Anda di halaman 1dari 23

PEMBAHASAN

TEORI-TEORI PROSES MENUA


I.

TEORI GENETIC CLOCK

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk species-species tertentu. Tiap species mempunyaii
didalam nuclei (inti sel)nya suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan
menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita itu berhenti
akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal. Secara
teoritis dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi meski hanya untuk beberapa waktu dengan pengaruh-pengaruh dari
luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan obat-obat atau tindakan-tindakan tertentu.
Pengontrolan genetik umur, rupanya dikontrol dalam tingkat seluler. Mengenai hal ini Hayflick (1980) melakukan
penelitian melalui kultur sel in vitro yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara kemampuan membelah sel dalam
kultur dengan umur spesies.
Untuk membuktikan apakah yang mengontrol replikasi tersebut nukleus atau sitoplasma, maka dilakukanlah
transplantasi silang dari nukleus. Dari hasil penelitian tersebut jelas bahwa nukleuslah yang menentukan jumlah
replikasi, kemudian menua dan mati, bukan sitoplasmanya (Suhana, 1994).
II. TEORI MUTASI SOMATIK (TEORI ERROR CATASTROPHE)
Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif [ada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan
kemampuan fungsional sel tersebut.
Bagaimanakah mekanisme pengontrolan genetik dalam tingkat subselular dan molekular? Salah satu hipotesis yang
berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah hipotesis error catastrophe
Menurut hipotesis tersebut, menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan setelah
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi (DNA>RNA), maupun dalam
proses translasi (RNA> protein/enzim). Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah,
sebagai reaksi dan kesalahan-kesalahan lain yang berkembang secara ekponensial dan akan menyebabkan terjadinya
reaksi metabolisme yang salah, sehingga akan mengurangi fungsional sel, walaupun dalam batas-batas tertentu
kesalahan dalam pembentukan RNA dapat diperbaiki, namun kemampuan memperbaiki diri sendiri itu sifatnya
terbatas pada kesalahan pada proses transkripsi (pembentukan RNA) yang tentu akan menyebabkan kesalahan sintesis
protein atau enzim, yang dapat menimbulkan metabolit yang berbahaya. Apalagi jika terjadi pula kesalahan dalam
proses translasi (pembuatan protein), maka akan terjadilah kesalahn yang makin banyak, sehingga terjadilah katastrop
(Suhana, 1994, Constantinides, 1994).
III.

TEORI RUSAKNYA SISTEM IMUN TUBUH

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada
antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun (Goldstein, 1989).
Semua sel somatik akan mengalami proses menua, kecuali sel seks dan sel yang mengalami mutasi menjadi kanker.
Sel-sel jaringan binatang dewasa juga dapat membagi diri dan memperbaharui diri, kecuali sel neuron, miokardium
dan sel ovarium ( Constantinides, 1994).
IV.

TEORI MENUA AKIBAT METABOLISME

Pada tahun 1935, McKay et al. (terdapat dalam Goltein, et al, 1989), memperlihatkan bahwa pengurangan intake
kalori pada rodentia muda akan mengahmbat pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena
penurunan jumlah kalori tersebut, antara lin disebabkan karenapenurunan jumlah kalori tersebut, antaralain disebabkan
karena menurunnya salahsatu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang
merangsang proliferasi sel, misalnya insulin, dan hormon pertumbuhan.

Modifikasi cara hidup yang kurang bergerak menjadi lebih banyak bergerak mungkin juga dapat meningkatkan umur
panjang.
V. TEORI KERUSAKAN AKIBAT RADIKAL BEBAS
Radikal bebas (RB) dapat terbentuk dialam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk
sampingan di dalam rantai pernafasan di dalam mitokondria (Oen, 1993). Untuk organisme aerobik, RB terutama
terbentuk pada waktu respirasi (aerob) didalam mitokondria, karena 90% oksigen yang diambil tubuh, masuk ke dalam
mitokondria. Waktu terjadi proses respirasi tersebut oksigen dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi ATP,
melalui enzim-enzim respirasi didalam mitokondria, maka radikal bebas (RB) akan dihasilkan sebagai zat antara. RB
bersifat merusak, karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti
dalam membaran sel, dan dengan gugus SH.
RB dapat dinetralkan menggunakan senyawa non enzimatik, seperti: vitamin C (asam askorbat), provitamin A (Beta
Karoten) dan vitamin E (Tocoperol).
Walaupun telah ada sistem penangkal, namum sebagian RB tetap lolos, bahkan mungkin lanjut usia makin banyak RB
terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makinlama makin banyak dan akhirnya sel
mati
(Oen, 1993).
FAKTOR PENYEBAB JATUH
Faktor penyebab jatuh pad lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor-faktor, antara lain : ( Kane, 1994 ;
Reuben, 1996 ; Tinetti, 1992 ; Campbell, 1987 ; Brocklehurst, 1987 ).
1.

Kecelakaan : merupakan faktor penyebab jatuh yang utama bagi lansia, yaitu sekitar 30-50 % kasus jatuh.

q murni kecelakaan, misalnya karena jatuh terpeleset atau tersandung sesuatu.


q gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua, misalnya karena penglihatan
pada lansia sudah menurun (mata kurang awas), kemudian menabrak benda-benda yang ada di rumah, sehingga
akhirnya jatuh.
2.

Nyeri kepala dan atau vertigo

3.

Hipotensi orthostatik

4.

Obat-obatan :

5.

hipovolemia (curah jantung rendah)


disfungsi otonom
penurunan kembalinya darah vena ke jantung
terlalu lama berbaring dan kurang bergerak selama berbaring
pengaruh obat-obat hipotensi
hipotensi sesudah makan

anti hipertensi, misalnya alfa-bloker


anti depresan trisiklik
Sedativa
Antipsikotik
obat-obat hipoglikemik
alkohol

Proses penyakit yang spesifik.

Penyakit-penyakit akut seperti :

kardiovaskuler : - aritmia
- stenosis aorta
- sinkope sinus karotis
Neurologi
: - TIA
- stroke
- serangan kejang
- Parkinson
- kompresi saraf spinal karena spondilosis
- penyakit cerebelum

6.

Idiopatik ( tidak jelas sebabnya )

7.

Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba

8.

Faktor lingkungan :

9.

drop attack (serangan roboh)


penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
terbakar matahari

alat-alat atau perabot rumah tangga yang sudah tidak layak pakai karena sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di sembarang tempat.
tempat tidur atau jamban yang rendah (jongkok) sehingga menyulitkan lansia ketika akan berdiri.
tempat berpegangan yang tidak kuat / susah dipegang :
o lantai yang tidak datar, baik ada trapnya atau menurun
o karpet yang kurang baik, sehingga bisa membuat jatuh, keset yang tebal,/menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin dan mudah tergeser.
o
lantai yang licin dan basah yang tidak diperhatikan
o penerangan yang kurang baik (kurang terang atau terlalu menyilaukan)
o alat bantu jalan yang ukuran, berat, maupun penggunaannya yang tidak tepat.

Faktor situasional :
o

Aktivitas

sebagian besar lansia jatuh saat melakukan aktivitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga, dan mengganti
posisi. Hanya sedikit (sekitar 5 %) yang jatuh saat melakukan aktivitas berbahaya seperti olahraga berat bahkan
mendaki gunung. Sering juga jatuh pada lansia disebabkan karena aktivitas yang berlebihan, mungkin karena
kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Dapat juga terjadi jatuh pada lansia yang imobil (jarang bergerak)
ketika lansia tersebut ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
o

Lingkungan

Sekitar 70 % jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10 % terjadi di tangga, dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih
banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda (perabot rumah) yang tergelatak
sembarangan, lantai yang licin atau tidak rata, penerangan yang kurang.
o

Penyakit akut

Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari penyakit kronik yang diderita lansia juga
sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak napas akut pada penderita penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada
tiba-tiba pada penderita penyakit jantung iskemik, dan lain-lain.
FAKTOR RESIKO JATUH
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk
oleh:

1.

Sistem Sensorik

Yang berperan di dalamnya adalah visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler, dan propioseptif. Semua
gangguan atau perubahan pada mata akan menyebabkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karena adanya
perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu
fungsi propioseptif. Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hamper sepertiga lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik.
2.

Sistem saraf pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson,
hidrosefalus tekanan normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon
tidak baik terhadap input sensorik.
3.

Kognitif

Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.


4.

Muskuloskeletal

Faktor ini disebutkan leh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar
terhadap terjadinya jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan
dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan
oleh:

Kekakuan jaringan penghubung

Berkurangnya massa otot

Perlambatan konduksi saraf

Penurunan visus/lapangan pandang

Kerusakan propioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan:

Penurunan range of motion (ROM) sendi

Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah

Perpanjangan waktu reaksi

Kerusakan persepsi dalam

Peningkatan postural sway (goyangan badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran
bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi
mengakibatkan seorang lansia susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung,
kejadian tiba-tiba, sehingga memudahkan jatuh.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:
1)

Faktor-faktor intrinsic (faktor dari dalam)

2)

Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar)

Faktor Intrinsik

Faktor ekstrinsik

Akibat jatuh pada lansia adalah :


1. Rusaknya jaringan
2. Fraktur pelvis, femur
3. Perawatan di rumah sakit
4. Jatuh menyebabkan penurunan kepercayaan diri sehingga mengurangi gerak
5. Kematian
PENYEBAB TUNGKAI TIDAK DAPAT DIGERAKKAN
Pada kasus ini pasien dinyatakan jatuh terpeleset. Mekanisme trauma Seseorang yang jatuh terpeleset kemungkinan
bisa ke depan atau ke belakang. Jika jatuh ke depan maka kemungkinan akan mengalami trauma capitis atau cidera
ekstremitas atas sebagai akibat menahan tubuh dengan tangan. Sedangkan jika jatuh ke belakang maka kemungkinan
akan mengalami trauma capitis atau cidera ekstremitas atas atau cidera tulang belakang (vertebra).
Pada kasus ini tidak dikeluhkan adanya trauma capitis atau cidera ekstremitas atas, cidera yang terjadi hanya berupa
tungkai yang tidak dapat digerakkan tapi masih berasa. Ini berarti bahwa kemungkinan yang mengalami gangguan
adalah persarafan motorik tungkai tersebut sementara saraf sensoriknya masih berfungsi dengan baik.
Secara anatomis tungkai (ekstremitas bawah) dipersarafi oleh serabut saraf dari vertebra segmen lumbal dan sacral.
Jadi kemungkinan besar ketika terjatuh, pasien tersebut mengalami trauma vertebra segmen lumbal-sakral yang
mengakibatkan tertekannya ramus-ramus saraf di cornu anterior atau bagian dari kornu anterior dari segmen
lunbosakral tersebut yang tertekan yang berfungsi sebagai saraf motorik pada kedua tungkai yang mengakibatkan
tungkai tidak dapat digerakkan.
PEMERIKSAAN YANG PERLU DILAKUKAN
Pada pasien geriatri/usia lanjut, kita harus melakukan pemeriksaan/assesmen secara holistik/paripurna,
berkesinambungan dan tepat. Dengan maksud agar dapat meninjau keseluruhan dari gangguan fisisnya, psikososial
dan juga gangguan fungsional sehingga nantinya dapat mengidentifikasikan masalah tersebut.
termasuk mengidentifikasikan faktor resiko yang berperan serta kemudian merencanakan penatalaksanaan menyeluruh
dengan penekanan pada kemampuan fungsional pasien atau setidaknya memberikan perhatian yang sama dengan
diagnosis dan pengobatan penyakit sebab kompleksitas masalah pada usia lanjut dapat meningkatkan resiko
iatrogenik.. ( 1 : 267 )
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
A. Anamnesa riwayat penyakit (jatuhnya)

Anamnesa dibuat baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya. Anamnesis ini meliputi :

B.

1.

Seputar jatuhnya : mencari penyebab jatuhnya misalnya apa karena terpeleset, tersandung, berjalan,
perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok atau sebaliknya, sedang buang air kecil atau besar,
sedang batuk atau bersin, sedang menolwh tiba-tiba ataupun aktivitas lainnya.

2.

Gejala yang menyertai : seperti nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas,
konfusio, inkontinens, sesak nafas.

3.

Kondisi komorbid yang relevan : pernah menderita hipertensi, diabetes mellitus, stroke, parkinsonisme,
osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, deficit rematik dll

4.

Review obat-obatan yang diminum : anti hipertensi ( alfa inhibitor non spesifik dll ), diuretic, autonomic
bloker, anti depresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik, ACE inhibitor dll

5.

Review keadaan lingkungan : tempat jatuh apakah licin/bertingkat-tingkat dan tidak datar, pencahayaannya
dll

Pemeriksaan Fisis

1.
Mengukur tanda vitalnya : Tekanan darah (tensi), nadi, pernafasan(respirasinya) dan suhu badannya
(panas/hipotermi)
2.
Kepala dan leher : apakah terdapat penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan yang
menginduksi ketidakseimbangan, bising.
3.

Pemeriksaan jantung : kelainan katup, aritmia, stenosis aorta, sinkope sinus carotis dll

4.
Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot, instabilitas, kekakuan,
tremor, dll
5.

Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi, problem kaki (podiatrik), deformitas dll

C.

Assesmen Fungsionalnya

Seyogyanya dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebiasaan pasien dan aspek fungsionalnya dalam
lingkungannya, ini sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan. Pada assesmen fungsional dilakukan
observasi atau pencarian terhadap :
1.
Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dari duduk dikursi, ketika berjalan, ketika
membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah dll.
2.
Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat Bantu ( kursi roda, tripod, tongkat dll) atau
dibantu berjalan oleh keluarganya.
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, berpergian, kontinens. Terutama kehidupannya dalam
keluarga dan lingkungan sekitar ( untuk mendeteksi juga apakah terdapat depresi dll )
( 2 : 168 )
PENANGANAN JATUH PADA LANSIA
a. Operasi.
Jika pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya fraktur yang disebabkan karena pasien terjatuh ( terpeleset )
khususnya fraktur tulang belakang yang mengakibatkan kompresi pada saraf sehingga kedua tungkai tidak dapat
digerakkan,merupakan indikasi untuk dilakukan operasi mis: fiksasi internal nerve root,spinal cord.
b. Hospitalisasi (perawatan di rumah sakit).

Hal ini bertujuan untuk memudahkan penanganan pasien khususnya dengan fraktur akut ( immobilisasi ) yang
beresiko tinggi yang juga disertai dengan penyakit kronik,yang membutuhkan perawatan intensif..
c. Operasi mata ( operasi katarak).
Gangguan penglihatan pada pasien ini kemungkinan besar berupa katarak senilis. Operasi dapat dilakukan jika pasien
& keluarganya menyetujui dan kondisi kesehatan pasien memungkinkan. Tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien yang selama ini terganggu akibat gangguan penglihatan ( kemungkinan salah satu penyebab
pasien terjatuh ).
Indikasi operasi katarak :
-

Gangguan penglihatan dengan Snellen aquity ( visus ) 20/50 atau dibawahnya.

Ketidakmampuan salah satu mata untuk melihat.

Kontraindikasi :
-

Jika penglihatan pasien dapat dikoreksi dengan penggunaan kaca mata atau alat bantu lainnya.

Kondisi kesehatan pasien tidak memungkinkan.

d. Fisioterapi.
Setelah dilakukan tindakan operasi untuk mengatasi fraktur dibutuhkan fisioterapi ( rehabilitasi ) yang penting untuk
mengembalikan fungsi alat gerak dan mengurangi disabilitas selama masa penyembuhan. Penggunaan alat bantu
berjalan misalnya tongkat biasanya dibutuhkan untuk membantu permulaan berjalan kembali dan untuk mendukung
aktifitas sehari-hari lainnya.
e. Perbaikan status gizi.
Penyusunan menu disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien setiap harinya dan kemampuan untuk mencerna
makanan. Pemberian makanan diberikan secara bertahap.dimulai dengan porsi kecil tetapi sesering mungkin diberikan.
f. Kontrol penyakit dan penggunaan obat-obatan.
Hindari polifarmasi yang justru lebih banyak menimbulkan efek samping,khususnya pada pasien beresiko tinggi.
g. Pendidikan keluarga.
Jika fraktur yang diderita oleh pasien mengharuskan immobilisasi untuk beberapa lama.keluarga harus senantiasa
mengawasi,merawat pasien dengan mencegah pasien terlalu banyak berbaring ( posisi diubah-ubah ) untuk mencegah
dekubitus dan penyakit iatrogenik. Berikan perhatian dan kasih sayang agar pasien tidak merasa terisolasi dan depresi.
PENCEGAHAN
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi,
meskipun ringan tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokjok untuk pencegahan ini, antara lain:
1.

Identifikasi faktor resiko

Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor intrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan
assesmen keadaan sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/menyebabkan
jatuh.
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah
hartus cukup tapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat.

Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini
sebaikknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat
tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk
dan diberi pegangan di dinding.
1.

Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan

Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimabangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah
posisi. Penilaian postural sway sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan badan
pada saat berjalan sangat beresiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya
berjalan(gait) juga harus dilakukan dengan cermat, apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah
goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.
1.

Mengatur/mengatasi fakor situsional

Faktor situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut penyakit yang diderita lansia secara periodik. Faktor
situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas.
Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat diatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita. Perlu
diberitahukan pada penderita aktivitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktivitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada
batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko
tinggi untuk terjadinya jatuh.

DAFTAR PUSTAKA
1.
H Slamet Suyono, SpPD,KE. Prof. Dr. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
2. Boedhi, Darmojo, R. 2004. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ) edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
3. Adelman,M,Alan.Daly,P,Mel.20 Common Problems In Geriatrics.2001.Mc GRAW-HILL INTERNATIONAL
EDITION.

DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik di mana tubuh tidak dapat mengendalikan glukosa akibat
kekurangan hormon insulin. Kekurangan hormon ini dalam tubuh bisa disebabkan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Berdasarkan kedua faktor tersebut, diabetes mellitus (DM) terbagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik dan terjadi sejak kanak-kanak di mana sel-sel beta pankreas tidak dapat
memproduksi insulin akibat adanya autoantibodi yang menyerang sel-sel beta pankreas. Sedangkan DM tipe 2
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti makanan dengan kadar glukosa tinggi yang dikonsumsi secara
berlebihan dan terus menerus sehingga terjadi gangguan metabolisme glukosa dalam tubuh, didukung dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita DM. DM tipe 2 ini terjadi pada usia dewasa dan usia lanjut.
DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT
Usia lanjut merupakan masa usia di mana terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran
fungsional pada tubuh. Salah satunya adalah terjadinya penurunan produksi dan pengeluaran hormon yang diatur oleh
enzim-enzim yang juga mengalami penurunan pada usia lanjut.

Salah satu hormon yang menurun sekresinya pada usia lanjut adalah insulin. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya diabetes mellitus pada usia lanjut. Namun demikian, beberapa faktor resiko seperti resistensi
insulin akibat kurangnya massa otot dan terjadinya perubahan vaskular, kegemukan akibat kurangnya aktivitas fisik
yang tidak diimbangi dengan asupan makanan yang adekuat, sering mengkonsumsi obat-obatan, faktor genetik, dan
keberadaan penyakit lain yang memperberat diabetes mellitus, juga memegang peran penting.
Diabetes melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai gambaran klinis yang bervariasi luas, dari tanpa gejala
sampai dengan komplikasi nyata dan kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada
usia lanjut. Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia, pada DM usia lanjut tidak ada.
Umumnya pasien datang dengan keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap berbagai perubahan/gejala penyakit
mengalami penurunan.
Biasanya yang menyebabkan pasien usia lanjut datang berobat adalah karena gangguan penglihatan karena katarak,
rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan biasa.
KOMPLIKASI-KOMPLIKASI YANG DIALAMI OLEH PASIEN USIA LANJUT YANG MENDERITA
DIABETES MELITUS DAN MENGAKIBATKAN JATUH
Komplikasi DM pada usia lanjut ada yang akut dan ada pula yang kronik. Komplikasi DM akut antara lain
ketoasidosis, koma diabetikum, dan sebagainya. Sedangkan komplikasi DM kronik antara lain makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati. Komplikasi akibat makroangiopati terutama akan meningkatkan mortalitas, sedangkan
komplikasi mikroangiopati akan meningkatkan morbiditas. Komplikasi mikroangiopati antara lain retinopati diabetik
dan nefropati diabetik; komplikasi makroangiopati antara lain terjadinya atherosklerosis yang menimbulkan
komplikasi lebih lanjut pada serebrovaskular; sedangkan komplikasi berupa neuropati, disebut juga neuropati diabetik,
yang tersering adalah neuropati perifer. Berbagai komplikasi yang disebutkan di atas dapat menyebabkan jatuh pada
usia lanjut. Selain itu, kesalahan dalam mengkonsumsi obat antidiabetik oral oleh karena kelebihan/kekurangan dosis
dan ketidakseimbangan antara asupan makanan dan obat antidiabetik oral dengan aktivitas sehari-hari yang
menyebabkan hipoglikemi/hiperglikemi juga dapat membuat jatuh pada usia lanjut. Semuanya akan dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut.

Retinopati Diabetik dan Katarak Komplikata


Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia pada penderita DM dengan dengan insidens dan berkembangnya retinopati.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran vaskular kecil)
dari arteriole retina. Akibatnya terjadi perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang dapat
mengakibatkan kebutaan.
Ganguan penglihatan lainnya adalah katarak disebabkan komplikasi dari penyakit diabetes melitus (katarak
komplikata). Pada katarak komplikata akibat DM ini, terjadi penimbunan sorbitol dalam lensa oleh karena kekurangan
insulin. Perlu diketahui, bahwa hiperglikemi pada DM menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan
jaringan yang dapat mentranspor glukosa tanpa memerlukan insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan
diubah menjadi sorbitol yang akan tertumpuk dalam sel/jaringan dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi
jaringan tersebut. Penumpukan sorbitol pada lensa ini mengakibatkan katarak dan kebutaan.
Kedua penyakit tersebut merupakan faktor resiko intrinsik sebagai komplikasi DM. Pasien pada skenario dianjurkan
untuk operasi mata akan tetapi pasien selalu menolak. Sementara itu, retinopati diabetik dan katarak sebenarnya dapat
diobati jika ditangani lebih dini. Katarak dapat dioperasi dengan cara memasang lensa artifisial, sedangkan retinopati
diabetik dapat diobati dengan fotokoagulasi retina di mana sinar laser difokuskan pada retina sehingga menghasilkan
parut korioretinal yang di tempatkan dikutub posterior retina. Pengobatan ini juga dapat menekan neovaskularisasi dan
perdarahan yang terjadi pada retinopati diabetik. Oleh karena tidak diobati, maka mata pasien tersebut menjadi kabur
dan dapat menyebabkan pasien terjatuh, apalagi jika didukung oleh kelemahan otot akibat proses penuaan dan faktor
lingkungan, seperti lantai yang licin, dan sebagainya.
Neuropati Diabetik
Diabetes melitus seringkali juga menimbulkan komplikasi di susunan saraf pusat dan perifer. Baik di pusat maupun
perifer, kerusakan akibat diabetes melitus bersifat sekunder yaitu melalui vaskulitis. Karena itu, endotelium arteri-

arteri menjadi rusak yang mempermudah pembentukan trombus. Permeabilitasnya menjadi lebih besar yang
memperbesar kemungkinan masuknya mikroorganisme dan toksin dari sawar darah otak dan mempermudah
terbentuknya mikro-aneurisme.
Neuropati diabetika merupakan komplikasi vaskulitis di susunan saraf perifer. Anoksia akibat mikrotrombosis dan
mudah terkena substansi toksik merupakan mekanisme yang mendasari disfungsi susunan saraf perifer, terutama
komponen sensoriknya.
Neuropati diabetik, selain sebagai komplikasi dari vaskulitis juga disebabkan karena pada jaringan saraf terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu aktivitas metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan kehilangan
akson. Akibatnya, kecepatan konduksi motorik akan berkurang, selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya
sensasi getar dan proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam dan
kelemahan otot. Hal-hal tersebut dapat memungkinkan pasien lansia pada kasus mengalami jatuh.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik bermanifestasi secara dini sebagai proteinuria dan merupakan komplikasi dari penyakit hipertensi
yang mengenai ginjal. Selain itu, pada nefropati diabetik, terjadi kebocoran pembuluh darah glomerulus akibat
penyakit diabetes sehingga glukosa dapat keluar bersama urin dan terjadilah glukosuria.
Jatuh yang dialami oleh penderita usia lanjut pada skenario kemungkinan disebabkan oleh karena banyaknya glukosa
darah yang terbuang melalui urin akibat nefropati diabetik sehingga kadar glukosa dalam darah kurang. Terlebih lagi
jika ternyata pada anamnesis tambahan, pasien seringkali melakukan aktivitas fisik yang cukup berat untuk orang
seusianya tanpa didukung asupan makanan yang adekuat disertai mengkonsumsi obat antidiabetik, maka akan terjadi
hipoglikemia dan otak kekurangan gukosa sebagai satu-satunya sumber energi sehingga mengakibatkankan pasien
tersebut jatuh.
Hipoglikemi
Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita yang tidak mendapat dosis obat antidiabetik yang tepat, tidak makan cukup
atau dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh mekanisme

kompensasi dalam tubuh berkurang dan asupan makanan yang tidak adekuat karena kurangnya nafsu makan yang
umumnya terjadi pada orang tua. Selain itu, hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahanlahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma yang
jika berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat penurunan ekskresi dan metabolisme klorpropamid (salah satu obat antidiabetik
oral golongan sulfonilurea dengan waktu paruh yang lama) pada usia lanjut. Oleh karena itu, pasien pada skenario
kemungkinan terjatuh akibat hipoglikemi setelah mengkonsumsi obat antidiabetik oral tersebut sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Hiperglikemia
Hiperglikemia juga dapat menyebabkan jatuh pada pasien tersebut. Akan tetapi, sebelum menyimpulkan bahwa pasien
jatuh oleh karena hiperglikemia, perlu anamnesis tambahan apakah pasien meminum obat antidiabetiknya teratur atau
tidak, bagaimana aktivitasnya sehari-hari dan jumlah kalori dan kandungan glukosa makanan yang dikonsumsinya
sehari-hari. Jika ternyata pasien tidak patuh meminum obat sesuai yang dianjurkan oleh dokter (jarang minum obat),
disertai aktivitas fisik yang kurang, misalnya kurang olahraga dan sering diet dengan makanan tinggi kalori, maka
kemungkinan pasien jatuh oleh karena hiperglikemi meskipun ia minum obat.
Selain itu, penyakit DM juga dapat mencetuskan terjadinya atherosklerosis. Resistensi insulin yang terjadi pada
penderita DM bertambah dengan semakin bertambahnya usia. Resistensi insulin ini akan meningkatkan sintesis VLDL
di hati dan pada gilirannya akan menaikkan kadar trigliserid dalam darah. Kenaikan VLDL ini sedikit banyak juga
akan menyebabkan kenaikan LDL karena pada proses metabolismenya, dari VLDL melalui IDL akhirnya akan
terbentuk LDL. IDL dan LDL ini bersifat aterogenik yang akan mengakibatkan terbentuknya plak atherosklerosis pada
pembuluh darah. Jika atherosklerosis ini terdapat pada pembuluh darah otak, maka perfusi di otak kurang, otak
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga dapat menyebabkan jatuh.
Obat Antidiabetik Oral

Pengaruh obat antidiabetik oral terhadap jatuhnya pasien sebagian telah dijelaskan di atas. Namun demikian, selain
oleh karena proses penyakit (patologis), terjadinya perubahan farmakodinamik pada lansia terhadap obat-obatan yang
dikonsumsi di dalam tubuh penderita juga berperan penting dalam kasus ini. Perubahan-perubahan tersebut melalui
beberapa mekanisme, antara lain: terjadi perubahan jumlah reseptor obat, perubahan afinitas, transduksi sinyal dan
perubahan target organ obat pada lansia. Hal ini mungkin bisa menjelaskan bahwa meskipun penderita meminum obat
antidiabetik oralnya, efek obat tersebut dalam tubuh tidak maksimal. Adanya polifarmasi yang terjadi pada usia lanjut
yang menyebabkan terjadinya interaksi antara obat yang satu dengan yang lainnya, dapat menimbulkan
hipoglikemia/hiperglikemia yang dapat memperbesar kemungkinan jatuhnya penderita tersebut.
ANALISA DAN SINTESA SEMUA INFORMASI
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar pasien pada skenario mengalami jatuh disebabkan
oleh gangguan penglihatan yang dialami sebagai komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dialami oleh pasien.
Meskipun telah mendapatkan terapi pengobatan dari dokter mengenai penyakitnya, akan tetapi kemungkinan pasien
tidak teratur dalam meminum obatnya, baik karena kekurangan dosis akibat jarang minum obat maupun kelebihan
dosis akibat menurunnya daya ingat yang terjadi pada usia lanjut akibat proses menua sehingga dia tidak lupa apakah
sudah minum obat atau belum. Selain itu, ketidakdisiplinan dalam meminum obat bisa jadi disebabkan karena
kurangnya perhatian keluarga dalam hal ini. Untuk itu perlu anamnesis tambahan mengenai bagaimana hubungan
pasien dengan anggota keluarganya yang terdekat. Kemungkinan lain yang juga bisa menjadi pertimbangan adalah
meskipun pasien meminum obatnya dengan teratur, akan tetapi dalam skenario dikatakan ia kurang nafsu
makan, ditambah lagi dengan batuk-batuk dan sesak nafas yang dialaminya yang tentu saja memerlukan energi yang
diperoleh dari makanan, menyebabkan pasien mengalami hipoglikemia yang mengakibatkan pasien tersebut jatuh.
Semua yang disebutkan di atas dapat memperparah penyakit diabetes melitus yang dialami pasien dan komplikasi
kronik yang bisa timbul dan yang paling mungkin terjadi adalah katarak akibat diabetes melitusnya (katarak
komplikata) sebab di dalam skenario dikatakan bahwa pasien sudah dianjurkan untuk operasi mata tetapi ia selalu
menolak. Akibatnya, ia bisa jatuh karena visusnya menurun di samping karena faktor-faktor lingkungan, seperti
pencahayaan lampu yang tidak baik di rumahnya, dan sebagainya.

DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik di mana tubuh tidak dapat mengendalikan glukosa akibat
kekurangan hormon insulin. Kekurangan hormon ini dalam tubuh bisa disebabkan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Berdasarkan kedua faktor tersebut, diabetes mellitus (DM) terbagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik dan terjadi sejak kanak-kanak di mana sel-sel beta pankreas tidak dapat
memproduksi insulin akibat adanya autoantibodi yang menyerang sel-sel beta pankreas. Sedangkan DM tipe 2
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti makanan dengan kadar glukosa tinggi yang dikonsumsi secara
berlebihan dan terus menerus sehingga terjadi gangguan metabolisme glukosa dalam tubuh, didukung dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita DM. DM tipe 2 ini terjadi pada usia dewasa dan usia lanjut.
DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT
Usia lanjut merupakan masa usia di mana terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran
fungsional pada tubuh. Salah satunya adalah terjadinya penurunan produksi dan pengeluaran hormon yang diatur oleh
enzim-enzim yang juga mengalami penurunan pada usia lanjut.
Salah satu hormon yang menurun sekresinya pada usia lanjut adalah insulin. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya diabetes mellitus pada usia lanjut. Namun demikian, beberapa faktor resiko seperti resistensi
insulin akibat kurangnya massa otot dan terjadinya perubahan vaskular, kegemukan akibat kurangnya aktivitas fisik
yang tidak diimbangi dengan asupan makanan yang adekuat, sering mengkonsumsi obat-obatan, faktor genetik, dan
keberadaan penyakit lain yang memperberat diabetes mellitus, juga memegang peran penting.
Diabetes melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai gambaran klinis yang bervariasi luas, dari tanpa gejala
sampai dengan komplikasi nyata dan kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada
usia lanjut. Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia, pada DM usia lanjut tidak ada.
Umumnya pasien datang dengan keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap berbagai perubahan/gejala penyakit
mengalami penurunan.
Biasanya yang menyebabkan pasien usia lanjut datang berobat adalah karena gangguan penglihatan karena katarak,
rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan biasa.
KOMPLIKASI-KOMPLIKASI YANG DIALAMI OLEH PASIEN USIA LANJUT YANG MENDERITA
DIABETES MELITUS DAN MENGAKIBATKAN JATUH
Komplikasi DM pada usia lanjut ada yang akut dan ada pula yang kronik. Komplikasi DM akut antara lain
ketoasidosis, koma diabetikum, dan sebagainya. Sedangkan komplikasi DM kronik antara lain makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati. Komplikasi akibat makroangiopati terutama akan meningkatkan mortalitas, sedangkan
komplikasi mikroangiopati akan meningkatkan morbiditas. Komplikasi mikroangiopati antara lain retinopati diabetik
dan nefropati diabetik; komplikasi makroangiopati antara lain terjadinya atherosklerosis yang menimbulkan
komplikasi lebih lanjut pada serebrovaskular; sedangkan komplikasi berupa neuropati, disebut juga neuropati diabetik,
yang tersering

adalah neuropati perifer. Berbagai komplikasi yang disebutkan di atas dapat menyebabkan jatuh pada usia lanjut.
Selain itu, kesalahan dalam mengkonsumsi obat antidiabetik oral oleh karena kelebihan/kekurangan dosis dan
ketidakseimbangan antara asupan makanan dan obat antidiabetik oral dengan aktivitas sehari-hari yang menyebabkan
hipoglikemi/hiperglikemi juga dapat membuat jatuh pada usia lanjut. Semuanya akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut.
Retinopati Diabetik dan Katarak Komplikata
Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia pada penderita DM dengan dengan insidens dan berkembangnya retinopati.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran vaskular kecil) dari arteriole retina. Akibatnya terjadi
perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Ganguan penglihatan lainnya adalah katarak disebabkan komplikasi dari penyakit diabetes melitus (katarak
komplikata). Pada katarak komplikata akibat DM ini, terjadi penimbunan sorbitol dalam lensa oleh karena kekurangan

insulin. Perlu diketahui, bahwa hiperglikemi pada DM menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan
jaringan yang dapat mentranspor glukosa tanpa memerlukan insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan
diubah menjadi sorbitol yang akan tertumpuk dalam sel/jaringan dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi
jaringan tersebut. Penumpukan sorbitol pada lensa ini mengakibatkan katarak dan kebutaan.
Kedua penyakit tersebut merupakan faktor resiko intrinsik sebagai komplikasi DM. Pasien pada skenario dianjurkan
untuk operasi mata akan tetapi pasien selalu menolak. Sementara itu, retinopati diabetik dan katarak sebenarnya dapat
diobati jika ditangani lebih dini. Katarak dapat dioperasi dengan cara memasang lensa artifisial, sedangkan retinopati
diabetik dapat diobati dengan fotokoagulasi retina di mana sinar laser difokuskan pada retina sehingga menghasilkan
parut korioretinal yang di tempatkan dikutub posterior retina. Pengobatan ini juga dapat menekan neovaskularisasi dan
perdarahan yang terjadi pada retinopati diabetik. Oleh karena tidak diobati, maka mata pasien tersebut menjadi kabur
dan dapat menyebabkan pasien terjatuh, apalagi jika didukung oleh kelemahan otot akibat proses penuaan dan faktor
lingkungan, seperti lantai yang licin, dan sebagainya.
Neuropati Diabetik
Diabetes melitus seringkali juga menimbulkan komplikasi di susunan saraf pusat dan perifer. Baik di pusat maupun
perifer, kerusakan akibat diabetes melitus bersifat sekunder yaitu melalui vaskulitis. Karena itu, endotelium arteriarteri menjadi rusak yang mempermudah pembentukan trombus. Permeabilitasnya menjadi lebih besar yang
memperbesar kemungkinan masuknya mikroorganisme dan toksin dari sawar darah otak dan mempermudah
terbentuknya mikro-aneurisme.
Neuropati diabetika merupakan komplikasi vaskulitis di susunan saraf perifer. Anoksia akibat mikrotrombosis dan
mudah terkena substansi toksik merupakan mekanisme yang mendasari disfungsi susunan saraf perifer, terutama
komponen sensoriknya.

Neuropati diabetik, selain sebagai komplikasi dari vaskulitis juga disebabkan karena pada jaringan saraf terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu aktivitas metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan kehilangan
akson. Akibatnya, kecepatan konduksi motorik akan berkurang, selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya
sensasi getar dan proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam dan
kelemahan otot. Hal-hal tersebut dapat memungkinkan pasien lansia pada kasus mengalami jatuh.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik bermanifestasi secara dini sebagai proteinuria dan merupakan komplikasi dari penyakit hipertensi
yang mengenai ginjal. Selain itu, pada nefropati diabetik, terjadi kebocoran pembuluh darah glomerulus akibat
penyakit diabetes sehingga glukosa dapat keluar bersama urin dan terjadilah glukosuria.
Jatuh yang dialami oleh penderita usia lanjut pada skenario kemungkinan disebabkan oleh karena banyaknya glukosa
darah yang terbuang melalui urin akibat nefropati diabetik sehingga kadar glukosa dalam darah kurang. Terlebih lagi
jika ternyata pada anamnesis tambahan, pasien seringkali melakukan aktivitas fisik yang cukup berat untuk orang
seusianya tanpa didukung asupan makanan yang adekuat disertai mengkonsumsi obat antidiabetik, maka akan terjadi
hipoglikemia dan otak kekurangan gukosa sebagai satu-satunya sumber energi sehingga mengakibatkankan pasien
tersebut jatuh.
Hipoglikemi
Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita yang tidak mendapat dosis obat antidiabetik yang tepat, tidak makan cukup
atau dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh mekanisme
kompensasi dalam tubuh berkurang dan asupan makanan yang tidak adekuat karena kurangnya nafsu makan yang
umumnya terjadi pada orang tua. Selain itu, hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahanlahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma yang
jika berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat penurunan ekskresi dan metabolisme klorpropamid (salah satu obat antidiabetik
oral golongan sulfonilurea dengan waktu paruh yang lama) pada usia lanjut. Oleh karena itu, pasien pada skenario
kemungkinan terjatuh akibat hipoglikemi setelah mengkonsumsi obat antidiabetik oral tersebut sebagaimana telah
dijelaskan di atas.

Hiperglikemia
Hiperglikemia juga dapat menyebabkan jatuh pada pasien tersebut. Akan tetapi, sebelum menyimpulkan bahwa pasien
jatuh oleh karena hiperglikemia, perlu anamnesis tambahan apakah pasien meminum obat antidiabetiknya teratur atau
tidak, bagaimana aktivitasnya sehari-hari dan jumlah kalori dan kandungan glukosa makanan yang dikonsumsinya
sehari-hari. Jika ternyata pasien tidak patuh meminum obat sesuai yang dianjurkan oleh dokter (jarang minum obat),
disertai aktivitas fisik yang kurang, misalnya kurang olahraga dan sering diet dengan makanan tinggi kalori, maka
kemungkinan pasien jatuh oleh karena hiperglikemi meskipun ia minum obat.
Selain itu, penyakit DM juga dapat mencetuskan terjadinya atherosklerosis. Resistensi insulin yang terjadi pada
penderita DM bertambah dengan semakin bertambahnya usia. Resistensi insulin ini akan meningkatkan sintesis VLDL
di hati dan pada gilirannya akan menaikkan kadar trigliserid dalam darah. Kenaikan VLDL ini sedikit banyak juga
akan menyebabkan kenaikan LDL karena pada proses metabolismenya, dari VLDL melalui IDL akhirnya akan
terbentuk LDL. IDL dan LDL ini bersifat aterogenik yang akan mengakibatkan terbentuknya plak atherosklerosis pada
pembuluh darah. Jika atherosklerosis ini terdapat pada pembuluh darah otak, maka perfusi di otak kurang, otak
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga dapat menyebabkan jatuh.
Obat Antidiabetik Oral
Pengaruh obat antidiabetik oral terhadap jatuhnya pasien sebagian telah dijelaskan di atas. Namun demikian, selain
oleh karena proses penyakit (patologis), terjadinya perubahan farmakodinamik pada lansia terhadap obat-obatan yang
dikonsumsi di dalam tubuh penderita juga berperan penting dalam kasus ini. Perubahan-perubahan tersebut melalui
beberapa mekanisme, antara lain: terjadi perubahan jumlah reseptor obat, perubahan afinitas, transduksi sinyal dan
perubahan target organ obat pada lansia. Hal ini mungkin bisa menjelaskan bahwa meskipun penderita meminum obat
antidiabetik oralnya, efek obat tersebut dalam tubuh tidak maksimal. Adanya polifarmasi yang terjadi pada usia lanjut

yang menyebabkan terjadinya interaksi antara obat yang satu dengan yang lainnya, dapat menimbulkan
hipoglikemia/hiperglikemia yang dapat memperbesar kemungkinan jatuhnya penderita tersebut.
ANALISA DAN SINTESA SEMUA INFORMASI
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar pasien pada skenario mengalami jatuh disebabkan
oleh gangguan penglihatan yang dialami sebagai komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dialami oleh pasien.
Meskipun telah mendapatkan terapi pengobatan dari dokter mengenai
penyakitnya, akan tetapi kemungkinan pasien tidak teratur dalam meminum obatnya, baik karena kekurangan dosis
akibat jarang minum obat maupun kelebihan dosis akibat menurunnya daya ingat yang terjadi pada usia lanjut akibat
proses menua sehingga dia tidak lupa apakah sudah minum obat atau belum. Selain itu, ketidakdisiplinan dalam
meminum obat bisa jadi disebabkan karena kurangnya perhatian keluarga dalam hal ini. Untuk itu perlu anamnesis
tambahan mengenai bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarganya yang terdekat. Kemungkinan lain yang
juga bisa menjadi pertimbangan adalah meskipun pasien meminum obatnya dengan teratur, akan tetapi dalam skenario
dikatakan ia kurang nafsu makan, ditambah lagi dengan batuk-batuk dan sesak nafas yang dialaminya yang tentu saja
memerlukan energi yang diperoleh dari makanan, menyebabkan pasien mengalami hipoglikemia yang mengakibatkan
pasien tersebut jatuh.
Semua yang disebutkan di atas dapat memperparah penyakit diabetes melitus yang dialami pasien dan komplikasi
kronik yang bisa timbul dan yang paling mungkin terjadi adalah katarak akibat diabetes melitusnya (katarak
komplikata) sebab di dalam skenario dikatakan bahwa pasien sudah dianjurkan untuk operasi mata tetapi ia selalu
menolak. Akibatnya, ia bisa jatuh karena visusnya menurun di samping karena faktor-faktor lingkungan, seperti
pencahayaan lampu yang tidak baik di rumahnya, dan sebagainya.
1.

jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian mengakibatkan
seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka.

2.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jatuh pada lansia, yaitu : faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

3.

a.

Faktor intrinsik

Yang termasuk dalam faktor intrinsik, yaitu : kondisi fisik dan neuropsikiatri (adanya penyakit SSP seperti
stroke, parkinson) penurunan visus dan pendengaran (fungsi keseimbangan), perubahan neuromuskular (berkurangnya

massa otot, kekauan jaringan penghubung, penurunan range of motion sendi), gaya berjalan, dan refleks
postural karena proses penuaan.
Penuaan dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan neuropsikiatrik manusia karena terdapat perubahanperubahan fungsi anatomi/fisiologik yang semakin menurun, yang bisa menimbulkan berbagai penyakit atau keadaan
patologik hal ini juga pengaruh psiko-sosial pada fungsi organ. Gabungan dari beberapa perubahan-perubahan secara
tidak langsung dapat menyebabkan jatuh pada lansia yang dikarenakan kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang
makin menurun.
Menurut skenario penurunan visus kemungkinan besar terjadi karena pasien menderita katarak diabetik.
katarak diabetik ini merupakan manifestasi tingkat lanjut dari penyakit Diabetes Mellitus yang diderita oleh pasien
usia lanjut. katarak diabetik ini memberikan keluhan penurunan visus berupa penurunan tajam penglihatan secara
progresif dan penglihatan tampak seperti berasap. gejala inilah yang sering dikeluhkan oleh penderita yang menderita

katarak diabetik. penurunan visus ini merupakan salah satu penyebab jatuhnya penderita. penyebab penurunan visus
yanng lain adalah retinopati baik yang diakibatkan oleh penyakit Diabetes mellitus maupun yang disebabkan oleh
Hipertensi. akan tatapi diskenario disebutkan bahwa pasien sudah sejak lama dianjurkan untuk operasi mata, tetapi
pasien selalu menolak. hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan penglihatan dalam hal ini penurunan
visus yang perlangsungannya kronik/progresif, sedangkan pada retinopati penurunan visus terjadi secara tiba-tiba jadi
penyebab ini dijatuhkan.
Perubahan gaya berjalan terjadi seiring denan meningkatnya usia. Kendati perubahan tersebut tidak telalu
menonjol untuk dianggap patologis, kondisi perubahan gaya berjalan tersebut dapat meningkatkan kejadian jatuh. Pada
umumnya orang usia lanjut tidak dapat mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga cenderung mudah
terantuk (trip). Orang usia lanjut laki-laki cenderung memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah
pendek-pendek ( wide-based, short stepped gaits), sedangkan perempuan usia lanjut sering kali berjalan dengan kedua
kaki yang menyempit ( narrow based ) dan gaya bergoyang-goyang ( waddling gait). Orang usia lanjut cenderung
untuk berjalan lebih lambat dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah langkah per unit
waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan ,sertaterdapat peningkatan ayunan postural. Pada usia lanjut yang sehat,
kecepatan berjalan menurun 1-2% tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya panjang langkah dan jarak satu
siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan rotasi pelvis menurun, serta periode double support
meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan
berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali resiko untuk jatuh.
Stategi postural yang sering digunakan pada usia lanjut adalah strategi panggul, oleh karena penggunaan
strategi pergelangan kaki membutuhkan informasi somatosensorik yang adekuat semetara pada usia lanjut mungkin
terdapat kelemahan sendi atau sulit melakukan rotasi pada pergelangan kaki, hilangnya sensasi somatosensorik perifer,
dan kelemahan otot distal. Walaupun demikian, penggunaan strategi panggul membutuhkan informasi verstibuler yang
adekuat dan gerakan pada panggul akan meningkatkan gaya horisontal antara pijakan dan telapak kaki sehingga risiko
untuk terpeleset dan jatuh menjadi lebih besar. Jika respon ayunan postural tidak dapat mempertahankan
keseimnbangan saat ada gangguan dan diperlukam strategi melangkah, usia lanjut cenderung melakukan beberapa
langkah untuk mengembalikan keseimbangan
Sinkop, drop attacks, dan dizziness merupakan penyebab jatuh pada orang usia lanjut yang sering disebutsebut. Beberapa penyebab sinkop pada orang usia lanjut yang perlu dikenali antara lain respons vasovagal, gangguan
kardiovaskular (bradi dan takiaritmia, stenosis aorta), gangguan neurologis akut (TIA, strok, atau kejang), emboli paru,
dan gangguan metabolik.

Drop attacks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan
kasadaran. Kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh perubahan posisi
kepala.

Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh orang usia lanjut yang
mengalami jatuh. Pasien yang mengeluh rasa ringan di kepala harus dievaluasi secermat mungkin akan adanya
hipotensi postural atau deplesi volume intravaskular. Di sisi lain, vertigo merupakan gejala yang lebih spesifik
walaupun merupakan pemicu jatuh yang lebih jarang. Kondisi ini dikaitkan dengan kelainan pada telinga bagian dalam
seperti labirinitis, penyakit Meniere, dan BPPV. Isemia dan infark vertebrobasiler, serta infark serebelum juga dapat
menyebabkan vertigo.
Kebanyakan pasien usia lanjut dengan gejala dizziness dan unsteadiness meraa cemas, depresi, sangat takut
jatuh, sehingga evaluasi gejala mereka menjadi sulit. Beberapa pasien, terutama pada mereka dengan gejala ke arajh
vertigo, memerlukan pemeriksaan otologi, termasuk uji auditori, yang dapat membedakan lebih jelas antara gejala
akibat gangguan telinga dalam atau adanya keterlibatan sistem saraf pusat.

Sekitar 10-20% orang usia lanjut mengalami hipotensi ortostatik yang sebagian besar tidak bergejala. Namun
demikian, beberapa kondisi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh.
Kondisi-kondisi tersebut antara lain curah jantung rendah akibat gagal jantung atau hipovolemia, disfungsi otonom
(sebagai akibat diabetes mellitus), gangguan aliran balik vena (insufisiensi vena), tirah baring lama dengan
deconditioning otot dan refleks, serta beberapa obat. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi perlu dipahami
sehingga tatalaksana hipertensi yang baik amat diperlukan untuk mencegah timbulnya hipotensi ortostatik tersebut.
Berbagai penyakit, terutama penyakit kardiovaskkular dan neurologis, dapat berkaitan dengan jatuh. Sinkop
dapat merupakan gejala stenosis aorta dan merupakan indikasi perlunya evaluasi pasien akan adanya stenosis aorta
yang memerlukan penggantian katup. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan
mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, atau berkemih sehingga terjadi
bradikardia atau hipotensi.
Stroke akut dapat menyebabkan jatuh atau memberikan gejala jauth. TIA sirkulasi anterior dapat
menyebabkan kelemahan unilateral dan memicu jatuh. TIA sirkulasi posterior (vertebrobasiler) mungkin juga dapt
mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan satu atau lebih lapangan pandang. Insufisiensi vertebrobasiler
seringkali disebut sebagsi penyebab drop attacks ; kompresi mekanik arteri vertebralis olehosteofit spina vertebra
servikal manakala kepala diputar disebutkan pula sebagai penyebab ketidak stabilan dan jatuh.
Penyakit lain pada otak dan sistem saraf pusat dapat pula menyebabkan jatuh. Penyakit Parkinson dan
Hidrosefalus tekanan normal menyebabkan instabilitas dan jatuh. Gangguan serebelum, tumor intrakranial, dan
hematoma subdural juga menyebabkan ketidakstabilan (unsteadiness) dengan kecenderungan mudah jatuh.
b.

Faktor Ekstrinsik
Yang termasuk dalam faktor ekstrinsik, yaitu : obat-obatan yang diminum (diuretik, jantung, anti depresan,
sedatif, hipoglikemia, anti psikotik), alat-alat bantu berjalan, lingkungan yang tidak mendukung, dan konsumsi
alkohol.
Berbagai faktor lingkungan tersebut antara lain lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah,
atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi / closer
terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel yang berserakan di lantai,
karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang terantuk.

Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh pada orang usia lanjut. Misalnya obat diuretika yang
dikonsumsi menyebabkan seseorang berulang kali ke kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk dari obat
sedatif sehingga seseorang menjadi waspada saat berjalan.
Alat bantu berjalan yang kurang tepat untuk para lansia, memungkinkan terjadinya jatuh, oleh karena itu
pemilihan alat bantu dapat disesuaikan dengan keadaan fisik lansia, dan penyakit yang diderita

3.
a.

Hubungan riwayat penyakit dengan terjadinya jatuh.

Penderita pernah mengalami stroke, apabila bagian otak yang terkena adalah lobus kanan, maka kaki kiri pasien bisa
mengalami lumpuh, sehingga kaki kanan pasien lebih sering dipakai atau untuk bertumpu.

b.

Pasien mungkin menderita Osteoartritis, oleh karena itu memerlukan anamnesis dan pemeriksaan tambahan

c.

Pasien menderita DM, penderita DM terkadang memiliki masalah berupa retinopati diabetik yang dapat
menyebabkan visus menurun, sementara penglihatan memegang peranan penting dalam menerima rangsangan
propioseptif yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan.

d.

Pasien menderita penyakit jantung. Penyakit jantung yang biasa terjadi pada lanjut usia, yaitu penyakit jantung
koroner, payah jantung, penyakit jantung hipertensi, aritmia, dan stenosis aorta. Penyakit jantung tersebut dapat
menyebabkan penurunan curah jantung sehingga terjasi penurunan distribusi oksigen pada seluruh jaringan termasuk
otak sehigga bisa menimbulkan sinkop. Hal tersebut dapat menjadi faktor resiko terjadinya jatuh.

e.

Kemungkinan adanya pengaruh menopause, dimana jumlah estrogen menurun, sehingga aktifitas osteoklas
meningkat dan menyebabkan peningkatan degradasi matriks tulang (osteoporosis), sehingga jika pasien jatuh,
gampang terjadi fraktur dan nyeri.

4.
a.

Pengaruh obat-obat terhadap kondisi pasien

Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik (tibatiba jatuh dari posisi jongkok/duduk mau berdiri).

b.

Obat hipoglikemi oral dapat menyebabkan hipoglikemi akut

c.

Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik
(pasien tiba-tiba jatuh dari posisi jongkok / duduk mau berdiri), contoh : diuretik menyebabkan orang berulang kali
harus ke kamar kecil untuk BAK, selain itu dapat pula menyebabkan syok hipovolemik.

d.

Penggunaan obat NSAID untuk mengobati rematik meningkatkan faktor resiko osteoporosis sehingga apabila pasien
jatuh, besar kemungkinan terjadi fraktur dan nyeri.

5.

Anamnesis tambahan

a.

Aktivitas pada saat terjatuh

b.

Gejala sebelumnya, misalnya rasa pusing, palpitasi, sesak napas, nyeri dada, lemah, konfusi, inkontinensia, hilangnya
kesadaran, menggigit lidah

c.

Lokasi terjatuh

d.

Saksi saat terjatuh

e.

Riwayat medis yang lalu

f.

Penggunaan obat

6.

Pemeriksaan fisis

a.

Tekanan darah dan denyut jantung, saat berbaring dan berdiri

b.

Ketajaman visual, lapangan pandang, pemeriksaan low-vision

c.

Kardiovaskular

d.

Aritmia, murmur, bruit

e.

Anggota gerak

f.

Penyakit sendi degeneratif, vena varikosa, edema, gangguan kaki (pediatrik), sepatu yang tidak berukuran sesuai

g.

Neurologis

h.

Termasuk pemeriksaan cara berjalan dan keseimbangan, misalnya duduk atau bangkit dari tempat duduk, berjalan,
membungkuk, berputar, meraih, menaiki dan menuruni tangga, berdiri dengan mata tertutup (tes Romberg),tekanan
sterna

7.
a.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis

1)

Foto X-ray pelvis dan genu

2)

Foto bone density

b.

Pemeriksaan laboratorium

1)

Darah tepi

2)

Elektrolit

3)

Gula darah

4)

Kadar Kalsium

c.

Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)

8.
a.

Penatalaksanaan dan Pencegahan

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari kasus di atas yaitu dengan menghindari semua yang menjadi faktor resiko jatuh, seperti
faktor lingkungan. Lingkungan yang tidak kondusif harus dihindari agar pasien aman. Segala aktivitas yang dilakukan
pasien harus diawasi. Hal ini dilakukan agar mencegah terjadinya kemungkinan terburuk seperti kasus di atas.
Penggunaan obat sehubungan dengan riwayat penyakit pasien harus kita kontrol dengan memperhatikan
waktu pemberian dan besar dosisnya.
Apabila pada pemeriksaan didapatkan fraktur, maka dilakukan terapi operatif. Setelah tindakan bedah
dilakukan, apabila diperlukan rehabilitasi medis maka hal tersebut dapat dilakukan. Dapat pula diberikan kalsium dan
vitamin D secara oral apabila terdapat tanda-tanda osteoporosis.

1)

Operasi.
Jika pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya fraktur yang disebabkan karena pasien terjatuh
( terpeleset ) khususnya fraktur tulang belakang yang mengakibatkan kompresi pada saraf sehingga kedua tungkai
tidak dapat digerakkan,merupakan indikasi untuk dilakukan operasi mis: fiksasi internal nerve root,spinal cord.

2)

Hospitalisasi (perawatan di rumah sakit).


Hal ini bertujuan untuk memudahkan penanganan pasien khususnya dengan fraktur akut ( immobilisasi )
yang beresiko tinggi yang juga disertai dengan penyakit kronik,yang membutuhkan perawatan intensif.

3)

Operasi mata ( operasi katarak).


Gangguan penglihatan pada pasien ini kemungkinan besar berupa katarak senilis. Operasi dapat dilakukan
jika pasien & keluarganya menyetujui dan kondisi kesehatan pasien memungkinkan. Tindakan

ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang selama ini terganggu akibat gangguan penglihatan
( kemungkinan salah satu penyebab pasien terjatuh ).
Indikasi operasi katarak :

Gangguan penglihatan dengan Snellen aquity ( visus ) 20/50 atau dibawahnya.

Ketidakmampuan salah satu mata untuk melihat.


Kontraindikasi :

Jika penglihatan pasien dapat dikoreksi dengan penggunaan kaca mata atau alat bantu lainnya.

Kondisi kesehatan pasien tidak memungkinkan.

4)

Fisioterapi.
Setelah dilakukan tindakan operasi untuk mengatasi fraktur dibutuhkan fisioterapi ( rehabilitasi ) yang
penting untuk mengembalikan fungsi alat gerak dan mengurangi disabilitas selama masa penyembuhan. Penggunaan
alat bantu berjalan misalnya tongkat biasanya dibutuhkan untuk membantu permulaan berjalan kembali dan untuk
mendukung aktifitas sehari-hari lainnya.

5)

Perbaikan status gizi.


Penyusunan menu disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien setiap harinya dan kemampuan untuk
mencerna makanan. Pemberian makanan diberikan secara bertahap.dimulai dengan porsi kecil tetapi sesering mungkin
diberikan.

6)

Kontrol penyakit dan penggunaan obat-obatan.


Hindari polifarmasi yang justru lebih banyak menimbulkan efek samping,khususnya pada pasien beresiko
tinggi.

7)

Pendidikan keluarga.
Jika fraktur yang diderita oleh pasien mengharuskan immobilisasi untuk beberapa lama.keluarga harus
senantiasa mengawasi,merawat pasien dengan mencegah pasien terlalu banyak berbaring ( posisi diubah-ubah ) untuk
mencegah dekubitus dan penyakit iatrogenik. Berikan perhatian dan kasih sayang agar pasien tidak merasa terisolasi
dan depresi.

Penilaian dan Faktor Resiko

Tatalaksana

Lingkungan saat jatuh sebelumnya

Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk


mengurangi kemungkinan jatuh berulang

Konsumsi obat-obatan

Review dan kurangi konsumsi obat-obatan

Obat-obat beresiko tinggi (benzodiazepin, obat tidur


lain, neuroleptik, antidepresi, antikonvulsi, atau
antiaritmia kelas IA)
Konsumsi 4 macam obat atau lebih

Penglihatan
Visus < 20 / 60

Penerangan yang tidak menyilaukan ; hindari


pemakaian kacamata multifokal saat berjalan ; rujuk
ke dokter spesialis mata

Penurunan persepsi kedalaman (depth perception)


Penurunan sensitivitas terhadap kontras
Katarak

Tekanan darah postural (setelah 5 menit dalam posisi


berbarnig / supine, segera setelah berdiri, dan 2 menit
setelah berdiri) tekanan sistolik turun 20 mmHg (atau
20%), dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2
menit berdiri

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika


memungknkan ; review dan kurangi obat-obatan ;
modifikasi dan restriksi garam ; hidrasi yang
adekuat ; strategi kompensasi (elevasi bagian kepala
tepat tidur, bangkit perlahan atau latihan
dorsofleksi) ; stoking kompresi ; terapi farmakologis
jika strategi di atas gagal

Keseimbangan dan gaya berjalan

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika


memungknkan ; kurangi obat-obatan yang
mengganggu keseimbangan ; intervensi lingkungan ;
rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan
latihan keseimbangan dan gaya berjalan

Laporan pasien atau observasi adanya ketidakstabilan


Gangguan pada penilaian singakt (uji get up and go
atau performance-oriented assessment of mobility)

Pemeriksaan neurologis
Gangguan proprioseptif
Gangguan kognitif
Penurunan kekuatan otot

Pemeriksaan muskuloskeletal : pemeriksaan tungkai


(sendi dan lingkup gerak sendi) dan pemeriksaan kaki

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika


memungknkan ; tingkatkan input proprioseptif
(dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak
rendah dan bersol tipis) ; kurangi obat-obatan yang
mengganggu fungsi kognitif ; kewaspadaan
pendamping mengenai adanya defisit kognitif,
kurangi faktor risiko lingkungan ; rujuk ke
rehabilitasi medik untuk latihan gaya berjalan,
keseimbangan, dan kekuatan

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika


memungknkan ; rujuk ke rehabilitasi medik untuk
latihan kekuatan, lingkup gerakan sendi, gaya
berjalan, dan keseimbangan serta alat untuk bantu ;
gunakan alas kaki yang sesuai ; rujuk ke podiatrist

Pemeriksaan kardiovaskular

Rujuk ke dokter spesialis jantung ; pemijatan sinus


karotis (pada kasus sinkop)

Sinkop
Aritmia (jika telah diketahui adanya penyakit
kardiovaskular, terdapat EKG yang abnormal, dan
sinkop)

Evaluasi terhadap bahaya di rumah setelah dipulangkan


dari rumah sakit

Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan lampu


malam hari, bathmats yang tidak licin, dan pegangan
tangga ; intervensi lain yang diperlukan

b.

Pencegahan

1)

Identifikasi faktor resiko

a)

Pemeriksaan faktor intrinsik risiko jatuh, assesmen keadaan neurologi, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang
mendasari.

b)

Pemeriksaan faktor ekstrinsik, lingkungan rumah yang berbahaya harus dihilangkan, penerangan rumah harus cukup,
lantai datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang mungkin sulit dilihat. Kamar mandi dibuat tidak licin,
diberi pegangan pada dindingnya

c)

Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan dapat diberikan secara
selektif.

d)

Alat bantu berjalan baik berupa tongkat, tripod, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman
tidak mudah brgeser serta sesuai dengan tinggi badan lansia

2)

Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Penilaian postural sway sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan
badan pada saat berjalan sangat beresiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan dari rehabilitasi medik. Penilaian gaya
berjalan juga harus dilakukan dengan cermat :

Apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah

Apakah penderita mengangkat kakinya dengan benar pada saat berjalan

Apakah kekuatan otot extremitas bawah penderita cukup kuat untuk berjalan tanpa bantuan
Bila terdapat penurunan dalam kesemuanya diatas maka perlu dikoreksi.

3)

Mengatur / mengatasi faktor situasional

Faktor situasional yang bersifat akut/eksaserbasi akut penyakit yang diderita lansia dapat dicegah dengan
pemeriksaan kesehatan lansia secara periodik.

Anda mungkin juga menyukai