Anda di halaman 1dari 26

KETUBAN PECAH DINI

I. DEFINISI
Bila ketuban pecah dini pada waktu persalinan, sedang
pembukaan masih kecil, maka keadaan ini dinamakan
ketuban pecah dini (KPD)
(DepartemenKesehatan Republik Indonesia)
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses
persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh
karena berkurangnya kekuatan membrane atau
meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor
tersebut. Berkurangnya kekuatan mambran disebabkan
adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks.
(Sarwono Prawiroharjo, 2002)
Ketuban pecah dini atau sponkaneous/ early/ premature
rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban
sebsalum partu : yaitu bila pembukaan pada primigravida
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.
(Rustam Mochtar 1998)
II. ETIOLOGI
Penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi
multilfaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Serviks inkompeten.
b. Ketegangan rahim berlebihan : kehamilan ganda,
hidramion.
c. Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak
lintang.
d. Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah
belum masuk PAP (sepalo pelvic disproporsi).
e. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada

selaput ketuban dalam bentuk preteolitik sel sehingga


memudahkan ketuban pecah. (Amnionitis/ Korioamnionitis).
III. PATOFISIOLOGI
Banyak teori, mulai dari defect kromosom kelainan kolagen,
sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata
berhubungan dengan infeksi (sampai 65%)
High virulensi : Bacteroides
Low virulensi : Lactobacillus
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast,
jaringa retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun
degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas
dan inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas
iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan,
sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/
amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah
peceah spontan.
IV. KOMPLIKASI KETUBAN PECAH DINI
a. Infeksi intrapartum (korioamnionitis)
b. Persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan
preterm
c. Prolaps tali pusat
d. Oligohidramnion
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda,
anormaly janin atau melokalisasi kantong cairan amnion
pada amniosintesis.
b. Amniosintesis

Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi


kematangan paru janin.
c. Pemantauan janin
Membantu dalam mengevaluasi janin
d. Protein C-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan
peringatan korioamnionitis
VI. PENATALAKSANAAN
Penanganan Umum :
? Konfirmasi usia kehamilan, kalau ada dengan USG.
? Lakukan pemeriksaan inspekulo untuk menilai cairan yang
kurang (jumlah, warna dan bau) dan membedakannya
dengan urin. Dengan pemeriksaan tes lakmus, bila kertas
lakmus biru mrnunjukkan : air ketuban (basa), dan bila
kertas lakmus merah menunjukkan : cairan urin (asam).
? Jika ibu mengeluh pendarahan pada akhir kehamilan
(setelah 32 minggu) jangan lakukan per menit.
? Pemeriksaan dalam secara digital.
? Tentukan ada tidaknya infeksi.
? Tentukan tanda-tanda inpartu.
Penanganan khusus :
Konfirmasi diagnosis :
? Bau cairan ketuban yang khas.
? Jika keluarnya cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung
cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.
? Dengan speculum DTT, lakukan pemeriksaan inspekulo.
Nilai apakah cairan keluar melalui ostium uteri atau
terkumpul di forniks posterior.
(Prawirohardjo, 2002)
Penaganan konservatif :
? Rawat di rumah sakit

? Berikan antibiotic (ampisilin 4 x 500 mgatau eritromisin


bila tak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg
selama 7 hari.
? Jika umur kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air
ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar
lagi.

Ketuban pecah dini, merupakan salah satu komplikasi


kehamilan dan salah satu penyebab bayi lahir premature.
Kelahiran prematur merupakan salah satu faktor risiko kesakitan
dan kematian bayi. Di seluruh dunia hampir 11 juta anak
meninggal setiap tahun, umumnya kematian tersebut sebelum
mereka sempat merayakan ulang tahun ke lima, atau dengan kata
lain setiap menit ada sekitar 20 anak meninggal atau sejumlah
30.000 anak meninggal setiap harinya. Penyebab kematian anak
tersebut selain ketuban pecah dini adalah, infeksi, pneumonia,
diare,campak, malaria dan malnutrisi .Umumnya kematian
kematian anak yang cukup tinggi ini terjadi di negara pendapatan
rendah seperti sub sahara ataupun asia selatan.
Ketuban pecah dini, merupakan salah satu komplikasi
kehamilan dan salah satu penyebab bayi lahir premature.
Kelahiran prematur merupakan salah satu faktor risiko kesakitan
dan kematian bayi. Di seluruh dunia hampir 11 juta anak
meninggal setiap tahun, umumnya kematian tersebut sebelum
mereka sempat merayakan ulang tahun ke lima, atau dengan kata
lain setiap menit ada sekitar 20 anak meninggal atau sejumlah
30.000 anak meninggal setiap harinya. Penyebab kematian anak
tersebut selain ketuban pecah dini adalah, infeksi, pneumonia,
diare,campak, malaria dan malnutrisi .Umumnya kematian
kematian anak yang cukup tinggi ini terjadi di negara pendapatan
rendah seperti sub sahara ataupun asia selatan.

Ketuban pecah dini (KPD) atau premature rupture of the


membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
adanya tanda-tanda persalinan. Jika ketuban pecah sebelum umur
kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini kehamilan
preterm atau preterm premature rupture of the membranes
(PPROM).
Insidensi ketuban pecah dini lebih kurang 10% dari semua
kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%.
Sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua
kehamilan. Hampir semua ketuban pecah dini pada kehamilan
preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah.
Delapan puluh lima persen morbiditas dan
mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas.
Ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab
kejadian prematuritas dengan insidensi 30-40%.
Neonatologis dan ahli obstetri harus bekerja sebagai
tim untuk memastikan perawatan yang optimal
untuk ibu dan janin.
Etiologi pada sebagian besar kasus tidak
diketahui. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai
penyebab ketuban pecah dini pada kehamilan
preterm. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
kondisi sosial ekonomi rendah yang berhubungan
dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal,
penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh
chlamydia trachomatis dan neischeria gonorrhea.
Lebih kurang 50 sampai 70% pasien-pasien
ketuban pecah dini akan mengalami persalinan
secara spontan dalam 48 jam. Lamanya periode
laten yaitu pecahnya ketuban dan permulaan
persalinan dipengaruhi oleh umur kehamilan. Umur
kehamilan yang mendekati aterm persalinan akan

dimulai 24 jam pada 80-90% kasus. Umur kehamilan


sebelum 36 minggu persalinan dimulai lebih dari 24
jam pada 35 sampai 50% kasus. Infeksi intra uteri
dapat mengurangi pendeknya periode laten.
Mekanisme terjadi ketuban pecah dini
Membrana chorioamniotik terdiri dari jaringan
viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh
persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis
dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya
aktivitas enzimkolagenolitik. Infeksi merupakan
faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm
dengan ketuban pecah dini. Group B streptococcus
(GBS)
adalah
mikroorganisme
yang
sering
menyebabkan amnionitis.
Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering
ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm.
Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator
inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini
menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan
pecahnya
selaput
ketuban.
Infeksi
dalam
rahim
(chorionamnionitis) merupakan factor penyebab morbiditas otak
bayi yang lahir dengan usia kehamilan dibawah 32 minggu,
kerusakan yang terjadi pada otak umumnya akibat gangguan
spesifik difus didaerah astrogliosis yang mengganggu produksi
myelin(kandungan penting saraf otak), dan oligodentrit. Infeksi
pada sel-sel saraf tersebut bisa menyebabkan cerebral palsi pada
sang bayi. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50
persen
wanita
yang
lahir
premature,
didapatkan
korioamnionitis(infeksi saluran ketuban),akan tetapi sang ibu
tidak mempunyai keluhan klinis. Hasil penelitian pada binatang

percobaan dengan penyuntikan endotoxin selama ibu hamil


didapatkan gangguan myelinasi otak(perkembangan otak).
Diagnosa dan Komplikasi pada ibu/janin
Diagnosa KPD didasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Dari anamnesa
90% sudah dapat mendiagnosa KPD secara benar.
Pengeluaran urin dan cairan vagina yang banyak
dapat disalahartikan sebagai KPD.
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan
langkah pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan
KPD. Adanya genangan cairan di forniks posterior
mendukung diagnosa ini. Untuk memastikan cairan
tersebut merupakan cairan ketuban dilakukan tes
dengan nitrasin, cairan ketuban akan mengubah
kertas nitrasin menjadi biru karena pH cairan
ketuban diatas 6,0-6,5. Pemeriksaan dengan kertas
nitrasin dapat bersifat positif palsu dengan adanya
kontaminasi darah, semen, dan vaginitis.
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi yaitu peningkatan
morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas,
komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu risiko resusitasi,
dan yang ketiga adanya risiko infeksi. Morbiditas dan mortalitas
neonatal meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal
dengan khorioamnionitis, dan meningkatkan risiko untuk
dilakukan seksio sesaria. Beberapa kemungkinan mekanisme
penyebab kerusakan sel otak bayi akibat infeksi.
1. Zat toksin dari bakteri masuk sirkulasi darah, mengikat
membran spesifik reseptor seperti CD 14 dan toll like
reseptor yang akan menghasilkan factor-faktor proinflamasi
sitokin seperti Tumor nekrosis factor(TNF), interleukin(IL
1B) dan interleukin 6.

2. Proinflamasi sitokin akan mempengaruhi otak melalui efek


toksik langsung pada sel-sel saraf(neuron) dan bahan
oligodendrit, yang menyebabkan meningkatnya kadar nitric
oksida dan disfungsi mitokondria.
Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi
traktus urinarius dan infeksi lokal misal : omphalitis atau
konjungtivitis. Insidensi khorioamnionitis bervariasi dalam
populasi antara 3-15% pada ketuban pecah dini aterm, sedangkan
15-20% pada kehamilan preterm.
Masalah prematuritas dan infeksi merupakan hal yang menjadi
kontroversial dalam manajemen ketuban pecah dini pada
kehamilan preterm. Kematian perinatal akibat prematuritas
disebabkan karena terjadi respiratory distress syndrome (RDS),
intraventricular haemorrhage (IVH) dan necrotizing enterocolitis
(NEC). Prolaps tali pusat biasanya terjadi dengan insidensi 1,5%.
Adanya kompresi tali pusat berhubungan dengan keadaan
oligohidramnion biasanya didapatkan pola denyut jantung janin
yang khas pada pemeriksaan antepartum, yaitu adanya gambaran
variabel deselerasi. Hipoplasia paru menjadi penyebab kematian
perinatal (90%). Insidensinya bervariasi antara 3-28%.
Pengobatannya
Terapi Antibiotik pada ketuban pecah dini
Mercer et al. dari Institute of Child Health and
Human Development Maternal-Fetal Medicine unit
Network merekomendasikan pemberian antibiotika
spesifik dalam menangani ketuban pecah dini pada
umur kehamilan 32 minggu. Center for Disease
Control (CDC) and Prevention Amerika Serikat
menganjurkan
pemberian
antibiotika
untuk
mencegah onset infeksi GBS. Antibiotika profilaksis
yang diberikan adalah penisilin atau ampisilin.

Apabila ibu hamil alergi terhadap penisilin diganti


dengan klindamisin atau eritromisin sebagai
alternatifnya.
Hasil dari beberapa penelitian disimpulkan
pemberian antibiotika yang dianjurkan adalah
ampisilin dengan dosis 2 gram intravena tiap 6 jam,
dan eritromisin 250 mg intravena tiap 6 jam selama
48 jam dilanjutkan dengan pemberian amoksisilin
250 mg peroral tiap 8 jam dan eritromisin basa 333
mg peroral tiap 8 jam selama 5 hari. Jumlah
pemberian antibiotika selama 7 hari. Pilihan
antibiotika yang lain adalah ampisilin/sulbaktam 3
gram intravena tiap 6 jam selama 48 jam,
dilanjutkan dengan pemberian amoksisilin/klavulanat
250 mg oral selama 5 hari. Apabila pasien alergi
terhadap penisilin dapat diberikan cephalosporin
atau klindamisin.
Untuk kasus ketuban pecah dini pada kehamilan
preterm yang belum disertai dengan persalinan,
sebaiknya
pasien
dipondokkan
.
Selama
pemondokan pemeriksaan kultur dilakukan dan
diberikan antibiotika sampai hasil kultur darah
negatif. Antibiotika profilaksis diberikan apabila hasil
kultur darah positif atau tidak diketahui hasil
kulturnya.
Penggunaan tokolisis pada kasus preterm dengan
KPD masih kontroversial, sebab kontraksi yang
terjadi
mungkin
disebabkan
karena
adanya
korioamnionitis, dan penundaan kehamilan dapat
memberi kesempatan untuk penyebaran infeksi. Tapi
penggunaan tokolisis pada kasus ini mungkin
ditujukan untuk memberi kesempatan antibiotic
masuk kedalam sirkulasi uteroplasenta dan memberi
kesempatan terapi kortikosteroid untuk merangsang

produksi surfaktan paru janin. Observasi tanda-tanda


infeksi adalah dengan monitoring suhu ibu,
pemeriksaan leukosit,.. Pemeriksaan vagina berulang
harus dihindari karena dapat meningkatkan resiko
terjadinya infeksi. Pemberian antibiotika profilaksis
dapat mengurangi risiko infeksi maternal dan
perinatal. Selain itu periode laten yaitu waktu
pecahnya ketuban dan mulainya persalinan dapat
diperpanjang. Studi metaanalisa yang dilakukan oleh
Mercer dan Arheat tahun 1995 menunjukkan
pemberian
antibiotika
secara
bermakna
memperpanjang periode laten dan mencegah febris
pada
ibu.
Selain
itu
menurunkan
kejadian
chorioamnionitis dan menurunkan infeksi perinatal
yaitu sepsis dan pneumonia.
Terapi Kortikosteroid
Penelitian
secara
meta-analisis
terhadap
penggunaan tokolisis menghasilkan penurunan
kematian perinatal. Pemberian antenatal steroid
yang dilakukan pada 24-48 jam sebelum kelahiran,
dapat
mengurangi
insidensi
dan
keparahan
respiratory distress dan kematian neonatal.
Frekuensi gawat pernapasan akan meningkat
kalau bayi dilahirkan lebih dari 7 hari setelah terapi
dengan
kortikosteroid,
dibanding
bayi
yang
dilahirkan 1 hingga 7 hari setelah terapi itu selesai.
Peningkatan kadar surfaktan setelah pemberian
kortikosteroid bersifat sepintas, dan kadar surfaktan
akan turun kembali kepada nilai sebelum terapi
dalam waktu 8 hingga 10 hari. Karena itu, jika akan
digunakan senyawa ini, terapi ulang harus
dipertimbangkan kalau persalinan belum terjadi

dalam waktu 7 hari sejak terapi pertama, dan bila


risiko persalinan dini masih terdapat.
Pasien dengan KPD pada umur kehamilan 26-32
minggu harus dirawat di rumah sakit untuk istirahat
total. Janin dimonitor setiap hari dengan NST.
Pemeriksaan angka leukosit, diperiksa setiap hari
untuk memonitor adanya infeksi. Medikamentosa
yang diberikan bemetason 12 mg IM perhari dibagi
dalam dua pemberian, dan ampisilin 1 gr IV per 6
jam. Terbutalin 2,5-5 mg oral tiap 6 jam, diberikan
jika ada kontraksi uterus. Obat pilihan lain jika ibu
tidak tahan terbutalin adalah nifedipin 10 mg oral
setiap 4-6 jam. Janin harus segera dilahirkan jika ada
tanda-tanda infeksi, atau ada tanda-tanda fetal
distres (gawat janin).
Pemberian steroid pada ketuban pecah dini
kehamilan preterm masih merupakan hal yang
kontroversial.
Glukokortikoid
diberikan
untuk
memacu pematangan paru dalam mencegah RDS
dan perdarahan intraventrikuler. Glukokortikoid
dapat mengurangi keefektifan antibiotika oleh
karena bersifat imunosupresif. Sementara antibiotika
diperlukan untuk mencegah infeksi pada ibu dan
janin. The Consencus Development Panel of The
National Institutes of Health merekomendasikan
kortikosteroid diberikan pada kasus ketuban pecah
dini kurang dari 32 minggu dan tidak didapatkan
tanda-tanda chorioamnionitis.Dosis betametason
yang diberikan 12 mg intramuskular sebanyak 4 kali
selama 2 hari. Deksametason dapat juga diberikan 2
kali tiap 12 jam intramuskular. Setelah satu minggu
pemberian jika persalinan belum terjadi perlu

dilakukan penilaian maturitas paru dan pemberian


kortikosteroid dapat diulangi bila diperlukan.
Sebaiknya ibu hamil yang mengeluh adanya
keluar cairan dari jalan lahir sebelum waktunya,
segera berkonsultasi ke Puskesmas, atau dokter
mengingat risiko komplikasi yang ditimbulkan bagi
ibu dan janinnya. Dengan pemberian antibiotik dan
kortiko steroid yang adekuat morbiditas terhadap ibu
dan dan janin bisa di hindari atau diturunkan

Bab I
PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane


( PROM ) merupakan rupture membrane fetal sebelum onset
persalinan. Sebagian besar kasus ini terjadi pada waktu
mendekati kelahiran, tetapi saat ketuban pecah sebelum
masa gestasi 37 minggu, maka disebut preterm PROM atau
ketuban pecah dini preterm.
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi
kehamilan yang paling sering dijumpai. Insiden ketuban
pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10% ,

dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa


gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10% pasien ketuban
pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat
interval antara ketuban pecah dan persalinan yang
memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30
hingga 40% persalinan preterm dimana sekitar 75% pasien
akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari
jadwal.
Ketuban pecah dini merupakan penyebab penting morbiditas
dan mortalitas perinatal serta berhubungan dengan infeksi
perinatal dan kompresi umbilical cord akibat
oligohidramnion. Infeksi koriodesidual memiliki peranan
penting dalam etiologi terjadinya ketuban pecah dini
terutama pada usia gestasi awal.
Pendekatan ketuban pecah dini pada kehamilan minggu ke
34 hari pertama hingga minggu ke 36 hari ke 6 hingga saat
ini masih tetap mengundang banyak kontroversi. Beberapa
studi menunjukan bahwa pemanjangan masa gestasi
minggu ke 34 hari pertama memberikan sedikit atau tidak
memberikan reduksi morbiditas neonatal karena insiden
morbiditas dan kematian bayi ini tidak berbeda bermakna,
dengan mereka yang dilahirkan setelah usia gestasi 36
minggu 6 hari. Ketuban pecah dini preterm antara minggu
ke 34 hingga 37 berhubungan erat dengan korioamnionitis
dan morbiditas neonatal. Pelaksanaan persalinan aktif dan

melalui operasi Caesar pada kasus ketuban pecah dini tidak


menunjukan perbedaan bermakna.
Ketuban pecah dini dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi pada neonatus meliputi respiratory distress
syndrome, cord compression, oligohidramnion, enterokolitis
nekrotikans, gangguan neurology, infeksi neonatal dan
perdarahan interventrikular. Oleh sebab itu klinisi yang
mengawasi pasien harus mampu menegakkan diagnosis
ketuban pecah dini dan memberikan terapi yang akurat
untuk memperbaiki luaran dan prognosis pasien ketuban
pecah dini dan bayinya.

BAB 2
PEMBAHASAN

1.DEFINISI
Ketuban Pecah Dini ( KPD ) atau spontaneous / early
/premature rupture of the membrane ( PROM ) adalah
pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan
pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi para kurang
dari 5 cm.
Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah,
maka dapat terjadi infeksi yang dapat meningkatkan angka
kematian ibu dan anak. Untunglah karena adanya antibiotik
spektrum luas , maka hal ini dapat ditekan.
Sampai saat ini masih banyak pertentangan mengenai
penatalaksanaan KPD yang bervariasi dari doing nothing
sampai pada tindakan yang berlebihan. Insidens KPD terjadi

kira-kira 6-10% dari semua kehamilan.


2. Anatomi dan struktur Membran Fetal
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda.
Lapisan ini tidak mengandung pembuluh darah maupun
saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion.
Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah
epithelium amniotik. Epitel amniotik ini mensekresikan
kolagen tipe III dan IV dan glikoprotein non kolagen
( laminin , nidogen dan fibronectin ) dari membrane basalis,
lapisan amnion disebelahnya.
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada
membrane basalis ini membentuk skeleton fibrosa dari
amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh sel
mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial ( tipe I
dan III ) mendominasi dan membentuk parallel bundles
yang mempertahankan integritas mekanikan amnion.
Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa
antara kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial.
Tidak ada interposisi dari materi yang menyusun fibril
kolagen pada jaringan konektif amniotic sehingga amnion
dapat mempertahankan tensile strength selama stadium
akhir kehamilan normal.
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling
tebal terdiri dari sel mesenkimal dan makrofag diantara
matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk
jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa.
Lapisan intermediate ( spongy layer atau zona spongiosa )
terletak diantara amnion dan korion. Lapisan ini banyak
mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang
memberikan sifat spongy pada gambaran histology.
Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar meshwork yang
terdiri sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan
intermediate ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi.
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki
tensile strength yang lebih besar. Korion terdiri dari

membrane epithelial tipikal dengan polaritas langsung


menunu desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili
trofoblastik diantara lapisan korionik dari membrane fetal
( bebas plasenta ) mengalami regresi. Dibawah lapisan
sitotrofoblas ( dekat janin ) merupakan membrane basalis
dan jaringan knektif korionik yang kaya akan serat kolagen.
Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun
tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah dimana
membrane akan pecah, observasi harus dilakukan untuk
menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi
membrane yang memicu terjadinya ketuban pecah dini.
Vintziuleos dalam hipotesisnya memandang bahwa cairan
amnion mengandung materi bakteriostatik tertentu sebagai
pelindung terhadap proses infeksi potensial dan penurunan
volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan
pasien dalam menghadapi infeksi. Penelitian oleh borna et al
menunjukan bahwa pasien dengan oligohidramnion ( AFI<5)
memiliki risiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis
pada neonatus.
Sebagian besar bukti mengarah bahwa ketuban pecah dini
berhubungan dengan proses biokimia meliputi rusaknya
kolagen antarmatriks ekstraseluler amnion dan korion dan
programmed death of cell pada membrane janin dan lapisan
uteri maternal ( desidua ) sebagai respon terhadap berbagai
rangsangan seperti peregangan membrane ( membrane
stretching ) dan infeksi saluran reproduksi , yang
menghasilkan mediator seperti prostaglandin, sitokin dan
hormone protein yang mengatur aktivitas enzim degradasi
matriks.
3. Faktor Risiko.
Berbagai faktor risiko berhubungan dengan timbulnya
ketuban pecah dini. Ras kulit hitam cenderung memiliki
risiko lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih.
Pasien dengan status sosioekonomi rendah , perokok,
riwayat penyakit menular seksual, riwayat persalinan

preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam atau distensi


uteri ( misal polihidramnion dan gemelli ) memiliki risiko
tinggi. Tindakan prosedural seperti amniosentesis juga dapat
memicu ketuban pecah dini.
Beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya
ketuban pecah dini ialah :
1. Kehamilan multiple : kembar dua ( 50%) , kembar tiga
( 90 %).
2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2-4x
3. Tindakan segama : tidak berpengaruh kepada risiko,
kecuali jika hygiene buruk , predisposisi terhadap infeksi.
4. perdarahan pervaginam : trimester pertama ( risiko 2x ) ,
trimester kedua/ketiga ( 20x )
5. Bakteriuria : risiko 2x ( prevalensi 7 % )
6. PH vagina di atas 4,5 : risiko 32% ( vs. 16%)
7. Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% ( vs 7%)
8. Flora vagina abnormal : risiko 2-3x
9. Fibronectin > 50 mg/ml : risiko 83% ( vs 19% )
10. Kadar CRH ( corticotropoin releasing hormone ) maternal
tinggi misalnya pada stress psikologis , dsb. Dapat menjadi
stimulasi persalinan preterm.
4. Patofisiologi
Ketuban pecah dini berhubungan dengan kelemahan
menyeluruh membrane fetal akibat kontraksi uteri dan
peregangan berulang. Membran yang mengalami rupture
premature ini tampak memiliki defek fokal disbanding
kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya
membrane ini disebut restricted zone of extreme altered
morphology yang ditandai dengan adanya pembengkakan
dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan
kompakta, fibroblast maupun spongiosa. Daerah ini akan
muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan daerah
breakpoint awal. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini
secara singkat ilalah akibat adanya penurunan kandungan
kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya

ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm


terutama pada pasien risiko tinggi.
5. Manifestasi Klinis
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi term, sekitar 70%
pasien akan memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95%
dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode
latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun
terbalik dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan
minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar
12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode
latensi berkisar hanya 4 hari.
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif
terhadap ibu dan bayi. Peningkatan lipid peroxidation dan
aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi
premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah.
Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan
tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu
pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus
diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan
neonatus terhadap trauma radikal oksigen.
6. Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan dari anamnesis,
permeriksaan fisis dan studi laboratorium. Pasien sering kali
mengeluhkan adanya carian yang keluar mendadak akibat
adanya kebocoran yang berkelanjutan. Klinisi harus
menanyakan apakah pasien mengalami kontraksi ,
perdarahan pervaginam atau riwayat hubungan seksual atau
ada tidaknya deman. Hal ini penting untuk verifikasi karena
akan berhubungan dengan penatalaksanaan yang akan
diberikan.
Adanya carian yang keluar dari vagina atau kebocoran dari
servikal terutama saat pasien batuk atau saat diberikan

fundal pressure dapat membantu menegakan diagnosis


ketuban pecah dini. Metode diagnostic dengan
menggunakan nitrazine papper dan penentuan ferning
memiliki tingkat sensitivitas mencapai 90%. PH vagina
normal berkisar 4,5 dan 6 sedangkan ph cairan amnion lebih
alkali dengan PH 7,2 hingga 7,3 . Nitrazine paper akan
berubah menjadi biru bila PH berada diatas 6 sehingga
mengubah nitrazine paper menjadi biru dan memberikan
hasil positif palsu. Vaginosis bakterial juga dapat
mengakibatkan hal yang sama.
7. Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban
pecah dini perlu mempertimbangkan morbiditas dan
mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan dengan
persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin.
1. Medikasi
Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan
mortalitas perinatal pasca ketuban pecah dini preterm.
Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom
distress pernafasan ( 20 35,4% ), hemoragi
intraventrikular ( 7,5 15,9% ), enterokolitis nekrotikans
( 0,8 4,6% ). Rekomendasi sebagian besar menggunakan
betamethason ( celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24
jam selama 2 hari. National Institute of Health
merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa
gestasi 30 23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan
tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian kortikosteroid
setelah masa gestasi 34 minggu masih controversial dan
tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru
melalui pemeriksaan amniosentesis.
Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat
menekan infeksi neonatal dan memperpanjang periode

latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi


ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg
setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin
250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima
hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan
dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu
setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari.
Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang
periode latensi namun tidak memperbaiki luaran neonatal.
TIdak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian agen
tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik
jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih
menunggu hasil penelitian lebih jauh.
2. Penatalaksanaan berdasarkan masa gestasi
Masa gestasi dibawah 24 minggu.
Sebagian besar pasien akan mengalami persalinan dalam 1
minggu bila terjadi ketuban pecah dini dengan periode
latensi sekitar 6 hari , dan sebagian besar yang lahir
biasanya mengalami banyak masalah seperti penyakit paru
kronik, gangguan neurology dan perkembangan,
hidrosefalus dan cerebral palsy. Sekitar 50% janin dengan
ketuban pecah dini pada minggu ke 19 akan mengalami
sindrom Potter, 25% pada mereka yang lahir di minggu ke
22 dan 10% pada mereka yang lahir setelah maa gestasi 26
mingu. Pasien harus mendapat konseling mengenai manfaat
dan risiko penatalaksanaan akan kemungkinan bayi tidak
dapat bertahan secara normal.
Masa gestasi 24 31 minggu
Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan
mortalitas neonatal berat. Bila tidak dijumpai infeksi
intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan
hingga 34 minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka
pasien akan melahirkan dalam waktu 1 minggu. Klinisi harus
memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan

penilaian menyeluruh mengenai keadaan janin melalui


monitoring fetal dan ultrasonografi. Pemberian kortikosteroid
pada masa gestasi 24 -28 minggu tidak banyak bermanfaat.
Masa gestasi 32 33 minggu
Biasanya Mengalami masalah dengan maturitas paru-paru,
induksi persalinan dan penanganan bayi premature harus
segera direncanakan. Upaya mempertahankan kehamilan
lebih lama setelah maturitas paru akan meningkatkan risiko
amnionitis maternal, kompresi umbilical cord, rawat inap
yang makin lama dan infeksi neonatal.
Masa gestasi 34 36 minggu
Biasanya klinisi menghindari upaya memperlama kehamilan.
Sebuah studi menunjukan bahwa penatalaksanaan
konservatif antara masa gestasi 34 hingga 36 minggu akan
meningkatkan risiko korioamnititis. Walaupun kortikosteroid
tidak diindikasikan untuk kehamilan lewat 34 minggu,
pemberian antibiotik tetap dilakukan sebagai profilaksis
infeksi streptococcus group B dan fasilitasi penanganan
neonatus perematur harus disiapkan segera. Ketuban pecah
dini preterm atau perterm PROM bukan merupakan
kontraindikasi persalinan pervaginam.
8. Komplikasi
Morbiditas ketuban pecah dini menjadi kurang serius bila
terjadi pada kehamilan yang mendekati term dibandingkan
kehamilan yang lebih awal. Pada kasus ketuban pecah dini
biasanya 80-90% akan mengalami partus dalam kurun
waktu 24 jam. Ada beberapa hal perlu dipertimbangkan
pada ketuban pecah dini :
- Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya
persalinan premature dan prematuritas janin.
- Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika
persalinan dilakukan setelah 24 jam onseInsiden prolaps tali
pusat ( cord prolapse ) akan meningkat bila dijumpai adanya

malpresentasi
- Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama
akan menyebabkan dry labour atau persalinan kering
- Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin,
khususnya pada kasus oligohidramniont

PROM=Preamture Rupture of The Membrane, terjemahan


bahasa Indonesianya : Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Ketuban
Pecah Sebelum Waktunya (KPSW). Mungkin ada istilah lainnya
tapi maksudnya sama. Diluar ada juga yang memakai istilah
PROM = Prelabor Ruptureof the membrane. Pengertiannya sih
sama saja.

Selaput ketuban yang tip

Fern Pattern pada pemeriksaan Mikroskopis air ketuban


Kapan waktunya ketuban pecah? Dalam buku2 teks dinyatakan
bahwa ketuban pecah saat pembukaan persalinan lengkap
atau hampir lengkap (9 - 10 cm). Pada kasus PROM ketuban
pecah,
tetapi
proses
persalinan
tidak
timbul.
Kalau terjadi pecah ketuban saat proses persalinan sudah
berlangsung (pembukaan >3 cm) ada yang menyebutnya :
Early
Rupture
Of
the
Membran
(EROM).
Penyebab ketuban pecah dini/ketuban pecah sebelum
waktunya, belum diketahui betul. Ini ada teori2 yang dibuat,
KLIK kalau mau ngilmu (hati2 bisa bikin pusing). Faktor yang
diduga sebagai penyebabnya: 1. Melemahnya selaput ketuban
2. Menurunnya kekuatan regang selaput ketuban 3. Leher
rahim yang lemah (cervix incompetence) 4. Air ketuban yang
banyak (polihydramnios) 5. Hamil kembar 6. Infeksi : saluran
kencing
dan
vagina.
Untuk orang awam secara sederhana untuk mengetahui air
yang keluar dari kemaluan adalah air ketuban adalah:
keluarnya air nggak bisa di tahan dan bau airnya anyir/amis.
Beda dengan pipis yang biasanya bisa ditahan (keculai kebelet
berat..he..he...he..) dan jelas aja bau pipis haring/pesing.

Secara medis cairan ketuban dapat didentifikasi dengan


mengukur PH-nya (dengan kertas lakmus atau test strip
pengukur PH). PH vagina 4.5-5.5, PH air ketuban (7-7,5)
gabungan keduanya terukur dengan PH 6-6.2. Dengan kertas
lakmus warna merahnya akan berubah jadi biru. Pemeriksaan
dibawah mikroskop memperlihatkan gambaran fern pattern.
Penanganan bagi yang hamilnya sudah cukup bulan (minimal
37 minggu), dilakukan induksi persalinan jika memang bisa
dilahirkan per-vaginam (vaginal delivery), kalo nggak bisa ya
di Cesar. Jika induksi persalinan gagal juga di Cesar.
Untuk ketuban pecah sebelum hamil cukup bulan, pasien
dirawat, Bed Rest, diberi antibiotika. Sampai air ketuban nggak
keluar. Khusus kehamilan 34 minggu keatas ada yang
berpendapat ditunggu kelahiran spontan dalam 24-48 jam.
Karena pada kehamilan tersebut paru2 janin sudah mencapai
kematangan.

Anda mungkin juga menyukai