Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi dan Etiologi Demam Dengue1,2


Demam Dengue (dengue fever) adalah penyakit yang terutama terdapat

pada anak dan remaja atau orang dewasa dengan tanda-tanda klinis berupa
demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan atau
tanpa ruam, dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri
pada pergerakan bola mata, gangguan rasa mengecap, trombositopenia ringan dan
petekie spontan.
Demam Dengue atau Dengue Fever (DF) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah
flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Manifestasi klinis infeksi virus Dengue
pada manusia sangat bervariasi. Spektrum variasinya begitu luas, mulai dari tanpa
gejala, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah
Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS).
3.2

Manifestasi Klinis dan Diagnosis2,6


Demam Dengue memiliki tanda dan gejala awal berupa panas yang

berlangsung antara 4 7 hari setelah gigitan nyamuk pembawa virus tersebut


dengan gejala-gejala yang meliputi panas tinggi hingga >38C yang berlangsung
hingga 2-7 hari biasanya bifasik, nyeri kepala dan nyeri di retro-orbital (belakang
mata), nyeri pada otot dan sendi, rasa mual dan muntah, tidak nafsu makan,
adanya ganguan pencernaan (konstipasi atau diare), nyeri perut, adanya rash
(tanda kemerahan) pada kulit, leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue
positif.
Demam Berdarah Dengue memiliki tanda dan gejala pada Demam Dengue
ditambah gejala sebagai berikut :
Adanya manifestasi perdarahan spontan, seperti bintik-bintik merah di
kulit yang tidak hilang jika ditekan (utamanya di daerah siku, pergelangan

14

tangan dan kaki), uji tourniquet positif, mimisan, perdarahan gusi,

perdarahan yang sulit dihentikan jika disuntik atau terluka


Adanya pembesaran organ hepar (hati) dan limpa
Adanya trombositopenia, yaitu jumlah trombosit < 100.000/mm

(normalnya 150-450 ribu/mm)


Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan nilai Hematokrit (Hct)
yang meningkat atau menurun 20% atau lebih dari nilai normalnya,
adanya efusi pleura (cairan dalam paru) dan ascites (penumpukan cairan
dalam rongga perut).
Bentuk paling berat dari infeksi virus ini adalah Dengue Shock Syndrome

(DSS) dimana gejalanya DHF ditambah gejala yang menunjukkan adanya


kegagalan sirkulasi meliputi :
Adanya penurunan kesadaran
Tekanan darah sangat rendah
Nadi cepat dan lemah
Tangan dan kaki pucat dan dingin
Untuk memudahkan dalam menentukan diagnosis dan mencegah
terjadinya overdiagnosis, maka WHO membagi menjadi 4 derajat manifestasi
klinis, yaitu1 :
DHF derajat I: Tanda-tanda infeksi virus, dengan menifestasi perdarahan

yang tampak hanya dengan Uji Torniquet positif.


DHF derajat II: Tanda infeksi virus dengan manifestasi perdarahan spontan

(mimisan, bintik-bintik merah)


DHF derajat III: Disebut juga fase pre syok, dengan tanda DHF grade II
namun penderita mulai mengalami tanda syok; kesadaran menurun, tangan

dan kaki dingin, nadi teraba cepat dan lemah, tekanan nadi masih terukur.
DHF derajat IV: Atau fase syok (disebut juga dengue syok
syndrome/DSS), penderita syok dalam dengan kesadaran sangat menurun
hingga koma, tangan dan kaki dingin dan pucat, nadi sangat lemah sampai
tidak teraba, tekanan nadi tidak dapat terukur.

3.3

Patofisiologi Demam Dengue7,8,9


Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue( DBD) disebabkan

oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang

15

menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa


renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran
plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak
terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul
gejala

dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan

segera bereaksi

dengan

menangkap

virus

dan

memprosesnya

sehingga

makrofag menjadi APC(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di


makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel Tsitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang
telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen.
Proses

diatas

menyebabkan

terlepasnya

mediator-mediator

yang

merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise
dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi
trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat
ringan.

16

Sistim Respon Imun


Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang
biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia
yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun
baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin,
anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada
infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder
kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Gambar 1. Respon Imun Infeksi Virus Dengue

Interpretasi Hasil uji IgM dan IgG


IgM
+
+
-

IgG
+
+
-

Interpretasi
Infeksi primer
Infeksi sekunder
Tersangka infeksi sekunder
Tidak ada infeksi atau infeksi belum terjadi (bila klinis
menunjang, ulang 1 minggu)

17

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah


sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan
ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan
kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus
dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi
IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi
primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari
sakit

kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan

adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.


3.4

Pemeriksaan Penunjang2,11
1. Darah
Pada demam dengue tedapat leukopenia pada hati ke-2 atau hari ke-3.
Pada DBD ditemui trombositopenia dan hemokonsentrasi.
2. Air seni
Mungkin ditemukan albuminuria ringan
3. Sumsum tulang
Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler
pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi dan pada hari ke-10 sudah
kembali normal untuk semua sistem.
4. Uji serologi
a. Uji serologi memakai serum ganda, yaitu serum diambil pada
masa akut atau konvalesen, yaitu pengikatan komplemen (PK), uji
netralisasi (NT), dan uji dengue blot. Pada uji ini dicari kenaikan
antibodi antidengue sebanyak minimal empat kali.
b. Uji serologi memakai serum tunggal, yaitu uji dengue blot yang
mengukur antibodi antidengue tanpa memandang kelas antibodi
nya, uji IgM antidengue yang mengukur hanya antibodi
antidengue dari kelas IgM. Pada uji ini yang dicari adalah ada
atau tidaknya antibodi atau titer tertentu antibodi antidengue.
5. NS1-Antigen

18

Pemeriksaan baru terhadap antigen nonstruktural-1 dengue (NS1) yang


dapat mendeteksi virus dengue lebih awal dibandingkan pemeriksaan
antibodi dengue. Deteksi lebih awal adanya infeksi dengue ini sangat
penting karena kita dapat melakukan terapi suportif dan pemantauan
pasien segera dan dapat mengurangi risiko komplikasi maupun
kematian.
3.5

Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakitdapat dibandingkan dengan infeksi
bakteri

maupun

virus,

seperti

bronkopneumonia,

kolesistitis,

pielonefritis, demam tifoid, malaria,dan sebagainya.


2. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan
DBD
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis.
4. Pada meningitis meningokok dan sepsis terdapat perdarahan pada
kulit.

3.6

Penatalaksanaan1,4,5
Pada prinsipnya karena ini adalah penyakit karena infeksi virus maka

belum ada obat spesifik untuk mengatasinya. Perawatan yang diberikan hanya
berupa penanganan secara simtomatik saja berupa perbaikan keadaan umum
penderitanya dan menjaga jangan sampai dehidrasi (kekurangan cairan).
Perawatannya bisa dilakukan di rumah apabila penderita masih bisa makan dan
minum sendiri dan tidak ada mual atau muntah yang berat (DHF Derajat I-II).
Perawatan dapat dilakukan dengan memberikan kompres hangat, obat turun
panas, pereda nyeri dan antimuntah bila perlu.
Apabila kondisi penderita tidak membaik atau apabila ada tanda-tanda
shock (DHF Derajat III-IV) segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
DHF umumnya akan mengalami penyembuhan setelah 7-8 hari, jika tidak
ada infeksi sekunder dan dasar pertahanan tubuh penderitanya memang baik.
Tanda penyembuhan antara lain meliputi demam yang turun perlahan, nafsu

19

makan dan minum yang membaik, lemas yang berkurang dan tubuh terasa segar
kembali.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang
dibuat sesuai atas indikasi.
Praktis dalam penatalaksanaannya.
Mempertimbangan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1
Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20 %
Protokol 4
Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
1.

Protokol 1: Penanganan tersangka DBD tanpa syok.10


Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau

tersangka DBD di Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat.
Tersangka DBD di UGD dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht
dan trombosit. Bila hasil trombosit normal atau turun sedikit (100.000 150.000)
pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam berikut atau bila memburuk segera
harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal, trombosit <100.000, pasien
dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau turun, pasien dirawat.

20

Gambar 2. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok


2. Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat.10
Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan
tanpa syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang
diperlukan per hari :
1500 + (20 x (BB dalam kg 20)
Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20%
dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor
per 12 jam. Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000
lanjutkan pemberian cairan sesuai Protokol 3.

Gambar 3. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

21

3.

Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit


>20%.10

Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan


sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis 67ml/kg/jam. Monitor dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai
perbaikan adalah kadar Ht, frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila
didapatkan tanda perbaikan maka dosis cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam.
Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48 jam kemudian,
pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik setelah
terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam
keadaan membaik, cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik
menjadi 15 ml/kgBB/jam.Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok.

22

Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%


4.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD


Dewasa10
Transfusi darah diberikan jika terjadi perdarahan masif. Perdarahan masif

pada penderita DBD dewasa adalah perdarahhan hidung/epistaksis yang tidak


terkendali walaupun telah diberi tampon hidung, perdarahan saluran cerna,
perdarahan saluran kencing, perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 3-5 cc/kgBB/jam.

23

Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital, Hb,
Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis dan hemostasis.
Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi pad pasien
perdarahan spontan masif dengan kadar trombosit <100.000 dengan atau tanpa
tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan
aPTT memanjang).

Gambar 5. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


5.

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa10

Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok


hipovolemia pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu
evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil,
pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 120 menit kemudian
tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam, hentikan
infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi
24

(ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi,
edema paru dan gagal jantung.
Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan
darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus
dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48
jam. Karena proses patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid
hanya menetap 20% dalam pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi
20-30 ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi,
perhatikan nilai Ht. Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung,
maka pilihan cairan koloid. Bila Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam
(internal bleeding) maka dapat diberikan transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt
diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum stabil dengan nilai
Ht lebih dari 30/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid
dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.
Koloid

mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB,

evaluasi setelah 10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30


ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak menggangu mekanisme pembekuan darah.
Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena
pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh
sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada
kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka
penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar
4-6 jam setiap 500cc.
Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran
tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian
dan koreksi ganggguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan
infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah sesuai dengan target namun
25

renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor (dopamin,


dobutamin, atau epinephrine).
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan
apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian
cairan plasma diberikan secepatnya dandilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahansebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga
heparin tidak diperlukan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat
kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran
cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi
sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang
tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

26

Gambar. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

27

3.7

Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi

sampai sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari).
Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari,
terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling
efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau
pengendalian vektornya adalah :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan melakukan gerakan 3M plus,
yaitu menguras bak air minimal seminggu sekali, menutup tempat-tempat
penampungan air, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan.
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan cupang) pada tempat air kolam.
3. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
4. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.Yang harus dilakukan
adalah mengetahui kapan biasanya penyakit ini muncul, biasanya pada awal
musim hujan dan selama musim hujan.
3.8

Prognosis
Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/DSS

mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,


dan jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya
lebih ringan daripada anak-anak.

28

Anda mungkin juga menyukai