Anda di halaman 1dari 15

SEMINAR MANAJEMEN PERPAJAKAN

EKUALISASI INFORMASI ANTARA SPT TAHUNAN PPh


BADAN, SPT MASA PPh, DAN SPT MASA PPN

oleh
Risa Kurnia
Anisa Amelia
Novi Haryani

1210532063
1210532069
1210533027

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS ANDALAS
2015
PENDAHULUAN
Ekualisasi pajak adalah pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis
pajak dengan jenis pajak yang lain yang memiliki hubungan, yang dimaksud
hubungan disini adalah elemen laporan suatu jenis pajak merupakan bagian dari
laporan jenis pajak yang lain (baik itu sebagian maupun keseluruhan).

Adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT Tahunan


PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi dapat diterapkan untuk kepentingan pajak
penghasilan. Sebagai contoh, penghitungan persediaan barang dagangan, peraturan
perpajakan di Indonesia yang berlaku sekarang hanya membolehkan metode FIFO
(first in first out) dan metode rata-rata (average). Jika Wajib Pajak menggunakan
metode persesedian LIFO (last in first out) maka nilai persediaan Wajib Pajak harus
dikoreksi. Akan ada perbedaan pengakuan antara fiskal dan komersial.
Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan
keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap perpedaan
angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak wajib
harus mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan berdasar. Berdasar maksudnya,
bahwa perbedaan tersebut dikarenakan peraturan perpajakan yang berlaku, baik
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun
keputusan direktur jenderal pajak.

Ekualisasi Peredaran Usaha Sesuai SPT Badan dengan Peredaran


Usaha Sesuai SPT PPn
Ekualisasi pajak adalah pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis
pajak dengan jenis pajak yang lain yang memiliki hubungan, yang dimaksud
hubungan disini adalah elemen laporan suatu jenis pajak merupakan bagian dari
laporan jenis pajak yang lain ( baik itu sebagian maupun keseluruhan ).
Sebagian besar pemeriksa pajak, ketika menerima SPT Masa PPN selalu
melihat dulu SPT Masa Desember. Dilihatnya kolom s.d. bulan ini. Seandainya
angka di kolom tersebut tidak sama dengan angka di SPT Tahunan PPh Badan, maka
timbul pertanyaan, kenapa? Kenapa angkanya berbeda? Itulah yang harus dijawab
dengan cara equalisasi SPT Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh Badan.

Sebagian Wajib Pajak, karena bidang usahanya, mengharuskan angka pos


peredaran usaha SPT Tahunan PPh Badan sama penyerahan menurut SPT Masa PPN.
Tetapi sebagian lagi tidak memungkinkan adanya persamaan karena sebab-sebab
sebagai berikut:
a). Penjualan dengan mata uang asing.
Kurs yang dipakai di SPT Tahunan PPh Badan adalah kurs tengah BI.
Antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan khusus tentang
kurs sama, yaitu pengakuan pendapatan dan biaya menggunakan kurs
tengah BI. Sedangkan SPT Masa PPN harus menggunakan kurs yang
telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap minggunya. Kita
mengenalnya kurs KMK. Selain untuk PPN, kurs KMK juga digunakan
untuk pembayaran pajak lainnya. Jika pembayaran kita menggunakan
mata uang asing, dan pembayaran tersebut terutang PPh Pasal 26 maka
akan ada perbedaan angkan antara pengakuan biaya dengan dasar
pengenaan pajak PPh Pasal 26. Sekali lagi, penyebabnya adalah kurs
KMK dan kurs tengah BI. Dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26 wajib
menggunakan kurs KMK saat (pada) tanggal pembayaran (tanggal SSP,
cash basis) sedangkan pengakuran biaya menggunakan kurs tengah BI
saat diakui (acrual basis).
b). Penghasilan lain-lain menjadi objek PPN.
Mungkin Wajib Pajak selalu menghasilkan produk sampingan. Baik
karena limbah pabrik maupun karena kualitas produk yang tidak sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Contohnya pabrik mebel yang
menghasilan kayu-kayu kecil yang dapat dijual. Produk seperti ini ketika
dijual, hasil penjualannya tentu dimasukkan ke dalam pos penghasilan
lain-lain. Tetapi penjualan tersebut jelas terutang PPN. Jadi harus
dilaporkan di SPT Masa PPN.
c). Ada penyerahan cabang dan ada SPT Masa PPN lokasi.
SPT Masa PPN biasanya per lokasi tertentu kecuali ada sentralisasi
pelaporan PPN. Jika terdapat banyak cabang, tidak serta merta
penjumlahan semua SPT Masa PPN lokasi harus sama dengan SPT
Tahunan PPh Badan. Peredaran usaha adalah penyerahan produk ke

konsumen langsung, sedangkan SPT Masa PPN tidak hanya penyerahan


produk ke konsumen tetapi penyerahan produk dari pusat ke cabang atau
dari cabang ke cabang lainnya. Jadi harus hati-hati.
d). Ada penghasilan diterima dimuka.
Saat terutang pajak biasanya saat penyerahan atau saat diterima uang.
Mana yang lebih dahulu. Begitu juga dengan PPN. Kita mesti cutoff kapan saat terutang PPN. Seandainya ada uang muka penjualan yang
penyerahannya mungkin tiga bulan kemudian, pada akhir tahun uang
muka tersebut harus dihitung sebagai objek PPN yang harus dibayar.
e). Pemakaian sendiri dan bonus.
Pemakaian sendiri, pemakaian cuma-cuma atau bonus di laporan
keuangan adalah biaya. Sedangkan di SPT Masa PPN, pemakaian
produks sendiri merupakan objek PPN. Seperti pabrik minuman, kadang
ada produk yang tidak dapat dijual karena dibawah standar mutu yang
ditetapkan (produk BS), kemudian produk BS tersebut dibagikan ke
karyawan. Ini terutang PPN. Atau mungkin Wajib Pajak memberikan
produknya secara cuma-cuma untuk kegiatan amal. Ini juga terutang
f).

PPN.
Beda waktu pelaporan.
Seringkali pembelian barang dagangan dibayar 30 hari sejak
transaksi. Dan faktur pajak standar dibuat selambat-lambatnya akhir
bulan berikutnya setelah bulan dilakukan penyerahan. Misalnya transaksi
tanggal 23 April, mungkin baru dibayar tanggal 23 Mei. Dan bisa saja
dibuat faktur pajak pada tanggal 31 Mei. Transaksi ini dilaporkan
selambat-lambatnya tanggal 20 Juni. Jadi, transaksi bulan Desember
dapat dibuatkan faktur pajak bulan Januari tahun berikutnya, SPT Masa
PPN bulan Januari.
Dari contoh ini jelas, bahwa transaksi bulan Desember, secara
akuntansi harus diakui pada bulan Desember ( tahun yang bersangkutan )
sedangkan pelaporan PPN baru dapat dilaksanakan pada SPT Masa PPN
bulan Januari tahun berikutnya. Tentu akan terjadi perbedaan angka antara

peredaran usaha di SPT Tahunan PPh Badan dengan penyerahan barang


di SPT Masa PPN.
Daripada repot ketika diperiksa oleh kantor pajak, Wajib Pajak
harus menguraikan perbedaan-perbedaan antara SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPN. Mungkin angka SPT Masa PPN lebih kecil
daripada angka SPT Tahunan PPh Badan, kemudian pemeriksa tidak
mengetahui penyebab perbedaan tersebut, maka pemeriksa pajak dapat
serta merta mengoreksi objek PPN. Karena menurutnya, angka di SPT
Tahunan PPh Badan harus sama dengan angka di SPT Masa PPN!
Padahal mungkin saja karena perbedaan kurs saja, atau karena beda waktu
pelaporan.
Satu hal yang berkaitan dengan selisih kurs, Wajib Pajak wajib
membuat rekapitulasi perhitungan selisih kurs agar siapa pun yang
memeriksa mengetahui asal muasal angka selisih kurs
Ekualisasi yang biasa dilakukan dalam proses pemeriksaan ada 2 (dua) yaitu :
a.

Ekualisasi PPn dengan Omset (Penjualan) PPh Pasal 25 & 29.


Ini adalah ekualisasi yang memeriksa antara Laporan PPn dengan
Pengakuan Omset (Penjualan) Dalam Negeri perusahaan. Perhatikan
Screen shoot dibawah ini :

Temuan Penjualan sebesar Rp 8,593,213,094,- pada Laporan PPh


Pasal 29, harus diikuti dengan temuan penjualan sejumlah yang kurang lebih
sama pada Laporan PPn. Karena Wajib Pajak hanya mengakui penjualan
sebesar Rp 3,160,772,250 saja pada Laporan PPh Pasal 29 nya, maka
pemeriksa melakukan koreksi sebesar Rp 5,432,440,844. Pada PPn pun
pemeriksa juga melakukan koreksi yang kurang lebih sama dengan yang
dilakukan pada PPh Pasal 29 nya. Dengan demikian maka Laporan PPn
dengan Laporan PPh Pasal 29-nya sudah equal atau Sesuaiatau
berimbang.
b.

Ekualisasi PPh Pasal 21 dengan Pengakuan Biaya Gaji dan Upah Tenaga
Kerja Langsung pada "Laporan Laba Rugi".
Ini adalah Penyeimbangan antara Laporan PPh Pasal 21 dengan
Ongkos Tenaga Kerja Langsung (Direct Labour Cost) dan Biaya Gaji
(Payroll Expenses). Perhatikan screen shoot dibawah :

Pada SPT PPh Pasal 21 nya, wajib pajak ( Perusahaan) melaporkan


adanya Penghasilan Bruto Karyawan hanya sebesar Rp 1,886,635,413 saja.
Sementara itu, pemeriksa menemukan pengakuan Upah
Langsung sebesar Rp 881,301,625,- dan Biaya Gaji sebesar Rp
1,109,454,000,- sehingga total Obyek PPh Pasal 21 diakui oleh WP
(Perusahaan) seharusnya sebesar Rp 1,990,755,625,-. Untuk itu pemeriksa
melakukan koreksi atas Penghasilan Bruto pada laporan PPh Pasal 21 WP
sebesar Rp 104,120,212,- .
Cara Melakukan Ekualisasi :
Penyerahan Barang dan Jasa menurut SPT Masa PPN selama 12 bulan :
Penyerahan Terutang PPN

a. Ekspor (tarif 0%)

b. Penyerahan yang PPN -nya harus dipungut sendiri

c. Penyerahan yang PPN -nya dipungut oleh Pemungut PPN

d. Penyerahan yang PPN -nya tidak dipungut

e. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN

f. Jumlah penyerahan terutang PPN

g. Jumlah penyerahan tidak terutang PPN

h. Jumlah seluruh penyerahan

Jumlah Peredaran Usaha menurut SPT PPh

5.2

a. Penjualan bruto

b. Potongan penjualan

(J)

c. Retur penjualan

(K)

d. Penjualan neto

e. Ekspor

f. Jumlah peredaran usaha

Selisih

Ekualisasi Biaya Biaya dalam Laporan Keuangan yang


Berkaitan dengan PPh Pot/Put dengan SPT PPH Pot/Put Pasal
21/26, 22, dan 23/26
SPT Tahunan PPh Badan
Walaupun pada hakikatnya semua pajak berasal dari penghasilan tetapi Pajak
Penghasilan atau Income Tax memiliki kekhasan tersendiri karena cara
penghitungannya sangat dekat dengan disiplin ilmu akuntansi. Di negara kita,
standar akuntansi ditentukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dan
standar tersebut diakui sebagai praktek akuntansi yang paling adil dan lazim
digunakan didunia bisnis. Selain diakui oleh institusi pengawas pasar modal
(Bapepam), Standar Akuntansi Keuangan Indonesia juga diakui oleh
administrator pajak (Direktorat Jenderal Pajak). Artinya, laporan keuangan

yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik sangat berarti bagi SPT Tahunan
PPh Badan.
Tetapi adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT
Tahunan PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi dapat diterapkan untuk
kepentingan pajak penghasilan. Sebagai contoh, penghitungan persediaan
barang dagangan, peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku sekarang
hanya membolehkan metode FIFO (first in first out) dan metode rata-rata
(average). Jika Wajib Pajak menggunakan metode persesedian LIFO (last in
first out) maka nilai persediaan Wajib Pajak harus dikoreksi. Akan ada
perbedaan pengakuan antara fiskal dan komersial.
Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan
keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap
perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan,
Wajib Pajak wajib kudu mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan
berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan
peraturan perpajakan yang berlaku, baik undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun keputusan direktur jenderal
pajak.
Mulainya harus dari angka-angka komersial, kemudian dikoreksi, baru angkaangka yang disajikan di SPT. Cara membuat equalisasi SPT Tahunan PPh
Badan sebenarnya mirip dengan membuat Neraca Lajur. Jadi ada kolom untuk
nama-nama perkiraan, kolom rupiah menurut laporan keuangan komersian,
kolom koreksi fiskal dan kolom rupiah menurut fiskal. Angka-angka yang ada
di kolom menurut fiskal adalah angka-angka yang disajikan di SPT Tahunan
PPh Badan. Ditambah lagi catatan dibawahnya, peraturan mana yang menjadi
dasar koreksi.
Keuntungan membuat equalisasi seperti diatas adalah kemudahan bagi Wajib
Pajak dan pemeriksa pajak. Mungkin beberapa tahun kemudian setelah SPT
Tahunan PPh Badan disampaikan ke kantor pelayanan pajak, baru nongol
petugas pajak yang akan memeriksa SPT Tahunan PPh Badan anda. Karena
rentang waktu yang lama, kita sering lupa apa yang telah kita kerjakan. Kita

lupa, kenapa angka di SPT Tahunan PPh Badan berbeda dengan laporang
keuangan. Jika kita telah membuat equalisasi, maka kita tidak akan lupa dan
perbedaan-perbedaan tersebut akan mudah dijelaskan kepada pemeriksa
pajak. Wajib Pajak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka tersebut
disertai dengan dasar hukum yang jelas. Sikap seperti ini tentu akan
memberikan kesan kepada pemeriksa pajak bahwa Wajib Pajak tersebut sudah
taat aturan pajak. Ini kredit poin untuk Wajib Pajak.
SPT PPh Pasal 21
Jika equalisasi SPT Tahunan PPh Badan bermula dari laporan
keuangan komersial, maka equalisasi SPT yang lain bermula dari SPT
Tahunan PPh Badan. Pos-pos biaya yang ada di Laporan Laba Rugi yang telah
dituangkan didalam SPT Tahunan PPh Badan harus disinkronkan dengan SPT
Tahunan PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 23 dan 26. Sedangkan Pos
pendapatan (baik pendapatan usaha maupun pendapatan lain-lain) harus
disinkronkan dengan SPT Masa PPN.
PPh Pasal 21 adalah withholding tax yang berkaitan dengan majikan
dan buruh. Majikan akan memotong pajak penghasilan milik buruh dan
menyetorkannya ke kas negara. Kemudian kewajiban penghitungan,
pemotongan dan pembayaran pajak penghasilan buruh selama satu tahun
tersebut dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Banyak Wajib Pajak yang mencampurkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal
21. Padahal keduanya jenis pajak yang berbeda. Menurut Prof. R. Mansyuri,
Phd yang terlibat langsung dalam tax reform tahun 1985, bahwa Pasal 21 UU
PPh dimaksudkan sebagai prosedur pelunasan pajak atas penghasilan yang
diperoleh seseorang karena bekerja. Syaratnya : ada majikan dan buruh,
hubungan keduanya tidak setara. Majikan tentu lebih tinggi daripada buruh.
Majikan dalam posisi memberi perintah dan buruh dalam posisi yang
diperintah. Karena klasifikasikan begitu, maka pembayaran kepada konsultan
profesional bukanlah objek PPh Pasal 21 karena tidak ada majikan buruh
dan posisinya setara.

Kalau kita sudah dapat membedakan mana objek PPh Pasal 21 dan
mana objek PPh Pasal 23, maka kita dapat menyusun SPT Tahunan PPh Pasal
21 dengan benar. SPT Tahunan ini menjadi patokan bagi pemeriksa pajak,
apakah Wajib Pajak telah melakukan kewajiban perpajakan dengan benar.
Kadang kadang Wajib Pajak lupa memasukkan upah buruh lepas dalam SPT
Tahunan PPh Pasal 21, padahal upah buruh tersebut telah dipotong dan
dilaporkan di SPT Masa PPh Pasal 21. Atau, Wajib Pajak lupa memasukkan
pesangon ke SPT Tahunan padalah di SPT Masa telah dilaporkan. Apa pun
yang telah dilaporkan di SPT Masa, hendaknya dijumlahkan dan dilaporkan
kembali di SPT Tahunan. Jika tidak, Wajib Pajak rugi sendiri.
SPT Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua
objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 seperti laporan
keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara.
Tetapi sementara lebih baik daripada tidak sama sekali. Seandainya tidak
membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21, tetapi taat melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21, maka SPT Masa tersebut tetap diakui dan Wajib Pajak telah
melaksanakan sebagian kewajibannya. Tidak percuma.
Agar lebih mudah kita mesti mencatat objek-objek PPh Pasal 21
kedalam perkiraan-perkiraan tertentu. Tidak mencampur dengan pos,
misalnya, pemeliharaan kantor. Memang tergantung kebiasaan di perusahaan
Wajib Pajak tersebut, tetapi mencampur pengeluaran yang memang objek PPh
Pasal 21 dengan bukan objek PPh Pasal 21 akan menyulitkan menghitung dan
melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Dengan tertib pencatatan,
Wajib Pajak tidak akan direpotkan dikemudian hari, baik saat membuat SPT
Tahunan PPh Pasal 21 maupun saat pemeriksaan pajak.
Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21
harus dapat dijelaskan bersumber dari perkiraan apa saja. Saat membuat SPT
Tahunan PPh Pasal 21 kita harus membuat equalisasi antara pos-pos biaya di
Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Equalisasi ini akan
sangat bermanfaat! Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double
accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda bisa dilakukan oleh

Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan maupun pemeriksa pajak yang tidak
mengerti sumber angka di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pemeriksa menduga
objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan kemudian menghitung
ulang (koreksi positif). Jika terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu
merugikan Wajib Pajak sendiri.
SPT PPh Pasal 23 dan Pasal 26
Seperti diuraikan diatas, perbedaan penting antara PPh Pasal 21 dan
PPh Pasal 23 adalah kesetaraan. Jika hubungan antara pemberi penghasilan
dengan penerima penghasilan memiliki kesetaraan, bukan hubungan majikan
dan buruh maka penghasilan tersebut adalah objek PPh Pasal 23. Selain itu,
objek PPh Pasal 23 hanya untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Perhatikan
kata-kata dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh berikut, atas penghasilan tersebut
di bawah ini. Tidak semua penghasilan menjadi objek PPh Pasal 23. Berikut
adalah jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 dan
pengertiannya menurut versi penulis :
1.
Dividen, penghasilan yang berkaitan dengan investasi atau penanaman
modal;
1.
Bunga, penghasilan yang berasal karena utang piutang;
2.
Royalty, imbalan sehubungan dengan hak atas kekayaan intelektual;
3.
Hadiah & penghargaan, kecuali ada hubungan majikan buruh;
4.
Sewa, imbalan atas penggunaan aktiva tetap;
5. Jasa teknik, jasa pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dibidang manufaktur, industri, perdagangan, manajemen
atau ilmu pengetahuan;
6. Jasa manajemen, pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
(subjek) dalam manajemen sehari-hari.
Jasa lain adalah jenis-jenis jasa yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak berdasarkan kuasa dari Pasal 23 ayat (2) UU PPh. Terhadap jasa lain
dikenakan 15% dari penghasilan neto yang ditetapkan oleh Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Tarif efektif masing-masing jenis jasa berbeda.

Wajib Pajak seringkali mencampuradukkan pengertian jasa


manajemen, jasa teknik dan jasa konsultan berdasarkan pengertian awam. Jasa
jasa yang berkaitan dengan manajemen disebut jasa manajemen. Kadang
disebut jasa konsultan manajemen. Padahal peraturan perpajakan
membedakan jasa konsultan dan jasa manajemen! Seandainya perusahaan
diibaratkan dengan kendaraan, jasa manajemen itu adalah jasa supir. Orangorang yang disewa menjadi supir perusahaan. Bukan hanya memberikan
nasehat, teriak-teriak atau hanya memberikan teori-teori manajemen.
Begitu juga dengan jasa teknik, seringkali diasosiasikan dengan
pekerjaan teknik. Bukan hanya itu, Jasa teknik penekanannya pada pemberian
informasi dan pengalaman. Kadang mirip dengan royalti. Salah satu ciri yang
membedakan jasa teknik dengan royalti adalah pertanggungjawaban
keberhasilan. Jasa teknik harus dibayar jika jasanya telah dilaksanakan dan
berhasil. Sedangkan penjual royalti kadang tidak peduli apakah pembeli
royalti berhasil dalam usahanya atau tidak. Ya, penjual royalti seperti penjual
di pasar tradisional, barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.
Satu lagi ciri yang membedakan jasa teknik dengan royalti adalah jual putus
atau bagi hasil. Jasa teknik selalu jual putus sedangkan royalti selalu minta
bagian (sekian persen dari penjualan).
Pemahaman atas istilah-istilah tersebut, menurut pengertian
perpajakan, akan sangat bermanfaat bagi Wajib Pajak. Setidaknya ada dua
manfaat yang diperoleh. Pertama, benar menghitung pajak. Seandainya ada
dua istilah dengan tarif yang berlainan maka kesalahpahaman Wajib Pajak
akan berakibat perhitungan pajak terutang salah. Bisa lebih besar atau lebih
kecil dari yang seharusnya. Kedua, mungkin penghitungan ganda. Ini jelas
merugikan Wajib Pajak. Seandainya Wajib Pajak telah memotong PPh Pasal
23 atas jasa manajemen sebesar 4,5% tetapi ketika diperiksa oleh kantor
pajak, diketahui bahwa jasa tersebut bukan jasa manajemen tapi royalti yang
tarifnya 15%, maka Wajib Pajak harus membayar kembali PPh Pasal 23 atas

royalti sebesar 15% dari jumlah bruto. Kasus ini terjadi karena pemeriksa
pajaknya berpendapatan bahwa Wajib Pajak baru membayar PPh Pasal 23 atas
jasa manajemen tetapi belum membayar PPh Pasal 23 atas royalti.
Teknik equalisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama
dengan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. Hanya saja karena PPh Pasal 23 dan
Pasal 26 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap harus membuat
rekapitulasi SPT Masa. Harus jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas
royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Sekali lagi, total
pembayaran selama setahun masing-masing tahun pajak dapat diperinci.
Kemudian sandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan Laba
Rugi.
Pasal 26 UU PPh adalah withholding tax atas penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Hukum perpajakan
mengharuskan adanya kesetaraan antara Wajib Pajak Dalam Negeri
(WPDN) dengan WPLN. Orang Inggris bilang equal treatment. Jika kepada
WPDN dikenakan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 maka kepada WPLN
dikenakan PPh Pasal 26. Contoh, pembayaran sewa kepada WPDN adalah
objek PPh Pasal 23 sedangkan kepada WPLN adalah objek PPh Pasal 26.
Tetapi harus diingat bahwa pembayaran PPh Pasal 23 dan pembayaran
PPh Pasal 26 harus dipisah. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Pasal 23 dan
Pasal 26 harus dipisah. Selain itu, tahun pajaknya harus jelas! Penulisan tahun
pajak di SSP harus dikaitkan dengan saat terutang. Bukan saat pembayaran
SSP. Bisa jadi kita, karena kesadaran Wajib Pajak, membayar PPh Pasal 26
untuk tahun 2002 pada tahun 2004. Selama belum ada pemeriksaan, bolehboleh saja. Penghitungan sanksi bunga karena terlambat pembayaran lebih
baik diserahkan ke kantor pajak saja.

Daftar Pustaka

http://putra-finance-accounting-taxation.blogspot.com/2007/11/ekualisasi-pph-pasal21-dan-ppn.html
http://pajaktaxes.blogspot.com/2007/06/tips-equaliasasi-objek-pajak.html

Anda mungkin juga menyukai