Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MAKALAH
ILMU PENYAKIT MULUT
Penyusun:
Daniela Ayu Larasati 160112130018
Edi Gunawan 16012130050
Utari Tresna
Ulima Dewi Hutagaol
Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berasal dari famili Flaviviridae.
Kelompok-kelompok virus yang berbeda secara genetik telah berkembang dengan 9 macam
genotip dari hepatitis C dan 40 subkelompok yang berbeda. Penularan dapat terjadi melalui
transfusi darah, paparan perkutan melalui alat-alat yang terkontaminasi, dan paparan terhadap
darah. Orang yang memiliki risiko terbesar yaitu penderita hemofilia, pasien yang sedang
menjalani dialisis, dan pemakai obat-obatan terlarang secara parenteral. Rute transmisi lain
yaitu melalui kontak seksual serta rute perinatal dan idiopatik. Karakteristik utama dari HBV
dan HCV terdapat dalam Tabel 1. (Setia, 2013)
Virus Hepatitis B
DNA
Hepadnaviridae
Parenteral,
Profil
HBc
Ringan, parah, akut atau Hepatitis
kronis.
Kurang
Virus Hepatitis C
RNA
Flaviviridae
seksual, Parenteral, seksual, cairan
dari
seringkali
orang
yang
dengan
10%
terinfeksi,
yang parah
Hepatitis B imun globulin
Tidak tersedia
Recombivax, Engerix dan Tidak tersedia
Twinrix
DNA De-oxyribonukleic acid; RNA Ribonucleic acid; HCV Hepatitis C virus; HbsAg
Hepatitis B surface antigen; HbeAg Hepatitis B e antigen; HBV Hepatitis B virus.
Patofisiologi
1. Hepatitis B
HBV tidak patogenik terhadap sel, tetapi respons imun terhadap virus ini yang
bersifat hepatotoksik. Kerusakan hepatosit menyebabkan peningkatan kadar ALT yang
terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi
HBV bergantung pada integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronik terjadi jika
terdapat gangguan respon imunologis terhadap infeksi virus. Virus hepatitis B dapat
menimbulkan hepatitis akut maupun kronis (berlangsung secara mendadak dan cepat
memburuk). Selain itu Virus hepatitis B dan hepatitis C mempunyai resiko penderita
terkena kanker hati.
Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel
hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat
dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. HBV merangsang
respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun non spesifik
(innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa
menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA,
yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi HBV lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu
dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi
setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas I yang
ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presentating
Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami
kontak dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida HBV
yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon
imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan
mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut
bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon
gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkanoleh sel T CD8+
(mekanisme nonsitolitik).
Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel HBV bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian antiHBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik HBV bukan
disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik
ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode
pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat diakhiri
(akut), sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi HBV yang
menetap (kronik). Proses eliminasi HBV oleh respon imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain : terjadinya
imunotoleransi terhadap produk HBV, hambatan terhadap CTL yang berfungsi
melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan HBV yang tidak memproduksi
HbeAg, integrasi genom HBV dalam genom sel hati. Faktor pejamuantara lain : faktor
genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid,
kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk HBV dalam persistensi
HBv adalah mekanisme persistensi infeksi HBV pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu
HbsAg
dan
HbeAg
positif.
Diduga
persistensi
tersebut
disebabkan
adanya
imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi
HBV, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T
karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi HBV dapat disebabkan
karena mutasi pada daerah pre-core dari DNA yang menyebabkan tidak dapat
diproduksinya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi.
Fase Imunutolerans
Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap HBV sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi
tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu HBV ada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer
DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT (alanin aminotransferase) yang relatif normal.
Pada fase imunotolerans praktis tidak ada respon imun terhadap partikel virus hepatitis B
sehingga tidak ada sitolisis sel-sel hati yang terinfeksi dan tidak ada gejala.
Fase imunoklirens
Pada fase imunoklirens didapatkan kadar transaminase yang meningkat dan pada
fase ini tubuh memulai memberikn respon imun terhadap hepatitis B dan hal ini akan
mengubah HBeAg yang positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi positif. Pada fase
ini terjadi gejala klinik dan kenaikan transaminase dengan berbagai tingkat mulai dari
yang asimptomatik sampai dengan gejala klinik yang parah yang dapat terjadi berulang
kali. Pada fase ini dapat terjadi eksaserbasi akut yang disebut dengan flare. Bila flare ini
terjadi berulang kali maka sirosis hati akan cepat terjadi.
jumlah partikel virus masih tinggi, maka lebih sering terjadi sirosis dan hepatoma.
Berikut adalah skema perjalanan hepatitis B kronik menurut Schalm.
Fase Reaktivasi
Sekitar 20-30 % pasien hepatitis B kronik dalam fase residual dapat mengalami
reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan
2. Hepatitis C
Hepatitis C merupakan penyakit infeksi melalui darah yang terdiri dari virus RNA
yang tergolong ke dalam famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Secara teori,
mekanisme terjadinya infeksi ini adalah adanya peptida struktural dan nonstruktural
yang bertanggungjawab dalam replikasi virus RNA khususnya peptida NS5. Terdapat
enam genotipe (nomor 1 sampai 6) dan lebih dari 90 subtipe (genotipe 1a, 1b, 2a, 3b,
dll) terkait dengan hepatitis C. Antibodi HCV (anti-HCV) di dalam darah
mengindikasikan adanya infeksi dengan HCV. Jika infeksi terjadi selama lebih dari 6
bulan dan replikasi virus terkonfirmasi oleh level RNA HCV, maka orang tersebut
terdiagnosis hepatitis C kronis. Penyakit kronis timbul akibat system imun tubuh tidak
efektif terhadap HCV. Limfosit T sitotoksik tidak efektif dalam membasmi HCV,
sehingga bisa merusak sel hati. Oleh karena itu, sistem imun seseorang sangat
berpengaruh dalam mengeliminasi HCV.
Pengguna narkoba suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik
lain secara bergantian berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. Antara 50 dan 90
persen IDU dengan HIV juga terinfeksi HCV. Hal ini karena kedua virus menular
dengan mudah melalui hubungan darah-ke-darah. HCV dapat menyebar dari darah
orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang lain melalui cara yang berikut:
Memakai alat suntik (jarum suntik, semprit, dapur, kapas, air) secara bergantian;
Kecelakaan tertusuk jarum;
Luka terbuka atau selaput mukosa (misalnya di dalam mulut, vagina, atau dubur);
dan
Produk darah atau transfusi darah yang tidak diskrining.
Berbeda dengan HIV, umumnya dianggap bahwa HCV tidak dapat menular
melalui air mani atau cairan vagina kecuali mengandung darah. Ini berarti risiko
terinfeksi HCV melalui hubungan seks adalah rendah. Namun masih dapat terjadi,
terutama bila berada infeksi menular seksual seperti herpes atau hubungan seks
dilakukan dengan cara yang meningkatkan risiko luka pada selaput mukosa atau
hubungan darah-ke-darah, misalnya akibat kekerasan. Diusulkan orang dengan HCV
melakukan seks lebih aman dengan penggunaan kondom untuk melindungi pasangannya.
Perempuan dengan HCV mempunyai risiko di bawah 6 persen menularkan virusnya pada
bayinya waktu hamil atau saat melahirkan, walaupun risiko ini meningkat bila viral load
HCV-nya tinggi. Kemungkinan HCV tidak dapat menular melalui menyusui. Bila kita
belum dites HCV, atau tidak mengetahui apakah kita pernah dites, kita sebaiknya
membicarakannya dengan dokter. Tes HCV sangat disarankan untuk siapa pun yang
HIV-positif.
sering terlihat pada palatum posterior dan dasar mulut sepanjang frenulum lingualis. Penyakit
hati yang parah juga memperlihatkan perdarahan intraoral, petechiae, atau ecchymoses.
Tidak dibutuhkan pengobatan spesifik pada jaringan oral karena jaringan akan kembali
normal setelah pemulihan penyakit.
Diagnosis
1. Hepatitis B
Penghitungan serum enzim berguna untuk diagnosis hepatitis seperti aspartate
transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT) meningkat . Alkaline phosphate,
alpha-fetoprotein, dan serum bilirubin juga meningkat. (Scully, 2010)
Mikroskop elektron dari serum pasien yang terinfeksi HBV menunjukkan tiga jenis
partikel yaitu partikel Dane, yang dapat menunjukan virus hepatitis B yang utuh, dan inti
bagian dalam yang berisi DNA, dan inti antigen (HBcAg), dan selubung terluar
permukaan terluar (HBsAg), bentuk bola yang lebih kecil dan bentuk tubular
menunjukan HbsAg berlebih. (Scully, 2010)
Diagnosis dan prognosis bergantung pada penanda serum (serological marker).
HbsAg merupakan protein non-infeksius yang ditemukan sementara pada hepatitis B
akut, dan berada dalam serum pada cariier (pembawa), dan pada yang tidak terinfeksi.
HbsAg berkembang dalam 20-100 hari setelah paparan, terdektesi dalam serum selama
1-120 hari, kemudian menghilang. HbsAg dalam serum menjadi negatif 6 minggu
setelah onset jaundice klinis. Terdapatnya HbsAg lebih dari 13 minggu menunjukkan
perkembangan tahap carrier. Hepatitis B surface antibody (anti-HBs) terbentuk setelah
infeksi atau vaksinasi dan ketika HbsAg sudah tidak ada, hal tersebut menunjukan
imunitas. (Scully, 2010). Anti-HBs terdektesi setelah HbsAg tidak lagi ditemukan. Hal
tersebut disebut window, terjadi antara 24 hingga 28 minggu infeksi. Selama masa
window, pasien sudah dalam keadaan terinfeksi, infeksi tidak dinyatakan oleh HbsAg
atau level anti-HBs. Sehingga, penentuan anti-HBc dan anti-Hbe harus dilakukan, untuk
mengetahui infeksi virus hepatitis B (Bricker et al, 1994).
HbcAg ditemukan dari biopsi hati pada hepatitis B akut. Inti antibodi hepatitis B
merupakan penanda yang sensitif dari replikasi virus yang mengindikasikan infeksi
sedang atau baru saja terjadi (Scully, 2010). Antibodi yang pertama kali merespon infeksi
hepatitis B adalah anti-HBc IgM dan anti-HBc IgG, berkembang pada satu bulan
pertama infeksi. Keduanya akan meningkat secara bersamaan, tetapi anti-HBc IgM
menurun setelah 3 hingga 4 bulan, anti-HBc IgG tetap ada selama bertahun-tahun
(Bricker et al, 1994).
penyembuhan dan imunitas terhadap hepatitis, jika tidak ditemukan anti-HBs, anti-HBc
menunjukan tahap carrier atau hepatitis kronis. (Scully, 2010)..
Hepatitis B e antigen dan antibodi anti-Hbe, merupakan penanda untuk
menentukan kemungkinan penyebaran HBV dari orang yang terinfeksi virus hepatitis B
kronis: adanya HbcAg menunjukan aktivitas virus dan kemampuan untuk menginfeksi
orang lain, sedangkan anti-Hbe menunjukan tahap inaktif dari virus dan resiko transmisi
atau penularan menurun. HbcAg mengindikasikan infektivitas yang tinggi dan hanya
ditemukan di dalam serum jika positif terdapat HbsAg. Jika terdapat HbcAg lebih dari 4
minggu dari onset gejala, kemungkinan pasien dalam keadan infeksius dan berkembang
menjadi penyakit liver kronis. Tidak adanya HbeAg biasanya menunjukan infektivitas
rendah. Bagaimanapun, pada beberapa orang yang terinfeksi HBV, material genetik virus
mungkin saja telah mengalami perubahan struktur, disebut dengan mutasi pre-core, yang
mana menghasilkan ketidakmampuan HBV memproduksi HbeAg, meskipun secara aktif
mereproduksi. Hal tersebut berarti, meskipun tidak terdeteksi HbeAg dalam darah, HBV
masih aktif pada orang tersebut dan dapat menularkannya pada orang lain. (Scully, 2010)
HbsAg
Anti-HBs
Anti-HBc
IgM
+
HbeAg
Anti-Hbe
Anti-HBc
(total)
+
HBV
DNA
+
+
+
Infeksi kronis
dengan
reproduksi
aktif
Infeksi kronis
dalam
fase
inaktif
Penyembuhan,
false
positif
atau
infeksi
kronis
+ atau -
+ atau -
2. Diagnosis Hepatitis C
Diagnosis untuk hepatitis C adalah dengan deteksi HCV RNA dan anti-HCV
antibodi dalam darah, tetapi anti-HCV IgG biasanya tidak terdeteksi sampai 1-3 bulan
setelah infeksi akut.
tersebut adalah sakit pada area injeksi, demam, gejala menyerupai flu, dan arthralgia.
(Scully, 2010 & Bricker et al, 1994)
Ketika seseorang yang belum diimunisasi Hepatitis B kemudian terpapar oleh
darah yang mengandung HbsAg, profilaksis dilakukan dengan injeksi intramuskular
hepatitis B immunoglobulin (HBIG). Direkomendasikan pemberian dua dosis untuk
melawan infeksi. Dosis pertama diberikan segera setelah paparan (dalam waktu 24 jam).
Dosis kedua diberikan 1 bulan kemudian. HBIG memberikan imunisasi pasif sekitar 6
bulan pada 75% penerima. (Bricker et al, 1994)
2. Perawatan Hepatitis C
Infeksi hepatitis C sembuh dengan sendirinya hingga 50% pada pasien. interferonalpha atau pegylated interferon, dengan atau tanpa ribavirin telah digunakan untuk
mengobati hepatitis C, tetapi dapat menimbulkan efek samping. HCV kronis diobati
dnegan kombinasi ribavirin ditambah interferon-alpha atau pegylated interferon. Vaksin
untuk hepatitis C belum ditemukan. Sehingga pencegahan terhadap hepatitis C perlu
dilakukan.
mengontrol tanda dan gejala. Kortikosteroid topikal atau sistemik diresepkan untuk
pasien setelah diagnosa OLP ditegakkan.
Medikasi kortikosteroid topikal yang banyak digunakan yaitu 0,05% fluocinonide
(Lidex) dan 0,05% clobetasol (Temovate). Biasanya diresepkan dalam bentuk pasta atau
gel. Steroid topikal dapat diaplikasikan diatas lesi dengan menggunakan kapas atau
dengan kasa. Lesi erosif dari OLP pada gingiva (desquamative gingivitis) efektif diobati
dengan menggunakan occlusive splints sebagai tempat (carrier) steroid topikal.
Penelitian jangka panjang menunjukan tidak ada efek samping dari penggunaan steroid
topikal, tetapi terapi occlusive dengan steroid potensi tinggi dapat terabsorpsi secara
sistemik, sehingga harus diperhatikan dan jumlah yang digunakan minimal untuk
menghindari hal tersebut. Candida tumbuh disertai sariawan, sehingga terapi antifungal
topikal atau sistemik dapat diberikan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
penggunaan obat kumur antibakteri seperti chlorhexidine sebelum aplikasi steroid
membantu mencegah pertumbuhan jamur.
Steroid sistemik diberikan biasanya tablet prednisone dengan dosis antara 40 dan
80 mg per hari selama 10 hari. Lama penggunaan dan dosis ditentukan berdasarkan
status medis, tingkat keparahan penyakit, dan respon terhadap perawatan sebelumnya.
Retinoid digunakan sebagai terapi tambahan dari kortikosteroid topikal untuk OLP.
Beta all-trans retinoic acid diberikan dapat diberikan secara sistemik dan topikal, vitamin
A acid, sistemik etretinate, dan sistemik dan topikal isotretinoin semuanya efektif, dan
aplikasi topikal retinoid krim atau gel dapat menghilangkan retikular dan lesi seperti plak
pada pasien. Retinoid topikal lebih disukai dibandingkan retinoid sistemik karena efek
samping yang ditimbulkan seperti gangguan fungsi liver, cheilitis, dan teretogenisitas.
Retinoid sistemik, temarotene dilaporkan sebagai terapi efektif untuk OLP dan tidak ada
efek samping lainnya selain peningkatan enzim liver. Terapi topikal dan sistemik lainnya
seperti dapsone, doxycycline, dan anti malaria membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Aplikasi topikal dari cyclosporine membantu untuk mengatasi kasus OLP yang
sulit. Tetapi biaya cyclosporine, hidrofobisitas, dan rasa yang tidak enak, serta belum
terjawabnya pertanyaan mengenai kemampuan obat untuk meningkatkan reporduksi
virus dan perubahan keganasan pada sel epitel membatasi penggunaanya. Bedah eksisi
tidak dianjurkan untuk perawatan OLP kecuali pada kasus dengan displasia.
2. Xerostomia
Perawatan untuk pasien dengan mulut kering dibagia dalam 4 kategori yaitu terapi
preventif, stimulasi saliva topikal dan lokal, terapi simptomatik, dan stimulasi saliva
sistemik. Perawatan efektif pada pasien dengan penyakit sistemik yang berhubungan
dengan gangguan kelenjar ludah dapat mengatasi keluhan mengenai kelenjar saliva.
a. Terapi preventif
Penggunaan fluoride topikal pada pasien dengan hipofungsi kelenjar saliva dapat
mengontrol karies gigi. banyak sediaan terapi fluoride yang berbeda-beda.
Frekuensi pemberian disesuaikan dengan tingkat keparahan disfungsi kelenjar
saliva. Penting bagi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien
memerlukan kunjungan ke dokter gigi secara rutin (biasanya 4 bulan sekali).
Ketika fungsi saliva terganggu, demineralisasi akan meningkat, sehingga
kehilangan struktur gigi cepat terjadi.
Pasien dengan mulut kering memiliki resiko terjadinya kandidiasis mukosal.
Tampak erythematous, kemerahan, dan pasien mengeluhkan sensasi terbakar pada
lidah dan jaringan lunak lainnya. Terapi antifungal dapat diberikan.
b. Terapi simptomatik
Pasien perlu minum air yang cukup untuk menjaga kelembaban rongga mulut,
hidrasi mukosa, dan membersihkan debris dalam mulut. Terdapat berbagai sediaan
obat kumur dan gel. Pasien harus menghindari produk yang mengandung alkohol,
gula, dan berperasa yang kuat yang dapat mengiritasi mukosa kering yang sensitif.
Krim pelembab sangat penting. Produk yang banyak digunakan mengandung aloe
vera atau vitamin E lebih dianjurkan.
c. Stimulasi saliva topikal atau lokal
Mengunyah dapat menstimulasi aliran saliva dengan efektif, begitu pula dengan
rasa asam dan manis. Kombinasi mengunyah dan rasa, seperti permen karet dapat
efektif unutk mengurangi gejala pada pasien.
d. Stimulasi saliva simulasi
Penggunaan secretogogues sistemik untuk stimulasi saliva telah diuji, dengan
hasil yang beragam. Lebih dari 24 agen dapat menstimulasi saliva secara sistemik.
4 agen telah diteliti dengan uji coba klinis, yaitu bromhexine, anetholetrihione,
pilocarpine hydrochloride (HCL), dan cevimeline HCL.
Bromhexine merupakan agen mukolitik yang telah banyak digunakan di Eropa.
Tetapi bagaimana mekanisme stimulasi saliva ini belum diketahui, dan masih
menjadi kontroversi bagi pasien dengan Sjorgen syndrome karena menstimulasi
fungsi lakrimal.
Anetholetrithione merupakan agen mukolitik yang dapat meningkatkan saliva
berdasarkan uji coba klinis. Mekanismenya dengan meningkatkan reseptor
mucarinic. Pada pasien dengan hipofungsi kelenjar saliva ringan dapat
meningkatkan aliran saliva.
Pilocarpine HCL dapat meringankan xerostomia secara spesifik. Pilocarpine HCL
merupakan obat parasympathomimetic, berfunsi sebagai mucarinic cholinergic
agonist. Dapat meningkatkan saliva, menstimulasi fungsi kelenjar. Pilocarpine
kontraindikasi pada pasein dengan penyakit paru-paru, asma, penyakit jantung,
glaucoma, dan urethral reflux.
Cevimeline HCL merupakan obar parasympathomimetic lainnya, yang efektif
mengatasi mulut kering pada Sjorgen syndrome. Target spesifik dari pengobatan
ini adalah reseptor muscarinic dan kelenjar lakrimal. Penggunaan Cevimeline
HCL perlu diawasi pada pasien dengan riwayat galucoma atau penyakit jantung,
penyakit pernafasan, dan gall bladder disease.
3. Sialadenitis
Sialadenitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, sehingga
pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik. Jika terdapat purulen, pemberian
Corticosteroid
Antidepresan
Muscle relaxant
Anastesi lokal
Anastesi umum
Anxiolytic/sedative
Anti konvulsan
(miconazole,
ketoconazole,
itraconazole)
Clarithromycin
Co-amoxiclav
Clindamycin
Doxycycline
Erythromycin estolate
Flucloxacilin
Metronidazole
Minocycline
Moxifloxacin
Roxithromycin
Talampicillin
Tetracycline
Prednisone
Monoamine
oxidase
inhibitor
Tricyclicsal
Suxamethonium
Lidocaine
Halothane
Methohexitane
Propofol
Thiopental
Barbiturate
Diazepam
Midazolam
Phenothiazine
Promethazine
Carbamazepine
Lamotrigine
Phenytoin
Nystatin, fluconazole
Erythromycin stearate
Imipenem
Penicillin
Nystatin
Tetracycline
Prednisolone
SSRIs
Atracurium,
cisatracurium,
pancuronium,
vecuronium
Articaine, prilocaine
Desflurane
Isoflurane
Sevoflurane
Lorazepam
Oxazepam
Pethidine
disebarkan oleh udara, air, debu, aerosol, percikan atau droplet, sekresi saluran pernafasan,
plak, kalkulus, bahan tumpatan gigi, dan debris. Hal ini menyebabkan tindakan dalam praktek
dokter gigi menempatkan dokter gigi berisiko tinggi terutama terhadap penyakit menular
berbahaya yang disebabkan oleh mikrorganisme patogen seperti bakteri dan virus.
Tindakan asepsis dan langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja dapat
membatasi penyebaran mikrorganisme patogen penyebab penyakit. Tujuanya adalah untuk
melindungi pasien dan petugas kesehatan gigi dari berbagai penyakit menular yang mungkin
ditemukan di praktek. Dokter gigi biasanya tidak dapat mengetahui status kesehatan umum
pasienya secara pasti, sehinga setiap pasien harus selalu diangap sebagai pembawa penyakit.
Hal tersebut bertujuan agar dokter gigi selalu waspada untuk melindungi diri sendiri dan
pasien dari nfeksi penyakit.
Dengan melakukan prosedur kontrol infeksi dapat dicegah terjadinya penularan
penyakit yang berbahaya, bahkan dapat mencegah terjadinya kematian. Prosedur pencegahan
antara lain adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilsasi, disinfeksi, pembuangan
sampah medis secara aman, dan tindakan asepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Bricker, Steven L, et al.1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning.
Pennsylvania: Lea & Febiger
Greenberg, Martin S. dan Michael Glick. 2003. Burkets Oral Medicine Diagnosis &
Treatment 10thEd. London: BC Decker Inc.
Hipokrates. Jakarta. PAPDI.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Irene Winata, Rima Melati Harjono. 1993. Immunisasi Hepatitis B (Immunisation Against
Hepatitis B), Hak Cipta British Medical Association. Terjemahan Indonesia.
Price, S.A, alih bahasa, Brahm U. Pendit et. al.2005. Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses penyakit volume 1. EGC. Jakarta.
Sciubba, James J. et al. 2002. PDQ Oral Disease Diagnosis and Treatment. London: BC
Decker Inc.
Scully, Crispian. 2010. Medical Problems in Dentistry. London: Elsevier.
Setia, Saniya. 2013. Hepatitis B and C infection: clinical implication in dental practice.
European Journal of General Dentistry Vol 2 January-April 2013. Punjab.
Steven L. Bricker, Robert. Langlais, Craig S. Miller. Oral Diagnosis, Oral Medicine, And
Treatment Planning. Langlais. 1994.
WHO. 2012. Prevention and Control of Viral Hepatitis Infection: Framework for Global
Action. Geneva: World Health Organization.