Anda di halaman 1dari 6

Lampiran Materi

SKABIES
1. Definisi

Skabies merupakan infestasi kulit oleh kutu Sarcoptes scabiei yang


menimbulkan gatal (Smeltzer dan Bare, 2010). Penyakit skabies ini merupakan
penyakit menular oleh kutu tuma gatal sarcoptes scabei, kutu tersebut memasuki
kulit stratum korneum, membentuk kanalikuli atau terowongan lurus atau
berkelok sepanjang 0,6 sampai 1,2 centimeter.
Faktor penunjang dari penyakit ini antara lain social ekonomi rendah,
hygiene yang buruk, sering berganti pasangan seksual, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan demografis serta ekologik. Nmun, infestasi paratise ini tidak
bergantung pada aktivitas seksual karena kutu tersebut sering menjangkiti jari-jari
tangan, dan sentuhan tangan dapat menimbulkan infeksi. Pada anak-anak, tinggal
semalaman dengan teman yang terinfeksi atau saling bergantian pakaian
dengannya dapat menjadi sumber infeksi. Petugas kesehatan yang melakukan
kontak fisik yang lama dengan pasien skabies dapat pula terinfeksi (Mansjoer,
2007).
2.

Epidemiologi
Penyakit skabies banyak ditemukan pada anak-anak dan juga orang

dewasa yang kebersihan dirinya kurang (jarang mandi, jarang cuci baju, jarang
mencuci sprei, sering tukar pinjam baju dengan teman). Kondisi ini sering
dijumpai misalnya di tempat-tempat orang tidur berdesakan seperti asrama pelajar,
rumah yatim piatu, pesantren, penjara, asrama tentara, dan lain-lain. Penyakit ini
terdapat kosmopolit, biasanya terjadi pada satu keluarga, tetangga bahkan dapat
menulari seluruh kampung atau seluruh asrama/pesantren/barak (Natadisastra dan
Agoes, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas
seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%, skabies menduduki urutan
ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi

skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan
dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang
memadai (Depkes. RI, 2000).
3.

Penyebab
Skabies disebabkan oleh pembentukan terowongan dan pembentukan

bahan toksik atau antigenik oleh tungau Sarcoptes scarbiei var. hominis. Faktor
paling penting yang menentukan penyebaran skabies adalah luas dan lamanya
kontak fisik dengan individu yang terkena; anak-anak dan mitra seks yang terkena
paling berisiko. Skabies jarang ditularkan oleh diri sendiri karena tungau yang
terisolasi mati dalam 2-3 hari (Behrman, 2000).
Kutu betina yang dewasa akan membuat terowongan pada lapisan
superfisial kulit dan berada di sana selama sisa hidupnya. Dengan rahang dan
pinggir yang tajam dari persendian kaki depannya, kutu tersebut akan memperluas
terowongan dan mengeluarkan telurnya 2 hingga 3 butir sehari sampai selama 2
bulan. Kemudian kutu betina itu mati. Larva (telur) menetas dalam waktu 3
hingga 4 hari dan berlanjut lewat stadium larva serta nimfa menjadi bentuk kutu
dewasa dalam tempo sekitar 10 hari (Smeltzer dan Bare, 2010).
4.

Tanda dan Gejala


Diagnosa dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kranial berikut:
a.

Pruritus nokturna (gatal pada malam hari) karena aktivitas tungau lebih
tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b.

Umumnya ditemukan pada sekelompok manusia, misalnya mengenai


seluruh anggota keluarga.

c.

Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang


berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelokkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan
papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulit menjadi
polimorfi (pustule, ekskoriasi, dll). Tempat predileksi biasanya daerah
dengan stratum korneum tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan

tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola
mamae, dan lipat glutea, umbilicus, bokong, genital eksterna, dan perut
bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan kaki
bahkan seluruh permukaan kulit. Pada remaja dan orang dewasa dapat
timbul pada kulit kepala dan wajah.
d.

Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik.

e.

Pasien yang selalu menjaga hygiene, lesi yang timbul hanya sedikit
sehingga diagnosis kadang kala sulit ditegakkan. Jika penyakit
berlangsung lama, dapat timbul likenifikasi, impetigo, dan furunkulosis.

Skabies yang tidak diterapi dapat menjadi dermatitis eksematosa, impetigo,


ektima, folikulitis, furunkulosis, selulitis, limfangitis, dan reaksi id (Behrman,
2000).
5.

Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri, menjaga

kontak dengan penderita, serta menghindari saling meminjam pakaian atau


handuk (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Pasien diminta agar mandi dengan air hangat dan sabun guna
menghilangkan debris yang mengelupas dari krusta dan kemudian kulit dibiarkan
kering benar serta menjadi dingin. Pasien harus mengenakan pakaian yang bersih
dan tidur di atas sprei yang baru saja dicuci. Semua perangkat tempat tidur (sprei,
sarung bantal, dll) serta pakaian harus dicuci dengan air yang sangat panas dan
dikeringkan dengan alat pengering panas karena kutu skabies ternyata dapat hidup
sampai dengan 36 jam pada linen. Jika linen tempat tidur atau pakaian pasien
tidak dapat dicuci dalam air panas, disarankan agar barang-barang tersebut dicuci
secara dry cleaning (Smeltzer dan Bare, 2010).
Untuk mencegah kembali dihinggapi dan untuk mencegah tungau
menyebar ke orang lain, ambil langkah-langkah ini:
a. Buat tungau kelaparan. Pertimbangkan menempatkan perabotan di tempat
yang

tidak

dapat

dicuci

seperti

kantong

plastik

tertutup

dan

meninggalkannya di tempat jauh selama beberapa minggu. Tungau mati


jika mereka tidak makan selama seminggu.
b. Menghindari pemakaian baju, handuk, seprei secara bersama-sama.
c. Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi
untuk memutuskan rantai penularan.
6.

Penatalaksanaan skabies
Syarat obat yang ideal adalah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak

menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor, tidak merusak atau
mewarnai pakaian, mudak diperoleh, dan harganya murah. Jenis obat topikal:
a. Belerang endap (sulfur prespitatum) 4-20% dalam bentuk salep atau krim.
Pada bayi dan orang dewasa sulfur prespitatum 5% dalam minyak sangat
aman dan efektif. Kekurangannya adalah pemakaian tidak boleh kurang
dari 3 hari karena tidak efektif terhadap stadium telur, berbau, megotori
pakaian, dan dapat menimbulkan infeksi.
b. Emulsi bensil-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium, deberikan
setiap malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi
iritasi, dan kadang-kadang mungkin gatal setelah dipakai.
c. Gama benzene heksa klorida (gameksan) 1% dalam bentuk krim atau
losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada
anak-anak dibawah usia 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap
susunan saraf pusat. Pemberiannya cukup sekali selama 8 jam. Jika masih
ada gejala, diulangi seminggu kemudian.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losio mempunyai dua efek sebagai
antiskabies dan antigatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.
Krim (eurax) hanya efektif pada 50-60% pasien. Digunakan selama dua
malam berturut-turut dan dibersihkan setelah 24 jam terakhir.
e. Krim permetrin 5% merupakan obat yang paling efektif dan aman karena
sangat mematikan untuk parasit S. skabies dan memiliki toksitas rendah

pada manusia. Seluruh anggota keluarga dan pasangan seksual harus


diobati, termasuk pasien dengan hiposensitisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Berhman, Kliegman & Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi: 15.
Volume 2. Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Jong, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit Kedokteran ditinjau dari Organ
Tubuh yang diserang. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. & De Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, SC & Bare, BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai