Anda di halaman 1dari 2

Beberapa waktu lalu, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, sekelompok mahasiswa mengadakan

demonstrasi dengan mengangkat tema yang menurut sebagian orang adalah rasis, yaitu tentang pribumi
dan non pribumi. Menurut akun twitter organisasi mahasiswa yang menginisiasi demonstrasi tersebut, isu
tersebut diangkat karena mereka melihat ketimpangan sosial ekonomi antara pribumi dan non pribumi
(dalam terminologi yang mereka maksudkan).
Organisasi ini menganggap bahwa etnis non pribumi, Tionghoa peranakan, mendominasi sektor ekonomi
di Indonesia, dan kaya raya, sedangkan etnis pribumi (entah siapa yang dimaksudkan dengan pribumi ini)
hidup miskin dan menderita. Sangat picik memang, dan menyedihkan, betapa kebencian berbau rasial
macam begitu masih ada di negeri ini.
Saya pikir, selain membaca kitab kitab suci dan buku buku teori (seandainya mereka benar benar
membaca), bahwa perlulah kelompok tersebut setidaknya membaca komik yang bakal saya bahas ini:
Hidup Mati di Tanah Sengketa, karya Redi Murti.
Komik bertahun terbit 2014 ini adalah komik eksperimental yang berkisah tentang kehidupan warga
Tionghoa peranakan yang miskin di kawasan kumuh di sudut kota Surabaya, Tambak Bayan. Seperti
layaknya sebuah kota yang terus menerus membangun, Surabaya pun begitu . Surabaya, yang merupakan
kota terbesar kedua di negeri ini, seperti juga kota kota besar lain, tak pernah lepas dari permasalahan
permasalahan social seperti ini, termasuk juga didalamnya kemiskinan struktural dan okupasi lahan oleh
pemilik modal atas nama pembangunan yang mengancam masyarakat miskin di kawasan itu.
Nampaknya paradigma pembangunan tak pernah berubah sejak dahulu, atau setidaknya sejak era Orde
Baru. Kebijakan pembangunan kawasan selalu dilakukan dengan skema top down, di mana pengambil
kebijakan membuat program program pembangunan dari balik meja dengan melibatkan pemilik modal
tanpa merasa perlu untuk mendapatkan persetujuan/aspirasi penduduk sekitar. Orang orang lokal ini
cenderung dianggap sebagai bodoh, tidak mampu berpartisipasi, dan cenderung diposisikan sebagai
hambatan bagi pembangunan. Hal itu pulalah yang diangkat Redi dalam komik ini. Dalam pengantarnya,
disebutkan:xxx
Kisah dimulai dari Dani, seorang pemuda Tambak Bayan, menemukan sebuah foto lama di lemari ibunya.
Foto ibunya, Boboh, dan dua orang temannya di masa muda, saat masih anak anak. Dani yang penasaran
lalu bertanya pada ibunya. Lalu mulailah si ibu menceritakan kehidupannya di masa lalu, sebagai bagian
dari sejarahnya,yang juga sejarah orang orang Tionghoa peranakan di Indonesia, khususnya Tambak
Bayan.

Komik Redi kali ini, meski nampak sangat datar dalam narasi narasinya, tapi sangat gelap, dan penuh
dengan rasa keputusasaan yang dalam. Tentang bagaimana orang orang akhirnya menyiasati hidupnya
yang keras dengan cukup memikirkan dirinya sendiri.

Saya pernah menetap di Surabaya kurang lebih selama dua tahun. Pada masa itu saya menetap di kawasan
pinggiran Surabaya yang tak jauh dari Tambak Bayan. Sebagai kota besar yang keras, Surabaya, seperti
kota kota metropolitan yang lain, dimana kehidupan dengan kejam menggilas masyarakat miskin, tak
terkecuali juga komunitas Tionghoa peranakan.
Dengan keadaan itu, saya pikir bahwa isu rasial mempertentangkan pribumi dan non pribumi karena
ketimpangan kondisi sosial ekonomi, yang diangkat oleh kelompok mahasiswa yang berdemo tadi,
sungguh sangat tidak relevan.

http://redimurti.blogspot.com/2014_12_01_archive.html

Anda mungkin juga menyukai