Anda di halaman 1dari 4

Mata Kuliah : KAPITA SELEKTA

Tugas Resume : Manusia dan Lingkungan


Dosen Pengampu :
Nama : Taufik Dhany
NIM : 30000213410045

Manusia dan Lingkungan hidup


Lingkungan hidup dan manusia merupakan satu kesatuan dalam ekosistem yang saling
ketergantungan. Dalam kajian ekosistem, lingkungan terbagi atas beberapa komponen diantaranya
komponen Biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan), komponen Abiotik (cahaya, suhu, udara, air,
tasnah, dll), dan Komponen Culture atau Budaya.
Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya fikir dan daya nalar
tertinggi dibandingkan makluk lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen
biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan manusia dpaat secara aktif mengelola dan mengubah
ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendaki. Sedangkan Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
Jelaslah bahwa manusia dan lingkungan hidup merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dan
saling ketergantungan. Manusia memerlukan lingkungan hidup untuk mendukung aktivitas sehari-hari
dan lingkungan memerlukan manusia untuk memproduksi kembali hasil yang dikeluarkan oleh
manusia dan mendukung semua kehidupan dimuka bumi ini. Untuk itu, interaksi, interelasi dan
interdependensi antara semua komponen dalam ekosistem yang mencakup manusia dan seluruh
makhluk hidup dan tak hidup didalamnya, harus berjalan dengan baik.
Pada jaman dahulu, pada tahap Pan-Cosmism, dimana masyarakat dan alam masih hidup
berdampingan, alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tak terlawankan dan manusia hidup
dengan memanfaatkan hasil alam sesuai dengan kebutuhan saja. Keseimbangan alam masih terjaga,
karena daya dukung dan daya tampung lingkungan masih lebih besar daripada kebutuhan manusia
saat itu. Namun seiring kemajuan peradaban dan teknologi, paradigma tersebut mulai bergeser ke
tahap Antroposentrisme dimana manusia mulai berusaha menguasai alam. Semakin meningkatnya
pertumbuhan penduduk, perkembangan pola pikir, modernisasi, hingga penemuan-penemuan
teknologi dan mesin industri, adalah beberapa alasan mendasar yang mendorong terbentuknya
paradigma tersebut demi memenangkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Persaingan untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang pangan pun semakin tinggi sehingga
mendorong manusia untuk menciptakan teknologi dan mesin yang mampu mengeksploitasi sumber
daya alam secara berlebihan dan liar. Sumber daya alam pun dieksploitas secara liar dan massiv.
Dampaknya adalah kerusakan lingkungan karena telah terjadi ketidakseimbangan dengan daya
dukung dan daya tampung lingkungan tersebut dengan aktifitas masyarakatnya yang mungkin saja
berpikir kalau sanggup mengeruk alam sebanyak-banyaknya, mengapa tidak..?.

Lingkungan mulai rusak


Perilaku Antroposentrisme, menetapkan manusia sebagai pusat semesta. Hanya manusia yang
mempunyai nilai. Sehingga alam dengan segala isinya adalah alat pemuas kebutuhan manusia.
Hubungan manusia dan alam berada pada relasi materi dan ekonomis. Manusia baik secara sadar
maupun tidak, berinteraksi dengan industrialisme, konsumerisme dan perkembagan teknologi,
menjadi sebab kerusakan lingkungan. Akibatnya semua sisi lingkungan menjadi rusak baik itu
lingkungan fisik maupun biologi dan bencana alam pun datang silih berganti.
Beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam skala global
mencerminkan betapa kondisi bumi kita saat ini benar-benar telah memprihatinkan. Rusaknya
lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai oleh limbah-limbah domestik/rumah tangga
dan industri yang langsung mengalirkan limbah produksinya ke badan sungai dan laut menyebabkan
kematian pada ikan dan rusaknya ekosistem air tersebut. Lebih jauh pencemaran itu dapat
menyebabkan mutasi genetis pada ekosistem air tesebut sepert ikan dan makhluk lain yang hidup
didalamnya dan akan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia seperti yang terjadi pada
tragedi minamata di Jepang dan teluk buyat yang tercemar limbah mercury. dan yang saat ini sedang
menjadi perdebatan adalah pencemaran danau Toba di Sumatera Utara oleh Limbah ternak babi.
Padahal daerah ini merupakan destinasi pariwisata yang sangat terkenal juga tak luput dari
pencemaran limbah industri.
Kerusakan lingkungan juga dapat dilihat dari kualitas udara, seperti munculnya beragam
polusi atau pencemaran udara, baik yang dihasilkan oleh industri maupun kendaraan bermotor.
Peristiwa yang sangat ekstrim terjadi ketika kecelakaan industri di Bhopal, India pada tahun 1984
yang menyebabkan polusi udara, yakni gas beracun. Peristiwa lain juga terjadi pada bencana radiasi
nuklir di chernobyl, Ukraina pada tahun 1986 dan kebocoran reaktor nuklir Fukushima jepang yang
meledak terkena tsunami pada tahun 2011 lalu. Di tanah air, marak terjadi kebakaran Hutan, seperti
yang terjadi kembali di riau beberapa bulan lalu yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk
kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Asap tebal membuat penurunan signifikan terhadap kualitas
udara dan dampaknya pun merambah hingga ke negara tetangga seperti Singapura.
Sementara itu, rusaknya tanah dan hutan kita, tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat
penggundulan hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk aktivitas pertambangan dan
perkebunan misalnya pembukaan lahan perkebuan kelapa sawit di sumatera dan aktivitas
pertambangan yang semakin marak di Kalimantan, papua, dan kini sulawesi. Hutan yang menyangga
sistem lingkungan hidup didunia sebagai rumah untuk segala keanekaragaman hayati, penghasil
oksigen dan penyedia cadangan air telah mengalami kerusakan parah. Kerusakan hutan tentunya
menyebabkan pula punahnya satwa-satwa langka yang hidup didalamnya misalnya orang utan, badak,
harimau, dll.
Yah,,memang negara kita saat ini sebagai negara berkembang, semakin gilanya
mengeksploitasi kekayaannya guna mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju. Para
pemimpin negara ini sepertinya menganut paham modernisme Kemajuan dan pertumbuhan di bidang
ekonomi dan materi menjadi tolok ukur kemajuan paeradaban suatu bangsa, tanpa pernah berpikir
mengenai kerugian dari dampak ekologis yang ditimbulkannya sangat besar. Negara kita mempunyai
sumberdaya alam yang begitu besar namun kita tidak mempunyai teknologi dan sumber daya manusia
untuk mengolah itu. Untuk itu, kita mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar negeri untuk
bekerja dan mengeksploitasi kekayaan di negeri kita.

Namun apa yang kita dapatkan..?? kita dirampok secara sadar dan kita tidak mempunyai
daya untuk menghalau hal tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah bukannya kemajuan
eknomi yang terjadi melainkan lingkungan kita yang menjadi rusak dan utang negara kita semakin
bertambah untuk mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar. Belum lagi di tambah dengan biaya
yang dibutuhkan untuk menangani kerusakan lingkungan dan bencana yang ditimbulkannya misalnya
banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dll. Nah pertanyaannya kapan kita akan menikmati kekayaan
kita jika hasil kekayaan itu habis terpakai untuk membayar utang dan membiayai bencana yang
semakin sering terjadi...??
KTT Bumi
KTT Bumi yang di sepakati di Rio de janiero pada tahun 1992, sempat membawa angin segar
bagi keberlanjutan lingkungan dengan dicanangkannya sustainable development, namun nampaknya
konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada pembangunan ekonomi,
sosial budaya dan lingkungan, masih belum mampu dilaksanakan selama kurun waktu 21 tahun ini.
Nampaknya ideologi economic developmentalism masih menguasai sebagian besar paradigma
bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kita bisa saja berpendapat bahwa ideologi ini sebenarnya bersifat
politis untuk meloloskan kepentingan negara-negara eropa di belahan utara yang menguasai industri
dan teknologi terhadap negara-negara selatan yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Setidaknya
dalih keberlanjutan tiga aspek tersebut mampu meninabobokan negara-negara berkembang untuk
mendukung gerakan ini sebagai solusi krisis lingkungan global. Namun nyatanya, eksploitasi sumber
daya alam, malah semakin menggila.
Kita tentunya telah menyaksikan melalui media telvisi, koran, dan internet bagaimana
kerusakan lingkungan dan eksploitas Sumber daya alam dimuka bumi ini secara berlebihan terjadi
dimana-mana dengan tingkat kerusakan yang sudah sangatmengkhawatirkan. Maka fenomena ini
seharusnya lebih menyadarkan dan menggugah hati kita untuk mengkoreksi kembali pola pikir dan
tindakan sosial kita selama ini, kemudian berbuat sesuatu untuk masa depan lingkungan, baik
berbentuk tindakan afektif, kognitif, psikomotrik maupun tindakan yang bersifat teoritis dan praktis.
Beberapa tindakan untuk mewujudkan hal ini dilihat dari munculnya kesadaran ekologis (ecological
awareness) yang menjadi stimulti yang cukup cerdas untuk mencounter pemahaman
anthroposentrisme.
Paradigma baru, Kembali pada Alam
Menurut arne naess, permasalahan terbesar yang harus diatasi adalah pada persoalan
paradigma kita terhadap lingkungan itu sendiri. Dan untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi,
maka paradigma atau cara pandang harus dirubah secara fundamental dan radikal. Dengan memahami
bahwa hanya dengan memperlakukan alam secara etis, menempatkan alam dengan segala isinya
termasuk hewan dan tumbuhan sebagai sebuah kesatuan ekologis dan saling ketergantungan dengan
manusia, menghapus paham dominasi manusia terhadap alam, juga menghapus dikotomi manusia
sebagai subjek dan alam sebagai objek. Begitupun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang harus diarahkan kepada nilai-nilai etis terhadap lingkungan.
Arne naess menyebut pandangan itu sebagai ecosophy yang berarti kearifan lingkungan,
dalam pandangan ini danjurkan untuk pola dan gaya hidup yang sesuai dengan kearifan merawat alam
sebagai rumah tangga bagi semua makhluk hidup. Keinginan memelihara hubungan yang serasi
dengan alam melahirkan banyak pengetahuan lokal (indigenous people) yang sangat berguna untuk
pelestarian daya dukung lingkungan. Indigenous knowmledga yang merupakan environmental
wisdom sampai sekarang masih ada yang dipelihara dengan dan diterapkan secara turun temurun oleh

beberapa suku tradisional di antaranya tradisi zoning di suku Tabla di papua yang membuat batasanbatasan wilayah untuk pemukiman, pertanian, hingga daerah keramat yang tak boleh diganggu, ada
juga tradisi sistem Sasi di Maluku dan Papua yang melarang masyarakatnya menangkap ikan pada
musim-musim tertentu seperti pada saat musim transissi, dan ketika adanya perayaan adat. Larangan
ini bertujuan untuk memberikan kesmpatan pada ikan untuk hidup dan berkembang lagi sehingga
ketika sasi kembali dilepas, hasil tangkapn ikan akan semakin banyak.
Ada juga tradisi suku baduy dalam pengelolaan pangan secara mandiri (self reliance) yang
membuat masyarakatnya swasembada beras. Kemandirian ini dibangun dengan cara tidak
memperjualbelikan hasil pertanian (padi) melainkan disimpan dilumbung, baik lumbung bersama
maupun lumbung keluarga. Lumbung bersama diisi oleh padi yang ditanam bersama-sama sedangkan
lumbung keluarga diisi padi yang ditanam sendiri. Pengambilan gabah baik untuk acara adat maupun
untuk konsumsi sehari-hari diatur dengan aturan adat yang telah ditentukan sesuai dengan kubutuhan
dan persediaan gabah.
Beberapa contoh tersebut, merupakan bukti kearifan lokal yang masih diterapkan hingga saat
ini oleh masyarakat tradisional. Mereka mampu membangun keharmonisan dengan lingkungan alam
dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhan, disamping itu juga masyarakat meningkatkan
kualitas kehidupan sosialnya untuk membangun kemandirian masyarakatnya tanpa harus bergantung
pada teknologi luar. Tentunya untuk mewujudkan hal diatas bukanlah merupakan hal mudah karena
yang ingin dirubah adalah paradigma manusia yang sangat kompleks. Dan tantangan yang kemudian
dihadapi adalah Jumlah peduduk yang semakin meningkat serta kemajuan teknologi yang seolah
memaksa kita untuk mengikuti pola hidup modernisme dan meningglkan kearifan lokal kita.
Permasalahan krisis lingkungan dan kependudukan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan
secara parsial dari sisi ekonomis saja dengan menciptakan teknologi mutakhir, namun lebih dari itu,
ekologi manusia dan semua komunitas biotis maupun abiotis didalamnya meruapakan jaringan
kompleks yang juga meluputi persoalan sosial dan budaya dan lingkungan. Bumi ini bukanlah mesin
yang solusi permasalahannya harus dipahami secara mekanis dan reduksionistis melainkan harus
dipahami secara holistik(menyeluruh) dan sistematis.

Anda mungkin juga menyukai