TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tuberkulosis Paru
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan menyerang
pada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar getah bening, selaput
otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit
saluran pernapasan bagian bawah dan termasuk penyakit infeksi terpenting setelah
penyakit malaria (Mukty, 2005). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan
kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ektrapulmonar (Djojodibroto, 2009)
Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia
(PDPI)
(2006),
mengklasifikasikan
tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil
tahan asam (BTA) dan berdasarkan golongan pasien. Klasifikasinya yaitu :
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan serta
pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
Pembagian Tuberkulosis menurut WHO didasarkan pada terapi yang terbagi menjadi
kategori yaitu :
Kategori I, ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA
target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan
kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau tidak pernah sama sekali
(Djojodibroto, 2009).
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% di
antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Dihisap / reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan
keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis tentang gejala gejala yang
ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Setelah itu akan dilakukan
pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman TB dalam bentuk basil tahan asam
(BTA) (CDC, 2010). Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan
yang baik, mulai dari cara batuk untuk mengumpulkan dahak, pemilihan bahan dahak yang
akan diperiksa, teknik pewarnaan dan pengolahan sediaan serta kemampuan membaca
sediaan di bawah mikroskop. Harus diketahui bahwa untuk mendapatkan BTA (+) di
bawah mikroskop diperlukan jumlah kuman yang tertentu, yaitu sekitar 5.000 kuman/ml
dahak (Aditama, 2006).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan
diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB dating berkunjung pertama
kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak..
Pagi
: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot penampung dibawa sendiri kembali.
Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan dahak pagi hari.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari
faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah
dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008).
Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan
skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
pemberian setiap hari berbeda dengan dosis intermitten yang lebih lama berkisar 3 hari 1 X
[Tabel 2.1]. Setiap obat memiliki efek samping tertentu begitu juga dengan OAT, maka
harus diperhatiakn cara penanganannya [Tabel 2.2].
Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru
Dosis yang direkomendasikan
Nama Obat
Maksimum (mg)
Isoniazid (H)
5 mg
300 mg
15 mg
Rifampisin (R)
10 mg
600 mg
15 mg
Pirazinamid (Z)
35 mg
2500 mg
50 mg
Streptomisin(S)
15-20 mg
750-1000 mg
15-20 mg
Etambutol (E)
15-25 mg
1800 mg
750-1000 mg
Penyebab
MINOR
Tidak nafsu makan, mual, sakit
Tatalaksana
OAT DITERUSKAN
Rifampisin
Nyeri sendi
Pirazinamid
INH
perut
kaki
Warna kemerahan pada air seni
mg perhari
Rifampisin
MAYOR
Gatal dan kemerahan pada kulit
HENTIKAN OBAT
Semua jenis
OAT
ketat
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Sebagian
besar OAT
hepatoprotektor
Muntah dan confusion
Sebagian
besar OAT
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan etambutol
Rifampisin
Hentikan rifampisin
Pedoman
Diagnosis
&
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti
paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap yang terdiri dari fase intensif dengan
fase lanjutan [Tabel 2.3] dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan
kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.
BB
Fase intensif
Fase lanjutan
2 bulan
4 bulan
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3X/minggu
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
150/75/400/275
150/75/400
150/150/500
150/75
150/150
30-37
38-54
55-70
>71
Penatalaksanaan
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru
ataupun fasiliti yang mampu menanganinya. Paduan obat anti TB menurut program
pemberantasan TB paru yang dipergunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO
ada tiga:
Kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3
Pada pasien baru TB paru (+), pasien TB paru BTA(-) foto toraks (+)
Kategori 2 :2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Pada pasien kambuh, gagal dan pada pasien dengan pengobatan terputus.
Kategori 3 :2HRZ/4H3R3
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).
Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan.
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit.
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan minum obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan.
- Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahn berat badan dan lain-lain
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.
Pengadaan OAT secara berkesinambungan (tersedia). Masalah uatama dalam hal ini
adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.
5.
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /stndar. Setiap pasien TB yang
diobati harus mempunyai satu kartu identitas pasien yang kemudian tercatat di catatan
TB yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang
lain dan pelayanan umum.
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non-pemerintah dengan
pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International
Standards of TB Care.
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada
pemeliharaan kesehatan yang efektif.
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat
diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan
program.
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang juga sangat berperan
dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB
harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu
pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan
formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB
2. Kartu identitas penderita TB
3. Register laboratorium TB
4. Formulir pindah penderita TB bila pasien pindah pengobatan
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas
penting yaitu:
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (69 bulan)
mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
ataupun bila terdapat indikasi lain
Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan
mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar
melakukan pemeriksaan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan (Depkes, 2006)
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke
pelayanan kesehatan.
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga
pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, balai pengobatan dan lain-lain
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya
sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu
dengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)
diobati dan meninggal. Angka ini menunjukkan masih banyak kasus TB yang tidak
tertangani walaupun dengan menggunakan strategi DOTS. Pada penelitian tingkat
keberhasilan strategi DOTS pada pasien TB (+) baru (pertama kali berobat) oleh WHO
(2010a) ditemukan angka keberhasilan pengobatan adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu
adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu
85% sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara
memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu
67%..
Di Indonesia, keberhasilan strategi DOTS dinilai cukup berhasil. Data dari WHO
(2010a) menunjukkan keberhasilan DOTS terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2007, keberhasilan DOTS mencapai 91% pada kasus TB (+) baru. Angka ini
menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dari pengobatan TB paru dengan DOTS.
Di kota Medan, tingkat kesembuhan pasien TB paru pada tahun 2008 sangat rendah
yaitu 770 orang dari 2.505 kasus (30,74%). Banyak hal yang menyebabkan kasus TB di
kota Medan tidak sembuh atau gagal berobat (Depkes, 2009).
Kendala lain yang ditemukan dalam pengobatan dengan DOTS antara lain :
1, Pengawasan yang kurang dari PMO, dokter ataupun petugas kesehatan.
2. Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga menolak untuk
minum obat lagi. Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari awal
pengobatan.
3. Ketersedian obat juga salah satu kendala pengobatan khususnya pada daerah yang sulit
terjangkau.