Penyusun :
Sarah Jehan Suhastika, dr
Pembimbing :
Marina A. Moeliono, dr, SpKFR
Penguji :
Tertianto Prabowo, dr, SpKFR, AIFO
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 2
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................... 4
DAFTAR TABEL......................................................................................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 6
BAB II ANATOMI DAN KINESIOLOGI SENDI BAHU ................................................................................. 9
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2.
2.2.3.
2.2.4.
Ligamen.......................................................................................................................... 15
2.2.5.
2.2.5.1.
2.2.5.2.
Deltoid ....................................................................................................................... 20
2.2.6.
2.2.7.
2.2.7.1.
Static Stabilizers.......................................................................................................... 23
2.2.7.2.
Dynamic Stabilizers..................................................................................................... 25
2.2.8.
Definisi ................................................................................................................................... 31
3.2.
Klasifikasi ............................................................................................................................... 32
3.3.
3.3.1
3.3.2
3.3.3
3.4.
3.5.
3.5.1.
Anamnesa .......................................................................................................................... 35
3.5.2.
Pemeriksaan fisik................................................................................................................ 36
3.5.3.
3.6.
Imaging .............................................................................................................................. 36
Terapi Dislokasi Anterior Bahu ............................................................................................... 37
3.6.1.
3.6.2.
3.7.
Komplikasi15 ........................................................................................................................... 40
3.7.1.
Early ................................................................................................................................... 40
3.7.2.
Late .................................................................................................................................... 41
4.1.1.
4.1.2.
4.2.
4.2.1.
4.2.2.
4.2.3.
4.2.4.
4.2.5.
4.3.
4.4.
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
Sendi adalah hubungan antara dua buah tulang. Kompleks gelang bahu disusun oleh tujuh buah
sendi yang melibatkankan tulang sternum, clavicula, tulang iga, scapula dan humerus. Salah satu
sendi yang akan dibahas dalam tinjauan kepustakaan ini yaitu sendi glenohumeral. Sendi
glenohumeral disusun dari duah buah tulang yaitu tulang scapula dan tulang humerus.
Persendiannya dibentuk oleh permukaan fossa glenoid scapula dengan caput humerus. Sendi ini
termasuk sendi yang inkongruen. Hal ini disebabkan oleh permukaan sendi yang dangkal. Sendi
bahu merupakan sendi yang memiliki lingkup gerak sendi yang luas, sehingga memungkinkan
untuk melakukan gerakan yang bebas. Namun hal ini menyebabkan kurangya stabilitas pada sendi
tersebut. Untuk membantu stabilitasnya, sendi glenohumeral dikelilingi oleh jaringan yang
berperan sebagai static stabilizer dan dynamic stabilizer. Jika terjadi trauma, dapat menyebabkan
ketidakstabilan sendi bahu. 2,7
Dislokasi sendi adalah pergeseran antara dua buah tulang secara komplit, sehingga
menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Sendi bahu merupakan
salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Dislokasi bahu dapat terjadi pada anterior
(paling sering, ditemukan pada 95% kasus), posterior atau errecta. Dislokasi anterior terjadi
biasanya pada posisi sendi bahu abduksi dan external rotasi. Hal ini disebabkan karena secara
anatomi terdapat celah antara ligamentum glenohumeral superior dan ligamntuem glenohumeral
media yang disebut juga foramen Weithbrecth.8
Angka kejadian dislokasi sendi bahu pada populasi di Amerika Serikat berkisar 8,2 kejadian
dari 100.000 orang per tahun, hal serupa juga terjadi di negara skandinavia yaitu 24 kejadian
100.000 orang per tahun. Owens et al. melaporkan bahwa 80% dari dislokasi bahu terjadi pada
pasien muda. Berdasarkan usia, empat puluh tujuh persen dari pasien yang datang ke bagian gawat
darurat AS dengan trauma dislokasi bahu berusia antara 15 dan 29,6 tahun. Sebuah studi populasi
Skandinavia melaporkan bahwa kejadian paling sering dari keseluruhan dislokasi bahu pada lakilaki terjadi pada usia antara 21 dan 30 dan perempuan antara usia 61 dan 80.2. Dislokasi berulang
paling banyak dilaporkan pada pasien berusia lebih muda dari 20 tahun (66% sampai 94%).
Menurut faktor risikonya insidensi instabilitas sendi bahu pada atlit olahraga (NCCA) yaitu 0.12
cedera per 1000 athletic exposure (AE). Pada atlit perguruan tinggi, frekuensi dislokasi bahu
meningkat saat sepakbola musim panas yaitu 0.40/1000 AE diikuti oleh wrestling (0.21/100 AE),
women ice hockey (0.19/1000 AE) dan fall football (0.18/1000 AE). Pada atlit remaja, dislokasi
dilaporkan lebih sering terjadi pada atlit laki-laki (38%) dibandingkan atlit perempuan (29%).
Posisi pemain yang paling sering mengalami dislokasi bahu dalam sepak bola yaitu, linebacker,
wide receiver, dan running backs. Pada pemain volli, posisi pemain yang memiliki presentase
tertinggi mengalami dislokasi bahu yaitu outsider.9
Dislokasi sendi bahu dapat menyebabkan kerusakan saraf, dengan manifestasi klinis bervariasi
dari nyeri hingga parestesi pada daerah lengan. Pada dislokasi akut seharusnya dilakukan reposisi
sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Penatalaksanaan kasus dislokasi
anterior bahu dapat dilakukan secara konservatif dan operatif. Beraneka ragam metode reduksi
dapat dilakukan pada pasien dengan dislokasi sendi bahu anterior. Saat bahu telah diposisikan
kembali pada posisi normal didalam soketnya, proses awal rehabilitasi dapat dimulai sampai
dengan 1 tahun. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya dislokasi bahu anterior
7
berulang. Penanganan rehabilitasi akan dilakukan dalam beberapa fase yang akan dijelaskan pada
makalah ini.
BAB II
2.1.
Shoulder Girdle
Sendi merupakan hubungan antara 2 tulang atau lebih. Sendi gelang bahu, yang disebut juga
shoulder girdle, dibentuk oleh empat buah tulang yaitu sternum, clavicular, tulang iga, scapula,
dan humerus. Masing-masing tulang tersebut membentuk 7 persendian: costo-vertebral joint;
costosternal joint; sternoclavicular
joint;
Sendi yang berada paling proximal adalah persendian antara tulang iga (tulang iga pertama)
dan corpus vertebra yang disebut costovertebral joint. Sendi yang berada tepat disebelah luarnya
yaitu sendi yang dibentuk oleh tulang iga pertama dan sternum yang disebut costosternal joint.
Kedua sendi ini termasuk pada gelang bahu karena memiliki keterlibatan dalam gerak sendi gelang
bahu. Sendi selanjutnya dibentuk oleh pertemuan antara clavicula dan sternum yang disebut
sternoclavicular joint. Selain itu terdapat sendi pada daerah punggung yaitu scapulocostal joint.
Persendian ini memiliki sifat pergerakan gliding antara scapula dan rongga dada yang dipisahkan
oleh otot dan bursa. 2,7
Sendi pada daerah lengan diawali oleh acromioclavicular joint, dilanjutkan oleh sendi keenam
yang disebut suprahumeral joint. Sendi ini disebut pseudojoint karena letaknya diantara caput
humeral dengan arcus coraoacromial.2,7
Sendi yang terakhir yaitu sendi yang paling sering disebut dengan sendi bahu yaitu
glenohumeral joint.2,7 Pada tinjauan kepustakaan ini, pembahasan sendi bahu atau glenohumeral
joint akan lebih ditekankan karena sesuai dengan klinis dari judul makalah ini.
2.2.
10
Pada permukaan posterior, scapula dibagi menjadi 2 bagian yaitu fosa supraspinatus dan fossa
infraspinatus oleh spina scapula. Otot suprapinatus melekat pada fossa supraspinatus. Ujung dari
spina scapula ini, membentuk suatu peninggian tulang yang meluas disebut dengan acromion.
Selanjutnya acromion akan memanjang ke arah lateral dan anterior, melewati atas foosa glenoid. 4
Scapula akan membentuk persendian dengan humerus melalui permukaan fossa gleniodal yang
berbentuk concave. Permukaan fossa glenoid yang landai berada condong keatas sekitar 4 dari
axis horizontal yang melewati badan scapula. Kemiringan (inklinasi) ini bervariasi, berkisar dari
7 miring kearah bawah hingga 16 kearah atas. Pada saat istirahat, normalnya scapula berada pada
11
posisi berlawanan dengan permukaan posterior-lateral dari thorax, dengan fossa glenoid
mengahadap anterior sekitar 35 ke bidang frontal. Posisi scapula ini disebut dengan scapular
plane. Scapula dan humerus selalu mengikuti bidang ini saat lengan elevasi melewati kepala. 4,10
Permukaan fossa glenoid berbentuk seperti buah pear, dengan bagian yang melebar pada daerah
bagian superiornya. Hanya sepertiga dari permukaan fossa glenoid yang menyentuh caput
humerus. Kedalaman (diukur pada superior-inferior) dari glenoid sekitar 9 milimeter, dan 5
milimeter (diukur pada anterior-posterior). Separuhnya dibentuk oleh labrum. Dasar dari fossa
glenoid ini dilapisi oleh cartilago, yang berukuran lebih tebal pada area perifer daripada tengahnya,
sehingga membuat soket sedikit lebih dalam.10
Kedudukan sendi yang dibentuk oleh fossa glenoid bersifat dangkal dan inkongruen terhadap
caput humerus. Kelemahan ini, dibantu oleh adanya sebuah jaringan ikat penghubung yang disebut
labrum glenoid. Labrum glenoid meningkatkan luas cakupan bagi caput humerus, dan membuat
cavitas glenoid lebih dalam. Hal ini meningkatkan kemampuan menerima beban pada sendi bahu.
Labrum ini melekat pada sekeliling periosteum fossa glenoid.2,7,11
Rotasi ini disebut retroversion, yaitu kedudukan persendian caput humeral pada fossa
glenoidal.2,4,7,10
Pada bidang corona, permukaan fossa glenoid membentuk sudut sekitar 75, sedangkan
permukaan caput humerus bersudut 120. Diameter permukaan glenoid yang lebih kecil daripada
caput humerus menyebabkan kontak dalam persendian ini kecil.
2,7,11
persendian ini meliputi 3 tipe: rolling, gliding, dan rotasi. Pada gerakan rolling terjadi kontak oleh
beberapa titik di permukaan yang bergerak terhadap beberapa titik pada permukaan yang diam.
Pada gerakan gliding terjadi kontak oleh satu titik pada permukaan yang bergerak terhadap
beberapa titik pada permukaan yang diam. Pada rolling dan gliding terjadi perubahan area kontak
yang signifikan. Tipe yang ketiga adalah rotasi, pada gerakan ini yang terjadi adalah kontak antara
satu titik pada permukaan yang bergerak pada satu titik di permukaan yang diam.1,11 Gerakan sendi
yang efektif dicapai oleh interaksi yang kompleks antara penyusun sendi dan jaringan lunak yang
berada di sekitar sendi. Rotasi pada humerus penting saat elevasi bahu. Terjadi gerakan yang
serentak antara rotasi eksterna bahu dengan abduksi pada bidang corona. Beberapa peneliti
mengatakan bahwa gerakan ini bertujuan agar acromion tidak menyentuh tuberositas mayor dan
ligamen coracoacromial. 1
13
Gambar 2.3 Gerakan yang terjadi pada sendi glenohumeral: rolling, rotasi, dan gliding.
Diambil dari kepustakaan no. 1
Gambar 2.4 Penampang anterior dari potongan frontal pada sendi glenohumeral kanan.
Gambar diambil dari kepustakaan no. 1
Ruang dalam kapsul berukuran dua kali lebh besar daripada caput humerus. Kapsul yang lebar
dan longgar ini membuat sendi glenohumeral dapat bergerak dalam lingkup gerak yang luas.
Gerakan pada sendi glenohumeral ini dapat menyebabkan transalsi pasif dalam sendi.caput
humerus dapat terdorong dari fossa glenoid tanpa menimbulkan nyeri. Dalam posisi anatomi atau
adduksi, terdapat kapsul yang lebih longgar disebut dengan axillary pouch. Axillary pouch dan
ligamen glenohumeral inferior menjadi taut pada abduksi 90. Fungsinya sebagai penyangga pada
caput humeral untuk mencegah terjadinya translasi anterior-posterior. 4
2.2.4. Ligamen
Lapisan luar dari dinding anterior dan inferior dari kapsul sendi lebih tebal oleh adanya jaringan
ikat penghubung yang disebut ligamen glenohumeral. Sebagian besar ligamen ini menempel pada
humerus. Untuk menhasilkan kestabilan dalam sendi. Ligamen dapat memanjang atau memutar
15
beberapa derajat, sehingga menimbulkan tekanan pasif yang menghasilkan mechanical support
pada sendi glenohumeral dan mencegah terjadinya rotasi dan translasi yang ektrim.
Gambar 2.5 Anatomi dari ligamen glenohumeral dan kompleks ligamen glenohumeral inferior.
A, anterior; AB, anterior band; AP, axillary pouch; B, biceps tendon; MGHL, middle
glenohumeral ligament; P, posterior; PC, posterior capsule, SHGL, superior glenohumeral
ligament.
Gambar ini diambil dari kepustakaan no.6
Ligamen pada sendi glenohumeral berbentuk seperti kipas terdiri dari pita serabut kolagen yang
kompleks, dibagi atas ligamen superior, inferior, dan media. Ligamen glenohumeral superior
menempelkan sisi proximalnya pada supraglenoid tubercle. Kemudian ligamen ini menempel pada
anatomical neck dari humerus dibawah tuberculum minor. Ligamen ini mengencang saat adduksi
untuk menjaga translasi caput humerus ke arah inferior dan antero-posterior.
16
Ligamen glenohumeral media, memiliki penempelan yang luas pada sisi proximalnya yaitu di
sisi superior dan medial dari anterior cincin glenoid. Ligamen ini menyati dengan kapsul anterior
dan tendon dari otot subscapularis. Lalu legamn ini menempel pada sisi anterior anatomical neck.
Ligamen ini berfungsi menjada sisi anterior sendi glenohumeral, terutama saat abduksi 45 hingga
60. Berdasarkan lokasinya, ligamen glenohumeral media ini sangat efektif untuk membatasi rotasi
eksternal yang berlebihan.
Ligamen selanjutnya merupakan ligamen yang luas. Ligamen glenohumeral inferior pada sisi
proximalnya menempel di sepanjang cincin anterior-inferior darifossa glenoid, termasuk labrum
glenoid. Pada bagian distal ligamen ini menempel secara luas pada batas anterior-inferior dan
posterior-inferior dari anatomical neck. Ligamen glenohumeral inferior ini memiliki tiga buah
komponen yang terpisah: pita anterior, pita posterior dan lapisan axillary pouch. Pada posisi
abduksi, pita anterior dan posterior akan taut jika terjadi rotasi internal atau eksterna yang ekstrim.
Terutama pada pita anterior yang mencegah terjadinya translasi anterior pada caput humerus.
Gerakan dinamic yang bergaya besar pada abduksi dan ekstrenal rotasikan menyebabkan stress
pada pita anterior. Stress ini dapat terjadi pada chocking phase pada pemain baseball saat
melempar bola. 4
Terdapat pula celah antara ligamentum glenohumeral superior dan ligamentum glenohumeral
media pada lipatan kapsul, yang disebut foramen weitbrecht. Foramen ini dibungkus oleh selaput
tipis dari kapsul dan menghubungkan antara isi kapsul dan celah subscapular, namun celah ini
merupakan titik lemah dalam kapsul sehingga dapat menyebabkan anterior dislocation pada caput
humerus.2,7
Sendi glenohumeral juga diperkuat oleh adanya ligamen coracohumeral. Ligamen ini
memanjang dari sisi lateral pada processus coracoid menuju ke sisi anterior dari tuberculum mayor
17
humerus. Ligamn ini juga mnyetu dengan kaspul superior dan tendon otot supraspinatus. Berfungsi
sama dengan ligamen glenohumeral superior, ligamen ini akan taut saat adduksi. Hal ini bertujuan
untuk mencegah translasi inferior dan rotasi eksterna dari caput humerus. 4
18
2.2.5.1.
a) Otot supraspinatus
Otot yang berorigo dari fossa suraspinatus pada sisi atas spina scapula dari bagian posterior
tulang scapula. Otot ini melewati sisi lateral ligamen coracoacromial lalu menempel pada
tuberculum mayor tulang humers. Otot ini dipersarafai oleh saraf suprascapular (C4, C5,
C6). Otot ini memiliki fungsi untuk mengendalikan caput humerus saat gerakan rolling
kearah superior, mengkompresi caput humerus terhadap fossa glenoid, menghasilkan
ruang semirigid diatas caput humerus untuk membatasi translasi berlebihan superior yang
berlebihan.
b) Otot infraspinatus
Otot ini berorigo dari fossa infraspinatus pada sisi bawah spina scapula bagian posterior
tulang scapula. Otot infraspinatus menempel tepat dibawah otot supraspinatus. Otot ini
dipersarafi oleh saraf suprascapular (C4, C5, C6). Otot infraspinatus dan teres minor
berfungsi untuk menghasilkan gerakan rotasi eksterna.
c) Otot Teres Minor
Otot teres minor bermula dari sisi lateral pada tulang scapula diatas origo dari otot teres
major kemudaian berjalan melewati sisi atas dan lateral lalu masuk ke dalam insersi dari
otot infraspinatus di tuberberculum mayor. Otot teres minor mendapat persarafan dari
cabang saraf axillary (C5, C6).
d) Otot subscapularis
Otot ini berada paling anterior dan medial daripada seluruh otot rotator cuff. Ia berorigo
dari sisi anterior tulang scapula lalu berjalan ke lateral menuju tuberculum minor. Otot ini
melewati sendi bahu lalu terpisah dari leher scapula oleh adanya bursa subscapularis. Otot
19
ini menerima persarafan dari saraf subscapularis superior dan inferior (C5, C6). Otot
Infraspinatus, teres minor, dan subscapularis berfungsi untuk memberikan gaya depresi
pada caput humerus.
2.2.5.2.
Deltoid
Otot deltoid yang juga merupakan otot prime movers dari bahu ini berorigo pada sisi anterior
acromion dan sisi posterior spina scapula lalu berjalan ke arah bawah depan, lateral, dan belakang
sendi glenohumeral. Ia lalu menempel pada sepertiga tengah dari humerus. Gerakan dasar dari otot
deltoid ini adalah elevasi lengan pada sepanjang garis paralel humerus dan untuk membatasi gaya
caput humerus ke atas melawan ligamen coracoacromial. Saat bekerja sama dengan otot rotator
cuff, otot deltid media akan mengabduksikan lengan pada bidang frontal. Otot deltoid anterior
akan bekerja untuk memfleksikan lengan pada bidang sagita, dan otot deltoid posterior akan
mengekstensikan lengan. Otot deltoid dipersarafi oleh saraf axilaris (C5, C6).
20
Pada otot mamalia terdapat dua tipe serabut intrafusal dalam sistem otot intrafusal. Tipe yang
pertama terdiri dari banyak nuklei dalam pertengahan masa serabut otot. Dilatasi dari serabut ini
disebut nuclear bag. Tipe yang kedua disebut nuclear chain fiber dan berisi nuclear bag yang
tidak dilatasi.
Terdapat ujung saraf sensory pada kedua serabut spindle yang membungkus tiap serabut otot.
Hal ini disebut tipe Ia dan II, tipe Ia mensuplai nuclear bag dan tipe II mensuplai chain fiber.
Kedua tipe ini berjalan menuju spinal cord melalui ganglion cabang dorsal lalu ke ujung substansia
grisea dari spinal cord. Pada jalur serabut internuncial, ujung saraf sensori ini menyilang pada
anterior horn cell.
Saat spindle cell memanjang, ia mengirimkan pesan ke spinal cord melalui serabut sensori tipe
II. Saat otot relaksasi (memendek), nuclear bag membesar dan juga mengirimkan pesan melalui
serabut sensori tipe Ia ke spinal cord.
Serabut spindle juga memiliki supali saraf motorik yang menginisiasi kontraksi yang
dibutuhkan. Otot, serabut extrafusal, dan serabut intrafusal, berulang kali memanjang dan
memendek selama aktivitas.
Serabut saraf motorik yang disebut serabut efferent gamma dan 30% dari cabang saraf motorik
ventral berjalan dari anterior horn cell menuju serabut exrafusal. Keduanya berkahir pada serabut
spindle.
Saat serabut otot ekstrafusal memanjang, serabut spindle intrafusal juga memanjang. Elongasi
ini menghasilkan potensial aksi yang berjalan ke spinal cord sepanjang serabut afferent Ia dan II.
Saat serabut extrafusal berhenti memanjang, serabut intrafusal juga menghentikan firing. Firing
21
pada intrafusal merupakan sensori penting dalam memberikan informasi kecepatan, frekuensi,
durasi, dan pemanjangan dari serabut intrafusal. Keempat hal ini diterjemahkan dalam spinal cord.
Pada jalur interuncial, anterior horn cell teraktivasi untuk melepaskan serabut alfa yang sesuai
untuk mengkontraksikan serabut extrafusal.
Terdapat sebuah sistem umpan balik, pada stretching dari serabut intrafusal (bag and chain)
merespon dengan mengirimkan pesan ke spinal cord. Sehingga menyebabkan serabut ekstrafusal
berkontraksi dengan gaya dan kecepatan yang sesuai.
Karena serabut ekstrafusal dan serabut intrafusal berkonraksi dan memendek secara konstan
selamaistirahat, sistem spindle juga melakukan pemanjangan dan elongasi yang sama. Sistem
spindle adalah serangkaian reaksi yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa sistem umpan balik
menghasilkan respon muskular yang halus, terkoordinasi, dan sesuai dengan fungsi yang
dibutuhkan. 7
22
2.2.7.1.
Static Stabilizers
a) Glenohumeral Index11
Glenohumeral Index adalah ukuran perbandingan diameter caput humerus terhadap fossa
glenoid. Terdapat hipotesa bahwa individu dengan perbadingan caput dan fossa yang besar,
maka semakin tidak stabil persendiannya. Semakin kecil diameter permukaan glenoid, maka
semakin kecil kontaknya terhadap caput humerus, sehingga semakin tidak stabil.
b) Posisi Caput Humerus Terhadap Glenoid1
Posisi sentral dari caput humerus dijaga oleh keseimbangan gaya otot dan jaringan
sekitarnya. Jika terjadi gangguan pada keseimbangan gaya ini, maka dapat menimbulkan ririko
terjadinya subluksasi atau dislokasi. Saat caput humerus tidak berada pada posisi sentral, maka
ini akan mengurangi gaya tekanan yang dihasilkan otot rotator cuff. Hali ini menyebabkan
berkurangnya stabilitas dinamis sebagai akibat dari berubahnya panjang regangan pada otot
rotator cuff. Kekuatan otot rotator cuff untuk menjaga stabilisasi akan berkurang.
c) Ligamen Glenohumeral6,10
Ligamen glenohumeral merupakan stabilizer static utama yang memeberikan stabilisasi
pasif pada gelang bahu. Keempat ligamen ini memegang peran dalam stabilisasi. Ketiga
ligamen berada di anterior bahu, dan berfungsi untuk memperkuat bagian depan kapsul sendi.
Kekuatan ini dibutuhkan oleh kapsul sendi bahu bagian anterior yang kurang stabil. Sebagai
tambahan stabilisasi yaitu oleh reseptor pada kapsul sendi yang memberikan umpan balik
propioseptif.
Prinsip dari stabilizer statis ini yaitu pada daerah komplek bahu inferior. Terdapat beberapa
alasan ligamen glenohumeral inferior berperan sebagai stabilisasi pasif yang utama. Pertama,
23
24
berkurang, stabilisasi bahu akan berkurang 20%. Hal ini juga disebutkan dalam suatu
penelititan, bahwa pada labrum yang utuh ditemukan kontak area humerus terhadap fossa
glenoid secara vertikal sebanyak 75% dan horizontal 67%. Efek ini tampak lebih banyak pada
arah superior-inferior daripada anterior-posterior. Labrum juga memberikan tahanan agar tidak
terjadi rollback caput humerus yang berlebihan.
e) Tekanan Negatif Intraartikular6
Terdapat tekanan negative intraartikular pada sendi glenohumeral yang dapat menjaga
stabilitas sendi. Normalnya bahu berisi 1mL cairan synovial, hal ini menjaga tekanan atmosfer
tetap rendah dengan adanya tekanan osmotik yang tinggi disekitar jaringan. Kombinasi antara
kesesuaian sendi glenohumeral dengan adanya cairan synovial menghasilkan adhesi dan
kohesi antara caput humerus dan glenoid mirip seperti dengan gelas basah yang menempel
pada alas. Adhesi dihasilkan oleh cairan synovial, namun kohesi dihasilkan oleh kesesuaian
dari sendi.
2.2.7.2.
Dynamic Stabilizers
Stabilisasi dinamis dihasilkan oleh otot yang berada di sekitar sendi. Otot rotator cuff
memberikan stabilisasi berupa kompresi oleh gaya otot intrinsik. Gaya otot extrinsik dihasilkan
oleh otot deltoid. Kompresi dinamik adalah kemampuan otot rotator cuff untuk memberikan efek
kompresi pada caput humeri selama sendi bahu bergerak elevasi.
Otot rotator cuff memiliki fungsi untuk mengendalikan caput humerus yang menempel pada
fossa glenoid. Peran otot-otot bahu dalam menjaga stabilitas sendi bahu yaitu melalui mekanisme:
(1) kerja otot yang memberikan tegangan pasif pada sendi, (2) Kontraksi otot rotator cuff yang
menyebabkan kompresi pada permukaan sendi, (3) Gerakan sendi yang menyebabkan ligamen
25
sendi tertarik, (4) otot yang berkontraksi memberikan efek membatasi sendi, (5) pengalihan arah
gaya pada sendi ke pusat permukaan glenoid oleh kombinasi gaya otot.
Otot infraspinatus dan teres minor mengontrol rotasi eksterna humerus dan mengurangi
ketegangan capsuloligament anterior-posterior. Otot subscapularis adalah otot stabilisator yang
paling kuat diantara grup rotator cuff, diikuti otot infraspinatus dan teres minor. Otot supraspinatus
memiliki peran stabilisator yang paling kecil. Otot ini memiliki jumlah masa otot yang besar
daripada otot rotator cuff lainnya. Kombinasi kontraksi dari otot subscapularis dan infraspinatus
akan membentuk force couple, yang memberikan stabilitas pada seluruh lingkup gerak sendi saat
elevasi 60 hingga 150.
Peneliti mengatakan bahwa pada pemain (pitcher) baseball melakukan gerakan rotasi eksterna
yang berlebihan saat melepar bola. Otot subscapularis yang dimiliki oleh seorang pelempar bola
baseball lebih aktif saat melakukan gerakan melempar daripada otot internal rotator lainnya.
Deltoid memberikan stabilisasi dinamis pada posisi lengan dalam bidang scapular dan
berkurang satbilisasinya saat lengan dalam bidang corona. Otot deltoid caput media dan posterior
memberikan stabilisasi yang lebih besar dengan menghasilkan lebih banyak gaya kompresi dan
mengurangi penyebaran gaya daripada caput anterior. Sehingga, otot deltoid caput media dan
posterior harus menguatkan ketidakstabilan sendi pada sisi anterior bahu dengan lebih kuat.
Otot deltoid dan rotator cuff menghasilkan penyebaran dan kompresi gaya dalam sendi bahu.
Gaya ini bisa bermacam-macam sesuai alignment saat perubahan otot. Gaya kompresi yang
dihasilkan oleh otot yang bekerja paralel dengan foosa glenoid menstabilkan caput humerus. Kerja
otot yang tegak lurus terhadap glenoid menghasilkan penyebaran gaya translasional.
26
Ketidakseimbangan otot sekitar bahu dapat menjadi penyebab dari pola gerakan abnormal dan
menghasilkan proses patologis. Pengetahuan pada kemungkinan ketidakstabilan sendi yang
dihasilkan oleh otot bahu dapat membantu seorang klinisi untuk memberikan program rehabilitasi
untuk meningkatkan kestabilan sendi dan program pencegahanya. 1,6,10
berat tubuh. Otot subscapularis, infraspinatus, dan lattisismus dorsi memiliki lengan beban yang
kecil yang membentuk sudut 90 ke permukaan glenoid, sehingga menghasilkan gaya tekanan pada
sendi.
Gerakan yang dihasilkan oleh sendi acromioclavicular dan sternoclavicular berupa gerakan
pada scapula. Abduksi bahu selalu diikuti oleh gerakan elevasi scapula. Elevasi sternoclavicular
berperan paling besar pada initial phase dari elevasi lengan. Terjadi gerakan 4 sternoclavicular
pada setiap abduksi bahu 10. Gerakan sendi acromioclavicular terjadi terutama pada sebelum 30
dan setelah 135.
Terdapa instantaneous center of rotation (ICR) di scapula selama initial phase dari elevasi yang
terletak di dekat spina scapula yang berada sejajar dengan sendi sternoclavicular.
b) Middle or Critical Phase of Elevation: 60 hingga 100
Fase ini dimulai oleh gaya yang kuat pada sendi glenohumeral. Gaya pada sendi glenohumeral
ini dihasilkan oleh sekitar 43% deltoid, 9% subscapularis, 26% infraspinatus dan teres minor. Gaya
paling besar di bawah coracoacromial terjadi pada antara 51 dan 82 dari elevasi glenohumeral.
Jumlah gaya yang bekerja, berfungsi membantu stabilitas sendi, maksimal pada elevasi bahu
90, dengan pergeseran dan tekanan yang seimbang. Saat lengan mencapai akhir dari middle phase
ini, jumlah gaya pada deltoid menjadi 0.
Keseimbangan dari takanan dan distribusi gaya menghasilkan stabilitas dinamis pada sendi
glenohumeral. Pada bagian awal dari middle phase, stabilitas dinamis mulai muncul sebelum
gerakan lebih lanjut terjadi. Seperti yang dikatakan sebelumny, serabut otot bagian bawah dari otot
subscapularis menunjukkan aktivitas yang lebih pada abduksi 90. Pada gambaran EMG otot
deltoid menunjukkan kontraksi maksimal pada abduksi 110 kemudian menjadi plateu. EMG
28
supraspinatus menunjukkan aktvitas paling tinggi pada elevasi 100 lalu segera turun setelah itu.
Aktivitas otot subscapular menurun setelah elevasi 130.
Pergerakan caput humerus ke arah superior dan inferior setelah elevasi 60 menunjukkan bahwa
gerakan roll dan glide terjadi pada arah yang berlawanan, sehingga menghasilkan gerakan spin
pada tulang.
Rotasi scapula terbesar terjadi pada abduksi lengan antara 80 dan 140. Ratio dari gerakan sendi
glenohumeral dan scapulothoracic adalah 0.71:1 selama middle phase.
Gerakan pada acromioclavicular dan sternoclavicular menghasilkan gerakan pada scapula. Saat
abduksi pada middle, ICR dari scapula mulai berpindah menuju sendi acromioclavicular. Elevasi
clavicula pada sendi sternoclavicular, dua kali rotasi scapula pada sendi acromioclavicular,
menghasilkan mobbilisasi scapula normal. Gerakan dapat terjadi pada sendi acromioclavicular,
dengan sedikit pergerakan terjadi pada sendi sternoclavicular sepanjang axis. Lengkung ganda
pada clavicula berfungsi sebagai poros, agar menghasilkan elevasi dan rotasi pada ujung
acromioclavicular. Rotasi scapula pada sendi scromioclavicular dimulai pada sudut elevasi antara
60 dan 90. Elevasi clavicula selesai pada sudut antara 120 dan 150 dari abduksi humerus. Elevasi
clavicula pada sendi acromioclavicular menghasilkan rotasi scapula maksimal. Kira kira pada
elevasi 150, ICR pada scapula segaris dengan sendi acromioclavicular.
c) Final phase of elevation : 140 hingga 180
Selama elevasi pada final phase, rasio gerak sendi glenohumeral terhaddap scapulothoracic
adalah 3.49:1, lebih besar gerakan pada sendi glenohumeral. ICR pada scapula telah berindah
lokasi menjadi diatas lateral.gaya rotasi lengan pada otot upper trapezius telah berkurang
panjangnya, dan peran pada otot ini sekarang yaitu menjaga scapula. Letak ICR pada scapula
29
menjadikan otot middle trapezius prime mover untuk rotasi scapula ke bawah. Otot lower traezius
dan serratus anterior terus bekerja untuk meningkatkan aktivitas selama elevasi final phase, dan
otot-otot itu bekerja sebagai upward rotator dan melawan gaya dari upper dan middle trapezius.
Saat humerus elevasi menuju akhir ROM, ia harus terlepas dari scapula. Otot teres major dan
subscapularis berperan penting, yaitu untuk menunjang humerus untuk pisah dari scapula.
30
BAB III
3.1.
Definisi
Secara umum ketidakstabilan sendi adalah suatu istilah gangguan sendi yang meliputi dislokasi,
subluksasi, dan laxity yang patologi. Untuk memahami arti dislokasi bahu sendi ini, kita harus
mengetahui terlebih dahulu istilah yang berkaitan dengan ketidakstabilan sendi ini. 3
Translasi adalah gerakan dari tulang humerus terhadap fossa glenoid. Laxity adalah besaran
gerakan translasi yang dapat terjadi dalam sendi bahu. 3 Laxity glenohumeral dapat bersifat normal
sebagai variasi dari bahu. Selama translasi terjadi dalam kinematik glenohumeral yang normal.
Laxity sering diukur berdasarkan peningkatan translasi pasif dari caput humeral pada glenoid dan
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan faktor kongenital. 10
Instabilitas merupakan kondisi patologis yang dipengaruhi translasi aktif caput humerus pada
glenoid. Berbeda dengan laxity, instabilitas biasanya menimbulkan gejala. Gejala tersebut timbul
sebagai gambaran kegagalan stabilisasi statis dan dinamik untuk menjaga caput humeri tetap
berada dalam cavitas glenoidal. Hal yang dapat menggangu fungsi normal bahu berupa interaksi
komplek dari otot, saraf, dan jaringan struktural sekitar sendi. Pada keadaan ketidakstabilan sendi,
translasi berlebihan pada sendi bahu terjadi pada pasien.10
Dislokasi diartikan sebagai pergeseran tulang pada berbagai bagian. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan, dislokasi sendi bahu terlepasnya caput humerus dengan fossa glenoid secara komplit.
Hal ini dapat dibedakan dengan subluksasi yang artinya terlepasnya caput humerus dari fossa
31
glenoid secara parsial, namun gejala yang diakibatkan oleh instabilitas sendi muncul pada fase
ini.10
3.2.
Klasifikasi
Secara teori faktor anatomi dapat mempengaruhi instabilitas sendi. Misalnya kapsul sendi yang
terlalu lebar, longgarnya kapsul glenohumeral inferior, variasi penempelan kapsul dan ligamen
pada glenoid, dan laxity pada rotator. Hal ini dinilai menjadi faktor risiko terjadinya dislokasi bahu.
Kerusakan pada labrum glenoid juga dapat mengganggu stabilitas sendi sekitar 10% ke segala
arah. Hipermobilitas sendi meningkatkan 2.5 kali lipat risiko dislokasi bahu. 9
Hilangnya integritas tulang karena perubahan inklinasi atau versi, dan patah tulang pada
humerus atau glenoid dapat mempengaruhi stabilitas anterior atau inferior sendi. 9
32
Kestablian dinamis pada bahu bergantung oleh adanya kompresi dalam ruang sendi. Fenomena
ini berhubungan dengan gaya kompresi yang dihasilkan oleh kontraksi otot rotator cuff
berkombinasi dengan posisi dan stabilisasi scapula. Kurangnya kontrol sekunder neuromuskular
untuk menghalangi input saraf descending, atau diskinesia scapula dapat menimbulkan terjadinya
ketidakstabilan bahu. 9
Selain itu tingginya kejadian rekurensi dislokasi bahu juga banyak terjadi pada usia lebih dari
40 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh profil kolagen pada kapsul bahu. Kolagen adalah merupaka
material penting penyususn ligamen dan sendi. Saat usia dewasa kolagen yang diproduksi
merupakan kolagen yang tidak mudah larut. Kolagen tipe ini memliki sulfur yang memiliki
kecenderungan untuk saling berikatan diantara filamen kolagen. Hal ini mnyebabkan serabut
kolagen menjadi kuat dan tidak elastis. Sekali saja orang tua mengalami streching yang berlebihan,
ligamen dan kapsulnya akan menjadi longgar.13
3.3.2
Faktor Ekstrinsik
Kejadian dislokasi bahu banyak terjadi pada orang yang sering melakukan aktivitas olahraga
atau rekreasi daripada orang yang santai. Frekuensi terjadinya dislokasi berulang juga lebih banyak
pada atlit (>80%). Hal yang paling sering sering menyebabkan dislokasi yaitu adanya kontak bahu
yang kuat terhadap pemain lain, dan juga kontak dengan peralatan olahraga di sekitarnya. 9
Selain itu chronis stress berhubungan dengan olahraga yang banyak melakukan gerakan lengan
melampaui kepala seperti melempar, voli, dan tenis. Gerakan yang terjadi yaitu rotasi eksterna
yang ekstrim dengan posisi humerus abduksi dan ekstensi dalam bidang horisontal. Terdapat
hipotesis bahwa posisi lingkup gerak sendi yang berlebihan secara repetitif dapat menyebabkan
kelebihan beban pada kapsul glenohumeral. Hal ini mengakibatkan melemahnya pembatas static
33
Gambar 3.1 Gaya yang kuat dihasilkan saat gerakan melempar dan dapat menyebabkan cedera.
Torque maksimal dihasilkan pada 2 point; saat rotasi eksternal maksimal (Late-Cocking), dan
setelah bola terlempar (deselerasi).
Gambar ini diambil dari kepustakaan no.5
3.3.3
Faktor Kecelakaan
Mekanisme dislokasi anterior bahu yang disebabkan oleh kecelakaan yaitu jatuh pada posisi
lengan elevasi dan ekstensi. Sehingga menyebabkan aplikasi gaya yang langsung ke arah posterior
dari caput humerus. 13
Pada posisi jatuh terlentang, Bankart menjelaskan gaya yang melewati humerus saat ekstensi
menjadi besar sehingga menghasilkan dislokasi anterior-inferior. 9
Baru baru ini ditemukan, jatuh pada saat lengan abduksi dan rotasi eksternal, gaya ke arah
eksternal distal pada anggota gerak atas mendorong bahu hingga batas dari normal lingkup gerak
sendi.9
34
3.4.
Gambaran klinis
Gambaran klinis yang paling sering dikeluhkan pasien yaitu nyeri yang berat. Pasien
tampak menyangga lengan yang sakit dengan tangannya dan merasa enggan jika tangannya
diperiksai. Sisi lateral bahu tampak rata, dan pada pasien kurus teraba pembengkakan
dibawah klavikula.
3.5.
3.5.1. Anamnesa
Karena instabilitas sendi dapat disebabkan oleh berbagai hal, diagnosa yang tepat dan
identifikasi terhadap penyebab utama adalah penting untuk menentukan program terapi. Diganosa
diawali oleh menanyakan riwayat penyakit secara detail dan terfokus. Informasi mengenai
kejadian instabilitas penting untuk menentukan arah proses patologis.
Arah dan tipe instabilitas dapat diketahui saat menanyakan posisi lengan saat kejadian. Terkait
dengan ligamen laxity, mudah atau tidaknya relokasi sendi bahu dapat membedakan antara
dislokasi dan subluksasi.6
Berdasarkan waktunya, pasien yang baru saja mengalami kecelakaan pada sendi bahu biasanya
akan mengeluh nyeri. Rasa nyeri dan spasme otot dapat menyertai dislokasi sendi yang sudah lama
dan belum dilakukan reduksi. Pasien juga akan mengeluhkan adanya gangguan sensasi (baal),
keterbatasan gerak sendi bahu, dan kelemahan otot. Biasanya pasien juga mengeluhkan adanya
perasaan khawatir atau sendi bahu tidak stabil.9
35
36
Pemeriksaan foto roengent meliputi tampak AP, tampak lateral scapula, dan tampak axillar.
Pada pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya Hill-Sach lession pada caput humeral dan dapat
juga menunjukkan lepasnya tulang pada permukaan anterior glenoid.
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan robekan pada labrum anerior inferior glenoid.
Peningkatan sinyal yang menunjukkan defisit struktural dan peradangan jaringan pada terlihat
pada gambaran setinggi T2. Adanya rotator cuff tear pada pasien tua tampak pada MRI.
CT dapat digunakan untuk menilai adanya kecacatan tulang dalam dua dimensi. CT
rekonstruksi merupakan pemeriksaan tiga dimensi, dapat digunakan untukmenilai besarnya
kecacatan tulang pada humerus maupun permukaan glenoid ketika pemeriksaan x-ray standar
gagal menilai lesi.9
3.6.
37
dada dan bawah ketiak. Cara ini tidak lagi dilakukan karena dapat menyebabkan cedera
neurovascular.
Metode Kocher. Pasien dalam posisi supine, bahu yang cedera diletakkan di pinggir tempat
tidur. Kemudian bahu ditekuk 90 lalu posisikan bahu menempel pada samping tubuh, tidak
diperlukan traksi pada metode ini. Secara perlahan (5 menit) dengan diberikan dorongan secara
simultan bahu akan mengalami rotasi eksternal. Setelah lengan mencapai rotasi 120, lengan
diposisikan kembali pada rotasi internal, sehingga terjadi reduksi sendi.
Teknik lain yaitu dengan pasien pada posisi duduk di kursi, lalu diberikan traksi pada lengan
melalui bagian belakang bantalan kursi. Cara ini dapat mereduksi dislokasi.
Pada pasien yang berusia di bawah 30 tahun dapat diberikan resting splint selama sekitar tiga
minggu. Dalam kurun waktu tersebut pasien diminta menghindari gerakan abduksi dan lateral
rotasi. Selama periode ini bahu dan jari masih tetap digerakkan. Cara ini akan memberikan posisi
yang baik bagi penyembuhan pad Bankart lession.
38
a. Atrthoscopic procedure
Prosedur ini didahului oleh pemeriksaan artroskopi untuk melihat cedera pada sendi bahu.
Menurut beberapa penelitian, kecacatan pada area permukaan glenoid lebih dari 21% hingga 30%
atau Hill-Sac defect dapat menyebabkan dislokasi berulang. Pemeriksan harus melihat secara teliti
kondisi labrum glenoid dan kapsul yang longgar. Untuk memastikan, operator biasanya memeriksa
sekeliling sendi bila terdapat tanda kelonggaran sendi. Tanda ini menunjukkan positif bila
artroskop dapat dengan mudah melewati portal posterior, menuju kuadran anteroinferior. Jika
tampak lesi capsulolabral, atau yang dikenal sebagai bankart lession, maka segera dilakukan repair.
Teknik repair ini menggunakan jahitan sebagai jangkar, kemudian labrum ditempelkan kembali
pada cincin glenoid,dimulai dari daerah yang paling inferior. Proses ini terus dilanjutkan hingga
labrum selesai diperbaiki sesuai posisi semula yaitu pada cincin glenoid. 14
39
3.7.
Komplikasi15
3.7.1. Early
a. Rotator cuff tear. Kejadian ini sering timbul bersama dislokasi anetrior, terutama pada
orang tua. Pasien dapat kesulitan melakukan abduksi lengan setelah dilakukan reduksi;
teraba kontraksi otot deltoid menyingkirkan adanya palsy saraf axillary. Kebanyakan tidak
membutuhkan tindakan bedah, namun pada orang muda yang aktif dengan cedera yang
besar, akan lebih baik jika dilakukan repair secepatnya.
b. Nerve injury. Saraf axillar paling sering terkena cedera; psien tidak dapat
mengkontraksikan otot deltoid dan mungkin terasa baal diatas area otot. Ketidakmampuan
untuk melakukan abduksi harus dibedakan dengan kemungkinan yang disebabkan oleh
adanya rotator cuff tear. Lesi pada saraf biasanya berupa neuropraxia yang mungkin
sembuh spontan setelah beberapa minggu; namun jika tidak terjadi perbaikan, harus
pertimbangkan dilakukan operasi secepatnya, karena jika operasi terlambat dikerjakan
dalam bebebrapa bulan hasilnya tidak memuaskan.
40
Kadang kadang saraf radial, muskulokutaneus, dan median atau ulnar dapat terjadi
cedera. Jarang terjadi palsy saraf infraclavicular brachial komplit. Beberapa kejadian butuh
perhatian khusus, namun biasanya akan sembuh dengan waktu.
c. Vascular injury. Dapat terjadi kerusakan pada arteri axillar, terutama padda orang tua
yang pembuluh darahnya rapuh. Hal ini dapat terjadi saat trauma maupun saat reduksi yang
terlalu ketat. Anggota gerak harus selalu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda iskemik pada
sebelum maupun sesudah reduksi.
d. Fractur dislocation
Dapat terjadi fraktur yang berhubungan dengan humerus proximal,sehingga dibutuhkan
reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Dapat terjadi pengikisan pada tuberositas
mayor saat dilokasi. Biasanya serpihan itu jatuh saat dilakukan reduksi, tidak dibutuhkan
tatalaksana khusus pada kejadian ini. Namun, jika terjadi pergeseran antar patahan tulang,
maka harus dilakukan operasi untuk mencegah terjadinya subacromial impingement.
3.7.2. Late
a. Shoulder stiffness. Imobiisasi yang lamadapat menyebabkan kekakuan pada bahu,
terutama pada pasien usia diatas 40 tahun. Akan terjadi keterbatasan rotasi eksterna,
sehingga menghambat abduksi. Pada kasus ini dapat dilakukan terapi manupulasi dengan
anestesi atau arthroscopic capsular release setelah 6 bulan atau perkembangannya terhenti.
b. Unreduced dislocation. Dislokasi bahu terkadang tidak terdiagnosa, biasanya pada pasien
yang tidak sadar atau pasien dengan usia yang sangat tua. Reduksi tertutup mulai
menampakkan hasil setalah 6 bulan pasca cedera; manipulasi dapat menimbulkan patah
tulang atau cedera saraf dan pembuluh darah. Reduksi dengan operasi diindikasikan pada
usia muda setelah 6 minggu, karena hal ini sulit, berbahaya dan dapat diikuti kekauan sendi.
41
Pemeriksaan bagian anterior sendi meliputi saraf dan pembuluh darah harus dilkaukan
sebelum mereduksi dislokasi. Pada usia tua, sering menunjukkan hasil terapi berupa
Active neglect pada kasus unreduced dislocation. Kita mengabaikan dislokasi namun
meningkatkan gerakan aktif hingga mencapai fungsi yang baik.
c. Reccurent dislocation. Jika dislokasi anterior sendi bahu merobek kapsul, repair akan
terjadi secara spontan setelah adanya reduksi, namun jika labrum glenoid terputus, atau
kapsul kapsul terlepas dari leher glenoid, lebih sulit terjadi repair dan kemungkinan terjadi
dislokasi berulang lebih sering. Labrum yang terputus yang biasa terjadi pada pasien muda,
dan, jika pada cedera terdapat defek tulang yang terlepas dari sisi posterolateral caput
humerus, kekambuhan akan sangat mungkin terjadi.
42
BAB IV
4.1.
Walaupun terdapat perbedaan karakterisktik dari tipe instabilitas bahu, banyak pasien yang
tidak mendapatkan rehabilitasi pada nooperative treatment. Setelah dislokasi akut, fase imobilisasi
sering diserahkan ke rehabilitasi. Bagi pasien dengan rekurensi instabilitas bahu, harus dilakukan
stabilisasi melalui operasi. Pada kasus ini penanganan rehabilitasi penting untuk manajemen post
operasi. Selain itu, rehabilitasi post operasi juga penting untuk mengembalikan sinkronisasi
stabilisasi statik dan dinamik.
Prinsip yang mendasari rehabilitasi instabilitas bahu adalah mengembalikan gerakan
fungsional, kekuatan otot, dan stabilitas sendi. Tujuan utama rehabilitasi adalah mengembalikan
aktivitas sehari-hari, pekerjaan, dan olahraga. Rehabilitasi harus disesuaikan dengan kondisi
patologi yang menyebabkab dislokasi bahu. Sehingga penting bagi seorang klinisi menentukan
diagnosa yang tepat. Program rehabilitasi juga harus disesuaikan dengan prosedur operasi yang
dilakukan.
Program rehabilitasi dapat menggunakan modalitas untuk mengurangi nyeri. Alat ini dapat
digunakan ketika pasien merasa nyeri saat memulai gerakan pada daerah bahu. Pada latihan awal
post operasi kekuatan otot dimulai dengan latihan closed chain. Sebagai tambahan, harus
dilakukan stabilisasi pada scapula.
43
Pada rehabilitasi fase lanjut, latihan fasilitasi propiosepsi neuromuskular dapat dilakukan.
Latihan ini bertujuan memberikan input sensori spesifik untuk memfasilitasi gerakan spesifik atau
latihan. Sehingga disimpulkan latihan PNF dapat meningkatkan pemulihan. 10
fase atau perpindahan fase. Bisa terjadi overlap dalam fase. Selain itu terdapat vasriasi waktu
penyembuhan pada masing-masing individu. Sehingga fase-dase yang disusun bukan hal yang
menentukan progresifitas dari rehabilitasi, namun bersifat sebagai panduan bagi klinisi.
Pengalaman dari seorang spesialis rehabilitasi sangat penting dalam memberikan program
rehabilitasi dan pemulihan.
Secara umum fase rehabilitasi berlangsung secara alamiah. Sebagai contoh jika kemampuan
dasar melakukan gerak seperti ROM telah tercapai, maka pasien dapat melanjutkan latihan
penguatan yang membutuhkan ROM fungsional. Saat pnyembuhan jaringan telah terjadi, dan
jaringan pengikat baru telah terbentuk, maka toleransi beban yang dapat diterima sendi meningkat.
Fase rehabilitasi adalah: akut, subakut(intermediate), kronik, dan fase kembali beraktivitas atau
olahraga.16
4.2.
45
Tatalaksana untuk mengurangi nyeri dan bengkak dapat menggunakan terapi modalitas seperti
terapi dingin,TENS, Ultrasound, microwave Diathermy. Dapat pula diberikan obat-obatan seperti
NSAID dan analgesik. 17
18
46
47
4.3.
Manajemen konservatif pada instabilitas bahu anterior banyak berhasil pada pasien yang
berusia lebih dari 30 tahun. Pasien muda biasanya membutuhkan imobilisasi lebih lama. Walaupun
begitu, tidak dapat disimpulkan bahwa lama imobilisasi tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko dislokasi berulang. Karena rekurensi merupakan komplikasi tersering, maka tujuan dari
rehabilitasi pada kasus ini adalah untuk meningkatkan stabilitas sendi. Komponen penting pada
program rehabilitasi adalah menghindari semua manuver provokatif dan hati-hati untuk
menguatkan otot.
Prinsip dasar dari rehabilitasi nooperative treatment untuk dislokasi bahu anterior adalah
mengembalikan stabilitas kompresi glenohumeral, ketepatan gerakan scapulohumeral rthym, dan
mekanisme propiosepsi. 3
48
Restriksi
Imobilisasi
Hindari
posisi
provokasi
yang
berisiko
instabilitas
berulang, seperti: rotasi
eksterna,
abduksi,
distraksi
Imobilisasi
dengan
sling,
lepaskan
jika
latihan
Lama imobilisasi
bergantung usia,
berdasarkan teori
penyembuhan
pada capsulolabral
complex,
yaitu;
<20 tahun: 3-4
Hindari
posisi
provokasi
yang
berisiko
instabilitas
berulang
Gerakan
bahu:
flexi
kedepan
140,
rotasi
eksterna 40
Hindari ekstensi
Sling (sesuai fase 1)
Hindari
eksaserbasi
instabilitas:
abduksi,
rotasi eksterna
Gerakan bahu: flexi ke
depan
160, rotasi
eksterna 40 dengan
abduksi 30-45
49
Kontrol Nyeri
Gerak Bahu:
Gerak Siku:
Penguatan Otot
minggu,
20-30
tahun: 2-3 minggu,
>30 tahun: 10 hari2 minggu, >40
tahun: 3-5 hari
Obat:
Narkotik:
pada
dislokasi
oleh
trauma diberikan
5-7 hari
NSAID:
untuk
mengurangi
inflamasi
Terapi Modalitas:
Terapi
dingin,
Ultrasound
Diawali pada fase
1 untuk pasien usia
lebih dari 30 tahun
Ikuti protokol pada
fase 2
Pasif:
Flexi 0-130
Pronasi
dan
supinasi
sesuai
toleransi
Penguatan
otot
stabilizer scapular
dimulai dar fase 1
Tujuan:
Flexi
kedepan
140
Rotasi eksterna
40
Latihan:
Diawali dengan
latihan codman
pendulum untuk
memulaiawal
gerak
Latihan
ROM
pasif
Latihan AAROM
Latihan AROM
Tujuan:
Gerakan bahu: flexi ke
depan 160
rotasi eksterna 40
dengan abduksi 30-45
Latihan:
Latihan ROM pasif
Latihan AAROM
Latihan AROM
Tujuan:
Memperoleh gerak
minimal
yang
sebanding ke arah
kontralateral
Latihan:
Latihan
pasif,
AAROM,
dan
AROM
untuk
mencapai
tujuan
gerak
Capsular Stretching:
Terutama pada capsul
posterior
Penguatan
Rotator Cuff:
Otot
50
Mulai
dengan
latihan penguatan
closed-chain
isometric dengan
siku fleksi 90:
rotasi
interna,
rotasi
eksterna,
flexi kedepan
Penguatan stabilizer
scapular:
Latihan penguatan
closed
chain:
scapular
retraction, scpular
protraction,
scapular
depresion,
Shoulder shrugs
Latihan
closed-chain
isometric dengan lengan
abduksi 30-45
Lanjutkan
latihan
penguatan open-chain
dengan Theraband:
1. Latihan dilakukan
dengan siku pada
posisi flexi 90
2. Posisi
dimulai
dengan bahu posisi
netral.
Lengan
harus dalam posisi
nyaman
3. Latihan dilakukan
dengan membentuk
lengkungan
45
dalam 5 bidangn
gerak
4. Jika ada 6 kode pita
warna;
masingmasing
menunjukkan
peningkatan beban
dari 1-6 pound,
setiap kenaikan 1
pound
5. Peningkatkan pada
pita
berikutnya
dalam interval 2-3
minggu. Beritahu
pasien untuk tidak
melanjutkan ke pita
selanjutnya
bila
dirasa
tidak
nyaman
6. Latihan theraband
memberikan
penguatan
eksentrik
dan
51
Upper Extremity
Endurance
Training
Propioceptive
Training
Tujuan
Meningkatkan
kekuatan bahu
Meningkatkan
kontrol
neuromuscular dan
propiosepsi bahu
Mengembalikan
gerak bahu
Mempersiapkan
fungsi dan aktivitas
seperti semula secara
bertahap
Memberikan
program
latihan
maintenance
di
rumah selama 3x
semingguuntuk
strengthening dan
stretching
52
Penguatan
Fungsional
Warning Sign
Latihan Plyometric
Persistent instability
Loss of Motion
Kurangnya
peningkatan
kekuatan: terutama
pada abduksi
Nyeri yang terus
menerus
53
Fase 2: intermediate
Tujuan
Tatalaksana
ROM Full
Nyri dan nyeri tekan
minimal
MMT baik untuk rotasi
interna, rotasi eksterna,
flexi, abduksi
Meningkatkan kekuatan
otot
Memulihkan
arthrokinematik
Meningkatkan kontrol
neuromuskular
dari
kompleks bahu
Mengurangi
nyeri
dan
inflamasi dengan:
Terapi modalitas (terapi
dingin, electrotherapy)
NSAID
Mobilisasi sendi dengan
tepat
Initiate
isotonic
Strengthtening:
Flexi
Abduksi hingga 90
Rotasi internal
Rotasi eksterna hingga
45 dengan berbaring
miring
Shoulder shrug
Ekstensi
Adduksi horisontal
Supraspinatus
Biceps
Push-up
Latihan ROM:
Pendulum
Sirkumduksi
Fase
3:
advance
strengthtening
ROM tidak nyeri
Tidak ada nyeri tekan
Kemajuan pada latihan
beban
Meningkatkan kekuatan
Meningkatkan kontrol
neuromuskular
Melanjutkan
latihan
beban
Lanjutkan
Terapi
modalitas
jika
dibutuhkan
Lanjutkan
stretching
kapsul posterior
Lanjutkan
penguatan
isotonik (latihan beban
bertahap)
Lanjutkan
penguatan
eksentrik
Utamakan PNF
Mulai isokinetik: Flexiekstensi,
abduksiadduksi, rotasi internaekterna,
horisontal
abduksi-adduksi
Initiate Plyometric Exercise:
Surgical tubing, wall
push-up, medicine ball,
boxes
ROM Full
Tidak ada nyri dan nyeri
tekan
Test isokinetic baik
Pemeriksaan klinis baik
Menjaga
kekuatan
optimal
Meningkatkan
level
aktivitas
untukmempersiapkan
pasien
kembali
menjalani aktivitas dan
olahraga
Lanjutkan semua latihan
pada fase 3
Lanjutkan
stretching
kapsul posterior
Initiate interval program
Lanjutkan modalitas jika
diperlukan
Follow up:
Test isokinetik
Progress
program
interval
54
Latihan strenghtening
Isometric: flexi, abduksi,
interna rotasi, eksterna
rotasi
Weight shift: latihan
closed-chain
Maintenace
latihan
program
Mengembalikan
arthrokinematik
kompleks
bahu:
Lanjutkan
mobiisasi
sendi
Edukasi pasien tentang
modifikasiaktivitas atau
olahraga
Meningkatkan
kontrol
neuromuskular dari komplek
bahu:
Initiate of PNF
Rhythmic stabilization
drills
Lanjutkan terapi modalitas
jika diperlukan
55
4.4.
Komplikasi tersering setelah operasi stabilisasi sendi adalah keterbatasan gerak sendi. Maka
dengan alasan ini tujuan rehabilitasi setelah stabilisasi bahu adalah3:
1. Menjaga integritas hasil operasi
2. Pemulihan bertahap menuju ROM fungsional
3. Meningkatkan stabilitas dinamic (pada otot sekeliling bahu)
4. Mengembalikan aktivitas atau olahraga pasien
56
Restriksi
Imobilisasi
Kontrol nyeri
Gerakan Bahu:
Flexi ke depan 140
Rotas eksterna 40:
1. Lengan pada sisi tubuh
2. Setelah 10 hari, dapat
meningkat hingga rotasi
eksterna 40 dengan posisi
lengan abduksi hingga 45
Hanya Rom aktif, tanpa manipulasi
dari terapist
Pasien yang telah mendapatkan
prosedur
stabilisai
terbuka
dengan
penurunan
insersi
subscapularis
tidak
boleh
melakukan rotasi interna selama
4 minggu
Hindari manuver provokatif yang
membuat posisi instabilitas kembali
Sling: selama 4 minggu pagi dan
terutama malam hari
Mengurangi nyeri penting untuk
penyembuhan:
Obat
1. Narkotik: selama 7-10 hari
setelah operasi
2. NSAID:
untuk
pasien
dengan rasa tidak nyamn
yang terus menerus setalh
operasi
Terapi modalitas: Es, Ultrasound
Obat:
1. NSAID:
untuk
pasein
dengan
perasaan
tidaknyaman yang terus
menerus
2. Injeksi
Subacromial:
kortikosteroid/ kombinasi
ansetesi lokal
3. Sendi glenohumeral: injeksi
kortikosteroid/ kombinasi
57
4.
Gerak: Bahu
Gerak: Siku
Penguatan otot
Tujuan:
Flexi ke depan 160
Rotasi eksterna 50
Abduksi 70
Latihan:
Latihan AROM
Tujuan:
Memperoleh gerak minimal yang
sebanding ke arah kontralateral
Latihan:
Latihan pasif
Latihan AAROM
Latihan AROM
Capsular Stretching: Terutama
pada capsul posterior
58
gropu
dengan
insersi
subscapularis dihilangkan
sebelum 6 minggu
2. Rotasi eksterna
3. Abduksi
4. Flexi kedepan
Penguatan menggenggam
gropu
dengan
insersi
subscapularis dihilangkan
sebelum 6 minggu
2. Rotasi eksterna
3. Abduksi
4. Flexi kedepan
Lanjutkan latihan penguatan
open-chain dengan Theraband:
1. Latihan dilakukan dengan
siku pada posisi flexi 90
2. Posisi dimulai dengan bahu
posisi netral.
3. Latihan dilakukan dengan
membentuk lengkungan 45
dalam 5 bidangn gerak
(dengan panduan gerakan
yang bolehdilakukan)
4. Jika ada 6 kode pita warna;
masing-masing
menunjukkan peningkatan
beban dari 1-6 pound, setiap
kenaikan 1 pound
5. Peningkatkan pada pita
berikutnya dalam interval 23 minggu. Beritahu pasien
untuk tidak melanjutkan ke
pita selanjutnya bila dirasa
tidak nyaman
6. Latihan
theraband
memberikan
penguatan
eksentrik dan konsentrik dari
otot bahu. Latihan ini
merupakan latihan isotonic
7. rotasi eksterna
8. abduksi
9. flexi ke depan
Penguatan stabilizer scapular:
1. Latihan penguatan closedchain: scapular retraction,
scapular
protraction,
2.
Tingkatkan
dengan
penguatan open-chain
59
Latihan PNF
Penguatan fungsional
Tujuan
60
Mengembalikan
full
ROM
Mengembalikan
artrhrokinematik
Meningkatkan keuatan
otot
Meningkatkan
kontrolneuromuskular
Kriteria Progresifitas
Program
Phase
3:
Advanced
Strengthtening Phase (bulan
4-6)
Meningkatkan kekuatan
otot
Meningkatkan
endurance
Menjaga mobilitas
Minggu 8-10:
Tingkatkan hingga ROM
Full ( minggu 7-8)
Lanjutkan
seluruh
latihan stretching
1. Mobilisasi
sendi,
stretching capsular,
stretching aktif dan
pasif
Pada
atlit
yang
melakukan
gerakan
melampui
kepala,
maintain rotasi eksterna
90
Lanjutkan
latihan
penguatan
1. Thrower
ten
program (untuk atlit
yang
melakuakn
Minggu 0-2:
Sling 1 minggu
Dapat
menggunakan
imobilizer selama tidur
(2 minggu)
ROM
tangan/pergelangan
tangan
PROM dan AAROM :
flexi sesuai toleransi,
abduksi sesuai toleransi,
rotasi interna-eksterna
pada bidang scaular
Submaksimal isometrik
Stabilisasi Rhytmic
Cryotherapy,
sebagai
modalitas
jika
dibutuhkan
ROM full
Tidak ada nyeri atau
nyeri tekan
Stabilitas baik
Kekuatan meningkat7080%
pada
sisi
kontralateral
Minggu 14-20:
Melanjutkan
seluruh
latihan flixibilitas
1. Self
capsular
stretches (anterior,
posterior,
dan
inferior)
2. Menjaga flexibilitas
rotasi eksterna
Melanjukatn
program
penguatan isotonik
Meningkatkan
keseimbangan
otot
(rotasi eksterna-interna)
Melanjutkan
PNF
manual resistance
Lanjutkan plyometrik
Mulai program latihan
melempar
Melanjutkan stertching
capsular untuk menjaga
mobilitas
Melanjutkan
program
penguatan
1. Dengan Throwers
ten atau program
latihan fundamental
bahu
Kembali
bergabung
olahraga
61
Minggu 3-4:
Bertahap
tingkatkan
ROM
1. Flexo 120-140
2. Rotasieksterna pada
bidang scapular 3545
3. Rotasiinterna pada
bidang scapular 45-60
4. Ekstensi bahu
Latihan isotonikringan
untukotot bahu:
1. Tubing for eksterna
and interna rotasi
2. Dumbells; deltoid,
supraspinatus,
biceps, scapular
3. Lanjutkan latihan
stabilisasi dinamik,
PNF
Stretching self capsular
Minggu 6-7:
Tingkatkan ROM sesuai
toleransi:
1. Flexi hingga 160
2. Rotasi interna dan
eksterna
pada
abduksi 90: rotasi
interna 75 dan
gerakan melampaui
kepala)
2. Penguatan isotonik
untuk
seluruh
kompleks bahu
3. Teknik manual PNF
4. Neuromuscular
control drills
5. Penguatan
isokinetik
Minggu 10-14:
Lanjutkan
seluruh
latihan flexibilitas
Lanjutkan
seluruh
latihan penguatan
Dapat memulai latihan
plyometric ringan
Dapat
memulai
berenang, golf swing
dengan hati-hati
Dapat memulai latihan
isotonic beban dengan
mesin (minggu 12-14)
Minggu 20-24
Melanjutkan
seluruh
latihan diatas
Melanjutkan
dan
meningkatkan program
latihan melempar
62
63
Phase 2: intermediate
ohase
(moderate
protection phase)
Mengembalikan
ROM full secara
bertahap
Menjaga kesatuan
hasil operasi
Memulihkan
kekuatan otot dan
keseimbangan otot
Phase
3:
Minimal
protection phase
Phase 4: advanced
Strengthtening phase
Meningkatkan
keuatan
otot,
endurance
Kemajuan
aktivitas
fungsional
Menjaga mobilitas
sendi
ROM full tanpa nyeri
Stabilitasi static baik
Kekuatan otot 70-80%
pada sisi kontralateral
Tidakada nyeri dan
nyeri tekan
Phase 5: Return to
activity Phase (bulan
6-9)
Secara bertahap
kembali
pada
aktivitas olahraga
Menjaga
kekuatan,
mobilitas,
dan
stabilitas sendi
Minggu 0-2:
Tidak boleh rotasi
eksterna, ekstensi, atau
abduksi selama 2
minggu
Menggunakan sling
selama 2 minggu
Menggunakan
immobilizer saat tidur
selama 2-4 minggu
ROM siku/tangan
Latihan
tangan
menggenggam
Latihan
PROM,
AAROM
1. Flexi 60
Minggu 7-9:
Bertahap tingkatkan
ROM:
1. Flexi
hingga
160
2. Rotasi eksterna
pada abduksi
90: 70-75
3. Rotasi interna
pada abdukasi
90: 70-75
Lanjutkan
peningkatan
program penguatan
istonic
Lanjutkan
penguatan PNF
Minggu 15-18:
Lanjutkan
seluruh
latihan stretching
Lanjutkan
latihan
penguatan:
1. Program throwers
ten atau program
latihan
fundamental
2. PNF
manual
ressitance
3. Latihan
endurance
4. Memulai program
plyometric ringan
5. Membatasi
aktivitas olahraga
Minggu 22-24:
Lanjutkan latihan
flexibilitas
Lanjutkan
program
penguatan
isotonik
PNF
manual
resistance patterns
Plyometric
strengthtening
Tingkatkan
interval program
olahraga
ROM
full
fungsional
Test
isokinetik
baik
Stabilitas
bahu
baik
Tidak ada nyeri
dan nyeri tekan
Secara bertahap
tingkatkan
program olahraga
hingga partisipasi
aktif
Lanjutkan
stretching
dan
strengthtening
64
2.
Minggu 10-14:
Dapat
memulai
penguatan
lebih
agresive
Meningkatkan
latihan penguatan
isotonic
Tingkatkan ROM
hingga kebutuhan
fungsional
Minggu 18-21:
Melanjutkan seluruh
latihan sebelumnya
Mulai program latihan
olahraga
65
66
BAB V
PENUTUP
Sendi bahu memiliki fungsi yang kompleks. Agar dapat melakukan gerak dengan baik,
stabilitas bahu harus dijaga. Pada orang yang sering melakukan gerakan yang melebihi lingkup
gerak sendi dapat terjadi trauma pada bahu. Selain pada atlit, orang tua juga sering mengalami
dislokasi bahu. Fungsi yang terganggu pada cedera ini bisa merupakan gangguan gerak,
neuromuskular, propiosepsi, dan endurance otot.
Terdapat berbagai macam protokol terapi dalam tatalaksana rehabilitasi medik. Seorang klinisi
wajib melakukan assessmen terlebih dahulu pada fungsi bahu yang terganggu akibat cedera ini.
Penggunaan protokol rehabilitasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu
serta fungsi yang ingin dicapai. Dengan tinjauan kepustakaan ini, diharapkan dapat membantu
menyusun program rehabilitasi medik sesuai patologi yang mendasarinya.
67
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
68