Anda di halaman 1dari 3

Teroris Visual, Wacana Kritis Bermedium Komik Atas Hal Hal yang Terjadi di Sekitar Kita

( review komik)
****
Satu lagi judul komik Indonesia terbit di tahun 2015. Kali ini dari Aji Prasetyo, seorang komikus dari
Malang yang juga seorang aktivis, pemilik warung kopi, dan musisi. Setelah beberapa tahun lalu
menerbitkan komik berjudul "Hidup Itu Indah", di tahun 2015 ini Aji Prasetyo kembali menelurkan satu
komik lagi berjudul Teroris Visual, yang diterbitkan masih oleh Cendana Art Media. Komik setebal 152
halaman ini masih berisi kritikan kritikan yang tak kalah pedasnya dengan komik sebelumnya.
Setelah melalui beberapa percakapan online untuk pemesanan, saya berhasil mendapatkan komik ini
dalam acara bincang2 komik di sebuah warung kopi di Yogya, lengkap dengan tandatangan komikusnya.
****
Tak berbeda jauh dengan komik sebelumnya, Teroris Visual ini masih mengangkat kritik sosial sebagai
konten utamanya, namun komik kritik gaya Aji ini cukup berbeda dari komik kritik lain di Indonesia,
yang kebanyakan berbentuk komik strip ataupun karikatur. Aji mengembangkan komik dengan genrenya
sendiri (?), yang dinamakannya komik opini, sebuah komik kritik yang mengkritik lebih dalam dari
sekedar nyinyir-nyinyiran 3-4 panel a la komik strip. Aji membangun kritik kritik dalam opininya
dibungkus dengan teori teori, juga data data sejarah, juga ayat ayat kitab suci. Dalam setiap panelnya,
nampak bahwa komikus ini melakukan riset yang cukup dalam tentang apa yang ia bicarakan (terlepas
dari benar tidaknya opininya tentang hal itu, karena kebenaran universal itu tidak ada di dunia, begitulah
kredo dunia postmodern :p). Meski begitu, tak semua komik di dalam buku ini merupakan komik opini,
beberapa lebih merupakan sebuah reportase/hasil investigasi, dan komik fiksi. Terbagi dalam 5 bab, Aji
berupaya menyuarakan opini opini dan kritik kritiknya kepada para pembaca.
Di bagian pertama, pengantar sebelum bab I, Aji membahas apa yang dia maksud dengan teroris visual,
yaitu poster poster caleg pada masa kampanye, yang memang menjijikan dan norak. Saya pun sepakat
untuk mengatakannnya sebagai teror visual yang mengganggu. Lebih dalam Aji membahasnya dalam
balon balon narasi yang lugas dan gaya gambarnya yang unik, tentang betapa dangkalnya gaya gaya
kampanye yang seperti itu.
Pada Bab I, Merayakan Manusia, satu yang menjadi perhatian saya adalah ketika Aji membahas
mengenai kegiatan ospek mahasiswa baru, yang licik dan dipenuhi unsur bisnis yang kotor dan
menyedihkan. Sangat menyedihkan memang melihat bagaimana mahasiswa baru dieksploitasi oleh kakak
angkatannya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Sangat tidak mendidik. Hih!
Aji juga membandingkan bagaimana budaya berbagi yang ada di masa lalu, yang dihadapkan pada
fenomena masa kini dimana semua hal bisa dijadikan komoditi dan dijual, termasuk buang air kecil dan
buang air besar.
Di Bab II, Wanita Berdaya dan Mulia, Aji membahas tentang wanita, dalam perspektif agama, politik,
feminisme, dalam konteks perempuan di Indonesia. Mendasarkan argumennya pada sejarah bahwa di
Indonesia cukup banyak wanita yang menjadi pemimpin kerajaan ataupun pemimpin perang, juga
perbandingan pembagian pekerjaan antara pria dan wanita dalam konteks kekinian, Aji menyerang opini

umum (setidaknya ini merupakan pernyataan dari beberapa orang, termasuk pejabat publik) bahwa wanita
adalah makhluk yang lemah, yang memiliki 9 perasaan dan satu logika, dan merupakan orang nomor dua
dalam rumah tangga, yang menyebabkan wanita pada umumnya berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan baik dalam hubungan rumah tangga, agama, dan juga politik. Aji juga menyinggung
tentang Gerwani, organisasi sayap PKI, yang getol menolak prostitusi dan poligami, yang kemudian ikut
hancur akibat genosida 1965.
Pada Bab III, Media yang belum Kunjung Memediasi, adalah tentang acara acara televisi yang kalau kata
Navicula, band grunge itu, sebagai televishit. Yap. Televishit. Acara televisi yang merendahkan
perempuan, acara amal yang palsu, juga infotainment yang memuakkan, semua tak luput dari kritik pedas
Aji.
Setelah itu masih ada 3 bab lagi dalam komik ini. Bab IV, Sebelum Kita Lupa Berbudaya, yang
membahas tentang budaya lokal versus budaya impor, termasuk juga kecenderungan salah satu kelompok
agama tertentu yang cukup sering menyerang budaya tertentu. Lalu Bab V Negeriku, Negara Siapa?
yang salah satunya mengisahkan seorang teller bank yang dijebak dan dikriminalisasi (ini kisah nyata
yang menyedihkan), yang ditutup dengan manis di Bab VI: Salam Penutup Dari Lembah Biru, kisah
tentang seorang laki laki pulang kampung yang tak menemukan lagi kekasihnya, lalu berjalan dengan
minuman keras ditangan penuh keputusasaan dan melankolia.
***
Di luar dunia komik, Aji dikenal juga sebagai musisi, dan aktivis. Yang saya tahu, baru baru ini Aji juga
ikut berpartisipasi dalam album musik sebuah kelompok folk Surabaya, Silampukau. Aji juga kerap
mengadakan diskusi diskusi di warung kopinya atau dalam acara acara lain, termasuk di forum dunia
maya.
Sepanjang pengetahuan saya, ketajaman kritik Aji dalam komik bukan tanpa masalah. Stand komik Aji
pernah dirusak sekelompok orang dalam sebuah pameran beberapa waktu yang lalu. Termasuk juga
beberapa kali perdebatan perdebatan di dunia maya muncul karena coretan gambarnya. Blurb dari Soe
Tjen Marching, pendiri Lembaga Bhinneka, di bagian belakang buku bahkan menyebutkan bahwa komik
ini adalah sebuah karya balas dendam terhadap apa yang menimpa Aji tersebut.
Secara keseluruhan, saya menilai komik ini adalah komik yang serius, dengan wacana yang serius
pula.Tema yang beragam, mulai dari sejarah, opini, reportase, juga fiksi membuat komik ini jadi tidak
membosankan. Beberapa bahkan mengagetkan, melihat bagaimana Aji mengembangkan opininya dalam
garis garis gambar yang tegas.
Melalui komik ini, saya rasa saya saya harus menempatkan Aji sebagai satu komikus terbaik di Indonesia
saat ini. Kritik yang keras dan lugas, juga padat dan berisi, jarang ditemukan dalam komik lainnya,
mungkin hingga saat ini, dan dengan komik ini pula saya mengamini ucapan Beng Rahadian dalam acara
televisi "Mata Najwa" kemarin, bahwa saat ini komik Indonesia sedang dalam puncak keindahanannya
dalam segi artistik dan keragaman tema. You rock, Aji.
Diluar isinya yang istimewa tersebut, ada beberapa hal kecil yang mengganggu kenyamanan saya sebagai
pembaca. Yang pertama adalah kata pengantar yang tidak jelas siapa penulisnya. Tidak tahu apakah hal

tersebut cukup penting atau tidak, tapi saya kira saya perlu tahu siapa yang menulis pengantar tersebut,
apalagi pengantar tersebut dituliskan dengan sudut pandang orang pertama.
Yang kedua adalah foto sang komikus di halaman 10. Menurut saya pemasangan foto tersebut agak
menggangu visual komik secara keseluruhan, karena letaknya yang berada di halaman utama komik.
Barangkali lebih baik foto tersebut diletakkan di bagian belakang, bersama dengan foto foto Aji yang
lainnya yang juga ada di komik ini.
Yang terakhir, adalah pemilihan jenis huruf yang dipakai untuk penjelasan diawal bab, termasuk juga
untuk kata pengantar. Jenis huruf yang dipakai tampak kurang nyambung dengan gambar gambar yang
ada. Tapi tenang, ini hanya penilaian prbadi, sangat subjektif, dan tanpa acuan atau standar penilaian
tertentu yang bisa dikuliti dan diperdebatkan layaknya sebuah kritik komik yang ideal. Demikianlah.
(Chandra Agusta, Juni 2015)

Anda mungkin juga menyukai