Namun apa yang kita dapatkan..?? kita dirampok secara sadar dan kita tidak mempunyai
daya untuk menghalau hal tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah bukannya kemajuan
eknomi yang terjadi melainkan lingkungan kita yang menjadi rusak dan utang negara kita semakin
bertambah untuk mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar. Belum lagi di tambah dengan biaya
yang dibutuhkan untuk menangani kerusakan lingkungan dan bencana yang ditimbulkannya misalnya
banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dll. Nah pertanyaannya kapan kita akan menikmati kekayaan
kita jika hasil kekayaan itu habis terpakai untuk membayar utang dan membiayai bencana yang
semakin sering terjadi...??
KTT Bumi
KTT Bumi yang di sepakati di Rio de janiero pada tahun 1992, sempat membawa angin segar
bagi keberlanjutan lingkungan dengan dicanangkannya sustainable development, namun nampaknya
konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada pembangunan ekonomi,
sosial budaya dan lingkungan, masih belum mampu dilaksanakan selama kurun waktu 21 tahun ini.
Nampaknya ideologi economic developmentalism masih menguasai sebagian besar paradigma
bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kita bisa saja berpendapat bahwa ideologi ini sebenarnya bersifat
politis untuk meloloskan kepentingan negara-negara eropa di belahan utara yang menguasai industri
dan teknologi terhadap negara-negara selatan yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Setidaknya
dalih keberlanjutan tiga aspek tersebut mampu meninabobokan negara-negara berkembang untuk
mendukung gerakan ini sebagai solusi krisis lingkungan global. Namun nyatanya, eksploitasi sumber
daya alam, malah semakin menggila.
Kita tentunya telah menyaksikan melalui media telvisi, koran, dan internet bagaimana
kerusakan lingkungan dan eksploitas Sumber daya alam dimuka bumi ini secara berlebihan terjadi
dimana-mana dengan tingkat kerusakan yang sudah sangatmengkhawatirkan. Maka fenomena ini
seharusnya lebih menyadarkan dan menggugah hati kita untuk mengkoreksi kembali pola pikir dan
tindakan sosial kita selama ini, kemudian berbuat sesuatu untuk masa depan lingkungan, baik
berbentuk tindakan afektif, kognitif, psikomotrik maupun tindakan yang bersifat teoritis dan praktis.
Beberapa tindakan untuk mewujudkan hal ini dilihat dari munculnya kesadaran ekologis (ecological
awareness) yang menjadi stimulti yang cukup cerdas untuk mencounter pemahaman
anthroposentrisme.
Paradigma baru, Kembali pada Alam
Menurut arne naess, permasalahan terbesar yang harus diatasi adalah pada persoalan
paradigma kita terhadap lingkungan itu sendiri. Dan untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi,
maka paradigma atau cara pandang harus dirubah secara fundamental dan radikal. Dengan memahami
bahwa hanya dengan memperlakukan alam secara etis, menempatkan alam dengan segala isinya
termasuk hewan dan tumbuhan sebagai sebuah kesatuan ekologis dan saling ketergantungan dengan
manusia, menghapus paham dominasi manusia terhadap alam, juga menghapus dikotomi manusia
sebagai subjek dan alam sebagai objek. Begitupun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang harus diarahkan kepada nilai-nilai etis terhadap lingkungan.
Arne naess menyebut pandangan itu sebagai ecosophy yang berarti kearifan lingkungan,
dalam pandangan ini danjurkan untuk pola dan gaya hidup yang sesuai dengan kearifan merawat alam
sebagai rumah tangga bagi semua makhluk hidup. Keinginan memelihara hubungan yang serasi
dengan alam melahirkan banyak pengetahuan lokal (indigenous people) yang sangat berguna untuk
pelestarian daya dukung lingkungan. Indigenous knowmledga yang merupakan environmental
wisdom sampai sekarang masih ada yang dipelihara dengan dan diterapkan secara turun temurun oleh
beberapa suku tradisional di antaranya tradisi zoning di suku Tabla di papua yang membuat batasanbatasan wilayah untuk pemukiman, pertanian, hingga daerah keramat yang tak boleh diganggu, ada
juga tradisi sistem Sasi di Maluku dan Papua yang melarang masyarakatnya menangkap ikan pada
musim-musim tertentu seperti pada saat musim transissi, dan ketika adanya perayaan adat. Larangan
ini bertujuan untuk memberikan kesmpatan pada ikan untuk hidup dan berkembang lagi sehingga
ketika sasi kembali dilepas, hasil tangkapn ikan akan semakin banyak.
Ada juga tradisi suku baduy dalam pengelolaan pangan secara mandiri (self reliance) yang
membuat masyarakatnya swasembada beras. Kemandirian ini dibangun dengan cara tidak
memperjualbelikan hasil pertanian (padi) melainkan disimpan dilumbung, baik lumbung bersama
maupun lumbung keluarga. Lumbung bersama diisi oleh padi yang ditanam bersama-sama sedangkan
lumbung keluarga diisi padi yang ditanam sendiri. Pengambilan gabah baik untuk acara adat maupun
untuk konsumsi sehari-hari diatur dengan aturan adat yang telah ditentukan sesuai dengan kubutuhan
dan persediaan gabah.
Beberapa contoh tersebut, merupakan bukti kearifan lokal yang masih diterapkan hingga saat
ini oleh masyarakat tradisional. Mereka mampu membangun keharmonisan dengan lingkungan alam
dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhan, disamping itu juga masyarakat meningkatkan
kualitas kehidupan sosialnya untuk membangun kemandirian masyarakatnya tanpa harus bergantung
pada teknologi luar. Tentunya untuk mewujudkan hal diatas bukanlah merupakan hal mudah karena
yang ingin dirubah adalah paradigma manusia yang sangat kompleks. Dan tantangan yang kemudian
dihadapi adalah Jumlah peduduk yang semakin meningkat serta kemajuan teknologi yang seolah
memaksa kita untuk mengikuti pola hidup modernisme dan meningglkan kearifan lokal kita.
Permasalahan krisis lingkungan dan kependudukan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan
secara parsial dari sisi ekonomis saja dengan menciptakan teknologi mutakhir, namun lebih dari itu,
ekologi manusia dan semua komunitas biotis maupun abiotis didalamnya meruapakan jaringan
kompleks yang juga meluputi persoalan sosial dan budaya dan lingkungan. Bumi ini bukanlah mesin
yang solusi permasalahannya harus dipahami secara mekanis dan reduksionistis melainkan harus
dipahami secara holistik(menyeluruh) dan sistematis.