian kerja. Oleh Max
Weber dan Parson organisasi semacam ini merupakan posisi-posisi yang ditetapkan secara
formal, dan interaksi antara posisi-posisi tersebut ditentukan oleh keterkaitan peranan dari
masing-masing posisi. Secara spesifik Weber (1978) menyebut organisasi semacam ini
sebagai birokrasi.
Tidak bisa disangkal bahwa birokrasi merupakan suatu model organisasi yang sangat
efektif dan efisien. Diantara berbagai bentuk tindakan sosial, Weber (1978) melihat bahwa
yang paling dominan dalam era industri modern adalah tindakan rasional, dan menjadi
dasar kelahiran model organisasi birokrasi. Menurut Weber, Organisasi birokratis memiliki
tujuan yang ditetapkan secara jelas, menggunakan kalkulasi yang akurat mengenai cara
mencapai tujuan tersebut, dan secara sistematis mengeliminasi hal-hal yang menghambat
pencapaian tujuan tersebut (lihat Van Krieken, Smith et al., 2000).
Secara khusus Weber (1978)

menyebutkan karakteristik organisasi birokrasi dalam

bentuknya yang murni atau ideal sebagai berikut:


1. Tugas-tugas yang kompleks dibagi kedalam bagian-bagian yang kemudian tanggung
jawab pelaksanaanya diserahkan sebagai tugas resmi kepada setiap anggota organisasi.
2. Mengikuti prinsip hierarkhi dengan rantai komando, dimana unut-unit yang lebih
rendah dikendalikan oleh dan bertanggung jawab kepada unit yang lebih tinggi.
3. Penyelenggaraan tugas didasarkan pada peraturan yang tegas. Prosedur tetap menjadi
dasar pelaksanaan tugas yang menekankan kedisiplinan dan pengendalian yang
menyisakan hanya sedikit ruang bagi pegawai untuk berinisiatif dan berinovasi.
4. Pegawai melaksanakan tugasnya

secara formalistik dan impersonal. Segalanya

ditetapkan dengan hukum dan aturan yang objektif, sementara unsur personal, irasional
dan emosional dieliminasi.
5. Pegawai diserahi tugas berdasarkan pengetahuan dan keahliannya.
6. Pemisahan secara tegas antara pendapatan peribadi dan pendapatan organisasi.
Karakteristik tersebut di atas menjadikan model organisasi birokrasi unggul secara teknis
yang hingga kini belum tertandingi. Kendati demikian, Weber (1978) juga memperingatkan

bahwa kalau organisasi birokrasi benar-benar mencapai bentuk idealnya tersebut, maka ia
akan menjadi kerangkeng besi (iron cage) yang bisa memenjara daya kreativitas dan
inovasi pegawai. Ritzer (1996; 1998), seorang mengikut teori Weber, menganggap bahwa
kini birokrasi sudah semakin mendekati tipe ideal tersebut. Hal ini, misalnya, terlihat pada
masyarakat Amerika dan bahkan masyarakat dunia yang sudah diorganisir secara kaku
sebagaimana layaknya restoran cepat saji McDonald, dimana prosedur, waktu, urutan
pelayanan sudah dikalkulasi secara baku. Inovasi pegawai tidak lagi dibutuhkan karena
hanya akan merusak standard yang sudah ditetapkan. Meskipun organisasi birokrasi formal
belum sepenuhnya mencapai karakteristik ideal tersebut di atas, sebagian peneliti sepakat
dengan Ritzer dan berargumen bahwa efek keragkeng besi tersebut sudah semakin terasa
dan menggejala.
Tekanan Perubahan dan Model Organisasi Alternative
Menurut Osborne & Gaebler (1992) dan Osborne & Plastrik (1997) terbukti birokrasi
efektif ketika arus perubahan masih lamban, pekerjaan relatif sederhana dan lingkungan
kerja stabil, informasi lengkap terpusat pada manajemen puncak, keinginan masyarakat
cenderung seragam, dan struktur masyarakat masih berbasis geografis.
Akan tetapi dewasa ini arus perubahan begitu pesat, ditandai dengan terjadinya revolusi
teknologi, kompetisi ekonomi global, pendidikan pegawai yang semakin tinggi, masyarakat
yang semakin kritis, dan sumberdaya keuangan yang semakin terbatas. Dengan demikian,
kondisi-kondisi bagi organisasi birokrasi yang disebutkan oleh Ozborne, Gaebler dan
Plastrik di atas semakin tidak relevan. Dalam keadaan seperti ini, organisasi birokrasi yang
kaku tidak akan mampu mendukung penyelenggaraan pemerintahan secara memadai.
Sebenarnya, Osborne & Gaebler (1992) telah merancang cetak biru atau DNA organisasi
pemerintahan modern yang mampu memenuhi tantangan zaman dengan ciri fleksibel dan
adaptif, katalitik, memberdayakan, kompetitif, terfokus pada misi dan masyarakat yang
dilayani, berorientasi hasil, bersifat enterprise, antisipatif, terdesentralisasi, dan berorientasi
pasar. Ilmuan lainnya juga turut mencari model organisasi alternatif, misalnya organisasi
matriks (lihat Atkinson, 2003), organisasi pembelajar dan seamless government (Linden,
1994). Akan tetapi, penerapannya masih jauh dari harapan, terlebih dalam konteks

pemerintahan di Indonesia. Model-model seperti itu hanya berhasil diimplementasikan pada


lingkup terbatas

yaitu pada

beberapa organisasi yang kebetulan karakteristiknya

mendukung.
Salah satu permasalahan mendasar yang menyebabkan penerapan model organisasi
alternatif tidak berhasil adalah tidak kompatibelnya karakteristik model organisasi alternatif
tersebut dengan struktur organisasi yang ada. Dengan kata lain, mereka gagal menerapkan
prinsip organisasi modern karena mencoba meniupkan roh organisasi fleksibel ke dalam
tubuh organisasi birokrasi yang kaku.
Organisasi Informal
Terlepas dari kesulitan di atas, tidak berarti penerapan prinsip-prinsip organisasi modern
tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebenarnya organisasi matriks, organisasi pebelajar
ataupun organisasi modern yang dikemukakakan oleh Osborne & Gaebler (1992) sudah
terbentuk. Hanya saja, keberadaannya tidak disadari, dan karenanya manfaatnya tidak bisa
dioptimalkan. Keberadaannya tidak disadari karena ia berada pada dimensi informal dan
bersifat implisit sehingga luput dari perhatian. Kaca mata konvensional yang dipakai tidak
cocok karena secara sempit hanya melihat organisasi secara topografis (Araujo, 1998, p.
317), yakni suatu struktur dimana terdapat pembagian dan pengkoordinasian fungsi-fungsi
dan tugas dengan jelas secara vertikal maupun horisontal.
Menurut Blau (1963) organisasi informal ini terbentuk sebagai indikasi adanya kebutuhan
pegawai yang tidak terpenuhi oleh organisasi formal. Organisasi ini akan aktif dengan
sendirinya jika keadan membutuhkannya (Stevenson and Gilly, 1993). Struktur informal
tersebut terbentuk dari jalinan berbagai hubungan sosial di kalangan pegawai dan antara
pegawai dengan orang-orang di sekitarnya. Jadi organisasi informal dalam konteks ini
berbeda dengan asosiasi, paguyuban, serta

kelompok-kelompok sosial

sejenisnya.

Kelompok informal seperti ini termasuk kategori organisasi formal, karena dibentuk
dengan sengaja dan ada pimpinan dan susunan organisasinya yang secara sadar dan sengaja
ditetapkan. Dengan demikain pula, berbagai bentuk dan penamaan organisasi berbasis
jaringan informal dianggap sebagai organisasi informal dalam tulisan ini, misalnya

communities of practice (Wenger and Snyder, 2000), micro communities (Nonaka and
Takeuchi, 1995), atau work comunities (Kusterer, 1978).
Definisi ini sekaligus mengungkap bahwa model organisasi informal ini berbentuk
jaringan. Jaringan adalah sejumlah titik yang terikat oleh sejumlah hubungan (lihat Knoke
and Kuklinski, 1982; Wasserman and Faust, 1994; Jones, Hesterly et al., 1997; Klovdahl,
1997). Dalam suatu organisasi informal, titik-titik diwakili oleh pegawai dan hubungan
diwakili oleh berbagai hubungan informal yang mengikat mereka baik secara fisik,
emosional, maupun transaksional. Jadi dari segi bentuk, perbedaan organisasi formal dan
informal terletak pada bentuk hubungan yang mengikat anggota organisasi dan bukan pada
fungsinya. Pada organisasi formal, pegawai diikat oleh hubungan formal seperti siapa yang
membawahi siapa. Dalam organisasi informal, anggota organisasi diikat oleh hubungan
informal seperti hubungan saling memberi nasehat, bertukar pikiran, saling mendukung dan
sebagainya yang terjadi secara alami sehari-hari, dan sering tanpa disadari.
Krackhardt dan Hanson (1993) mengindentifikasi tiga hunbungan informal yang dianggap
sangat dominan dan berdampak luas dalam organisasi, yakni hubungan komunikasi
(kelompok pegawai yang sehari-harinya memperbincangkan berbagai aspek pekerjaan
secara umum), konsultasi (kelompok pegawai yang saling bertukar informasi teknis
mengenai solusi permasalahan) dan kepercayaan

(kelompok pegawai

yang saling

mempercayai dan saling mendukung dimasa sulit).


Secara esensi, kajian mengenai struktur organisasi informal sudah dimulai sejak tahun
1920an dan 1930an ketika Elton Mayo, Roethlisberger and Dickson, dari MIT mengadakan
penelitian pada pabrik Hawthorne milik Western Electric Company di Chicago (dalam
Borgatti, 2000). Elton Mayo dan rekan-rekanya menemukan teori Human Relation setelah
membuktikan bahwa peningkatan produktifitas hanya sebahagiannya ditentukan oleh faktor
pendapatan, lingkungan dan teknis (Molina, 2001). Penelitian mereka membuktikan bahwa
dinamika oposisi dan solidaritas secara informal antar pekerja yang mempengaruhi
produktifitas kendati sistim insentif dimanipulasi (dalam Molina, 2001). Selain itu 1963,
Blau menemukan bahwa konsultan pada salah satu lembaga penegakan hukum Amerika
secara informal mendiskusikan permasalahan pekerjaan yang dihadapi dengan rekanrekannya dan terbukti efektif dalam meningkatan kinerja mereka; kendati peraturan formal

melarang mereka

melakukan hal

tersebut (Blau, 1963).

Secara formal peraturan

mengharuskan mereka membicarakan persoalan yang dihadapi dengan atasan masingmasing, bukannya dengan rekan mereka.
Peranan Organisasi Informal
Berbagai penelitian telah membuktikan betapa besar peranan organisasi informal tersebut
(lihat Krackhardt and Hanson, 1993; Borgatti, 2000; Molina, 2001). Nonaka (1991),
Nonaka & Konno (1998) serta Nonaka & Takeuchi (1995), misalnya, menganggap
keberhasilan organisasi-organisasi besar di Jepang mengembangkan inovasi dan kreativitas
terletak pada pemberdayaan organisasi informal. Jika mengacu pada definisi yang dipakai
di atas, dimana organisasi informal dipandang sebagai jaringan hubungan informal, maka
manfaat organisasi informal dapat pula dilihat pada laporan berbagai penelitian mengenai
jaringan.
Secara umum, Borgatti (2000) percaya bahwa struktur sosial informal tidak kalah besar
perananya dalam mendukung jalannya organisasi. Kapferer (1969), misalnya, menemukan
bahwa struktur hubungan dan interaksi antar orang-orang yang berselisih dalam organisasi
mempengaruhi mobilisasi dukungan yang pada akhirnya bisa menentukan siapa yang
menang dalam perselisihan tersebut. Krackhardt dan Hanson (1993) serta Krackhardt dan
Stern (1988) menunjukkan bahwa meskipun ada organisasi formal, kebanyakan pekerjaan
sebenarnya terselesaikan dalam organisasi informal. Mereka mengilustrasikan bahwa
pemahaman pimpinan mengenai jaringan informal pegawai dalam organisasinya membantu
dalam merumuskan solusi terhadap berbagai permasalahan organisasi. Selanjutnya, Burt
(1992) menemukan bahwa kecepatan mendapatkan promosi karir berkorelasi dengan apa
yang dia sebut structural holes, yakni celah-celah dalam struktur jaringan. Sejalan dengan
itu, Podolny dan Baron (1997) juga menunjukkan bagaimana jaringan sosial mempengaruhi
mobilitas kerja dalam organisasi. Lebih jauh lagi, Sparrowe, Liden, Wayne dan Kraimer
(2001) menemukan bahwa posisi sentral dalam jaringan konsultasi berasosiasi dengan
kinerja pegawai.
Meskipun peranannya begitu besar sebagaimana disebutkan di atas, organisasi informal
masih belum mendapatkan perhatian yang memadai dari praktisi maupun akademisi. Ada

sejumlah faktor yang menyebabkan potensi organisasi informal menjadi terabaikan.


Pertama, kesadaran praktisi akan keberadaanya dan tentu saja manfaatnya belum terbentuk.
Hal ini disebabkan karena pada satu sisi organisasi informal bersifat implisit dan
tersembunyi sehingga bahkan mereka yang terlibat didalamnya sering tidak menyadari.
Pada sisi lain, prinsip-prinsip legalitas formal dalam budaya birokrasi telah menggiring kita
untuk hanya memperhatikan hal-hal kasat mata dan rasional. Kedua, bagi akademisi,
kalaupun mereka menyadari keberadaannya, mereka kesulitan untuk menelitinya karena
metode

penelitian

konvensional

yang

dipakai

selama

ini

tidak

mampu

mengkonseptualisasikan fenomena organisasi informal yang sifatnya implisit dan rumit.


Ketiga, orang mungkin enggan membicarakanya secara terbuka karena bagi mereka posisi
dalam organisasi informal bisa merupakan keunggulan kompetitif yang perlu dipertahankan
dan perlu dijaga kerahasiaannya.
Penutup
Struktur informal bagaikan pisau bermata dua. Jika pimpinan tidak mengetahui cara
mengindentifikasi dan mengarahkannya, maka ia berpotensi melumpuhkan organisasi.
Sebaliknya, jika pimpinan belajar memupuknya maka kekuatan tersembunyi ini bisa
dibangkitkan untuk mendukung efektifitas penyelenggaraan fungsi dan tugas organisasi
(Krackhardt and Hanson, 1993).
Sebenarnya, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk memanfaatkan kekuatan dari
organisasi informal mengingat masyarakatnya terkenal berciri komunal yang terikat oleh
beragam hubungan informal yang mengakar pada tradisi dan budaya daerah maupun
nasional. Dibalik struktur birokrasi pemerintahan di Indonesia, terdapat berbagai hubungan
personal yang kompleks

yang berperan banyak dalam

pengambilan keputusan

(MacAndrews, 1986; Rohdewohld, 1995). Kendati demikian, potensi organisasi informal


ini belum dimanfaatkan.
Ada beberapa hal yang bisa ditempuh untuk memanfaatkan kekuatan yang ada pada
organisasi informal. Pertama, kesadaran akan keberadaan dan potensi manfaatnya perlu
ditumbuhkan. Kedua, pimpinan perlu memahami paradox organisasi informal. Pada satu
sisi, organisasi informal butuh dukungan pimpinan. Namun pada sisi lain, pimpinan tidak

boleh mengintervensi terlalu jauh karena akan memandulkan organisasi informal tersebut.
Jalan tengahnya adalah dengan memupuk melalui pemberian dukungan tanpa terlalu jauh
mencampuri mekanisme kerjanya. Ketiga, iklim organisasi perlu disehatkan agar sekatsekat psikologis dan sosial bisa dilebur. Seiring dengan itu lingkungan fisik organisasi serta
tata laksana perlu diatur sedemikian rupa sehingga kesempatan untuk bertemu dan
berinteraksi secara alami tersedia bagi pegawai.

Daftar Pustaka
Araujo, L. (1998). Knowing and learning as networking. Management Learning 29(3):
317-336.
Atkinson, P. (2003). Managing chaos in a matrix world. Management Services: 8-11.
Blau, P. M. (1963). The dynamics of bureaucracy: A study of interpersonal relations in two
government agencies (Revised edition). Chicago: The University of Chicago.
Borgatti, S. P. (2000). Informal organizational structure: The Hawthorne Studies [Online].
Available: http://www.analytictech.com/mb119/Hawthorne.html [2 February 2004].
Burt, R. S. (1992). Structural holes: The social structure of competition. Cambridge:
Harvard University Press.
Etzioni, A. (1964). Modern Organisations. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
Jones, C., Hesterly, W. S. & Borgatti, S. P. (1997). A general theory of Network
Governance: Exchange conditions and social mechanisms. Academy of
Management Review 22(4): 911-945.
Kapferer, B. (1969). Norms and the manipulation of relationships in a work context. In J.
C. Mitchel (Ed.), Social Networks in urban situations: Analysis of personal
relationships in Central African Towns. (181-244). Manchester: Manchester
University Press.
Klovdahl, A. S. (1997). Social Network Analysis. In J. P. Keeves (Ed.), Educational
research, methodology, and measurement: An International Handbook (2Ed). (684690). Oxford: Pergamon.
Knoke, D. & Kuklinski, J. H. (1982). Network analysis. Beverly Hills, Calif: Sage
Publications.
Krackhardt, D. & Hanson, J. R. (1993). Informal networks: The company behind the
chart. Harvard Businesss Review: 104-111.
Krackhardt, D. & Stern, R. N. (1988). Informal networks and organizational crisis.
Social Psychology Quarterly 51(2): 123-140.
Kusterer, K. C. (1978). Know-How on the job: The important working knowledge of
"unskilled" workers. Colorado: Westview Press.
Linden, R. M. (1994). Seamless Goverment. San Francisco: Jossey-Bass.
MacAndrews, C., (Ed.). (1986). Central government and local development in Indonesia.
New York: Oxford University Press.
Molina, J. L. (2001). The informal organizational chart in organizations: An approach
from the social network analysis. CONNECTIONS 24(1): 78-91.
Nonaka, I. (1991). The knowledge-creating company. Harvard Business Review 69(6):
96-104.

Nonaka, I. & Konno, N. (1998). The concept of "ba": Building a foundation for
knowledge creation. California Management Review 40(3): 40-54.
Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The knowledge-creating company: How Japanese
companies create the dynamics of innovation. New York: Oxford University Press.
Osborne, D. & Gaebler, T. (1992). Reinventing Goverment: How the enterpreneurial spirit
is transforing the public sector. New York: Addison Wesley.
Osborne, D. & Plastrik, P. (1997). Banishing bureaucracy (the five Strategies for
reinventing goverment): Addision Wesley.
Podolny, J. M. & Baron, J. N. (1997). Resources and relationships: Social networks and
mobility in the workplace. American Sociological Review 62(5): 673-693.
Ritzer, G. (1996). The McDonaldization of society : An investigation into the changing
character of contemporary social life, Revised Edition. California: Pine Forge Press.
Ritzer, G. (1998). The McDonaldization Theses: Explorations and extentions. London:
Sage.
Rohdewohld, R. (1995). Public Administration in Indonesia. Merbourne: Montech.
Sparrowe, R. T., Liden, R. C., Wayne, S. J. & Kraimer, M. L. (2001). Social networks and
the performance of individuals and groups. Academy of Management Journal
44(2): 316-325.
Stevenson, W. B. & Gilly, M. C. (1993). Problem-solving networks in organisations:
International design and emergent structure. Social Science Research 22: 92-113.
Suara Merdeka (14 Desember 2006). Pelayanan Publik Makin Memburuk. Suara Merdeka
Cyber News.
Van Krieken, R., Smith, P., Habibis, D., McDonald, K., Haralambos, M. & Halborn, M.
(2000). Sociology: Themes and perspectives. NSW: Pearson Education Australia.
Wasserman, S. & Faust, K. (1994). Social network analysis: Methods and applications.
Cambridge: Cambridge University Press.
Weber, M. (1978). Economy and Society. Berkeley: University of California Press.
Wenger, E. & Snyder, W. (2000). Learning in communities. Line Zine Summer(1).

Anda mungkin juga menyukai