Adverse drug reaction (ADR) adalah suatu respon yang tidak dikehendaki dan
membahayakan pada penggunaan obat dosis lazim pada manusia, baik untuk tujuan diagnosa,
profilaksis, terapi maupun modifikasi fungsi fisiologis sedangkan American Society of
Health-System Pharmacist (ASHP) mendefinisikan ADR sebagai beberapa reaksi yang tidak
dikehendaki, tidak sengaja, atau reaksi berlebihan pada obat yang:
Kasus
Perempuan 55 tahun datang ke rumah sakit dengan selulitis dengan riwayat penyakit urtikaria
30 tahun yang lalu yang sebelumnya terkait dengan pemakaian penisilin untuk infeksi saluran
pernafasan. Apakah sefalosporin perlu dihindari? Bagaimana seharusnya pasien dengan
riwayat alergi antibiotik dapat dievaluasi dan diterapi?
Tujuan Penelitian
Hasil
Masalah klinis:
Reaksi alergi terhadap antibiotik terjadi hanya sebagian kecil pelaporan dari efek samping
obat, tetapi sangat berhubungan dengan morbiditas, mortalitas serta biaya perawatan. Boston
collaborative drug surveillance melaporkan bahwa 2,2% reaksi kulit yang terjadi di Rumah
Sakit disebabkan karena penggunaan antibiotik amoxicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole
dan ampisilin.
Patofisiologis:
Reaksi alergi merupakan reaksi imunologi. Sel T merupakan predominan dalam penundaan
reaksi hipersensitifitas yang meliputi erupsi makulopapular sedangkan Ig E menyebabkan
terjadinya urtikaria.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul karena alergi antibiotik sangat bervariasi dalam hal jenis
maupun tingkat keparahan dari organ yang terkena alergi.
Kasus khusus:
1. Human Immunodeficiecy Virus (HIV)
Pasien yang terinfeksi HIV memiliki frekuensi yang lebih tinggi dalam reaksi alergi
untuk
beberapa
agen
antimikroba
daripada
orang
normal,
contohnya
c. Sulfonamid
Urtikaria, angioedema, anafilaksis, erupsi kulit makulopapuler, dermatitiseksfoliatif,
eritema multiformis, Stevens Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis,
miokarditis alergi, periarteritis nodosa, Serum Sickness likereaction, reaksi
fotosensitif
d. Makrolid
Urtikaria, angioedema, anafilaksis, erupsi kulit ringan, fotosensitif, Stevens Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis.
e. Fluoroquinolon
Urtikaria, angioedema, pruritus, fotosensitif, demam, angioedema, eritemanodusum,
anafilaksis, hiperpigmentasi
f. Tetrasiklin
Urtikaria, angioedema, anafilaksis, perikarditis, poliatralgia, eksaserbasi SLE,infiltrate
pulmoner dengan eosinophilia Vankomisin Anafilaksis, demam obat, eosinofilia,
erupsi kulit (meliputi dermatitis eksfoliatif), Stevens Johnson Syndrome, Toxic
Epidermal Necrolysis, vaskulitis
Pengobatan
a. Desensitisasi obat
Untuk pasien yang alergi terhadap antibiotik, pertama assesment tentang asal mula
reaksi riwayat penyakit untuk alergi penisilin yang diperantai oleh Ig E kemudian
lakukan skin tes sebelum diberikan antibiotik beta laktam. Jika hasil negatif maka
diberikan antibiotik betalaktam tetapi jika hasil positif maka dilakukan desensitisasi.
Cara melakukan desentisisasi adalah:
Dilakukan oleh tenaga terlatih
Obat ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai dosis terapi
Dosis awal biasanya dalam microgram dan dosis dinaikkan setiap 15 hingga 30 menit
sekali
Rute administrasi bida oral maupun intravena
Selama proses denensitisasi pasien dimonitoring secara ketat. Berikan anti histamin
dan beta agonis inhalasi untuk merespon reaksi urtikaria dan bronkospasme
Jika timbul reaksi seperti kemerahan dan urtikaria maka prosedur dapat diulang pada
dosis terakhir
Jika terjadi reaksi berat seperti hipotensi dan bronkospasme berat maka prosedur
harus dihentikan dan pilih antibiotik alternatif
Desentisisasi diulang jika antibiotik dibutuhkan kembali
b. Graded challenge
Dilakukan untuk reaksi yang tidak diperantai IgE
Dosis inisiasi biasanya lebih tinggi daripada desentisisasi dan interval variasi dosis
antara jam sampai hari bahkan minggu
Pasien diawasi secara ketat jika terjadi reaksi berat yang merugikan
Penghentian antibiotik dilakukan jika terjadi reaksi yang berat.
Dari jurnal yang diperoleh, didapatkan laporan retrospektif berupa:
1. 75% (43 dari 57 kasus) membuktikan bahwa desentisisasi alergi terjadi karena
diperantai oleh IgE. 19% desentisisasi mempunyai komplikasi alergi berat baik
selama anafilaksis maupun pengobatan yang dihentikan karena timbul reaksi alergi.
2. Kebanyakan kasus kegagalan dalam proses desentisisasi terjadi karena tidak terlihat
IgE dan desentisisasi terlihat karena gagal pada pasien dengan fibrosis kistis.
3. Analisis dari beberapa penelitian yang disebutkan dijurnal diperoleh 75% pasien
diperbolehkan menggunakan antibiotik sulfametoksazol dengan penggunaan regimen
dosis incremental.
4. Data yang terdapat dalam jurnal didapatkan bahwa peningkatan resiko terjadinya
reaksi terhadap sefalosporin pada pasien yang positif hasil skin tes terhadap penisilin.
11 penelitian tentang administrasi sefalosporin yang alergi terhadap penisilin
didapatkan bahwa reaksi sefalosporin yang terjadi = 6%. Hasil positif dari hasil skin
tes alergi penisilin = 4,4% dan hasil dengan skin tes negatif = 0,6%.
5. Untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi penisilin dan membutuhkan pengobatan
sefalosporin, pengobatan bisa dilakukan tetapi tergantung dengan hasil dari skin tes.
Cefalosporin pada pasien dengan alergi penisilin
Penisilin dan sefalosporin merupakan antibiotik yang sama-sama mempunyai struktur
cincin -laktamase karena dapat terjadi reaktivitas silang.
Pasien dengan riwayat alergi penisilin positif akan mentolerir pemberian sefalosporin.
Pasien alergi penisilin yang membutuhkan pengobatan sefalosporin, pengobatan
dilakukan tergantung pada hasil skin tes.
Kesimpulan
Pasien dengan riwayat alergi antibiotik membutuhkan pengawasan yang lebih ketat
karena di khawatirkan terjadinya reaksi yang berlebihan.
Pasien dengan riwayat alergi penisilin yang diperantai IgE, dianjurkan untuk
melakukan skin tes sebelum pasien menerima antibiotik betalaktam.
Jika hasil skin tes negatif maka dapat diberikan antibiotik betalaktam tetapi jika hasil
skin tes positif maka betalaktam tidak dapat diberikan dan lakukan proses
desentisisasi.