Anda di halaman 1dari 19

BAB II

NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya


Pengertian nikah menurut Abdurrahman al-Jaziri adalah sebagai
berikut:
1. Nikah secara bahasa adalah :

Bersenggama atau bercampur1

Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad,


karena akad merupakan sebab diperbolehkannya bersenggama. 2

2. Nikah menurut makna syari


Para ulama berbeda pendapat tentang nikah dari makna ushuli
atau syari ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti
khakikatnya adalah watha (bersenggama), sedangkan dalam pengertian
majaz nikah adalah akad. Pendapat kedua mengatakan bahwa nikah
makna khakikatnya adalah akad, sedangkan makna majaznya adalah
watha. Pengertian ini adalah kebalikan dari pengertian menurut lughawi.

1
2

Abdurrahman al-Jazairi, Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, Juz IV, hlm. 1


Ibid., hlm. 2
14

15

Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna nikah secara khakikat adalah


musytarak (gabungan) dari pengertian akad dan watha.3

3. Nikah dalam terminologi fiqih


Menurut mazhab Syafii nikah adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafadz nikah atau tazwij atau
yang semakna dengan keduanya. Golongan Malikiyah berpendapat
bahwa nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum sematamata untuk membolehkan watha, bersenang-senang dan menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya.
Golongan

Hanabilah

mendefinisikan

nikah

sebagai

akad

yang

menggunakan lafadz nikah atau tazwij agar diperbolehkan mengambil


manfaat dan bersenang-senang dengan wanita. Golongan Hanafiyah
mendefinisikan nikah sebagai akad yang berfaidah untuk memiliki,
bersenang-senang dengan sengaja. Dari pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu memandang nikah hanya
dari satu sisi saja, yaitu kebolehan hokum antara seorang laki-laki dengan
4

seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang.

3
4

Ibid
Ibid., hlm. 3

16

Dengan berbagai pendapat di atas, maka dalam terminologi fiqih


munakahat nikah berarti akad yang membolehkan berhubungan seksual
dengan lafadz nikah atau semisalnya.

Adapun pasal 2 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan:


Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.6
Adapun dasar hukum nikah adalah firman Allah :

Artinya: ..Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua,


tiga atau empat, (Q.S: An-Nisa: 3)

Rasulullah bersabda:

#&! ' ( ) * +,
-.!
)-561
, 3&

/0

)-$ 4/,%

!
" #"$ %
*#1 &2

Artinya: Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu


menyiapkan bekal, maka menikahlah, karena sesungguhnya nikah
dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak
5

30.

Abi Zakaria, Fathul Wahab bi Syarhi Minhaji al-Thulab, Semarang: Nur Asia, tt. hlm.

17

mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi


benteng. (Muttafaq Alaih).7

Berdasarkan hadis di atas, maka Imam Taqiyyuddin Abi Bakar dalam


Kifatul Akhyar

mengatakan bahwa nikah disunahkan

bagi orang yang

sangat membutuhkan dan dia sudah mampu membiayai pernikahan, mahar


dan untuk memberi nafkah lahir dan batin. Namun apabila ia sudah sangat
ingin menikah sementara ia belum mampu membiayainya, maka hendaknya
ia tidak menikah terlebih dahulu dan untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan, hendaknya ia berpuasa.8

B. Syarat dan Rukun Nikah


Mengenai syarat rukun nikah ini maka Kompilasi Hukum Islam pasal
14, menjelaskan yaitu :
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami
b. Calon Istri
c. Wali nikah
d. Dua Orang saksi
e. Ijab dan Qabul 9

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.


Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Jami al-Shaghir, Semarang: Toha Putra, tt. hlm. 217
8
Abi Yahya Zakaria, Fathul Muin, Semarang: Toha Putra, tt. hlm. 31
9
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Mengenai rukun nikah ini dapat pula dilihat
dalam Muhammad Syarbini, Op. Cit., hlm. 116, Abi Yahya Zakaria, Op. Cit., hlm. 34.
7

18

Sedangkan masing-masing calon mempelai disyaratkan sebagai


berikut:
1. Calon suami:
-

Beragama Islam

Laki-laki

Jelas orangnya

Dapat memberikan persetujuan

Tidak terdapat halangan perkawinan10

2. Calon Istri
-

Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

Perempuan

Jelas orangnya

Dapat dimintai persetujuannya

Tidak terdapat halangan perkawinan11


Rukun nikah yang kedua adalah wali, di mana pernikahan tidak

akan sah kecuali dengan adanya wali.12 Adapun syarat-syarat wali nikah
adalah:
1. Dewasa
2. Laki-laki

10

67

11

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. hlm.

Ibid.,
Taqiyyuddin Abi bakr, Kifayat al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ihtishar, Dar al-Kutub alIslamiy, tt. hlm. 48.
12

19

3. Mempunyai hak perwalian


4. Tidak terdapatnya halangan perwaliannya13
Dalam KHI pasal 20 ayat 2 wali secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua bagian. Bunyi pasal tersebut adalah:
(2) Wali Nikah Terdiri dari:
a. Wali nasab
b. Wali hakim 14
Perincian wali selengkapnya diuraikan oleh kompilasi hukum Islam
pasal 21 sebagai berikut:
1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok

dalam urutan kedudukan,

kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat dan
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki
kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki
mereka.
2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang berhak menjadi wali ialah
yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
13

Ahmad Rofiq, Op. Cit., hlm. 69

20

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka paling


berhak menjadi wali ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya ayah.
4. Apabila dalam suatu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni samasama derajat kandung atau sama derajat seayah mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.15
Rukun nikah yang ketiga adalah saksi, sebagaimana disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 24:
1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah
2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.16
Selanjutnya kedua orang saksi juga harus mempunyai syarat-syarat
tertentu sebagaimana disebut dalam Pasal 25 dan 26 KHI:
Bahwa yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang
laki-laki mulsim, adil, akil baligh, tidak treganggu ingatan, tidak tuna rungu
atau tuli.17
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan
menandatangani

akta

nikah

pada

waktu

dan

tempat

akad

nikah

dilangungkan.18
Terlepas dari perbedaan para ulama mengenai status saksi apakah
sebagai rukun atau syarat nikah, yang jelas keberadaan saksi dalam akad

14

Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam Indonesia.


Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
16
Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
17
Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
18
Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
15

21

nikah, menjadi bagian penting yang harus dipenuhi. Ketiadaan saksi,


berakibat akad nikah tidak sah. Bahkan menurut Umar, nikah yang dilakukan
tanpa saksi, pelakunya dirajam, apabila mereka melakukan hubungan suami
istri.19
Rukun nikah yang keempat adalah ijab qabul. Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 27, Ijab qabul atau sighat secara tegas diatur yakni
sebagai berikut:20
Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun,
dan tidak berselang waktu.
Adapun ketentuan-ketentuan ucapan qabul diatur oleh Kompilasi
Hukum Islam adalah sebagai berikut:21
1.

Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara


pribadi.

2.

Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis penerimaan wakil atas nikah itu adalah mempelai pria.

3.

Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh diwakilkan.
Adapun syarat-syarat dalam ijab adalah :22

1. Hendaklah digunakan lafadz tazwij atau nikah atau dengan terjemahan


kedua lafadz tersebut dalam bahasa apapun.
19

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2 Semarang: Usaha Keluarga, hlm. 13.
Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
21
Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
20

22

2. Lafadz ijab boleh dibuat oleh wali itu sendiri atau wakilnya.
Adapaun sihgat qabul yakni ucapan laki-laki secara pribadi atau yang
mewakilinya setelah selesai sighat ijab dengan tanpa diselingi dengan
perkataan lain ataupun sela yang panjang.
Ada hal yang menarik dalam nikah, yakni suatu yang harus
diserahkan tetapi bukan termasuk rukun. Hal wajib tetapi bukan rukun
tersebut adalah mahar, yakni pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita.
Adapun mengenai jumlah, bentuk, dan jenisnya adalah berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi penentuan mahar atas
kesederhanaan dan kemudahan dianjurkan oleh Islam. Apabila terjadi
perselisihan pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,
penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama. Mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi milik pribadinya.
Penyerahan dapat dilakukan dengan tunai atau dengan penangguhan yang
dihitung sebagai hutang calon suami baik keseluruhan maupun sebagian,
apabila calon mempelai wanita menyetujui.
Penyebutan mahar dan jumlah serta bentuknya, termasuk di dalamnya
tunai atau ditangguhkan, diucapkan pada saat akad nikah dan hukumnya
adalah sunnah.23 Akan tetapi pembayarannya dapat ditangguhkan dengan
persetujuan istri. Apabila mempelai laki-laki belum menyerahkan mahar,

22
23

Ahmad Rofiq, OP. Cit., hlm. 70


Taqiyyuddin Abi Bakr, Op. Cit, hlm. 60

23

mempelai wanita berhak untuk menolak berhubungan suami istri, sampai


dengan dipenuhinya mahar tersebut.24
Jika kemudian terjadi selisih pendapat mengani jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan penyelesaiannya, pasal 38 KHI mengatur:
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, mahar masih dianggap belum
dibayar.25
Selanjutnya, terdapat pula larangan perkawinan, sebagaimana di
sebutkan dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan
1. Karena pertalian nasab.
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu,
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda.
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
24

Abdurrahman al-Jaziry, Op. Cit., hlm. 160.

24

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali


putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla aldukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan


a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
ke bawah.
c. Dengan wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuab ke
bawah.Dengan seorang wanita bibi sesusuan ke atas.
d. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.26

Adapun larangan perkawinan tersebut sewaktu-waktu dapat


berubah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam
yaitu:
Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan
pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
25

Pasal 38 Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

25

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 27


Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan larangan kawin
karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena
susuan.
1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya:
a.

Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.

b.

Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

2. Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya


telah ditalak rajI, tetapi masih dalam masa iddah.28

Selanjutnya, dilarang juga melaksanakan pernikahan dikarenakan


talak tiga atau lian sebagaimana diatur dalam pasal 43 Kompilasi:
(1) Dilarang melangsungkan pernikahan anatar seorang pria:
a.

Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.

b.

Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dilian

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur kalau bekas istri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus bada
dukhul dan telah habis masa iddahnya.29

26

Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam Indonesia


Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
28
Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
27

26

C. Tujuan dan Hikmah Nikah


Nikah disyariatkan oleh Allah bukan tanpa tujuan dan hikmah. Nikah
mempunyai beberapa tujuan dan hikmah yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia sebagai perwujudan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Ajaran ini
tentu akan berimplikasi pada kemaslahatan bagi kehidupan manusia
sepanjang masa dan di manapun tempatnya (mashalih li al-nas fi kulli alzaman wa al-makan).
Adapun tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam, adalah :
Perkawinan Bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah.30
Sementara Muhammad as-Syirbini dalam Kitab al-Iqna dan
Taqiyyuddin Abi Bakar dalam kitabnya Kifatul Akhyar menyebutkan bahwa
pernikahan bertujuan untuk menghindarkan diri dari zina, mempunyai anak
dan sebagai ibadah.31
Adapun hikmah nikah sangatlah banyak. Hikmah-hikmah tersebut
sangat besar arti dan manfaatnya bagi kehidupan manusia yang diciptakan
Allah secara fitrah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hanya dengan
nikahlah maka keduanya dapat disatukan dalam bahtera rumahtangga.
Manusia juga makhluk sosial sehingga dengan mahligai rumahtangga

29

Pasal 43 Kompilasi Hukum Islam Indonesia


Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam Indonesia
31
Muhammad Syarbini al-Khatib, Op. Cit., hlm. 115-116, Taqiyyuddin Abi bakr, Op. Cit.,
hlm. 37.
30

27

kehidupan bermasyarakat akan terbangun dengan rapi dan teratur secara


damai.
Dalam hal ini menarik ungkapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhuss Sunnah
mengenai hikmah nikah yakni:
1. Sesungguhnya naluri sex merupakan naluri yang paling kuat dan keras
yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Apabila jalan keluar tidak
dapat memuaskannya, maka akan terjadi kegoncangan dan kekacauan
yang mengakibatkan kejahatan. Pernikahan merupakan jalan yang terbaik
dalam manyalurkan hasrat seksual. Dengan pernikahan tubuh menjadi
lebih segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram
dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Meneruskan

keturunan

dan

memeliharan

nasab,

karena

dengan

pernikahan akan diperoleh nasab secara halal dan terhormat. Ini


merupakan kebanggaan bagi individu dan keluarga bersangkutan dan ini
merupakan insting manusia untuk berketurunan dan melestarikan
nasabnya.
3. Meningkatkan rasa tanggungjawab, karena dengan pernikahan berarti
masing-masing pihak dibebani tanggungjawab sesuai dengan fungsi
masing-masing. Suami sebagai kepala rumahtangga bertanggungjawab
atas nafkah keluarganya, sedangkan istri bertanggungjawab atas
pemeliharaan anak dan pengkondisian rumah tangga menjadi lebih
nyaman dan tentram.

28

4. Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta


antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan, masyarakat
yang saling mencintai dan saling menunjang merupakan masyarakat yang
kuat dan bahagia. 32
Dengan berbagai hikmah di atas, jelaslah, nikah disyariatkan oleh
Allah membawa banyak faidah yang tiada terhingga. Karena hanya dengan
menikahlah manusia dapat terhindar dari kerusakan nafsu kebinatangan dan
dapat membangun budaya dan peradaban yang maju penuh dengan cinta dan
kasih sayang.

D. Kafaah dalam Pernikahan


Arti kafaah adalah serupa, seimbang atau serasi. Maksudnya
keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masingmasing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Sayyid
Sabiq mengartikan kafaah dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni lakilaki sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat sosial, akhlak
dan kekayaan. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan calon mempelai lakilaki dengan calon mempelai wanita sebanding, merupakan faktor yang
menentukan dalam kehidupan rumah tangga.33
Untuk terciptanya sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
rahmah, Islam menganjurkan agar ada keseimbangan dan keserasian,
32

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Terj. Moh. Thalib, Bandung: Al-Maarif, Juz. 6, 1990,
hlm. hlm. 18-21.
33
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1971, hlm. 126

29

kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami istri tersebut.


Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak, melainkan satu hal
yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan
abadi. Pada prinsipnya Islam memandang sama kedudukan umat manusia
hanya dibedakan oleh takwa.
Firman Allah:

$,78!
9 $: ; $<
J

= #;>

; ?@A B

I #G
G
HG
GG ;?
0
=E F5

C%
D
%
#;=A

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS: al-Hujarat:
13)34
Sabda Nabi:

K LMH5

5 #$ 7 K F2

N"M A OD
;PO OB
RR S

34

Departemen Agama, Op. Cit., hlm. 652

Q?
,

30

Artinya: Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada
kelebihan bagi orang Arab atas orang selain Arab, kecuali dengan
takwa. (HR. Abu Dawud).35
Dengan ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa takwa yang
membedakan manusia satu dengan lainnya menurut pandangan Allah dan
Rasulnya, bukan masalah kebangsaan, kebangsawanan, harta ataupun
kecantikan. Berbicara masalah takwa berarti berbicara tentang agama dan
akhlak. Dengan demikian, bobot utama dalam masalah kafaah atau kufu ini
adalah masalah agama dan akhlak. Adapun yang selain itu merupakan bobot
pelengkap.
Adapun pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafaah adalah sebagai
berikut:
a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya kafaah adalah
persamaan antara seorang calon laki-laki dengan calon wanita dalam
beberapa masalah tertentu seperti:
1.

Keturunan

2.

Pekerjaan

3.

Merdeka

4.

Agama

5.

Harta36

b. Golongan Malikiah berpendapat bahwa kafaah dalam nikah adalah


sebanding dengan dua urusan:
35
36

Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Op. Cit.. hlm. 5


Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit., hlm. 58

31

1.

Masalah agama, dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik.

2.

calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan
wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau hak pilihnya,
seperti penyakit supak, gila atau penyakit kusta.

3.

Kafaah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan


merupakan pertimbangan saja37

c. Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa kafaah itu adalah dalam


masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu di antaranya ada aib, maka
yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh). Yang perlu
dipertimbangkan dalam masalah ini adalah keturunan, agama merdeka,
dan pekerjaan.38
Sedangkan yang berhak atas kafaah itu adalah wanita dan yang
berkewajiban harus berkafaah adalah pria. Jadi yang dikenal persyaratan
harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita. Kafaah ini
merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam melaksanakan suatu
pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafaah ini adalah hak
wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak untuk menggugurkan
kafaah.
Kesimpulannya, kafaah itu diperhitungkan sebagai syarat sah nikah,
ketika wanita tidak rela, tetapi apabila ia rela maka kafaah tidak menjadi
persyaratan sah atau tidaknya pernikahan.

37
38

Ibid.,
Ibid., hlm. 59

32

Anda mungkin juga menyukai