Anda di halaman 1dari 11

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radang
Peradangan atau inflamasi merupakan suatu respon protektif normal
terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik dan zat kimia yang
merusak atau zat-zat mikrobiologi. Peradangan dapat juga diartikan sebagai usaha
tubuh

untuk

mengaktivasi

atau

merusak

organisme

yang

menyerang,

menghilangkan zat iritan, dan mengatur perbaikan jaringan (Sutrisna, 2010).


Radang biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, sebagai
radang akut dan radang kronik. Dua jenis utama radang tersebut juga ditandai
dengan jenis sel yang berbeda yang merupakan bagian respons radang
(Underwood, 1999). Namun sulit ditentukan sampai batas mana keradangan akut
berlangsung dan kapan juga keradangan kronis dimulai (Yoyada, 2010).
2.1.1 Radang Akut
Radang akut merupakan reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam
waktu yang tidak lama terhadap cedera jaringan, biasanya dapat berakhir dalam
beberapa jam sampai beberapa hari. Respons radang akut adalah sama, apapun
yang menjadi agen penyebabnya (Underwood, 1999). Radang akut berlangsung
cepat, secara relatif merupakan proses yang pendek yang ditandai dengan eksudasi
cairan dan migrasi leukosit, yang utama adalah neutrofil (Sari, 2007).
Penyebab utama radang akut dapat berupa infeksi mikrobial (misalnya
bakteri piogenik, virus), reaksi hipersensitivitas (misalnya parasit, basil

tuberkolusis), agen fisik (misalnya trauma, radiasi pengion, panas, dingin),


kimiawi (misalnya korosif, asam, basa, toksin bakteri), dan jaringan nekrosis
(misalnya infark iskemik). Gejala klinis pada radang ini adalah warna kemerahan
atau rubor yang terjadi akibat adanya hyperemia aktif karena bertambah
banyaknya vaskularisasi di daerah yang mengalami cidera. Panas atau kalor yang
disebabkan oleh adanya hyperemia aktif di daerah radang. Bengkak atau tumor
disebabkan

oleh

adanya

edema

setempat,

yaitu

terkumpulnya

cairan

ekstravaskular sebagai bagian dari radang serta sel-sel yang bermigrasi ke daerah
radang. Rasa sakit atau dolor disebabkan oleh terangsangnya serabut saraf di
daerah radang yang kemungkinan akibat dari terlepasnya mediator kimia seperti
histamine, asetilkolin atau adanya jaringan yang meradang yang mengakibatkan
tekanan lokal. Hilangnya fungsi atau fungtio laesa adalah berkurangnya fungsi
karena adanya rasa sakit akibat saraf yang terangsang sehingga bagian organ
tubuh tidak berfungsi. Tanda utama radang ini disebut juga Cardinal Symptomp
dan disebabkan oleh perubahan pembuluh darah (Underwood, 1999 ; Sudiono,
2003).
Proses radang akut melibatkan sel-sel leukosit, yaitu neutrofil. Neutrofil
adalah sel darah putih yang intinya berlobus tidak beraturan atau polimorf, oleh
karena itu sel ini disebut netrofil polimorfonuklear (PMN). Fungsi utama sel ini
adalah fagositosis karena mempunyai banyak lisosom untuk mencerna bakteri dan
sel-sel yang sudah tidak berguna lagi serta berumur pendek. Selain sel PMN juga
terjadi perubahan dasar pada jaringan vaskular yaitu vasodilatasi dan
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler. Hal ini disebabkan oleh adanya zat

kimia yang terlepas seperti histamin, serotin dan lain-lain yang merangsang
terjadinya perubahan tersebut ketika terdapat luka atau cidera (Yoyada, 2010).
2.2.2

Radang Kronik
Radang kronik dapat dianggap sebagai radang memanjang (berminggu-

minggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun), terjadi radang aktif, jejas


jaringan, dan penyembuhan secara serentak. Berlawanan dengan radang akut,
yang dibedakan dengan perubahan vaskular, edema, dan infiltrat neutrifilik yang
sangat banyak. Radang kronik ditandai dengan hal-hal berikut yaitu : Infiltrasi sel
mononuklear (radang kronik), yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel plasma.
Destruksi jaringan, sebagaian besar diatur oleh sel radang. Repair (perbaikan)
melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (angiogenesis) dan fibrosis. (Kumar,
2007).
Perubahan radang akut menjadi kronik berlangsung bila respon radang
akut tidak reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal (Robbins, 1995).
2.2.2.1 Sel-Sel Radang Kronik
Radang kronik ditandai oleh adanya sel-sel mononuklear, yaitu limfosit,
makrofag dan sel plasma (Robbins, 1995).
Sel Limfosit adalah sel kecil dengan luas yang relatif, sitoplasma yang
kecil dan sedikit organel, intinya bulat, gelap yang hampir memenuhi seluruh sel.
Sel limfosit mempunyai ukuran yang lebih kecil dari sel PMN, tetapi lebih besar
dari sel darah merah. Ukurannya sekitar 8-10 mikron. Limfosit terdiri dari

limfosit-T, limfosit-B dan sel natural killer (NK) (Sudiono, 2003 ; Sari, 2007 ;
Guyton, 1997).
Di dalam jaringan sel ini Nampak pada radang menahun dalam jumlah
yang meningkat. Gerakannya jauh lebih lambat sehingga baru terlihat jelas pada
radang kronis. Umurnya hanya 4-5 hari. Jumlahnya juga meningkat pada penyakit
tertentu yang berhubungan dengan reaksi radang. Fungsi utama sel ini adalah
melepaskan antibodi. Akan tetapi masih diperdebatkan apakah sel ini memang
memproduksi zat tersebut ataukah hanya mentransformasikannya ke daerah
cidera. Sirkulasi sel ini juga dipengaruhi oleh hormon steroid adrenal. Maka
dalam keadaan tertentu, sel ini dapat berubah menjadi mononukleus dengan daya
fagositosis yang besar seperti makrofag jaringan (Sudiono, 2003).
Makrofag merupakan sel yang paling banyak ditemui dalam radang
kronik. Sel ini merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi
setelah bermigrasi dari aliran darah. Nama lain dari sel ini adalah histiosit,
plasmatosit, sel retikuloendotelial (reticuloendothelial cell / RES). Makrofag
memiliki ukuran yang relative besar, dengan diameter 30 mikron, yang bergerak
dalam jaringan secara ameboid. Makrofag merupakan sel bergerak aktif yang
berespon terhadap rangsang kemotaktik, yang secara aktif bersifat fagositik aktif
dan mampu membunuh serta mencerna berbagai agen. Berbeda dengan sel PMN,
makrofag dapat bertahan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Makrofag yang teraktivasi menyebabkan ukuran sel bertambah besar, kandungan
enzim lisosom menjadi meningkat, metabolismenya lebih aktif, dan kemampuan

membunuh mikroorganismenya lebih besar (Sudiono, 2003 ;

Price, 2005 ;

Kumar, 2007).
Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang mengalami
diferensiasi akhir. Sel ini menghasilkan antibodi untuk melawan antigen di tempat
radang. Sel plasma memiliki diameter 15-20 mikron, berbentuk bulat atau
lonjong. Gambaran sel ini sangat karakteristik, di dalam jaringan nampak intinya
ekstrinsik dengan struktur seperti roda dan sitoplasma yang basofilik. Sel dalam
jumlah banyak dapat dijumpai pada radang kronik (Kumar, 2007 ; Sudiono, 2003 ;
Underwood, 1999).

2.3 Mediator-Mediator Kimia Dalam Peradangan


Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai
penting antara terjadinya jejas dengan timbulnya fenomena yang disebut radang.
Beberapa mediator kimia dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme
biologi yang memperkuat kerja mediator. Selain itu, seperti semua proses dalam
tubuh, radang harus dapat dikendalikan. Salah satu mekanisme kontrol ialah
inaktivasi lokal yang cepat mediator kimia oleh sistem enzim atau antagonisnya
(Robbins, 1995).

10

Berikut adalah tabel mengenai efek radang dan mediator utamanya


(Kumar, 2007 ; Robbins, 1995) :
Efek
Vasodilatasi

Peningkatan atau permeabilitas


vaskular

Marginasi

Demam
Nyeri

Mediator atau Mekanisme


Histamin
Bradikinin
Prostagladin PGI2, PGE2, PGD2, PGF2
Hisatamin
Bradikinin
C3a dan C5a (anafilaktoksin)
Leukotrin C4, D4, E4
Aseter-PAF
Metabolit oksigen
LTB4
C5a
Produk-produk bakteri
Kation protein neutrofil
Limfokin
Pirogen endogen IL-1
PGE2
PGE2
Bradikinin

Tabel 1. Mediator-mediator dalam peradangan

2.4 Penyembuhan Luka Pada Pencabutan Gigi


Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang komplek, tetapi
umumnya

terjadi secara teratur. Jenis sel khusus pertama-tama akan

membersihkan jejas, kemudian secara progresif membangun dasar (scaffolding)


untuk mengisi defek yang dihasilkan (Kumar, 2007).
Sebenarnya penyembuhan pada setiap jaringan tubuh terjadi dengan proses
yang berjalan sesuai dengan yang digambarkan untuk kulit, dengan variasi-variasi
lokal, bergantung pada kemampuan jaringan untuk beregenerasi dan sebagainya
(Price, 2005). Walaupun mukosa selalu dalam keadaan basah dan bentukan krusta

11

tidak akan terjadi, tetapi proses penyembuhan luka pada mukosa mempunyai
perbedaan yang tidak terlalu jauh dengan kulit (Yoyada, 2010). Ada dua pola
dasar penyembuhan yaitu penyembuhan primer atau healing by first intention dan
penyembuhan dengan granulasi atau healing by second intention (Price, 2005 ;
Kumar, 2007 ; Robbins, 1995).
2.4.1 Penyembuhan Primer atau Healing by First Intention
Jenis penyembuhan yang paling sederhana terlihat pada penanganan luka
oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling
didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan semacam itu
disebut penyembuhan primer atau penyatuan primer atau healing by first
intention. (Price, 2005 ; Kumar, 2007 ; Robbins, 1995).
Segera setelah terjadi luka, ruang insisi tersebut akan langsung terisi oleh
darah bekuan fibrin, dehidrasi pada permukaan menghasilkan suatu keropeng
yang menutupi dan melindungi tempat penyembuhan. Dalam waktu 24 jam,
neutrofil akan muncul pada tepi insisi, dan bermigrasi menuju bekuan fibrin. Sel
basal pada tepi irisan epidermis mulai menunjukkan peningkatan aktivitas mitosis.
Dalam waktu 24 jam hingga 48 jam, sel epitel dari kedua tepi irisan telah mulai
bermigrasi dan berproliferasi di sepanjang dermis dan mendepositkan komponen
membrane basalis saat dalam perjalanannya. Sel tersebut bertemu di garis tengah
di bawah keropeng permukaan, menghasilkan suatu lapisan epitel tipis yang tidak
putus. Pada hari ke-3, neutrofil sebagian telah besar digantikan oleh makrofag,
dan jaringan granulasi secara progresif menginvasi ruang insisi. Serat kolagen
pada tepi insisi sekarang timbul, tetapi mengarah vertikal dan tidak menjebatani

12

insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, menghasilkan suatu lapisan epidermis


penutup yang menebal. Pada hari ke-5, neurovaskularisasi mencapai puncaknya
karena jaringan granulasi mengisi ruang insisi. Serabut kolagen menjadi lebih
berlimpah dan mulai menjebatani insisi. Epidermis mengembalikan ketebalan
normalnya karena defensiasi sel permukaan menghasilkan arsitektur epidermis
matur yang disertai dengan keratinisasi permukaan. Selama minggu kedua,
penumpukan kolagen dan proliferasi fibroblast masih berlanjut. Infiltrat leukosit,
edema dan peningkatan vaskularisasi telah amat berkurang. Proses panjang
pemutihan dimulai, dilakukan melalui peningkatan deposisi kolagen di dalam
jaringan parut bekas insisi dan regenerasi saluran pembuluh darah. Pada akhir
bulan pertama, jaringan parut yang bersangkutan terdiri atas suatu jaringan ikat sel
yang sebagian besar tanpa disertai sel radang dan ditutupi oleh suatu epidermis
yang sangat normal. Namun tambahan epidermis yang hancur pada garis insisi
akan menghilang permanen. Kekuatan regang pada luka meningkat bersama
perjalanan waktu (Kumar, 2007 ; Robbins, 1995).
2.2.2 Penyembuhan Dengan Granulasi atau Healing by Second Intention
Penyembuhan dengan granulasi atau penyembuhan sekunder atau healing
by second intention adalah penyembuhan yang terjadi jika kulit yang mengalami
luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama
proses penyembuhan (Price, 2005 ; Kumar, 2007 ; Robbins, 1995). Jenis
penyembuhan ini secara kualitatif identik dengan yang diuraikan di atas.
Perbedaannya yaitu hanya lebih banyak jaringan granulasi yang terbentuk, dan
biasanya terbentuk jaringan parut yang lebih luas. Tentu saja, seluruh proses

13

tersebut memerlukan waktu penyembuhan yang lebih lama dari pada


penyembuhan primer. Pada luka besar yang terbuka semacam itu, sering dapat
terlihat jaringan granulasi yang menutupi dasar luka seperti sebuah karpet yang
lembut, yang mudah berdarah jika disentuh. Pada keadaan lain, jaringan granulasi
sebenarnya tumbuh di bawah keropeng dan regenerasi epitel tampaknya terjadi di
bawah keropeng. Akhirnya pada keadaan ini, keropeng terlepas setelah
penyembuhan lengkap. Walaupun dalam banyak hal identik dengan penyembuhan
primer, penyembuhan sekunder kurang diharapkan (bukan karena suatu pilihan
yang sering ada) karena memerlukan waktu yang lebih lama dan jaringan parut
yang terbentuk sangat buruk (Price, 2005).

Gambar 1. Tahap penyembuhan luka primer (kiri) dan sekunder (kanan) (Kumar,
2007).
2.5 Daun jambu mete

14

Jambu mete atau jambu monyet berasal dari brazil, tersebar di daerah
tropik dan ditemukan pada ketinggian antara 1-1.200 m dpl. Jambu mete akan
berbuah baik di daerah beriklim kering dengan curah hujan kurang dari 500 mm
per tahun. Tanaman ini dapat tumbuh di segala macam tanah, asalkan jangan tanah
lempung yang pekat dan tergenang air (Dalimartha, 2000).
Jambu mete merupakan tanaman berkeping dua atau berbiji belah. Dapat
tumbuh setinggi 12 m, batang pohon tidak rata, cabang banyak dan berwarna
cokelat tua. Daun berbentuk lonjong (bulat telur), tepi berlekuk-lekuk, pangkal
meruncing, tangkai pendek, letak berseling, dan guratan rangka terlihat jelas.
Daun muda berwarna merah kecokelatan, lalu berubah menjadi hijau tua cerah.
Bunga terdapat di ujung cabang, berbentuk malai, wangi, berwarna putih ketika
mekar, dan berangsur-angsur berubah menjadi kemerahan (Utami, 2008).
Menurut taksonominya, jambu mete (Anacardium occidentale L.)
diklasifikasikan dalam :
Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Bangsa

: Sapindales

Suku

: Anacardiaceae

Marga

: Anacardium

Jenis

: Anacardium occidentale L. (Syamsuhidayat, 1991)

15

Gambar 2. Daun jambu mete

Jambu mete memilki nama-nama tersendiri di setiap daerah. Jambu orang


(Minangkabau), gaju (Lampung), jambu mete (Jawa), jambu mede (Sunda),
jambu monyet (Madura), jambu jipang (Bali), nyambuk nyebet (Sasak), jambu
sereng (Bugis), jambu dare (Makasar), kanoke (Seram), dan buwa jaki (Ternate
dan Tidore) (Syamsuhidayat, 1991).
Daun, kulit batang, batang dan buah mete telah digunakan sebagai obat
tradisional untuk waktu yang lama di banyak negara (Rennyka, 2010). Akar
jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut, daun muda jambu mete
dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di Jawa Barat. Daun yang tua digunakan
untuk obat luka bakar (Sulistyawati, 2009). Selain itu daun muda jambu mete juga
dapat digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing
manis (diabetes mellitus), malaria, rematik, sariawan dan ruam kulit. Daunnya
mengandung tannin-galat, flavonol, asam arakidonat, asam elagat, senyawa fenol,
kardol dan metil kardol (Dalimartha, 2000).

Anda mungkin juga menyukai