oleh
Risa Kurnia
Anisa Amelia
Novi Haryani
1210532063
1210532069
1210533027
PPN.
Beda waktu pelaporan.
Seringkali pembelian barang dagangan dibayar 30 hari sejak
transaksi. Dan faktur pajak standar dibuat selambat-lambatnya akhir
bulan berikutnya setelah bulan dilakukan penyerahan. Misalnya transaksi
tanggal 23 April, mungkin baru dibayar tanggal 23 Mei. Dan bisa saja
dibuat faktur pajak pada tanggal 31 Mei. Transaksi ini dilaporkan
selambat-lambatnya tanggal 20 Juni. Jadi, transaksi bulan Desember
dapat dibuatkan faktur pajak bulan Januari tahun berikutnya, SPT Masa
PPN bulan Januari.
Dari contoh ini jelas, bahwa transaksi bulan Desember, secara
akuntansi harus diakui pada bulan Desember ( tahun yang bersangkutan )
sedangkan pelaporan PPN baru dapat dilaksanakan pada SPT Masa PPN
bulan Januari tahun berikutnya. Tentu akan terjadi perbedaan angka antara
Ekualisasi PPh Pasal 21 dengan Pengakuan Biaya Gaji dan Upah Tenaga
Kerja Langsung pada "Laporan Laba Rugi".
Ini adalah Penyeimbangan antara Laporan PPh Pasal 21 dengan
Ongkos Tenaga Kerja Langsung (Direct Labour Cost) dan Biaya Gaji
(Payroll Expenses). Perhatikan screen shoot dibawah :
5.2
a. Penjualan bruto
b. Potongan penjualan
(J)
c. Retur penjualan
(K)
d. Penjualan neto
e. Ekspor
Selisih
yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik sangat berarti bagi SPT Tahunan
PPh Badan.
Tetapi adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT
Tahunan PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi dapat diterapkan untuk
kepentingan pajak penghasilan. Sebagai contoh, penghitungan persediaan
barang dagangan, peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku sekarang
hanya membolehkan metode FIFO (first in first out) dan metode rata-rata
(average). Jika Wajib Pajak menggunakan metode persesedian LIFO (last in
first out) maka nilai persediaan Wajib Pajak harus dikoreksi. Akan ada
perbedaan pengakuan antara fiskal dan komersial.
Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan
keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap
perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan,
Wajib Pajak wajib kudu mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan
berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan
peraturan perpajakan yang berlaku, baik undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun keputusan direktur jenderal
pajak.
Mulainya harus dari angka-angka komersial, kemudian dikoreksi, baru angkaangka yang disajikan di SPT. Cara membuat equalisasi SPT Tahunan PPh
Badan sebenarnya mirip dengan membuat Neraca Lajur. Jadi ada kolom untuk
nama-nama perkiraan, kolom rupiah menurut laporan keuangan komersian,
kolom koreksi fiskal dan kolom rupiah menurut fiskal. Angka-angka yang ada
di kolom menurut fiskal adalah angka-angka yang disajikan di SPT Tahunan
PPh Badan. Ditambah lagi catatan dibawahnya, peraturan mana yang menjadi
dasar koreksi.
Keuntungan membuat equalisasi seperti diatas adalah kemudahan bagi Wajib
Pajak dan pemeriksa pajak. Mungkin beberapa tahun kemudian setelah SPT
Tahunan PPh Badan disampaikan ke kantor pelayanan pajak, baru nongol
petugas pajak yang akan memeriksa SPT Tahunan PPh Badan anda. Karena
rentang waktu yang lama, kita sering lupa apa yang telah kita kerjakan. Kita
lupa, kenapa angka di SPT Tahunan PPh Badan berbeda dengan laporang
keuangan. Jika kita telah membuat equalisasi, maka kita tidak akan lupa dan
perbedaan-perbedaan tersebut akan mudah dijelaskan kepada pemeriksa
pajak. Wajib Pajak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka tersebut
disertai dengan dasar hukum yang jelas. Sikap seperti ini tentu akan
memberikan kesan kepada pemeriksa pajak bahwa Wajib Pajak tersebut sudah
taat aturan pajak. Ini kredit poin untuk Wajib Pajak.
SPT PPh Pasal 21
Jika equalisasi SPT Tahunan PPh Badan bermula dari laporan
keuangan komersial, maka equalisasi SPT yang lain bermula dari SPT
Tahunan PPh Badan. Pos-pos biaya yang ada di Laporan Laba Rugi yang telah
dituangkan didalam SPT Tahunan PPh Badan harus disinkronkan dengan SPT
Tahunan PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 23 dan 26. Sedangkan Pos
pendapatan (baik pendapatan usaha maupun pendapatan lain-lain) harus
disinkronkan dengan SPT Masa PPN.
PPh Pasal 21 adalah withholding tax yang berkaitan dengan majikan
dan buruh. Majikan akan memotong pajak penghasilan milik buruh dan
menyetorkannya ke kas negara. Kemudian kewajiban penghitungan,
pemotongan dan pembayaran pajak penghasilan buruh selama satu tahun
tersebut dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Banyak Wajib Pajak yang mencampurkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal
21. Padahal keduanya jenis pajak yang berbeda. Menurut Prof. R. Mansyuri,
Phd yang terlibat langsung dalam tax reform tahun 1985, bahwa Pasal 21 UU
PPh dimaksudkan sebagai prosedur pelunasan pajak atas penghasilan yang
diperoleh seseorang karena bekerja. Syaratnya : ada majikan dan buruh,
hubungan keduanya tidak setara. Majikan tentu lebih tinggi daripada buruh.
Majikan dalam posisi memberi perintah dan buruh dalam posisi yang
diperintah. Karena klasifikasikan begitu, maka pembayaran kepada konsultan
profesional bukanlah objek PPh Pasal 21 karena tidak ada majikan buruh
dan posisinya setara.
Kalau kita sudah dapat membedakan mana objek PPh Pasal 21 dan
mana objek PPh Pasal 23, maka kita dapat menyusun SPT Tahunan PPh Pasal
21 dengan benar. SPT Tahunan ini menjadi patokan bagi pemeriksa pajak,
apakah Wajib Pajak telah melakukan kewajiban perpajakan dengan benar.
Kadang kadang Wajib Pajak lupa memasukkan upah buruh lepas dalam SPT
Tahunan PPh Pasal 21, padahal upah buruh tersebut telah dipotong dan
dilaporkan di SPT Masa PPh Pasal 21. Atau, Wajib Pajak lupa memasukkan
pesangon ke SPT Tahunan padalah di SPT Masa telah dilaporkan. Apa pun
yang telah dilaporkan di SPT Masa, hendaknya dijumlahkan dan dilaporkan
kembali di SPT Tahunan. Jika tidak, Wajib Pajak rugi sendiri.
SPT Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua
objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 seperti laporan
keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara.
Tetapi sementara lebih baik daripada tidak sama sekali. Seandainya tidak
membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21, tetapi taat melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21, maka SPT Masa tersebut tetap diakui dan Wajib Pajak telah
melaksanakan sebagian kewajibannya. Tidak percuma.
Agar lebih mudah kita mesti mencatat objek-objek PPh Pasal 21
kedalam perkiraan-perkiraan tertentu. Tidak mencampur dengan pos,
misalnya, pemeliharaan kantor. Memang tergantung kebiasaan di perusahaan
Wajib Pajak tersebut, tetapi mencampur pengeluaran yang memang objek PPh
Pasal 21 dengan bukan objek PPh Pasal 21 akan menyulitkan menghitung dan
melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Dengan tertib pencatatan,
Wajib Pajak tidak akan direpotkan dikemudian hari, baik saat membuat SPT
Tahunan PPh Pasal 21 maupun saat pemeriksaan pajak.
Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21
harus dapat dijelaskan bersumber dari perkiraan apa saja. Saat membuat SPT
Tahunan PPh Pasal 21 kita harus membuat equalisasi antara pos-pos biaya di
Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Equalisasi ini akan
sangat bermanfaat! Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double
accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda bisa dilakukan oleh
Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan maupun pemeriksa pajak yang tidak
mengerti sumber angka di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pemeriksa menduga
objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan kemudian menghitung
ulang (koreksi positif). Jika terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu
merugikan Wajib Pajak sendiri.
SPT PPh Pasal 23 dan Pasal 26
Seperti diuraikan diatas, perbedaan penting antara PPh Pasal 21 dan
PPh Pasal 23 adalah kesetaraan. Jika hubungan antara pemberi penghasilan
dengan penerima penghasilan memiliki kesetaraan, bukan hubungan majikan
dan buruh maka penghasilan tersebut adalah objek PPh Pasal 23. Selain itu,
objek PPh Pasal 23 hanya untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Perhatikan
kata-kata dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh berikut, atas penghasilan tersebut
di bawah ini. Tidak semua penghasilan menjadi objek PPh Pasal 23. Berikut
adalah jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 dan
pengertiannya menurut versi penulis :
1.
Dividen, penghasilan yang berkaitan dengan investasi atau penanaman
modal;
1.
Bunga, penghasilan yang berasal karena utang piutang;
2.
Royalty, imbalan sehubungan dengan hak atas kekayaan intelektual;
3.
Hadiah & penghargaan, kecuali ada hubungan majikan buruh;
4.
Sewa, imbalan atas penggunaan aktiva tetap;
5. Jasa teknik, jasa pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dibidang manufaktur, industri, perdagangan, manajemen
atau ilmu pengetahuan;
6. Jasa manajemen, pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
(subjek) dalam manajemen sehari-hari.
Jasa lain adalah jenis-jenis jasa yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak berdasarkan kuasa dari Pasal 23 ayat (2) UU PPh. Terhadap jasa lain
dikenakan 15% dari penghasilan neto yang ditetapkan oleh Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Tarif efektif masing-masing jenis jasa berbeda.
royalti sebesar 15% dari jumlah bruto. Kasus ini terjadi karena pemeriksa
pajaknya berpendapatan bahwa Wajib Pajak baru membayar PPh Pasal 23 atas
jasa manajemen tetapi belum membayar PPh Pasal 23 atas royalti.
Teknik equalisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama
dengan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. Hanya saja karena PPh Pasal 23 dan
Pasal 26 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap harus membuat
rekapitulasi SPT Masa. Harus jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas
royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Sekali lagi, total
pembayaran selama setahun masing-masing tahun pajak dapat diperinci.
Kemudian sandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan Laba
Rugi.
Pasal 26 UU PPh adalah withholding tax atas penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Hukum perpajakan
mengharuskan adanya kesetaraan antara Wajib Pajak Dalam Negeri
(WPDN) dengan WPLN. Orang Inggris bilang equal treatment. Jika kepada
WPDN dikenakan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 maka kepada WPLN
dikenakan PPh Pasal 26. Contoh, pembayaran sewa kepada WPDN adalah
objek PPh Pasal 23 sedangkan kepada WPLN adalah objek PPh Pasal 26.
Tetapi harus diingat bahwa pembayaran PPh Pasal 23 dan pembayaran
PPh Pasal 26 harus dipisah. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Pasal 23 dan
Pasal 26 harus dipisah. Selain itu, tahun pajaknya harus jelas! Penulisan tahun
pajak di SSP harus dikaitkan dengan saat terutang. Bukan saat pembayaran
SSP. Bisa jadi kita, karena kesadaran Wajib Pajak, membayar PPh Pasal 26
untuk tahun 2002 pada tahun 2004. Selama belum ada pemeriksaan, bolehboleh saja. Penghitungan sanksi bunga karena terlambat pembayaran lebih
baik diserahkan ke kantor pajak saja.
Daftar Pustaka
http://putra-finance-accounting-taxation.blogspot.com/2007/11/ekualisasi-pph-pasal21-dan-ppn.html
http://pajaktaxes.blogspot.com/2007/06/tips-equaliasasi-objek-pajak.html