Disusun Oleh:
ANDREAS OKTODIKA
(130111100)
(130111100144)
FARADIBA SIENDI
(130111100120)
TAUFIKUR RAHMAN
(130111100)
NIKI YULIANI
(130111100)
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law)
memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan hukum
materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara materiil
(materiele staatsrecht). Hukum tata negara materiil ini meliputi berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara formal dalam praktik penyelenggaraan
negara yang berpuncak pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai the
supreme law of the land.
Dalam rangka menegakkan hukum materiil, mengawal dan menegakkan
supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara,
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk: (1) menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3)
memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum; dan (5) memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. Atas dasar kewenangandan kewajiban konstitusional inilah, hukum acara
(procedural law) diperlukan untuk mengatur mekanisme atau prosedur beracara di
Mahkamah Konstitusi.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengatur penegakan hukum yang materinya
telah ditentukan dalam hukum materiilnya het materiele recht moet gehandhaafd
worden en dat gebeurt in een process. Jadi, hukum materiil harus ditegakkan dan hal
itu terjadi di dalam suatu acara. Hukum yang mengatur acara inilah yang disebut
dengan formeel recht atau procedural law.
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat Negara
yang berwenang diucapkan dalam siding terbuka untuk umum dan dibuat secara
tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan oleh para pihak kepadanya1.
Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan
kepadanya, maka putusan hakim itu merupakan tindakan negara dimana
kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun
Undang-undang.
1 M.P. Stein, Onder een vonnis dient men te verstaan de door de rechters als bevoegd
overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen
voorgelegde geschill tussen partijen, Hal:158
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana jenis dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi ?
2. Aspek-aspek apa saja yang ada pada putusan Mahkamah Konstitusi ?
TUJUAN
1. Mengetahui jenis dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi
2. Mengetahui aspek pada putusan Mahkamah Konstitusi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis dan Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi
Pernyataan sikap atau perbuatan pejabat berwenang yang menyelesaikan sengketa
yang dibawakan kehadapannya dapat dibedakan antara putusan yang mengakhiri
sengketa tersebut dan putusan yang belum menyebab berakhirnya sengketa. Jenis
putusan yang disebut pertama dikenal dengan putusan akhir, yaitu satu sikap dan
pernyataan pendapat yang benar-benar mengakhiri sengketa tersebut. Dalam
persidangan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tentu ini
diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan mengikat (final and binding).
Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu putusan
yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan
putusan yang menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara
atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela
atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas
permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan
dengan perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim. Putusan sela dapat
berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait
dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya terdapat dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Pasal 63 UU MK
menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon
dan/atau
termohon
untuk
menghentikan
sementara
pelaksanaan
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Putusan Sela dalam PMK Nomor 16
Tahun 2009 dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 diartikan sebagai putusan yang
dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang
hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.2 Di dalam hukum acara,
khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli
telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus
melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal
178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.
Namun demikian berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK,
tidaklah dapat dikatakan bahwa larangan ultra petita tersebut dapat diterapkan untuk
peradilan di MK. Kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MK
pada prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh
individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan undangundang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang
sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian
UU misalnya, jelas bahwa perkara ini menyangkut kepentingan umum yang akibat
hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku dalam
lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak
yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau
pertimbangan individu itu bahkan, perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan
keadilan telah menyebabkan larangan tersebut tidak lagi diberlakukan secara mutlak.
Dalam pertimbangan hukum putusan tentang UU KKR, MK menyebutkan adanya
putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3)
HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg tentang larangan ultra petita tidak
berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap aktif dan harus
berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Selain itu,
dalam setiap gugatan, dakwaan, ataupun permohonan biasanya selalu dicantumkan
permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo
et bono) sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari
petitum.
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan
hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim
memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu
perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.
2 Lihat Pasal 1 angka 19 PMK Nomor 16/PMK/2009 dan Pasal 1 angka 9 PMK Nomor
17/PMK/2009.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir
adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan
suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah
uang ganti rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK
berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan
keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian
UU, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang
menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD
1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum
berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Demikian
pula dalam putusan perselisihan hasil Pemilu, putusan MK menyatakan hukum dari
penetapan KPU tentang hasil Pemilu apakah benar atau tidak. Apabila permohonan
dikabulkan, MK membatalkan penetapan KPU itu yang berarti meniadaan keadaan
hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat
condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal
permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.3
2.2 Aspek-Aspek Putusan Mahkamah Konstitusi
2.2.1 Rapat Permusyawaratan Hakim
Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah Konstitusi akan
melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah akan mengabulkan
permohonan, menolak atau menyatakan tidak dapat diterima. Rapat permusyawatan
hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dalam sengketa yang dihadapkan
padanya harus memenuhi kuorum sekurang-kurangannya 7 (tujuh) orang hakim. Ini
terjadi hanya karena ada dua hal-hal luar biasa baik karena sakit atau halangan tetap
yang belum dapat diatasi.
Dalam hal biasa, kuorum itu harus dengan pleno lengkap yang dihadiri oleh 9
(Sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih dahulu mendenganrkan
laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan melaporkan hasilhasil pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issue maupun pendapat ahli dan
keterangan saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi.
3 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hal. 240
konstitusi
dengan
saling
mengemukakan
argument
yang
berusaha
2.2.2
Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang
diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim. 4 Putusan harus didasarkan pada
sekurang-kurangnya 2 alat bukti.5
Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno
pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang
pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para pihak.6 Putusan ditandatangani
oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera.
MK memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setiap putusan MK harus memuat:7
a. kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA;
b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan termohon
(jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik prinsipal maupun
kuasa hukum;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Bagian ringkasan permohonan dan pertimbangan terhadap fakta yang
terungkap dalam persidangan dalam praktik putusan MK dimuat pada bagian
Duduk Perkara. Pada bagian ini memuat ringkasan seluruh proses persidangan yang
terjadi, mulai dari ringkasan permohonan, alat bukti yang diajukan, keterangan pihak
terkait, keterangan saksi pemohon, keterangan ahli pemohon, keterangan saksi
termohon/pihak terkait, keterangan ahli termohon/pihak terkait, serta keterangan ahli
dari MK (jika ada).
Pada bagian pertimbangan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu tentang
kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon, serta tentang pokok perkara.
Pada bagian pertama, MK akan mempertimbangkan apakah permohonan merupakan
kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Jika merupakan
4 Pasal 45 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003.5 Pasal 45 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.
5
66 Pasal 45 ayat (9) dan ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003.
77 Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003.
Pada
perkembangannya,
penempatandemikian
dipandang
akan
Oleh karena itu penempatan dissenting tersebut kembali diubah, yaitu setelah
amar putusan tetapi sebelum bagian penutup dan tanda tangan hakim konstituti serta
panitera pengganti.86 Saat ini, dissenting ditempatkan setelah penutup dan tanda
tangan hakim konstitusi namun sebelum nama dan tanda tangan panitera pengganti.
2.2.3
putusan hukum yang sederajad dengan undang_undang yang di batal kan tampak nya
secara teoritis merupakan masalah hukum yang serius.
Kalau pemerintah ataub lembaga negara lain tidak mematuhi putusan
tersebgut dan justru masi tetap memberlakukan undang_undang yang telah di
nyatakan mahkamah konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,hal itu
merupakan suatu tindakan yang pengawasan nya ada dalam mekanisme hukum dan
tata negara itu sendiri.perbuatan yang di dasar kan undang_undang yang sudah di
nyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan
melawan hukum,dan demi hukum batal sejak semula.
Jika konsekuensi hukum yang terjadi berupa kerugian ifnansial, aparat negar
atau blenbaga negara tersebut menanggung akibat hukum yang dapat bersifat pribadi
(personal liabilty) untuk mengganti kerugian yang dituntut melalui peradilan biasa
yang dapat ditegakkan secara paksa akan tetapi, dari sudut konstitusi, perbuatan
melawan hukum demikian, jika dilakukan pemerintah atau presiden, boleh jadi akan
memicu proses politik yang diadakan di DPR yang dapat bermua bahwa presiden
akan tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden karena alasan yang disebut dalam
UUD 1945.
Putusan mahkamah konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka
untuk umum, dapat menpunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2)
kekuatan pembuktian, dan (3) eksekutorial. Jenis kekuatan putusan yang demikian
dikenal dalam teori hukum acara perdata pada umumnya dan haln ini dapat juga
diterapkan dalam hukum acara mahkamah konstitusi.
1. Kekuatan Mengikat
mahkamah konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi di tingkat
pertama dan terakhir putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan MK
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh.
2. Kekuatan Pembuktian
Pasal 60 UUMK menentukan bahwa muatan ayat, pasal dan/atau bagian
dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji
kembali. Dengan demikian, adanya putusan mahkamah yang telah menguji
undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah
diperoleh suatu kekuatan pasti (gezag van gewijsde).
3. Kekuatan Eksekutorial
Sebagai suatu perbuatan hukum pejabat negara yangb dimaksudkan
untuk mengakhiri sengketa kyang akan meniadakan atau menciptakan hukum
yang baru, maka tentu saja diharapkan bahwa putusan tersebut tidak hanya
merupakan kata-kata diatas kertas.
Sebagai putusan hakim, setiap orang kemudian akan berbicara
bagaimana pelaksanaannya dalam kenyataan. Akantetapi, sebagaimana telah
disinggung diatas berbeda dengan putusan hakim biasa, atas putusan maka
suatu keputusan yang mengikat para pihak dalam perkara perdata member hak
pada pihak yang dimenangkan untuk meminta putusan tersebut dieksekusi
jikalau menyangkut penghukuman atas pihak yang kalah untuk melakukan
sesuatu atau pembayaran sejumlah uang. Dalam hal demikian dikatakan
bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetep itu mempunyai kekuatan
eksekutortial, yaitu agar putusan itu dilaksanakan, dan jika perlu dengan
kekuatan paksa (met steke arm).
2.2.4 Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi
sebagai
negative
legislator, boleh
jadi
dan terakhir yang putusannya bersifat final, hanya sepanjang menyangkut pengujian
undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran parpol dan
perselisihan hasil pemilihan umum.
Adapun terhadap pejabat DPR tentang pelanggaran hukum presiden/wakil
presiden, disebutkan bahwa mahkamah konstitusi wajib memutusnya apakah hal
tersebut mempunyai akibat hukum terhadap putusan mahkamah konstitusi, sehingga
dalam hal demikian putusan mahkamah konstitusi tidak mempunyai kekuatan
mengikat dan masih dapat dipersoalkan oleh MPR, terutama karena dalam pasal 7B
ayat (7) UUD 1945 MPR masih memberi kesempatan kepada presiden/wakil presiden
yang telah dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum oleh mahkamah
konstitusi, untuk menyampaikan penjelasan. Oleh karena itu, syarat kuorum yang
ditentukan dalam pasal 7B ayat (7) UUD 1945 tersebut kemungkinan besar
presiden/wakil presiden yang telah dinyatakan oleh mahkamah konstitusi melanggar
hukum tidak berhasi dipecat.dalam hal demikian dikatakan bahwa putusan mahkamah
konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak bersifat final.
Pendapat demikian tidak tepat, kaena harus dibedakan secara tegas antara proses
politik dan proses hukum. sebagai satu proses hukum, meskipun pasal 10 ayat (1)
undang-undang mahkamah konstitusi yang memuat sifat final putusan mahkamah
konstitusi hanya menyangkut 4 (empat) kewenangan, sedangkan terhadap proses
impeachment yang diatur dalam ayat (2) tidak disebutkan secara tegas, maka ukuran
untuk menentukan apakah putusan satu peradilan telah bersifat final dan mempunyai
kekuatan mengikat adalah ada tidaknya badan yang berwenang secara hukum
meninjau ulang (review) putusan pengadilan tersebut, serta ada tidaknya mekanisme
dalam hukum acara tentang siapa dan bagaimana cara peninjauan ulang tersebut
dilakukan.
Kedua ukuran tersebut tidak ditemukan baik dalam UUD 1945 maupun dalam
undang-undang Mahkamah konstitusi. Kalau demikian adanya, maka putusan
mahkamah konstitusi tentang impeachment presiden/wakil presiden tersebut secara
yuridis telah final dan karenanya pasal 47 undang-undang mahkamah konstitusi yang
menyatakan putusan mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum berlaku terhadapnya.
Oleh karena itu, putusan mahkamah konstitusi tentang impeachment presiden tersebut
mempunyai kekuatan mengiukat secara hukum, dan sepanjang mengenai amar yang
menyatakan presiden melakukan perbuatan melanggar hukum yang didakwakan
DPR, mengikat seluruh lembaga, aparat pemerintahan dan warga masyarakat.
Putusan yang demikian dikatakan orga omnes.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding yaitu bersifat final dan
mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan akibat hukum
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA