DHF
PENYUSUN :
ZAINAL ABIDIN
030.08.267
PEMBIMBING :
dr. LILI ZULKARNAEN, Sp. A
: Zainal Abidin
NIM
: 030.08.267
Tanda tangan :
I. IDENTITAS
PASIEN
Nama
: An. SA
Umur
: 10 tahun 11 bulan
Agama
: Islam
Pendidikan
: Kelas 5 SD
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
Gaji
: Rp 1-2juta
Nama
: Ny. YS
Agama
: Islam
Umur
: 40 tahun
Pendidikan
: D3
Pekerjaan
: IRT
Alamat
Gaji
:-
: Tn. M
IBU
II. ANAMNESIS
1
Dilakukan auto dan alloanamnesis dengan pasien dan ibu pasien, pada tanggal 8 Juni 2015,
pukul 15.00 WIB.
KELUHAN UTAMA
Demam tinggi sejak 3 hari SMRS
KELUHAN TAMBAHAN
Sakit kepala dan mual
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Pasien datang ke IGD RSAL dengan keluhan demam yang tinggi, demam awalnya
dirasakan pasien pada hari jumat siang hari setelah pulang sekolah, demam dirasakan
mendadak tinggi dan terus menerus tidak naik turun. Pasien sempat periksa kedokter dan
mendapatkan obat penurun panas namum belum membuahkan hasil yang baik, pasien juga
mengeluhkan adanya sakit kepala semenjak awal pertamakali merasakan demam, sakit kepala
yang dirasakan pasien seperti ditindih barang sehingga kepala terasa berat, pasien juga
mengeluhkan adanya rasa pegal-pegal pada seluruh tubuh, kembung dan mual namun tidak
ada muntah ataupun diare, tetapi pasien merasakan adanya nyeri pada ulu hati, pasien
menyangkal adanya batuk dan pilek, pasien juga menyangkal adanya mimisan ataupun gusi
berdarah. Keluhan yang dirasakan pasien baru pertama kali.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien menyangkal adanya keluhan yang sama pada riwayat penyakit dahulu
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN
Perawatan Antenatal
Penyakit Kehamilan
melahirkan.
Tidak ada penyakit kehamilan
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran
Penolong Persalinan
Dokter
Cara Persalinan
Spontan
Masa Gestasi
38 minggu
Riwayat kelahiran
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama
: 8 bulan
Psikomotor
Tengkurap
:4
bulan
Duduk
:6
bulan
Berdiri
:9
bulan
Berceloteh
: 10
bulan
Berjalan
: 13
bulan
: 5 tahun
Gangguan Perkembangan
Kesan Perkembangan
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN
DASAR (umur)
ULANGAN (umur)
BCG
2 bulan
DPT/ DT
2 bulan
4 bulan
6 bulan
Polio
0 bulan
4 bulan
6 bulan
Campak
9 bulan
Hepatitis B
0 bulan
1 bulan
6 bulan
MMR
15 bulan
5 tahun
TIPA
Kesan : Imunisasi dasar pada pasien sudah lengkap, booster karena orang tua lalai
RIWAYAT MAKANAN
Umur (Bulan)
02
24
46
68
8 10
10-12
ASI/ PASI
BUAH/
BUBUR SUSU
NASI TIM
Formula
ASI+Susu
Formula
ASI+Susu
ASI+Susu
Formula
ASI+Susu
Formula
ASI+Susu
Formula
ASI+Susu
BISKUIT
Formula
Kesan: pasien tidak mendapat ASI eksklusif, dan mendapat makanan yang diberikan tidak
sesuai umur
JENIS MAKANAN
FREKUENSI DAN JUMLAHNYA
Nasi/ pengganti
3x/hari
Sayur
3x/hari
Daging
2x/minggu
Ayam
4x/minggu
Telur
3x/minggu
Ikan
3x/minggu
Tahu
Hampir setiap hari
Tempe
Hampir setiap hari
Susu (merek/ takaran)
Dancow 1x/hari
Kesan: makanan yang dikonsumsi oleh pasien cukup bergizi
KETERANGAN
PENYAKIT
KETERANGAN
Morbili
Parotitis
Demam Berdarah
Demam Tifoid
Cacingan
Ginjal
Jantung
Darah
Alergi
Kecelakaan
Operasi
RIWAYAT KELUARGA
DATA CORAK PRODUKSI
Anak ke
1 (pasien)
Umur
10 tahun
Jenis Kelamin
Perempuan
Status/Keterangan
Sakit
DATA KELUARGA
Perkawinan keUmur saat menikah
Kosanguinitas
Keadaan kesehatan/
penyakit bila ada
AYAH/ WALI
1
28 tahun
-
IBU/ WALI
1
28 tahun
-
Sehat
Sehat
: 8 Juni 2015
Pukul
: 15.30 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Vital sign
: 26 x/menit
TD
: 100/50mmHg
Data Antropometri
: BB
Lingkar kepala
:-
Lingkar dada
:-
:-
Status Gizi
TB : 147cm
BB/U : dari tabel NCHS didapatkan berat ideal menurut usia 10 tahun 11 bulan
adalah 34,5
: 35kg
BB/TB2: dari perhitungan BMI pasien didapatkan hasil 16,66 kg/m2, berdasarkan
tabel
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran
: Normocephali
Mata
Telinga
Hidung
Bibir
Mulut
Gigi-geligi
Lidah
Tonsil
Faring
LEHER : tidak teraba kelenjar getah bening dan tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid,
trakea ditengah
THORAKS
Dinding thoraks
I : bentuk dada datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak terdapat
retraksi
P : Vocal fremitus sama di kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar
P : supel, tidak teraba massa, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit normal, nyeri tekan
epigastrium (+)
P: timpani
ANUS
Tidak ada kelainan
GENITAL
Jenis kelamin Perempuan
ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada ekstremitas bawah (tungkai bawah kanan-kiri)
KULIT
Warna kulit sawo matang, kelembapan baik, tidak ada efloresensi bermakna.
KELENJAR GETAH BENING
Tidak teraba kelenjar getah bening di preaurikular, retroaurikular, oksipitalis, submandibula,
submental, cervicalis anterior dan posterior, supraklavikula, infraklavikula, axillaris dan
inguinalis.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babbinsky -/- , Chaddok -/- , Schaeffer -/- , Gordon -/- , Oppenheim -/Tanda rangsang meningeal (-)
IV.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi (tanggal 08/06/2015)
PEMERIKSAAN
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
HASIL
3.700/L *
7,1 juta/L *
12,3 g/dL
38%
146.000/L *
NILAI RUJUKAN
5.000-10.000/L
4,6-6,2 juta/L
11,8-15 g/dL
31-43%
150.000-450.000/L
PEMERIKSAAN
Basofil
Eosinofil
Neutrofil batang
Neutrofil segmen
Limfosit
Monosit
V.
HASIL
0%
0%
0% *
69% *
25%
6%
NILAI RUJUKAN
0-1%
0-5%
2-6%
50-70%
20-40%
2-8%
DIAGNOSIS KERJA
DHF
VI.
VII.
VIII.
DIAGNOSIS BANDING
-
Infeksi Virus
Demam chikungunya
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
Non Medikamentosa :
Tirah baring
LEMBAR FOLLOW-UP
Tangg
al
09/06/2015
Peraw
10/06/2015
atan
Demam (+)
Demam (+)
Pusing (+)
Pusing (+)
Mual (+)
BAB cair 3x
Kes : CM
Kes : CM
37,oC,
RR: 24x/mnt
RR: 20x/mnt
Mata:
BJ
I-II
93
x/mnt
kuat),
mmhg
Thoraks:
N:
oedem
TD:
palpebra(-),
BU
(+),
epigastrium (+)
BU
(+),
NT
ekstremitas
(-), Ekstremitas:
akral
ptekie (+)
Lab :
Lab :
HB : 12,7
HB : 12,4
Leukosit 4800
Leukosit : 5800
Eritrosit 7,40 jt
Thrombosit : 95000
Thrombosit : 61000
Hematocrit : 39
Hematocrit : 38
hangat,
10
DHF
DHF
Infeksi Virus
Infeksi Virus
IVFD RL 28 tpm
IVFD RL 28 tpm
paracetamol
Paracetamol
cefotaxim 1 x 2g IV
Cefotaxim 1 x 2Gg IV
Boleh pulang
TINJAUAN PUSTAKA
12
13
oleh karena itu balita yang masih membutuhkan tidur pagi dan siang hari seringkali menjadi
sasaran gigitan nyamuk. Sarang nyamuk selain di dalam rumah, juga banyak djumpai di
sekolah, apalagi bila keadaan kelas gelap dan lembab. Disamping nyamuk aedes aegypti yang
senang hidup di dalam rumah, juga terdapat nyamuk aedes albopictus yang senang hidup di
luar rumah, di kebun yang rindang yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue.
Faktor daya tahan anak yang belum sempurna seperti halnya orang dewasa, agaknya juga
merupakan faktor mengapa anak lebih banyak terkena penyakit demam berdarah dengue
dibanding orang dewasa.3
Puncak kasus DBD diketahui pada musim hujan, tetapi untuk daerah perkotaan puncak kasus
DBD terjadi pada permulaan musim kemarau.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks,
yaitu (1) pertumbuhan penduduk, (2) urbanisasi yang tidak terencana dan terkontrol, (3) tidak
adanyan kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan (4) peningkatan
sarana transportasi.4
Morbiditas dan moralitas demam berdarah dengue bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain status imunologi penderita, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, virilensi virus dan kondisi geografi setempat.4
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini tetapi merupakan vektor yang kurang berperan.5
14
Nyamuk aedes aegypti hidup dengan subur di belahan dunia yang memiliki iklim
tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika. Australia dan Amerika. Nyamuk aedes aygepti hidup
dan berkembangbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak secara langsung
berhubungan dengan tanah seperti : bak mandi/wc, minuman burung, air tandon, air
tempayan/gentong, kaleng, ban bekas, dll. Di Indonesia nyamuk aedes aygepti tersebar luas
di seluruh pelosok tanah air, baik di kota-kota maupun di desa-desa, kecuali di wilayah yang
ketinggiannya lebih dari 1.000m diatas permukaan laut.1
Perkembangan hidup nyamuk aedes aygepti dari telur hingga dewasa memerlukan
waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta
memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Kemampuan terbangnya berkisar
antara 40-100 m dari tempat perkembang biakannya. Tempat istirahat yang disukainya adalah
benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu dan
baju/pakaian di kamar gelap dan lembab.1
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana terdapat
banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk aedes
aygepti.
Nyamuk aedes albopictus kurang berperan dalam menyebarkan penyakit demam
berdarah jika dibandingkan dengan nyamuk aedes aygepti. Hal ini karena nyamuk aedes
albopictus hidup dan berkembangbiak di kebun atau semak-semak, sehingga jarang kontak
dengan manusia dibandingakan dengan nyamuk aedes aygepti yang berada di dalam dan
sekitar rumah.1
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini ditularkan oleh orang yang dalam darahnya terdapat virus
dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa juga tidak sakit, yaitu jika
15
mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue. Jika manusia digigit nyamuk
Aedes aegypti maka virus masuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu,
virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh
bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kalenjar liur nyamuk.
Selanjutnya pada waktu nyamuk itu mengigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk
(probosis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu diisap, terlebih dahulu
dikeluarkan air liur dari kalenjar liurnya agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama
dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan ke orang lain.1
PATOFISIOLOGI
Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu (1) meningkatnya permeabilitas kapiler
yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi
serta renjatan (2) adanya hemostasis yang abnormal, melibatkan perubahan pembuluh darah,
trombositopeni dan koagulopati.6
Teori Virulensi Virus
Seseorang akan terkena infeksi virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan
virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Fakta ini diperkuat dengan
uji coba dimana beberapa orang yang digigit nyamuk infeksius, hasilnya adalah ada orang
yang sakit dan ada orang yang tidak sakit.1
Teori Imunopatologi
Respon imun terhadap infeksi virus dengue mempunyai dua aspek yaitu respon
kekebalan atau malahan menyebabkan penyakit. Pada percobaan terhadap manusia dan
mencit dapat disimpulkan bahwa sesudah mendapat infeksi virus dengue satu serotype maka
akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka waktu lama dan tidak mampu mMberi
16
pertahanan terhadap jenis virus yang lain. Teori ini berkembang dan didukung oleh data
epidemologik, klinis dan laboratorium yang banyak diteliti di Thailand sekitar tahun 19541964. Teori tersebut kemudian disebut sebagai Teori Infeksi Sekunder oleh virus yang
heterologus yang berurutan. Kalau seseorang mendapat infeksi primer dengan satu jenis
virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis serotype virus yang lain
maka risiko besar akan terjadi infeksi virus yang berat.1
Teori Antigen Antibodi
Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk virus-antibodi kompleks (kompleks imun) kemudian mengaktivasi komplemen,
aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang merupakan mediator kuat
permeabilitas kapiler, kemudian terjadi kebocoran plasma.1,6
Teori Infection Enhacing Antibodi
Teori ini mengungkapkan bahwa manusia yang telah terinfeksi virus dan membentuk
antibody, dimana antibody ini bersifat non neutralisir dan bila terjadi infeksi berulang
memiliki resiko terjangkit DBD lebih besar dibanding dengan manusia yang tak memiliki
antibody. Menurut penelitian antigen dengue lebih banyak di dapat pada sel makrofag yang
beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada makrofag
yang dilingkupi antibody non neutralisasi, antibody tersebut akan bersifat opsonisasi,
internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel makrofag terinfeksi lebih
berat penyakitnya. Diduga makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan mengeluarkan
berbagai substansi inflamasi, sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan akan mengaktivasi sistem koagulasi.1
17
Teori Mediator
Makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Sitokin diproduksi
oleh banyak sel terutama makrofag mononuclear. Disini sitokin disebut juga monokin. Fungsi
dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan
oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan
diferensiasi limfosit, sebagai activator sel inflamasi non spesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan diferensiasi loeukosit matur. Teori mediator ini sejalan dan berkembang
bersama dengan peran endotoksin dan teori peran sel limfosit.1
Peran Endotoksin
Syok pada DBD akan menyebabakan iskemia pada usus, disamping iskemia juga pada
jaringan lain. Pada waktu iskemia usus, terjadi translokasi bekteri dari lumen usus ke
dalam sirkulasi. Endotoksin dsebagai komponen kapsul luar dari bakteri gram
negative akan mudah masuk kedalam sirkulasi pada kejadian syok yang akan diikuti
iskemia berat. Endotoksin akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama TNF alfa dan
interleukin 1 dimana hal tersebut meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang
memudahkan kembali terjadinya shock hipovolemic.
Peran Limfosit
Virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan, dimana peptide virus akan
dibawa oleh MHC kelas I lalu dipajang dipermukaan virus. Pajanan peptide virus
menyebabkan sel limfosit T CD8 mengenal bahwa didalam makrofag tersebut ada
virus. Kemudian sel limfosit tersebut akan teraktivasi, mengeluarkan limfokin,
termasuk limfokin yang mengaktivkan makrofag dan mengaktivkan sel
18
PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfatikus,
sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah,
virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus Den mampubertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus gemonnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit
virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma
sel.
Patogenesisnya terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary Heterologous
Infection Theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
19
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi
(virus antibodi kompleks) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.7
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain,
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik
pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah yang
besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
20
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosine di phospat) sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial sistem) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet factor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulopati intravaskuler
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak namun tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan massif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
21
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. 7
Perubahan Hematologi
Infeksi virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang komplek dan unik pada
berbagai mekanisme homeostatik dalam tubuh penderita. Komplek virus antibody yang
terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang dimulai dari aktivasi faktor XII
(Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan faktor
koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga akhirnya terbentuk
fibrin. Disamping itu, selain terhadap sistem koagualsi, faktor XI Ia juga akan mengaktifkan
sistem fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen yang kesemuanya memberikan
gambaran betapa kompleksnya akibat yang ditimbulkan oleh virus DBD tersebut.
Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan sebagai akibat trombositopenia berat,
masa perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan
II, V, VII, VIII, IX dan X bersama hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan
fibrin (FDP). Sedangkan aktivasi sistem kinin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
22
pembuluh darah dengan akibat kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan
hematokrit dan efusi cairan serosa. Terbentuknya bradikinin mengakibatkan pelebaran
pembuluh darah yang dapat berlanjut dengan turunnya tekanan darah. Berbagai kelainan
hematologi telah terbukti menyertai perjalanan penyakit DBD, keadaan ini dipakai sebagai
penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan yang tepat serta untuk penelitian lebih jauh
mengenai patofisiologi DBD.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai titik
terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Sebagian
peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah trombopoesis yang menurun dan
destruksi trombosit dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan adanya gangguan
fungsi trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan sistem retikuloendotelial
khususya limpa dan hati.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
23
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90
hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik
antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG
meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang
cepat.7
24
DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini
terpenuhi : 3
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut :
25
Disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan
darah turun ( 20mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin
dan lembab serta gelisah.
26
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak jelas, demam dengue, demam berdarah dengue dengan kebocoran plasma
yang mengakibatkan syok atau syndroma syok dengue (SSD).3
Masa inkubasi pada tubuh manusia sekitar 4-6 hari, timbul gejala prodromal yang tidak khas
seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah.
Demam Dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut : 1,4,5,8
-
nyeri kepala
27
nyeri retro-orbital
fotofobia
mialgia/atralgia
anoreksia
konstipasi
nyeri perut
nyeri tenggorok
ruam kulit
manifestasi perdarahan
Laboratorium :
-
leukopenia
Demam mendadak
28
Gejala klinis lain yang menyerupai DD seperti anoreksia, mual, muntah, sakit kepala,
nyeri pada otot dan sendi
Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan ditemukan
faring hiperemis
Perasaan tidak enak di epigastrium, nyeri bawah lengkung iga kanan, kadang-kadang
nyeri dapat dirasakan pada seluruh perut
Pada kasus berat dijumpai disfungsi hati, dijumpai penurunan kelompok vitamin Kdependen
Pemeriksaaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura terutama hemithoraks kanan. Tetapi apabila
perembesan plasma hebat dapat terjadi di kedua hemitorax.
29
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan suhu
yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam beratringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. DBD dibedakan dengan DD
dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan nilai hematokrit,
efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum atau hipoproteinemia. Perjalanan penyakit
dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan pemberian cairan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan darah ditemukan :1
Perubahan metabolik :
Asidosis metabolik ditemukan pada pasien syok dan harus dikoreksi segera
Kelainan koagulasi
30
Pemeriksaan Radiologis :
Ditemukan adanya efusi pleura kanan. Efusi bilateral bisa terjadi pada DSS
Pemeriksaan serologis :
Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 tahun) maka uji ini
baik digunakan pada studi sero-epidemiologi
Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer 4x dari titer serum akut atau titer tinggi
(>1280) baik pada serum akut atau konvalessen dianggap sebagai presumtif positif,
atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection)
31
Uji netralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga
pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
IgM antidengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibodi
IgM ini menunjukkan adanya infeksi dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke-3, meghilang pada minggu ke-6.
IgG pada infeksi primer IgG mulai timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar
tertinggi pada hari ke-14, kemudian bertahan untuk berbulan-bulan. Pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 melebihi kadar IgM.
NS1
32
DIAGNOSA BANDING
Pada awal perjalanan penyakit diagnosis mencakup infeksi bakteri, virus atau infeksi
protozoa seperti demam dengue, campak, influenza, demam chikungunya,
leptospirosis
dan
malaria.
Adanya
trombositopenia
yang
jelas
disertai
DBD harus dibedakan pada demam chikungunya. Pada demam chikungunya biasanya
seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza.
Demam chikungunya memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam
lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi
konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Pada demam chikungunya tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.1,5
PENATALAKSANAAN
33
Terapi suportif yang diberikan antara lain larutan oralit, jus buah dan lain-lain
Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, berikan cairan
sesuai kebutuhan dan apabila perlu berikan cairan intravena. Semua pasien tersangka
dengue harus diawasi dengan ketat setiap hari sejak hari sakit ketiga. Setelah bebas
demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien DBD akan memasuki fase kritis.
Sebagian pasien akan sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkan kasus
berat akan jatuh ke dalam fase syok.
Pemantauan :
-
Pemeriksaan fisik :
tanda vital
Pemeriksaan laboratorium
35
2. Fase kritis atau bocornya plasma yang berlangsung umumnya hanya 24-48 jam,
Tatalaksana umum
Tatalaksana cairan
Syok
Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya : ringer laktat dan ringer asetat
terutama pada fase syok)
Koloid
(diindikasikan
pada
keadaan
syok
berulang
atau
syok
berkepanjangan)
36
37
Diuresis cukup
4. Indikasi pulang
Nilai Ht stabil
Trombosit 50.000/l
39
40
Kasus DBD
Perdarahan spontan dan masif : - epistaksis tidak terkendali, hematemesis melena,
perdarahan otak
Syok (-)
Hb, ht Trombo, Leuko, pemeriksaan hemostasis (KID)
Golongan darah, uji cocok serasi
41
KID (+)
KID (-)
Prc (Hb<10g/dL)
- PRC (Hb<10g/dL)
FFP
- FFP
TC (Trombo<100.000)
- TC (Trombo<100.000)
42
43
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue:
1. Jenis cairan
2.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih
murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara
lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1,4
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.13,14 Kristaloid memiliki waktu
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20
ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat sebelum di distribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 12 Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu:
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
44
yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan
penggunaan koloid yakni resiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah
(contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1
jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses
publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma
yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan
pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada
DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus
atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara
bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di mana
45
terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil,
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.
KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok
diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah syok
telah teratasi dengan baik. Dieresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masiih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorpsi
46
plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit)
pasien akan mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada.7
PROGNOSIS
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD dan DSS
mortalitasnya cukup tinggi jika penanganan yang diberikan tidak adekuat. 7
PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit demam berdarah mencakup 3
pemberantasan nyamuk beserta tempat perindukannya. Oleh karena itu, dasar pencegahan
demam berdarah adalah memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat bagaimana
cara memberantasan nyamuk dewasa dan sarang nyamuk yang dikenal sebagai pembasmian
sarang nyamuk atau PSN. Demi keberhasilan pencegahan demam berdarah, PSN harus
dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di rumah, di sekolah,
rumah sakit, dan tempat-tempat umum seperti tempat ibadah, makam, dan lain-lain. Dengan
demikian masyarakat harus dapat mengubah perilaku hidup sehat terutama meningkatkan
kebersihan lingkungan.
Cara Memberantas Jentik
Cara memberantas jentik dilakukan dengan cara 3 M yaitu menguras, menutup, dan
mengubur, artinya :
Kebiasaan-kebiasaan seperti mengganti dan bersihkan tempat minum burung setiap hari
atau mengganti dan bersihkan vas bunga, seringkali dilupakan. Kebersihan di luar rumah
seperti membersihkan tanaman yang berpelepah dari tampungan air hujan secara teratur atau
menanam ikan pada kolam yang sulit dikuras, dapat mengurangi sarang nyamuk.
Pada kolam atau tempat penampungan air yang sulit dikuras dapat diraburkan bubuk
abate yang dapat ditaburkan bubuk abate yang dapat membunuh jentik. Bubuk abate ini dapat
dibeli di apotek.
Pedoman Penggunaan Bubuk Abate (Abatisasi)
48
Satu sendok makan peres (10 gram) untuk 100 liter air
Jangan menggantung baju bekas pakai (nyamuk sangat suka bau manusia)
Lindungi bayi ketika tidur di pagi dan siang hari dengan kelambu
Semprot obat nyamuk rumah pagi & sore (jam 8.00 dan 18.00)
Perhatikan kebersihan sekolah, bila kelas gelap dan lembab, semprot dengan obat
nyamuk terlebih dahulu sebelum pelajaran mulai
Pengasapan (disebut fogging) hanya dilakukan bila dijumpai penderita yang dirawat
atau menginggal. Untuk pengasapan diperlukan laporan dari rumah sakit yang
merawat.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Surososo T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana
kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.
2. Soegijanto, S. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Surabaya : Airlangga University Press. 2004.
3. Sumarmo PS, ( 1999 ). Masalah demam berdarah dengue di Indonesia. Dalam:
Sri Rezeki HH, Hindra IS. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap.
Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam
dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal. 1-12.
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di
Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Bakti Husada. 2005.
5. World Health Organization. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, Pencegahan
dan Pengendalian. Jakarta : EGC.1997.
6. Soegijanto, S. Ilmu penyakit Anak Diagnosis & Penatalaksanaan. Jakarta :
Salemba Medika. 2002.
50
2004.
Available
from:
URL
http://www.medscape.com/viewarticle/480288.
51
17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of
three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J
Med 2005; 353:87789.
18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute
management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind
comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis
2001; 32:20413.
52