Anda di halaman 1dari 10

2.1.

Karsinoma Nasofaring

2.1.1. Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel
epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga tipe
karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011):
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di
jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang
hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi
dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan
melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang
melapisi nasofaring (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung,
tenggorok, serta dasar tengkorak (Munir, 2010).
2.1.2. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang sekali
ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari
1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000
penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC,
walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di
dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada
wanita 1,27/100.000 (Desen, 2008).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase
rendah (Roezin, 2010).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia
30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1
(Desen, 2008).
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur
paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita
lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun
dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah

50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan yang paling tua
77 tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun (Munir, 2010).
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang
masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya faktor
genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain (Roezin, 2010).

2.1.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring
adalah:
a. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali
menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial ( Desen, 2008),
Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma
nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring
dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet
makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi
diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring (American cancer society,
2011). Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode
enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker
nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun
2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit
polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total
terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi
Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel sehingga
mengalami mutasi, khususnya protooncogenmenjadi oncogen (American Cancer Society,
2011 dan Sudiana, 2008).
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air
minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou
juga berhubungan (Desen, 2008).
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan
karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang

tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan
sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan
dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan
pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap
karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan
asap kayu (Soetjipto, 1989).
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
2.1.4. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi lapisan mukosa epitel tipis , terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria
mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
A.

Tipe Patologik

Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi.
Para ahli di RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang ditetapkan
WHO tahun 1991 dan klasifikasi standar diagnosis terapi kanker nasofaring dari China
(tabel 2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi Standar Diagnosis Dan Terapi Karsinoma Nasofaring
China Dan Klasifikasi Histologik Karsinoma Nasofaring WHO
Standar diagnosis dan terapi
Karsinoma
sel
skuamosa
berdiferensiasi baik
Karsinoma
sel
skuamosa
berdiferensiasi sedang
Karsinoma
sel
skuamosa
berdiferensiasi buruk
Karsinoma sel intivaskular
Karsinoma tak berdiferensiasi
(Desen, 2008).

Kalsifikasi WHO
Karsinoma
sel
skuamosa
keratinisasi
Karsinoma
nonkeratinisasi
berdiferensiasi
Karsinoma tak berdiferensiasi

B.

Pertumbuhan Dan Ekspansi

Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama


di recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior.
Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung
berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung
merusak basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau
sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah
menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus
maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui
intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu
ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan
kelompok otot kunyah dll. Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal,
vertebra servikal. Ke inferior mengenai orofaring bahkan laringofaring.
C.

Metastasis

Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi
garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe leher dari
kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan
pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar
limfe leher profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di
trigonum servikal posterior.
Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher,
menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga meningkat
jelas.
Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi
metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali
datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar getah
bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar getah bening
yang seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma
nasofaring dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American Cancer Society, 2011,
Mansjoer, 2003, Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba
eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di
telinga (otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat pula ke

V, sehingga tidak jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter mata. Neuralgia
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain
yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII
manifestasi kerusakannya ialah:
N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan terjadi kesulitan
menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.
N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring diikuti gangguan
respirasi dan salivasi.
N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom jackson, dan jika
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang
tengkorak dengan prognosis yang buruk.
4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk
berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
2.1.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip dari
buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin, (lihat Roezin,
2010).
Stadium 0
Stadium I
Stadium IIA
Stadium IIB

Stadium III

Stadium IVa
Stadium IVb
Stadium IVc

T1s
T1
T2a
T1
T2a
T2b
T1
T2a,T2b
T3
T4
semua T
semua T

N0
N0
N0
N2
N1
N0,N1
N2
N2
N2
N0,N1,N2
N3
semua N

M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1

T
= Tumor
T0
= Tidak tampak tumor.
T1
= Tumor terbatas di nasofaring.
T2
= Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan
ke parafaring
(perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah postero-lateral melebihi fasia
faring-basiler.

T2b: Disertai perluasan ke parafaring.


T3
= Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.
T4
= Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.
N
= Pembesaran kelenjar getah bening.
NX
= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0
= Tidak ada pembesaran.
N1
= Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atasfossa supraclavicular.
N2
= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atasfossa supraclavicular.
N3
= Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar, atau terletak
dalam fossa supraclavikular.
N3a: Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b: Di dalam fossa supraclavicular.
Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral.
M
= Metastasis.
MX
= Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0
= Tidak ada metastasis jauh.
M1
= Terdapat metastasis jauh.

2.1.7. Diagnosis Dan Prognosa


Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus
melakukan hal-hal berikut ini:
a. Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien
Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli
unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial dengan kausa
tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringnya dengan
nasofaringoskop indirek atau elektrik (Desen, 2008).
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran (Desen, 2008
dan National Cancer Institute, 2011).
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan
Soetjipto, 1989).

Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter


Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai
nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope ( lentur,
menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung atau mulut) untuk menilai
secara langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri,
setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar
selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya.
d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008).
e. Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2) memastikan luas lesi,
penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat menetapkan zona target terapi; merancang
medan radiasi; (4) memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak
lanjut (Desen, 2008, National Cancer Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).
Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin
dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (National Cancer Institute, American
Cancer Society, 2011 dan Soetjipto, 1989) .
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat
potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini
menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi
dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society,
National Cancer Institute, 2011) .
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta adanya
metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan, Soetjipto, 1989).
Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif
dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen.
Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak tampak sebagai akumulasi
radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan
Soetjipto, 1989).
(Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien akan menerima
injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat

rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi
sejumlah besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
f. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
g. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan 2006).

h. Pemeriksaan serologis EBV


Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker
nasofaring (Desen, 2008):
Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80;
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA dan EBVDNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau
terus meningkat.
Prognosa
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah
meyebar luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka
bertahan hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95% untuk KNF
stadium I dan 70-80% untuk KNF stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma
mendapat terapi radiasi, angka bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira
sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang,
paru, dan hati ( Lin HS, 2009, Gardjito, 2005, dan Brennan, 2006).
2.1.8. Diagnosis Banding
a.

Kelainan hiperplastik nasofaring


Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia
sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu
terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat itu.

b. TB nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau benjol
granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring.
c. TB kelenjar limfe leher

Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat melekat dengan
jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi (Desen,
2008).
2.1.9. Terapi Karsinoma Nasofaring
a.
b.
c.
d.
a.

Stadium I
: Radioterapi.
Stadium II&III
: Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer Institute 2011).
Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Roezin, 2010).

Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau radiasi
tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel kanker. Ada dua
tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin yang berada di luar tubuh
untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif
yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan
secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada
tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi Co-60, radiasi energi tinggi atau radiasi X
energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu
brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik (Desen, 2008).
b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode diikuti
dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh melakukan recover.
Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering
tidak dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut
bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati karsinoma
nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi
boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi
radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar.
Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin,
Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering, pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini
yang digunakan (American Cancer Society, 2011). Tetapi berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai
inti (Roezin, 2010).
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi
dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik

dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma
nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008 dan Roezin,
2010).
d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban penderita
kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat disembuhakn lagi.
Tujuan terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita atas kematian
penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi.
Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu
penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan
penderita
untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi
dan
mencoba
memakan
dan
mengunyah
bahan
yang
rasa
asam
sehingga
merangsang keluarnya liur (Roezin, 2010 dan Sukardja, 2002).
2.1.10. Pencegahan
a.
b.
c.
d.
e.

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi
(Roezin, 2010).
Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara nyata (Soetjipto,
1989).
Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress
Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).
2.1.11. Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batukbatuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain (Sudiana, 2008).

Anda mungkin juga menyukai