Anda di halaman 1dari 4

PITA BIRU

Oleh: Ardi
Tetes peluh mulai berjatuhan membasahi wajah mereka yang kepolospolosan. Dari kejauhan sudah jelas terlihat mereka dan teman-temannya
adalah mahasiswa baru (maba) dikampus hijau ini. Dengan rambut botak,
kemeja kucel, celana kain dan tidak lupa pula pita biru yang tersimpul
dilengan kanannya. Dari pita biru yang tersimpul tersebut cukup jelas
memberitahuku bahwa mereka adalah maba dari jurusan Farmasi.
Mereka datang mendekatiku dengan langkah malu-malu. Salah
seorang diantara mereka mulai bertanya, anak farmasi ki, kak?
Iya, jawabku singkat.
Boleh minta tanda tangan ta? tanyanya lagi dengan senyum yang
sengaja dibuat-buat.
Sini mi, de! kataku.
Mereka pun berebutan menyodorkan kertas daftar tanda tangannya
yang mereka rangkul sedari tadi.
Mengumpulkan tanda tangan senior-senior sudah merupakan budaya
di jurusan kami, Farmasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar,bagi maba yang baru masuk. Ini dimaksudkan agar mereka mulai
mengenal senior-seniornya. Sering saya bertanya dalam hati, apa benar
mereka bisa mengenal semua senior-seniornya yang berjumlah ratusan,
mengingat jurusan ini sudah berdiri sejak delapan tahun lalu, hanya dengan
mengumpulkan tanda tangannya? Terlebih mereka juga harus
mengumpulkan tanda tangan beberapa senior yang telah alumni.Itupun
wajib mereka kumpulkandalam rentan waktu dua minggu setelah tugas itu
diberikan oleh pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Farmasi
beserta senior-senior lainnya. Kalaupun ada toleransi bila mereka belum
bisa mendapatkan sejumlah tanda tangan tersebut, maka akan diberikan
tenggang waktu tambahan hingga kegiatan Bina Akrab.
Tidak heran,terkadang membuat mereka menggerutu dalam hati.
Belum lagi banyak diantara seniornya yang mengambil kesempatan dalam
kesempitan. Belikan ka dulu teh kotak, de, baru kukasi ko tanda

tanganku!Ada juga yang agak genit, SMS ka pale sebentar malam nah,
dinda, baru tanda tangan ka di buku ta! sambil memberikan nomor
ponselnya. Malah ada yang sok sibuk, nanti pi, de, banyak kukerja ini.
Besok atau kapan-kapan pi.
Angkatan berapa ki, kak? salah satu diantara mereka yang baru
datang bertanya saat aku asyikmemberikan tanda tangan.
Kosong sembilan, jawabku sambil sesaat melirik ke arah maba yang
bertanya.
Setelah semua kertas-kertas itu kuhiasi dengan coretan tanganku,
kucoba memperhatikan mereka satu per satu. Merasa diperhatikan, mereka
hanya menunduk malu. Mungkin mereka menganggap saya akan sedikit
berbuat nakal.
Siapa ketua angkatan na 2012? tanyaku memecah suasana.
Saya kak, jawab salah satu diantara mereka. Dia melangkah maju
sambil mengangkat wajahnya memandangku.
Apa modalmu jadi ketua angkatan, de?
Keberanian ji, kak, jawabnya spontan.
Hanya keberanian? tanyaku heran.
Dia mengernyit, mulai terlihat kaku mendengar pertanyaanku. Dengan
sedikit ragu dia menjawab, tapi kalau memang ada yang lebih pantas jadi
ketua angkatan dari saya, kak, saya siap dan ikhlas digantikan.
Jawabannya kedengaran tidak sesuai dengan pertanyaan yang baru
kuberikan, tapi sebenarnya pertanyaanku pun ingin kuarahkan pada hal itu.
Setidaknya dia mungkin sudah tahu dan mungkin mulai risih dengan
pertanyaanku yang sedikit menyinggung posisinya.
Masih teringat jelas dibenakku pemilihan ketua di angkatanku, 2009,
saat saya menjadi maba sepeti mereka dulu.
Siapa yang mau jadi ketua angkatan diantara kalian, de? tanya
salah satu senior saya di depan teman-temanku. Saat itu saya dan semua
teman seangkatanku dikumpulkan dalam satu ruangan dengan diawasi
sekitar belasan senior dari berbagai angkatan.
Beberapa temanku malu-malu mengacungkan tangan, adapula yang
ditunjuk langsung oleh senior, tapi ada juga yang mencoba tes vokal

berbicara, begitu menurutku. Hingga ada sekitar sepuluh orang lebih teman
saya yang berdiri di depan, menyatakan kesiapan dan keberanian mereka
menjadi ketua angkatan. Saya betul-betul terkesima saat itu melihat
kepercayaan diri mereka yang luar biasa.
Setelah melakukan proses penyaringan bakal calon (balon) kandidat
ketua angkatan hingga terjadi pemilihan langsung pada empat orang calon,
terpilihlah satu orang yang akhirnya menjadi ketua bagi mahasiswa Farmasi
angkatan kosong sembilan. Nahkoda angkatan 2009 dalam mengarungi
perjalanan di jurusan Farmasi UIN ini. Namun seiring berjalannya waktu,
pada beberapa pertemuan dan rapat antar mahasiswa Farmasi UIN, tulisan
ketua angkatan masihtercantum,hanya saja nama yang berada di
bawahnyahilang.Kosong! Sekarang yang menjadi pertanyaan yang acap
membebani pikiranku, tanpa nahkoda mau kemana kapal ini dibawa?
Kini terpampang jelas di dinding ruangan ini, sekretariat HMJ
Farmasi,enam foto dengan bingkai berjejer rapi. Masing-masing
dibawahnya tertulis nama mereka, jabatan ketua HMJ lengkap dengan
periode jabatannya. Saya tahu sejak tadi beberapa maba yang ada di
ruangan ini memandangi foto-foto tersebut, mencoba menerka apakah
mereka pernah melihat wajah-wajah sebelumnya.
Berbeda denganku, ketika kupandang foto-foto itu ada ketakutan yang
tiba-tiba muncul menyergap relung jiwaku dan mengorek memori kelam
masa lalu. Sempat kembali teringat saat masa di mana aku memangku
jabatan ketua umum HMJ Farmasi priode 2011-2012, melaksanakan
berbagai program kerja bersama rekan-rekan sepengurusan.
Sebelumnya, aku kagum dengan keberanian, ide, dan visi misi rekanrekan dalam masa pengurusanku untuk memutuskan dan bersepakat
memilih beberapa program kerja yang sangat luar biasa. Tetapi seiring
berjalannya waktu, ditambah kesibukan pribadinya masing-masing, nyaris
membuat program kerja yang dicanangkan,terbengkalai dan menjadi
celotehan belaka antar mahasiswa Farmasi bila program kerja itu benarbenar tidak terealisasi. Untungnya masih ada sebagian kecil dari mereka
yang memiliki loyalitas dan totalitas untuk tetap berjuang hingga akhir
masa pengurusan kami. Mereka pantang menyerah menjalankan seluruh
program kerjanya. Sebuah prestasi yang pantas diacungkan jempol.

Lama aku termenung. Masa-masa kelam tersebut ternyata sekarang


memberiku banyak pelajaran berharga.Mereka heran melihatku yang masih
termengung dan segan meninggalkanku tanpa sebuah kata, minimal ucapan
terima kasih.
Apalagi,de? tanyaku, mencoba mengusir mereka secara halus agar
bisa leluasa bernostalgia mengingat masa-masa itu.
Tidak adami, kak, terima kasih, jawab salah seorang dari mereka
lalu berpamitan keluar dari ruangan ini secara teratur.
Keberanian saja tidak cukup, dinda! ujarku lirih kepada udara
pengap yang menemaniku sendiri di ruangan ini.Butuh loyalitas, totalitas
dan semangat pantang menyerah untuk menjalani kehidupan di Farmasi.
Itulah sebenarnya makna yang tertuang dari pita bitu yang tersimpul
dilengan kalian.Ceritakanlah turun temurun kepada adik-adik kalian
nantinya makna dari pita biru itu. Kenapa bukan warna merah, hijau
ataupun warna yang lain.
Kurebahkan tubuhku dan meregangkan beberapa persendian yang
agak kaku setelah melayani pemintaan tanda tangan adik-adik maba tadi.
Perlahan kupejamkan mata, mengusik semua realita hidupku selama ini
yang mungkin sebelumnya tidak pernah kuharapkan terjadi.

Anda mungkin juga menyukai