Anda di halaman 1dari 39

Category Archives: Waste Management

Tatalaksana Manajemen Limbah B3


MAR 14
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Penanganan Limbah B3

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang
mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut
termasuk prosespengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3
dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan
kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di
dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana
kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan
kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan
peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan
kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak
mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas
pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas
rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan
dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan
harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 22 kemasan. Limbah-limbah
harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel.
Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan
melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus
memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan
dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif
memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk
memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan
pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan
pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal
pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan
yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi
pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang
berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak
berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi
denganhead shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk
mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus

selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di
setiap truk dan di dinas pemadam kebakaran.
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya
harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi
harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)


Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang
tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak
digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan).
Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured
landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masingmasing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar,
sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan
lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah
sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian
penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis
tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured
landfillharus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi
agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured
landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan
masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data
menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada
tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai
salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah
ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang
berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama
halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal
yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi
serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang
mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat
lapisan impermeable sepertishale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah
tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah
dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal
tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi,
memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat,

bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada
cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur
dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika
Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1.
Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar
dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2.
Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah
telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
Posted in Waste Management
1 Comment

Pengolahan Limbah Cair Industri


FEB 25
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Setiap jenis industri mempunyai karakteristik limbah cair yang spesifik, yang berbeda dengan
jenis industri lainnya, walaupun mungkin suatu jenis industri mempunyai beberapa parameter
pencemar yang sama dengan industri lainnya. Perbedaan karakteristik limbah cair industri akan
menyebabkan proses pengolahan limbah cair industri tersebut berbeda antara satu industri
dengan industri lainnya. Limbah cair industri harus diolah sedemikian rupa sehingga tidak akan
mencemari badan air setempat dimana limbah cair tersebut akan dibuang.
Pemilihan suatu proses pengolahan limbah cair industri tergantung dari:
1.

Karakteristik limbah cair industri yang bersangkutan. Dalam hal ini penting dipertimbangkan
bentuk dari zat pencemar, misalnya materi tersuspensi, koloid atau terlarut, kemampuan
polutan tersebut untuk dapat terurai secara biologis (biodegradability); dan toksiksitas
senyawa organik dan inorganik.
2.
Kualitas efluen yang diinginkan. Perlu dipertimbangkan pula kemungkinan dilakukannya
batasan di masa yang akan datang, seperti misalnya batasan toksisitas kehidupan
perairan bioassayefluen.
3.
Biaya dan ketersediaan lahan yang tersedia. Satu atau lebih kombinasi pengolahan dapat
menghasilkan efluen yang diinginkan. Akan tetapi hanya satu dari alternatif tersebut yang
paling efektif biayanya.

Seberapa jauh kualitas effluent yang diharapkan juga akan menentukan jenis dan tingkat
pengolahan yang akan dilakukan. Semakin baik kualitas effluent yang diharapkan yang akan
dibuang ke badan air penerima, semakin tinggi tingkat pengolahan yang harus dilakukan, yang
pada akhirnya membuat biaya pengolahan akan semakin tinggi.
Sebelum menentukan jenis pengolahan yang akan digunakan, pertamakali harus dilakukan
karakterisasi limbah cair industri,sehingga dapat diketahui jenis pencemar yang dominan

(priority pollutants) pada suatu jenis industri . Secara umum limbah cair industri tersebut
dapat dikelompokkan menjadi:
1.
Polutan anorganik: TSS, Cl2 tersisa (khlor), Sulfida (sbg S), Zat padat terlarut*, Besi terlarut
(Fe)*, Fluorida (F)*, Ammonia, TKN, Zat padat terlarut*, Nitrat, Nitrit, Fosfat (PO4).
2.
Polutan organik: BOD5, COD, Minyak & lemak, MBAS.
3.
Logam berat: Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn), Khrom total (Cr), Nikel (Ni), Raksa
(Hg), Sianida (CN), Khrom hexavalen (Cr(VI)) dan Total Chrom, Cadmium (Cd), Mangan (Mn),
Titanium (Ti), Barium (Ba), Stanum (Sn), Arsen (As), Selenium (Se), Cobalt (Co),
Radioaktivitas.
Sedangkan untuk pH, karena merupakan parameter penting yang harus dikelola pada setiap
jenis industri, maka fasilitas untuk mengontrol nilai pH harus ada.
Berdasarkan pengelompokan karakteristik limbah cair industri, jenis pengolahan yang akan
diterapkan untuk industri di Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi:
1.
2.
3.
4.

Pengolahan Awal
Pengolahan Fisika-kimia (Pengolahan Primer)
Pengolahan Biologi (Pengolahan Sekunder)
Pengolahan Lanjutan (Pengolahan Tersier)

Air limbah yang keluar dari industri umumnya pertamakali harus melalui pengolahan awal,
yang bertujuan untuk menyiapkan air limbah untuk pengolahan selanjutnya. Detailnya adalah
agar beban limbah bisa berkurang, pemisahan material pengotor yang mungkin bisa merusak
peralatan dan menganggu jalannya proses. Misalnya saringan (screening) digunakan untuk
menghilangkan materi-materi kasar (coarse material) seperti plastik, daun-daunan, kertas,
kayu dan lain-lain, dan materi-materi halus (fine material) seperti benang fiber, serta zat
padat tersuspensi.
Grit removal digunakan untuk menghilangkan pasir. Pasir diendapkan dan dibuang dengan cara
mengalirkan air limbah industri dengan kecepatan sekitar 0,4 m/det di dalam suatu grit
chamber. Materi kasar dan halus, seperti pasir kasar dan halus harus dihilangkan terlebih
dahulu, karena jika tidak, akan mempersulit pengolahan selanjutnya. Pengolahan awal akan
mengurangi beban polutan, besarnya sangat tergantung dari jenis air limbah industri.
Proses ekualisasi dapat digunakan untuk meredam fluktuasi karakteristik air limbah. Karakter
yang berfluktuatif akan menyulitkan pengolahan diproses selanjutnya dan boros dalam
pemakaian bahan kimia. Fasilitas yang ada adalah bak dengan volume yang cukup dan mixer
sebagai pengaduk. Dengan fasilitas tersebut karakteristik air limbah relatif konstan.
Proses netralisasi, jika diperlukan, diletakkan setelah proses ekualisasi, karena sebagian dari
aliran dengan pH yang berbeda akan saling menetralisasi satu sama lainnya di bak ekualisasi.
Proses neutralisasi bertujuan untuk menyiapkan kondisi yang sesuai untuk proses berikutnya.
Pada prinsipnya pengolahan pendahuluan ini merupakan proses pengolahan secara fisik-kimia,
akan tetapi karena pengolahan ini bertujuan untuk meringankan beban pengolahan
selanjutnya, dan umumnya terdapat pada rangkaian pengolahan limbah cair di setiap industri,
maka pengolahan ini dipisahkan pengelompokkannya dari pengolahan fisik-kimia.

Pengolahan fisik-kimia artinya mengolah air limbah secara fisik atau kimia. Dalam proses
pengolahan ini, obyek yang akan dibuang, dibuat lebih besar ukurannya sehingga dapat dengan
mudah diendapkan (coagulation &flocculation process) di bak sedimentasi (bak pengendap),
diapungkan (flotation process) serta disaring (filtration process). Memperbesar ukuran partikel
dengan menambahkan koagulan diproses koagulasi sehingga terbentuk flok. Agar flok lebih
besar lagi ukurannya bisa dengan penambahan flokulan (polymer) di proses flokulasi. Dengan
lebih besar ukurannya, pemisahan dapat lebih mudah.
Sebagian besar karakteristik air limbah mengandung kotoran bahan organik yang disebut
dengan COD atau BOD. Pengolahan yang paling baik adalah dengan menguraikan bahan organik
tersebut dengan bantuan mikroorganisme. Pengolahan secara biologi bisa dilakukan secara
aerobik (memerlukan udara) atau secara anaerobik (tidak boleh ada udara). Metoda yang
digunakan pada proses pengolahan biologis baik aerobik maupun anaerobik bisa secara
tersuspensi (suspended growth) ataupun terlekat (attached growth). Pada umumnya, proses
pengolahan biologis yang digunakan untuk limbah cair industri di Jawa Barat adalah proses
lumpur aktif (activated sludge).
Proses sedimentasi merupakan proses dimana benda-benda halus yang sudah menggumpal dan
siap mengendap, sebagai hasil dari proses koagulasi & flokulasi atau dari lumpur biologi,
dilewatkan dalam sebuah tanki/bak pengendap dengan waktu detensi tertentu, sehingga dapat
mengendap dan tepisah dari air bersihnya.
Adakalanya setelah proses sedimentasi baik dari proses fisika-kimia maupun biologi, masih
terdapat materi-materi halus yang tidak dapat mengendap. Pada kasus ini diperlukan fasilitas
tambahan yaitu saringan atau filter. Saringan umumnya terbuat dari pasir (single media)
dengan diameter yang seragam (uniform), atau pasir dengan diameter yang tidak seragam (ununiform), ataupun kombinasi dari pasir dan anthrasit (dual media) atau lainnya.
Bebarapa industri, meski telah diterapkan sistem pengolahan awal, primer (fisika-kimia) dan
sekunder (biologi), namun kualitas hasil olahan masih belum memenuhi persyaratan. Oleh
karena itu pada sistem itu ditambahkan pengolahan lanjutan (pengolahan tersier). Biasanya
pengolahan lanjutan diterapkan pada satu atau beberapa parameter saja. Pengolahan tersier
juga biasanya diberlakukan terhadap air hasil olahan yang akan dipakai kembali (daur
ulang/recycling) baik untuk dipakai di proses produksi, cuci lantai atau siram taman danlainlain. Unit proses pengolahan lanjutan untuk keperluan recycling juga tergantung dari kualitas
air yang akan digunakan.
Proses teknologi membran (Reverse Osmosis (RO), Nanofiltration (NF), Ultrafiltration (UF),
Microfiltration (MF) digunakan untuk menghilangkan zat padat koloid, tersuspensi atau solid
yang terlarut. Proses penukar ion/resin (Ion Exchange) pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan logam berat. Metoda denitrifikasi dan dephosphorisasi biologis digunakan untuk
menghilangkan zat-zat organik dengan menggunakan mikroorganisma; Proses adsorpsi dengan
karbon aktif butiran (granular activated carbon, GAC) digunakan untuk menghilangkan zat
organik; dan proses oksidasi secara kimia (chemical oxidation) juga digunakan untuk
menghilangkan materi organik.

Jika limbah cair industri mengandung bahan B3, maka diperlukan pengolahan secara khusus
untuk mengolah limbah tersebut. Lumpur atau gumpalan yang dihasilkan dari proses filtrasi
maupun sedimentasi dapat dikeringkan, dibakar atau dibuang untuk pengurugan tanah, jika
tidak mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Materi inipun dapat diproses lebih
lanjut dan dipakai ulang jika unsur B3nya telah diolah, sehingga tidak akan membahayakan
penggunanya.
Tabel 1. Karakteristik Pencemar Dominan pada Beberapa Jenis Industri

Lain
-lain

Polutan
N
o

Jenis industri

Organik

TSS, BOD5,
COD,
Minyak &
lemak,
phenol.
1

3
4

Tekstil

Makanan dan
minuman

TSS, COD,
BOD, pH,
minyak dan
lemak.

Anorganik

Logam berat

Sulfida (sbg
S),
ammonia.

Khrom total (Cr)

Ammonia,
phospat,

Sabun, Deterjen
& Produkproduk Minyak
Nabati

pH
Tembaga (Cu),
Timbal (Pb),
Seng (Zn),
Khrom total
(Cr), Nikel (Ni),
Khrom
hexavalen
(Cr+6),
Cadmium (Cd),
Sianida total
(CN) tersisa

Pelapisan
Logam
TSS,BOD5,
COD,
Minyak &
lemak,
MBAS.

Phosphat

pH

pH
pH

Farmasi

TSS, BOD5,
COD,
Nitrogen
total (sbg N)

Fenol total

pH

Rencana pengolahan limbah cair diawali dengan memeriksa industri yang bersangkutan untuk
beberapa faktor yang terkait, misalnya sumber air limbah, jenisnya, konsentrasinya,
kandungannya, besar alirannya. Selain itu juga kondisi dari tujuan pembuangan (termasuk
sistem saluran air limbah), penggunaan air yang dibuang, dan jika badan air penerima adalah
sungai, maka harus diperhatikan arus air sungai, kualitasnya, standar baku mutu yang ada
(baikstream maupun effluent standard), metode pengolahan lumpur dsb. Data-data tadi
sangat penting untuk dikumpulkan dan diidentifikasi dengan tujuan utama untuk mengolah air
limbah industri secara efisien dan untuk melestarikan lingkungan. Untuk proses industri
manufuktur, jenis bahan baku yang digunakan oleh industri tersebut harus diteliti dan
diketahui. Setiap orang yang bertanggungjawab pada organisasi pabrik, terutama orang yang
terkait dengan pengolahan limbah, harus ikut berpartisipasi dalam proses ini.
Tindakan yang harus diambil dalam pembuatan rencana pengolahan air limbah
Pengurangan kuantitas dan konsentrasi buangan harus sedapat mungkin diupayakan. Banyaknya
air yang dibuang bisa dikurangi dengan cara penghematan air, merubah atau memperbaiki
proses produksi, pemakaian air limbah dalam berbagai tahapan (multi stage) dsb.
Konsentrasi air limbah bisa dikurangi dengan merubah proses industri, memperbaiki peralatan,
mengambil kembali dan mempergunakan produk sampingan, menerapkan pengendalian air
limbah secara proporsional, memantau sistem atau jaringan pembuangan, dll. Semua hal yang
disebutkan di atas harus diperbaiki secara menyeluruh sehingga pencapaian pengurangan
konsentrasi air limbah dapat lebih maksimal.
Prosedur perencanaan pengolahan air limbah
Setelah dilakukan investigasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, maka
kemudian dilakukan pemilihan metode pengolahan. Tahapan berikut ini dapat dipergunakan
sebagai petunjuk.
Pertama kali, lakukan pengklasifikasian air limbah sebagai organik atau anorganik. Air limbah
organik bisa diolah secara biologis jika perbandingan BOD/CODnya lebih besar dari 60%, atau
tidak boleh diolah jika perbandingan tersebut lebih kecil dari 20%. Kemudian, pastikanlah efek
pengolahan dengan cara uji biologis.
Untuk air limbah anorganik, lakukan uji pengendapan, jika mengandung zat padat tersuspensi.
Jika hal ini tidak tepat, maka lakukan test koagulasi. Jika air limbah mengandung bahan toxic,
maka identifikasikanlah metode pengolahan yang tepat untuknya. Jika air limbah keadaannya
kental, maka selidikilah cara pengambilan kembali (recovery) dengan cara mengentalkan,

membakar dll. Jika cara-cara tersebut tidak berhasil untuk mencapai kualiats air yang
diinginkan, maka selidiki lebih lanjut dengan melakukan adsorpsi, pertukaran ion, dll.
Setelah dilakukan penetapan metode pengolahan, maka tahap berikutnya adalah memilih jenis
peralatan yang akan digunakan. Untuk hal ini, adalah penting untuk mengenali tempat instalasi
pengolahan, biaya konstruksi, operasi & pemeliharaan serta manajemennya, kemampuan &
efek pengolahan, kuantitas lumpur yang akan dihasilkan, tingkat kemudahan dalam pengolahan
lumpur, tenaga teknik industri yang bersangkutan, standar yang ada, rehabilitasi, dll.
Posted in Waste Management
2 Comments

Teknologi Membran
FEB 12
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Membran ialah sebuah penghalang selektif antara dua fasa. Membran memiliki
ketebalan yang berbeda-beda, ada yang tebal dan ada juga yang tipis serta ada yang
homogen dan ada juga ada heterogen. Ditinjau dari bahannya membran terdiri dari
bahan alami dan bahan sintetis. Bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam misalnya
pulp dan kapas, sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia, misalnya polimer.
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul,
menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori
membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Larutan
yang mengandung komponen yang tertahan disebut konsentrat dan larutan yang mengalir
disebut permeat. Filtrasi dengan menggunakan membran selain berfungsi sebagai sarana
pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan
yang dilewatkan pada membran tersebut.
Beberapa keunggulan teknologi membran:

Pemisahan dapat dilakukan secara continue


Konsumsi energi umumnya relatif rendah
Proses membran dapat dengan mudah digabungkan dengan proses pemisahan lainnya
(hybrid processing)
Pemisahan dapat dilakukan dengan kondisi operasi yang dapat diatur
Mudah dalam scale up
Tidak memerlukan bahan tambahan
Pemakaiannya mudah diadaptasikan karena material penyusun membran yang bervariasi

Kekurangan teknologi ini antara lain adalah fluks dan selektivitas, karena pada proses
pemisahan menggunakan membran umumnya fenomena yang terjadi adalah fluks berbanding
terbalik dengan selektivitas. Semakin tinggi fluks sering kali berakibat menurunnya

selektivitas, dan sebaliknya. Sedangkan yang diinginkan dalam proses pemisahan berbasis
membran adalah mempertinggi fluks dan selektivitas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja membran antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Ukuran molekul
Bentuk molekul
Bahan membran
Karakteristik larutan
Parameter operasional (tekanan, suhu, konsentrasi, pH, ion strength, polarisasi)

Teknologi membran dalam pengolahan air dan limbah merupakan proses pemisahan secara
fisika yang memisahkan komponen yang lebih besar dari yang lebih kecil. Berbagai jenis proses
membran dikategorikan berdasarkan driving force, jenis dan konfigurasi membran dan
kemampuan penyisihannya. Proses membran dipergunakan dalam sistem pengolahan air minum
dan air buangan seperti dalam proses desalinasi, pelunakan, penyisihan bahan organik,
penyisihan warna, partikel dan lain-lain. Proses membran telah ada sejak 25 tahun yang lalu
dan saat ini proses tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat.
Proses membran dapat diklasifikasikan berdasarkan driving force untuk menyokong proses
pengolahan air. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi membrane
adalah:

Tekanan

Daya listrik

Suhu

Gradien konsentrasi

Kombinasi lebih dari satu driving force


Proses membran dengan menggunakan tekanan dan tenaga listrik hanya tersedia secara
komersial dan telah umum dipergunakan untuk proses pengolahan air minum dan
buangan. Proses membran yang paling umum adalah proses yang dijalankan dengan tekanan,
dimana tekanan di dalam dan di luar membran berbeda.
Berdasarkan ukuran pori membrane, membran dapat dibagi menjadi empat tipe:
1.
2.
3.
4.

Reverse osmosis (RO)


Nanofiltration (NF)
Ultrafiltration (UF)
Microfiltration (MF)

Reverse osmosis merupakan proses filtrasi yang paling baik, yang dapat menyisihkan partikelpartikel berukuran 1Ao sampai 10Ao, demikian pula dengan ultrafiltrasi yang mampu
menyisihkan partikel berukuran 10Ao sampai 1000Ao. Virus influenza dapat disisihkan oleh alat
ini. Mikrofiltrasi dapat juga menyisihkan bakteri, pseudomonas dan bakteri-bakteri
lainnya. Dalam proses filtrasi membran ini, terhadap air yang akan diolah harus dilakukan
pengolahan pendahuluan supaya partikel-partikel yang berukuran besar tidak ikut masuk,
sehingga tidak mengganggu kinerja alat yang nantinya akan merusak membran.
Tabel 1. Ukuran Materi-materi yang Dapat Dipisahkan oleh Proses Membran

Perkiraan
ukuran (nm)

Materi yang akan dipisahkan

1-20

Ion

5-200

Organik terlarut

Organik koloidal yang tidak terlarut

200-10.000

75.000

Materi koloid & partikulat

Proses

Difusi atau reverse


osmosis

Difusi

Aliran berpori

Aliran berpori

Tabel 2. Teknologi Pemisahan dengan Membran untuk Pengolahan Air Buangan


PerFeature

MF

UF

NF

RO

vaporation

Pemisahan zat

Sangat

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

padat tersuspensi

baik

praktis

praktis

praktis

cocok

Pemisahan zat

Tidak

Sangat

Sangat

organic terlarut

cocok

baik

baik

PemisahanVolatil
e Organic Carbon

Tidak
cocok

Sempurna

Baik

CukupBuruk

Cukup

baik

Sangat baik

(VOC)

Baik
(untuk
garam

Sangat
baik

Pemisahan zat
inorganic terlarut

Tidak
cocok

Tidak
cocok

inorganic
terlarut)

(pemisahan
90-99%)

Tidak
cocok

Efek tekanan

Tidak

Kecil

Signifikan

High

Tidak ada

osmosis

ada

total

total

solid
sampai

organic
sampai

sampai

sampai

Batasan
konsentrasi

dengan
5%

dengan
50%

dengan
15%

dengan
15%

Tidak
cocok

Kualitas Permeate

Sangat
baik

Baik

Sangat
baik

Sangat baik

Sangat baik

1-3
bars

3-7 bars

5-10 bars

15-70 bars

<25% dari
proses

Biaya capital
($/gallon per hari)

0.151.5

0.15-1.85

0.15-1.5

0.15-1.5

1.85-4.00

Biaya operasi
($/1000 liter

0.15-

input)

1.10

0.15-0.80

0.20-0.80

0.25-0.80

0.80-1.30

Tekanan Kerja

Reverse Osmosis
Prinsip kerja proses ini merupakan kebalikan dari proses osmosis biasa. Pada proses osmosis
biasa terjadi perpindahan dengan sendirinya dari cairan yang murni atau cairan yang encer ke
cairan yang pekat melalui membran semi-permeable. Adanya perpindahan cairan murni atau
encer ke cairan yang pekat pada membran semi-permeable menandakan adanya perbedaan
tekanan yang disebut tekanan osmosis. Fenomena tersebut membuat para ahli berpipir
terbalik, bagaimana caranya agar dapat memisahkan cairan murni dari komponen lainnya yang
membuat cairan tersebut bersifat pekat. Dengan penambahan tekanan pada larutan yang
pekat, ternyata cairan murni dapat melalui membran semi-permeable yang nerupakan
kebalikan dari proses osmosis. Atas dasar tersebut teknologi ini disebut reverse osmosis
(osmosis terbalik).
Kriteria unjuk kerja membran bisa dilihat dari derajat impermeabilitas, yaitu seberapa baik
membran menolak aliran dari larutan pekat; dan dari derajat permeabilitasnya, yaitu berapa

mudahnya material murni melalui aliran menembus membran. Membran selulosa asetat
merupakan bahan membran yang baik dari segi impermeabilitas dan permeabilitasnya. Bahan
membrane lainnya yaitu etyl-cellulose, polyvinyl alcohol, methyl polymetharcylate dan
sebagainya.
Beberapa sistem reverse-osmosis yang sering dipergunakan, yaitu:
1.

Tubular, dibuat dari keramik, karbon atau beberapa jenis plastik berpori. Bentuk tubular ini
mempunyai diameter bagian dalam (inside diameter) yang bervariasi antara 1/8 (3,2mm)
sampai dengan sekitar 1 (25,4mm).
2.
Hollow fibre
3.
Spiral wound
4.
Plate and frame

Pada proses pemisahan menggunakan RO, membran akan mengalami perubahan karena
memampat dan menyumbat (fouling). Pemampatan atau fluks merosot itu serupa dengan
perayapan plastik/logam ketika terkena beban tegangan kompresi. Makin besar tekanan dan
suhu biasanya membran makin mampat dan menjadi tidak reversible. Normalnya membran
bekerja pada suhu 21-35 derajat Celcius. Fouling membran dapat diakibatkan oleh zat-zat
dalam air baku seperti kerak, pengendapan koloid, oksida logam, bahan organik dan silika.
Oleh sebab itu cairan yang masuk ke proses reverse-osmosis harus terbebas dari partikelpartikel besar agar tidak merusak membran. Pada prakteknya, cairan sebelum masuk ke proses
reverse-osmosis dilakukan serangkaian pengolahan terlebih dahulu, biasanya dilakukan
pretreatment dengan koagulasi dan flockulasi yang dilanjutkan dengan adsorbsi karbon aktif
dan mikrofiltrasi.
Pada suatu saat membran akan mengalami kotor, akibat dari adanya material-material yang
tidak bisa lewat. Hal ini yang menyebabkan tersumbatnya membran. Kotoran yang terbentuk
gumpalan kotoran, kerak atau hasil proses hidrolisa. Untuk mengembalikan kekondisi semula
dilakukan pembersihan dengan menggunakan larutan pembersih yang khusus. Bahan ini bisa
melarutkan kotoran tetapi tidak merusak membran yang biasanya terbuat dari enzim. Proses
pencucian dilakukan dengan meresirkulasi larutan pencuci ke membran selama kurang lebih 45
menit.
Keuntungan metode RO berdasarkan kajian ekonomi antara lain:

Untuk umpan dengan padatan terlarut total di bawah 400 ppm, RO merupakan perlakuan

yang murah.
Untuk umpan dengan padatan terlarut total di atas 400 ppm, dengan perlakuan awal

penurunan padatan terlarut total sebanyak 10% dari semula, RO lebih menguntungkan dari
proses deionisasi.
Untuk umpan dengan konsentrasi padatan terlarut total berapapun, disertai dengan

kandungan organik lebih dari 15 g/l, RO sangat baik untuk praperlakuan proses deionisasi.
RO sedikit berhubungan dengan bahan kimia sehingga lebih praktis.

Nanofiltrasi

Proses nanofiltrasi merejeksi kesadahan, menghilangkan bakteri dan virus, menghilangkan zat
warna karena adanya bahan organik tanpa menghasilkan zat kimia berbahaya seperti
hidrokarbon terklorinasi. Nanofiltrasi cocok untuk pengiolahan air dengan padatan terlarut
total yang rendah, dimana bahan organiknya dilunakkan dan dihilangkan.
Sifat rejeksi nanofiltrasi khas terhadap tipe ion; ion dwivalen lebih cepat dihilangkan daripada
ion ekavalen, sesuai saat membran tersebut diproses, formulasi bak pembuat, suhu, waktu
annealing, dan lain-lain. Formulasi dasarnya mirip RO, namun mekanisme operasionalnya mirip
ultrafiltrasi. Jadi nanofiltrasi merupakan gabungan dari metode RO dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi
Ultrafiltasi merupakan teknologi pemisahan menggunakan membran untuk memisahkan
berbagai zat terlarut dengan berat molekul tinggi, bermacam koloid, mikroba sampai padatan
tersuspensi dalam suatu larutan. Metode ini menggunakan membran semi permeable untuk
memisahkan makromolekul dari larutannya. Ukuran dan bentuk molekul merupakan faktor
penting dalam proses ultrafiltrasi.
Cara kerja proses ultrafiltrasi mirip dengan proses revesrse-osmosis, yaitu pemisahan partikel
berdasarkan ukurannya dengan menggunakan tekanan pada membran berpori. Ukuran pori
membran ultrafiltrasi lebih besar yaitu berdiameter sekitar 0.1 sampai 1 m. Yang
membedakan dengan reverse-osmosis adalah jenis membran dan lebih kecilnya tekanan yang
digunakan dalam pengoperasian. Membran ultrafiltrasi dibuat dengan mencetak polimer
selulosa asetat sebagai lembaran tipis. Fluks maksimum dapat dicapai bila membrannya
anisotropic, dimana terdapat kulit tipis rapat dan pengemban berpori. Membran selulossa
asetat mempunyai sifat pemisahan yang bagus, namun sayangnya dapat rusak oleh bakteri dan
zat kimia serta rentan terhadap pH. Selain selulosa asetat ada juga membran yang terbuat dari
polimer polisulfon, akrilik, polikarbonat, PVC, poliamidda, poliviniliden fluoride, kopolimer ANVC, poliasetal, poliakrilat, kompleks polielektrolit, PVA ikat silang, keramik, aluminium oksida,
zirkonium oksida, dan sebagainya. Kecepatan hasil permeate (permeation flow) berkisar
sekitar 1.0 sampai 10 m3/m2.jam.
Dalam teknologi pemurnian air, membran ultrafiltrasi dengan berat molekul membran (MWC)
1.000 20.000lazim untuk penghilangan pirogen, sedangkan membran dengan MWC 80.000
100.000 untuk penghilangan koloid. Tekanan dalam ultrafiltrasi biasanya rendah, sekitar 10-100
psi (70-700 kPa), sehingga operasinya dapat menggunakan pompa sentrifugal biasa.
Pada suatu saat proses ultrafiltrasipun akan menunjukan penurunan unjuk kerja. Hal ini
disebabkan adanya kotoran yang menyumbat pori-pori. Pembersihan membran dilakukan
dengan memasukan bahan pembersih yang terbuat dari larutan caustic soda, sodium
hypochlorite,asam belerang atau survace activator lainnya. Ciptakan aliran yang olakannya
kuat agar lebih memudahkan lepasnya kotoran yang menempel pada permukaan dan pori-pori.
Atau bisa juga dengan dicelupkan kedalam larutan pembersih dan terakhir disemprot dengan
tekanan cukup tinggi untuk mengusir kotorannya.

Pada saat ini ultrafiltrasi lebih banyak dipakai di berbagai macam bidang karena mudah
digunakan sebagai mikrofiltrasi dan tidak sesensitif reverse-osmosis. Pemanfaataanya
mencakup pengolahan air limbah di industri pulp dan kertas, air limbah domestik, macammacam air limbah gedung-gedung, filtrasi MLSS di aeration tank proses biologi dan diaplikasi
lainnya.
Tabel 3. Perbandingan Kinerja Ultrafiltrasi dan Reverse-Osmosis

Uraian

Ultrafiltrasi

Reverse-osmosis

Fraksi berat molekul

1.000 min

500 max

Tekanan osmosis

Dapat diabaikan

Signinikan

Tekanan operasi

1 sampai 7 kg/cm2

20 sampai 140 kg/cm2

Mekanisme fraksi

filtrasi

Diffusi

Material membrane

Tidak signifikan

Mempengaruhi fraksi hasil


secara signifikan

Distribusi pori-pori halus

signifikan

Tidak nampak

Permiation flow rate

1.0 sampai 10 m3/m3.jam

0.1 sampai 1.0 m3/m2.jam

Mikrofiltrasi
Mikrofiltrasi merupakan pemisahan partikel berukuran micron atau submicron. Bentuk
lazimnya berupa cartridge yang berfungsi untuk menghilangkan partikel dari air yang
berukuran 0,04 sampai 100 micron, asalkan kandungan padatan terlarut total dalam air tidak
melebihi 100 ppm. Filtrasi cartridge merupakan filtrasi mutlak, artinya partikel padat akan
tertahan. dalam aplikasinya cartridge tersebut akan diletakkan dalam suatu wadah tertentu
(housing), dan dapat dibersihkan jika padatan yang tertahan sudah terlalu banyak. Bahan yang
dapat digunakan untuk cartridge bermacam-macam, antara lain katun, wool, selulosa, fibre
glass, polipropilen, akrilik, nilon, asbes, ester-ester selulosa dan polimer hidrokarbon
terfluorinasi.
Jenis-jenis carrtridge dikelompokkan menjadi:

Cartridge leletan
Cartridge rajut-lekatan-terjurai
Catridge lembar berpori (kertas saring khusus, media nirpintal, membran berkarbon)

Posted in Waste Management


34 Comments

Dasar-dasar Pengolahan Limbah Radioaktif


JAN 29
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Limbah radioaktif adalah bahan yang tidak dimanfaatkan lagi, dan karena bersifat radioaktif
limbah tersebut mempunyai potensi bahaya radiasi maka limbah tersebut harus dikelola secara
baik. Limbah radioaktif diklasifikasikan berdasarkan tingkat aktivitasnya menjadi 4 macam
klasifikasi yaitu:
1.

Limbah radioaktif tingkat aman. Adalah limbah yang mengandung zat radioaktif begitu kecil
(sama dengan atau lebih kecil clearance level seperti yang diberikan pada referensi Safety
Series No. 111-G-1.5, IAEA) sehingga tidak dianggap sebagai sumber radioaktif, dan dapat
dikecualikan dari pengawasan Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN). Penetapan clearance leveldidasarkan pada nilai batas dosis tahunan bagi anggota
masyarakat sebesar lebih kecil atau sama dengan 0,01 mSv.
2.
Limbah radioaktif tingkat rendah. Adalah limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat
aman, tetapi di bawah tingkat sedang dengan tenaga panas di bawah 2 kW/m 3 yang tidak
memerlukan penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan.
3.
Limbah radioaktif tingkat sedang. Adalah limbah dengan aktivitas di atas tingkat rendah
tetapi di bawah tingkat tinggi yang tidak memerlukan pendingin dan penahan radiasi selama
penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan.
4.
Limbah radioaktif tingkat tinggi. Adalah limbah radioaktif dengan tingkat aktivitas di atas
tingkat sedang, yang memerlukan pendingin dan penahan radiasi dalam penanganan pada
keadaan normal dan pengangkutan, termasuk bahan bakar nuklir bekas.

Ada 3 pendekatan fundamental yang dipakai untuk pengelolaan limbah radioaktif cair sebagai
dasar metode pengolahan, yaitu:

Limbah diencerkan dan didispersikan.


Limbah disimpan untuk meluruh (delay and decay).
Limbah diolah dengan metode alih tempat/reduksi volume/transformasi dan conditioning.

Kegiatan pengelolaan limbah radioaktif antara lain meliputi kegiatan-kegiatan:


1.
2.

Pengumpulan dan pengelompokan limbah.


Pengangkutan limbah radioaktif mentah dari fasilitas yang menimbulkannya ke instalasi
pengolahan.
3.
Monitoring sebelum pengolahan.
4.
Pengolahan.
5.
Monitoring limbah yang sudah selesai diolah sebelum dibawa ke fasilitas penyimpanan.
6.
Pengangkutan blok hasil olahan dari instalasi pengolahan ke fasilitas penyimpanan.
7.
Penimpanan akhir (Ultimate Wastes Disposal).
8.
Monitoring lingkungan.
Penampungan Limbah Cair

Penampungan limbah cair dapat dilaksanakan dengan cara mempergunakan saluran dan
tangki penampung (apabila volume limbah besar), atau dengan wadah.

Wadah ini harus berupa botol plastik yang ditempatkan dalam ember atau baki yang dapat

menampung seluruh isi botol tersebut bila tumpah atau bocor, kecuali untuk limbah yang
karena sifat kimianya harus ditampung dalam botol gelas.
Wadah yang diberi bahan penyerap dapat dipergunakan untuk menampung limbah cair

sehingga menjadi benduk padat.


Semua wadah penampungan harus diberi tanda yang jelas dengan tulisan dan/atau warna

yang menunjukkan maksud penggunaannya.


Bilamana mungkin, perlu juga dicantumkan dan dicatat jumlah aktivitas yang ditampung

dalam setiap wadah atau tangki penampung.


Untuk dapat menentukan golongan limbah sesuai dengan aktivitasnya maka perlu dicatat

tingkat penyinaran radiasi, aktivitas total, waktu paro dan sifat mudah terbakar atau tidak.
Bilamana perlu wadah-wadah penampungan harus diberi penahan radiasi.
Pemindahan limbah radioaktif dari tempat kerja hanya dapat dilaksanakan oleh pekerja

yang ditunjuk dan diawasi oleh Petugas Proteksi Radiasi.


Jumlah aktivitas dan jenis limbah yang ditampung, disalurkan, ditanam atau cara lain,

harus dicatat.
Penampungan Limbah Padat

Wadah penampungan limbah radioaktif padat harus selalu tersedia di setiap tempat kerja

yang menggunakan zat radioaktif yang diperkirakan menimbulkan limbah radioaktif.


Wadah penampungan limbah radioaktif padat dapat berupa drum atau tong tertutup yang

bagian dalamnya dilapisi dengan kantong plastik atau kertas kedap air yang kuat dan mudah
diambil supaya dengan demikian limbah dapat dipindahkan tanpa menimbulkan kontaminasi.
Drum atau tong tersebut sebaiknya dibuka dan ditutup dengan kaki.
Limbah padat yang mudah dibakar ditampung dalam kertas kedap air atau kantong plastik

tebal.
Bahan-bahan tertentu seperti polyvinyl chloride (plastik), dengan volume yang besar

mungkin perlu ditampung tersendiri, karena bahan tersebut menimbulkan gas asam pada
waktu pembakaran dan besar kemungkinannya menimbulkan karat pada baja dan komponenkomponen instalasi pembakaran yang terbuat dari baja tahan karat.
Metode Penundaan dan Peluruhan (Delay and Decay)

Limbah cair yang pada waktu awal mengandung zat radioaktif dengan konsentrasi di bawah

nilai batas baku mutu yang diizinkan dapat langsung dibuang ke saluran pembuangan.
Limbah radioaktif cair beraktivitas sangat rendah dapat diencerkan sehingga mencapai nilai

batas yang diizinkan untuk dibuang.


Limbah cair dapat diolah melalui metode penundaan dan peluruhan sehingga dapat

diperoleh konsentrasi di bawah nilai batas baku mutu.


Peluruhan radioanuklida berlangsung secara spontan dan tidak dipengaruhi oleh faktor fisik
seperti temperatur, tekanan dan bahan kimia apapun.

Prosedur Pemilihan Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Cair


Apabila kita punya limbah cair yang sudah tidak dapat dipakai ulang lagi, maka muncul
pertanyaan apakah suspensi padatan dalam limbah perlu dipisahkan atau tidak. Apabila perlu
dipisahkan maka limbah cair tersebut harus diolah melalui filtrasi atau sedimentasi atau
sentrifugasi. Apabila tidak maka perlu ditinjau apakah komposisi utamanya zat organik atau
bukan. Apabila komposisinya zat organik maka limbah cair tersebut dapat diolah dengan
pembakaran (insinerasi). Apabila komposisinya bukan zat organik maka perlu ditinjau apakah
kandungan radioaktivitasnya bermuatan ion? Apabila bermuatan ion radioaktivitasnya maka

limbah cair tersebut dapat diolah melalui proses pertukaran ion. Apabila tidak merupakan
muatan ion maka perlu ditinjau apakah zat terlarut dapat dipisahkan dengan teknologi
membran. Apabila iya maka limbah tersebut diolah dengan osmosis balik atau ultrafiltrasi.
Selanjutnya perlu ditelaah apakah limbah mengandung dua atau lebih cairan dengan beda titik
didih signifikan? Apabila iya maka limbah cair bisa didestilasi, namun jika tidak maka dipilih
pemrosesan dengan evaporasi.
Selanjutnya limbah cair yang mengandung padatan, pemilihan pengolahannya dapat pula
dievaluasi dengan suatu analisa, apakah suspensi padat dapat dipisahkan? Apabila tidak maka
perlu ditinjau apakah komposisi utamanya zat organik atau bukan? Apabila komposisinya zat
organik maka limbah cair tersebut diolah dengan teknologi transformasi. Apabila
komposisinya bukan zat organik maka perlu ditinjau apakah konsentrasi total zat padat
terlarut cukup rendah untuk penggunaan teknologi pemindahan? Apabila konsentrasi total zat
padat terlarut cukup rendah maka limbah cair tersebut dapat diolah dengan teknologi
pemindahan. Apabila tidak maka limbah tersebut diolah dengan teknologi pemekatan. Apabila
suspensi zat padat dapat dipisahkan dari limbah cair maka limbah tersebut diolah dengan
teknologi pemindahan dan pemekatan. Selanjutnya teknologi conditioning dilakukan terhadap
hasil transformasi/pemindahan/pemekatan/pemindahan dan pemekatan.
Prosedur Pemilihan Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Padat
Apabila kita mempunyai limbah padat kering, maka muncul pertanyaan apakah limbah padat
itu bila didekontaminasi murah biayanya. Apabila ya maka padatan tersebut didekontaminasi
untuk dapat digunakan kembali. Apabila biaya dekontaminasi tidak murah maka muncul
pertanyaan apakah dengan teknologi reduksi volume biayanya akan murah. Bila tidak
(biayanya mahal) maka padatan dapat dibuang atau disimpan. Bila ya (biaya reduksi volume
murah), maka muncul pertanyaan apakah teknologi pemekatan biayanya lebih murah dari pada
teknolog transformasi. Bila tidak, dilakukan pemekatan dengan teknologi transformasi, bila ya
dilakukan teknologi pemekatan.
Prosedur Pemilihan Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Gas
Limbah radioaktif gas (yang terbawa udara) dapat diolah melalui teknologi alih tempat
menggunakan proses absorpsi (scrubber) dan atau filtrasi menggunakan hepa filter. Larutan
absorben bekas selanjutnya dievaporasi, sedangkan hepa filter bekas dikompaksi. Limbah
radioaktif gas setelah diolah dapat dilepas ke udara melewati cerobong gas.

Posted in Waste Management


2 Comments

Pengelolaan Air Limbah


JAN 10
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Air limbah industri mengandung bahan pencemaran yang dapat berupa bahan pencemaran
umum dan bahan beracun. Bahan pencemaran umum adalah bahan-bahan yang secara tidak
langsung membahayakan kesehatan manusia, yaitu bahan organik, lumpur, minyak, asam dan
alkali, garam nutrien (garam N dan P), warna, bau, panas, dan bahan anorganik. Air limbah
yang mengandung bahan-bahan pencemaran tersebut apabila tingkat konsentrasinya cukup
tinggi akan mengganggu pengguna air, membuat kehidupan manusia pengguna air menjadi
tidak nyaman, atau merusak ekosistem . Bahan beracun adalah bahan-bahan yang dapat
memberikan pengaruh langsung terhadap manusia meskipun diberikan dalam jumlah sedikit.
Manusia akan keracunan bahan tersebut apabila bahan-bahan tersebut terkandung dalam air
yang diminum, atau dalam produk laut dan produk pertanian yang dimakan. Menurut jenisnya
bahan beracun dari industri manufaktur dapat digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu:

Logam berat.
Bahan-bahan hasil sintesa kimia, seperti bahan farmasi, sianida, pestisida, PCB, deterjen,
katalis, dan lain-lain.
Bahan hasil samping (by product) dari suatu proses kimia yang bersifat racun, contohnya

dioxin dari pembakaran bahan organik.


Apabila air limbah yang mengandung bahan pencemaran tersebut langsung dialirkan ke sungai

atau danau akan mengakibatkan terjadinya pencemaran pada badan air tersebut.
Pemerintah telah menetapkan baku mutu efluen dan baku mutu beberapa badan air sesuai
dengan peruntukannya. Baku mutu efluen bagi industri diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor KEP-51/MENLH/10/1995. Baku mutu menetapkan kualitas dan jumlah
(debit) maksimal yang diizinkan (harus dipenuhi). Kualitas efluen dalam baku mutu ditetapkan
dengan memberikan batasan kadar maksimal beberapa parameter bahan pencemar yang
terdapat dalam efluen suatu jenis industri. Pengelolaan air limbah ditujukan agar efluen dapat
memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan.
Baku mutu air limbah juga menetapkan debit maksimal efluen, sehingga pengambilan air juga
akan terkendali dan dapat menjaga ketersediaan sumber air baik air permukaan maupun air
tanah dalam. Akan tetapi karena kurangnya pengawasan dan tingkat kesadaran dari pelaku
usaha, sering terjadi penurunan muka air tanah dangkal/dalam sehingga kekurangan air bersih
di beberapa tempat yang merupakan area industri dan padat penduduk. Fenomena ini sudah
terasa di beberapa kota besar di Indonesia, dan hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut karena
akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Tahapan Pengelolaan Air Limbah
Kualitas air limbah keluaran dapat dikendalikan dengan upaya preventif yaitu mengurangi
jumlah dan tingkat pencemaran bahan yang terbawa di air limbah dari proses produksi (waste
minimization), serta mengolah air limbah dari proses produksi tersebut untuk menghancurkan
atau mengurangi kadar bahan pencemar di dalamnya (waste water treatment).
Tahapan pengelolaan air limbah sebaiknya mengikuti hirarki atau prioritas yaitu;
1.
2.

Pengurangan limbah di sumber (Source Reduction)


Daur ulang, pengambilan dan penggunaan kembali (3R Recycle, Reuse, & Recovery)

3.
4.

Pra pengolahan / Pengolahan (Pre treatment / Treatment)


Pembuangan dan Pengolahan limbah lumpur (Disposal & Sludge Treatment)

Ditinjau dari biaya pelaksanaannya, upaya pengurangan limbah pada sumbernya dan daur ulang
memerlukan biaya yang relatif lebih rendah daripada upaya pengolahan.
Identifikasi Sumber Air Limbah
Air dalam industri biasanya digunakan sebagai:

Bahan baku, menjadi bagian dari produk, misalnya pada industri minuman
Air umpan ketel uap
Air pendingin
Air proses, yaitu sebagai media dalam proses produksi

Air permukaan atau air tanah dalam sebagai sumber air mengandung pengotor, seperti
berbagai macam zat kimia dan mikroba. Air yang digunakan mempunyai persyaratan tertentu
yaitu pembatasan kandungan zat-zat dalam air, sebagai contoh :

Sebagai bahan baku, air akan menjadi bagian produk sehingga kandungan zat-zat dalam air

dibatasi agar produk memenuhi persyaratan.


Sebagai umpan ketel uap, kandungan zat-zat dalam air dibatasi agar tidak menyebabkan

terjadinya kerak, korosi ketel, dan gangguan lain dalam pengoperasian boiler.
Sebagai pendingin, kandungan zat-zat dalam air dibatasi agar tidak menyebabkan kerak dan

lapisan lendir yang mengganggu kelancaran dan efisiensi proses perpindahan panas, serta
mencegah korosi.
Sebagai media dalam proses produksi, kandungan zat-zat dalam air dibatasi agar tidak
mengganggu proses produksi atau menyebabkan terjadinya kegagalan/kerusakan produk,
misalnya terbentuk noda dan sebagainya.

Apabila kualitas sumber air yang digunakan belum memenuhi persyaratan, harus diolah
terlebih dahulu. Pengolahan air ini dilakukan dengan cara fisika-kimia, diantaranya
penyaringan, pengendapan dengan bantuan koagulan, penukar ion, dan lain-lain. Pengolahan
air cara fisika-kimia menghasilkan lumpur yang umumnya tidak mengandung B3 .
Air pendingin setelah digunakan, hanya mengalami sedikit perubahan kandungan zat-zat kimia,
demikian pula air kondensat boiler, sehingga air pendingin dan kondensat dari steam trap
mutlak harus dimanfaatkan kembali, dan merupakan suatu pemborosan apabila langsung
dibuang .
Sumber air limbah yang utama berasal dari air yang digunakan sebagai media dalam proses
produksi. Kualitas dan kuantitas air limbah dari proses produksi tersebut dipengaruhi oleh jenis
proses, peralatan/mesin yang digunakan, bahan kimia yang dibubuhkan serta jenis produk yang
akan dihasilkan.
Dalam rangkaian proses produksi harus dilakukan identifikasi tahapan produksi penghasil air
limbah, analisa debit, dan kualitas limbah. Dengan mengetahui debit dan kualitas air limbah

dari setiap tahapan produksi, dapat diketahui peluang melakukan daur ulang, misalnya air
limbah dengan kadar pencemaran rendah dapat didaur ulang untuk digunakan pada unit
produksi yang tidak memerlukan air yang sangat bersih.
Sistem Penampungan dan Penyaluran Air Limbah
Sistem penyaluran dan penampungan air limbah dari berbagai proses produksi sangat
mempengaruhi beban pengolahan unit pengolahan air limbah. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam sistem pengaliran dan pengumpulan adalah :

Apabila air limbah dari proses tertentu mempunyai sifat yang spesifik atau mempunyai

beban pencemaran yang sangat tinggi, atau bersifat racun (toksik), sehingga apabila
digabungkan akan memberatkan atau menyulitkan proses pengolahan, sebaiknya dilakukan
segregasi yaitu pemisahan aliran dan pengolahan tersendiri.
Hindari / minimalkan pemasukan air hujan ke dalam saluran.
Hindari pemasukan kotoran / sampah ke dalam saluran.
Perhitungkan dengan baik bentuk, ukuran dan kemiringan saluran bila air limbah mengalir

secara gravitasi.
Perhitungkan dengan baik ukuran pipa yang diperlukan untuk saluran tertutup.

Teknik Minimisasi Air Limbah


Minimisasi air limbah bertujuan untuk mendapatkan air limbah dengan debit dan konsentrasi
yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya, sehingga diperoleh beban pencemaran yang
minimal. Untuk mendapatkan efektifitas yang optimal dalam pelaksanaan minimisasi air limbah
perlu dilakukan pula pengelolaan internal yang baik (good housekeeping) dan disertai dengan
melakukan audit (pemeriksaan) peluang minimisasi air limbah.
Good housekeeping (pengelolaan internal yang baik) berkaitan dengan sejumlah langkah
praktis, yang dapat segera dilakukan atas inisiatif sendiri untuk meningkatkan efisiensi
operasional, menyempurnakan prosedur, dan keselamatan kerja. Contoh good
housekeepingadalah; pemisahan aliran-aliran, peningkatan cara kerja dan perawatan
peralatan, pengendalian inventaris, pencegahan kebocoran, dan usaha-usaha lain yang
ditujukan untuk mengurangi limbah, tetapi tidak memerlukan penggantian atau perubahan
proses yang signifikan. Good housekeeping merupakan langkah awal dalam upaya minimisasi
limbah. Good housekeeping merupakan sarana manajemen untuk pengelolaan biaya,
pengelolaan lingkungan dan perubahan organisasional. Pelaksanaan good
housekeeping memerlukan komunikasi internal, memotivasi karyawan, dan menetapkan
tanggung jawab yang jelas. Good housekeeping diarahkan untuk melakukan tindakan sebagai
berikut:

Rasionalisasi penggunaan bahan baku, bahan penolong, air dan energi,

Mengurangi volume dan atau toksisitas limbah padat, cair dan emisi gas

Menggunakan kembali dan atau mendaur ulang bahan kemasan secara maksimal

Memperbaiki kondisi kerja dan keselamatan kerja

Mengadakan perbaikan organisasional


Enam bidang yang berkaitan dengan pelaksanaan good housekeeping, yait :

Efisiensi penggunaan bahan baku dan penolong disertai pengkajian potensi dampak
lingkungan yang ditimbulkan bahan.

Pengurangan, pemakaian kembali, daur ulang dan pengolahan air limbah.

Penyimpanan, penanganan dan pengangkutan bahan yang sesuai dengan prosedur.


Pengurangan pemakaian air bersih.
Pengurangan konsumsi energi dan pemanfaatan limbah panas serta sumber energi yang
ramah lingkungan.
Proteksi keselamatan dan kesehatan tempat kerja proteksi terhadap kecelakaan, zat
berbahaya, bau, kebisingan dan cedera.

Pelaksanaan minimisasi air limbah meliputi :

Pengurangan debit air limbah


Penurunan kadar pencemaran air limbah
Penurunan temperatur air limbah

Industri yang menerapkan praktek good housekeeping akan mendapatkan keuntungan antara
lain:

Efisiensi produksi melalui penghematan pemakaian bahan baku, utilitas, energi


mengurangi biaya pengolahan air limbah
Mengurangi potensi dampak lingkungan dari pembuangan air limbah
Memperbaiki citra sebagai industri yang ramah lingkungan (environmental friendly)

Teknik Minimsasi Debit Air Limbah


Teknik minimisasi debit air limbah dapat dilakukan untuk mengurangi debit air limbah yang
harus diolah di unit pengolah air limbah dengan menerapkan sejumlah langkah operasional.
Potensi penghematan bisa dilakukan di Air Pencucian (Washing Water), Air Boiler, dan Air
Pendingin (Cooling Water). Berikut beberapa contoh teknik minimisasi debit air limbah yang
bisa diterapkan.
Teknik Minimisasi Kadar Air Limbah
Dalam perencanaan proses, limbah yang akan dihasilkan proses produksi harus menjadi satu
parameter dalam pertimbangan optimalisasi proses, karena limbah tersebut akan memerlukan
biaya pengolahan. Penentuan jenis bahan kimia serta metode/teknologi yang akan digunakan
perlu memperhitungkan aspek pencemaran yang akan ditimbulkan. Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam upaya meminimalkan kadar pencemar air limbah adalah sebagai berikut:
a) Pemilihan Bahan Kimia Pembantu (Auxiliaries)
Penggunaan bahan kimia pembantu sedapat mungkin yang mempunyai beban pencemaran dan
sifat toksik rendah. Dalam hal ini setiap bahan kimia selain dilengkapi nama dagang dan bidang
penggunaannya, harus dilengkapi juga dengan nama kimia (struktur kimia komponen
utamanya) dan sifat ekologinya. Untuk meminimalkan kadar pencemar air limbah, maka dalam
memilih bahan kimia yang digunakan di unit proses jangan hanya memperhatikan keandalan
bahan kimia untuk keberhasilan proses yang dikehendaki serta biaya prosesnya, akan tetapi
harus diperhatikan pula dampak penggunaan bahan kimia tersebut terhadap karakteristik
limbah serta cara dan biaya pengolahan limbah yang dikeluarkan dari proses tersebut karena
adanya sisa bahan kimia yang digunakan. Pemilihan bahan kimia pembantu harus pula

memperhatikan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang tersedia, bahan kimia yang dipilih
harus mampu diolah di IPAL yang tersedia .
Pengusaha industri sebagai pembeli harus meminta penjelasan mengenai toksisitas, kandungan
B3 misalnya logam berat, sifat biodegradasi, dan lain-lain dari bahan kimia yang akan dibeli
kepada pemasok bahan kimia. Hal ini diperkuat dengan adanya ketentuan Ekolabel yang
diperkirakan akan diberlakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi terhadap produk
industri yang akan memasuki negara-negara maju. Perlu dipertimbangkan apabila produk harus
ekolabel maka bahan baku juga harus ekolabel, hal ini berarti bahan kimia terutama yang
berupa bahan impor harus ramah lingkungan.
b) Melakukan perencanaan proses dengan cermat dengan didasari pengalaman, pengamatan
dan percobaan.
c) Mengurangi limbah dari sumbernya, dengan melakukan optimasi/ penghematan pemakaian
zat kimia, modifikasi proses dan menjaga kebersihan.
d) Reuse, recycle dan recovery bahan kimia
Reuse merupakan upaya pemanfaatan limbah untuk digunakan kembali tanpa mengalami
pengolahan atau perubahan bentuk. Reuse dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses
produksi yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah reuse sisa pasta printing dalam proses
printing tekstil.
Recycle merupakan upaya pemanfaatan limbah dengan cara proses daur ulang melalui
pengolahan fisik atau kimia, baik untuk menghasilkan produk yang sama maupun produk yang
berlainan. Daur ulang dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses produksi yang
bersangkutan.
Recovery merupakan upaya pemanfaatan limbah dengan jalan memproses untuk memperoleh
kembali materi / energi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh adalah recovery NaOH
dari proses mercerisasi kain kapas dan recovery PVA dari proses desizing kain.
Teknik Recovery Panas
Air limbah dengan suhu tinggi bisa dimanfaatkan dengan cara mengambil energi panasnya
untuk digunakan di proses lain yang memerlukan pemanasan. Hal ini selain akan menghemat
pemakaian energi juga mengurangi gangguan IPAL dari limbah bersuhu tinggi.
Audit Identifikasi Peluang Minimisasi Air Limbah
Untuk merencanakan dan mengimplementasikan program minimisasi air limbah dengan tepat,
perlu dilakukan pemeriksaan/audit minimisasi air limbah. Audit menekankan pemeriksaan
input, proses dan output dengan tujuan mendapatkan peluang, metode dan pelaksanaan
minimisasi limbah pada sumbernya dan mengurangi pemakaian bahan baku, jadi lebih banyak
ditekankan terhadap evaluasi proses produksi. Pelaksanaan audit dilakukan oleh pelaksana
produksi sendiri bila perlu dibantu oleh tim dari luar.

Menurut rekomendasi UNEP (United Nation Environmental Programme), langkah-langkah audit


minimisasi limbah atau audit produksi bersih dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan.
Tahap pertama merupakan tahap awal untuk melakukan audit yang difokuskan pada masalah
yang mudah diidentifikasi disertai dengan implementasi yang segera, yaitu meliputi langkahlangkah berikut :
1.
Pengenalan elemen-elemen audit dan adanya persetujuan dan komitmen direksi.
2.
Pembentukan tim audit, tim terdiri dari wakil departemen yang akan memberi kontribusi
utama dan yang berkepentingan terhadap hasil audit. Ditunjuk ketua tim dan setiap anggota
tim diberi beberapa tugas khusus untuk memperoleh keluaran yang maksimal.
3.
Pembahasan dalam tim audit untuk menyusun keputusan, mengidentifikasi tujuan dan
target.
4.
Kunjungan ke pabrik.
5.
Menyusun pilihan-pilihan minimisasi yang mudah untuk dilaksanakan berdasarkan kunjungan
ke pabrik dan tujuan yang ditetapkan.
6.
Menentukan rintangan atau pembatasan untuk mendapatkan cara-cara mengatasinya.
7.
Menyelenggarakan diskusi untuk menilai kesiapan pelaksanaan program minimisasi.
Mengkomunikasikan temuan-temuan kepada direksi dan mengembangkan rencana
implementasi.
Tahap kedua, dimulai dari hasil pemeriksaan tahap pertama, dilanjutkan dengan analisis
mendalam untuk identifikasi masalah yang lebih kompleks yang dapat memakan waktu cukup
panjang, meliputi langkah-langkah berikut:
1.
Menyiapkan diagram alir proses produksi yang memperlihatkan setiap tahapan poses untuk
suatu siklus proses produksi, menyangkut semua operasi/kegiatan termasuk utilitas.
2.
Melakukan identifikasi (karakterisasi) dan kuantifikasi semua masukan (input) dan keluaran
(output) dari proses tersebut.
3.
Menentukan daerah proses dan parameter kunci yang tepat untuk dilakukan perhitungan
neraca massa.
4.
Merencanakan dan mengimplementasikan program monitoring yang sesuai untuk menunjang
perhitungan neraca massa.
5.
Membuat neraca massa untuk suatu siklus proses produksi.
6.
Berdasarkan perhitungan neraca massa tentukan tindakan/langkah objek minimisasi air
limbah yang akan dilakukan, dengan memperhitungkan perkiraan keuntungan yang diperoleh,
seperti kemungkinan untuk melakukan optimasi proses, konservasi bahan baku, peningkatan
kualitas produk.
7.
Melakukan evaluasi efektifitas biaya untuk tindakan/langkah yang akan dilakukan dan
pertimbangkan parameter-parameternya yaitu kebutuhan investasi, biaya operasi, waktu
pengembalian investasi, keuntungan lingkungan yang terukur dan tak terukur, dan
sebagainya.
8.
Menyampaikan masalah-masalahnya kepada manajer.
9.
Memeriksa kondisi awal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan/langkah yang akan
dilakukan dan persiapkan rencana pelaksanaan untuk waktu tertentu misalnya selama 5
tahun. Berikan peran kepada staf perusahaan untuk mengembangkan rencana kerja. Siapkan
kondisi awal yang diperlukan sebelum pelaksanaan setiap langkah gagasan minimisasi.
10. Mengembangkan rencana cara pengawasan, pemeriksaan dan pelaporan agar dapat
memberikan laporan secara periodik tentang pelaksanaannya kepada manajer.
11. Agar audit minimisasi menjadi program yang kontinu, masukkan prosedur minimisasi ke
dalam sistem audit dan manajemen lingkungan.

Evaluasi efektifitas penerapan minimisasi air limbah


Penilaian efektifitas penerapan minimisasi dilakukan dengan membuat perhitungan ekonomi
dan evaluasi kinerja lingkungan terhadap program yang dilakukan.
Evaluasi dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:

Lakukan perhitungan pengurangan konsumsi air.


Lakukan perhitungan pengurangan/penghematan biaya yang dicapai dengan melakukan
perubahan konsumsi bahan kimia.
Peningkatan harga jual produk.
Penurunan beban pencemaran air limbah yang masuk unit pengolahan.

Posted in Waste Management


2 Comments

Pengolahan Limbah Logam Berat Cr(VI)


DEC 6
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Dengan semakin pesatnya perkembangan industri dan semakin ketatnya peraturan mengenai
limbah industri serta adanya tuntutan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan
lingkungan, maka teknologi pengolahan limbah yang efektif dan efisien menjadi sangat
penting, khususnya untuk limbah yang bersifat B3. Salah satu limbah B3 yang berbahaya
adalah yang mengandung logam berat Cr(VI), yang biasanya berasal ddari industri
electroplating, cat/pigmen dan penyamakan kulit. Logam Cr(VI) menjadi begitu populer
karena sifatnya yang karsinogenik.
Logam Cr di alam terdapat dalam dua bentuk oksida, yaitu Cr(III) dan Cr(VI). Uniknya hanya
Cr(VI) yang bersifat karsinogenik sedangkan Cr(III) tidak. Toksisitas Cr(III) hanya sekitar 1/100
kali Cr(VI), bahkan menurut penelitian Cr(III) ternyata merupakan salah satu nutrisi yang
dibutuhkan tubuh manusia dengan kadar 50-200 mikrogram per hari. Cr(VI) mudah larut
dalam air dan membentuk divalent oxyanion yaitu kromat dan dikromat.
Cr(III) mempunyai sifat mudah diendapkan atau diabsorpsi oleh senyawa organik maupun
anorganik pada kondisi basa, sehingga pengolahan limbahnya dapat dilakukan dengan metode
presipitasi di mana akan terbentuk endapan senyawa hidroksida. Metode ini tidak bisa
digunakan pada limbah yang mengandung Cr(VI), sehingga untuk limbaah yang mengandung
Cr(VI) harus direduksi terlebih dahulu menjadi Cr(III). Hal ini karena pada kondisi basa akan
terjadi reaksi kesetimbangan senyawa dikromat dan kromat seperti di bawah ini:
Cr2O72- + 2OH
<=>
2CrO42- + H2O
Oranye
Kuning
Pada kondisi asam reaksi akan bergerak ke kiri menjadi dikomat, sedangkan pada kondisi basa
kesetimbangan akan bergerak ke kanan.
Reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) harus dilakukan dalam suasana asam dengan langkah-langkah
sebagai berikut. Pertama-tama air limbah dikondisikan pada pH 2.0 sampai 2.5 dengan asam
sulfat, asam klorida atau asam lainnya. Kemudian direduksi dengan menggunakan sodium
metabisulfit (NaHSO3), gas SO2, Na2S, H2S, garam ferro atau bahan pereduksi lainnya. Reaksi

reduksi-oksidasi (redoks) berlangsung cepat dan ditandai dengan perubahan warna dari warna
oranye/kuning menjadi hijau kebiruan. Perubahan warna ini menandakan telah terjadi
perubahan ke senyawa Cr(III). Langkah berikutnya adalah dengan mempresipitasinya dengan
menambahkan unsur OH yang biasanya dari NaOH atau kapur hidroksida pada pH 8.5 sampai
9.0. Pada kondisi ini akan terbentuk Cr(III) hidroksida sesuai dengan reaksi berikut:
Cr6+ + Fe2+ -> Cr3+ + Fe3+
Cr3+ + 3OH -> Cr(OH)3

(proses reduksi)
(proses presipitasi)

Pengolahan Cr(VI) bisa dengan cara lain yaitu dengan cara elektrolisa. Metode ini lebih cocok
untuk cairan air limbah yang konsentrasinya tinggi, sesuai dengan reaksi berikut ini:
Cr2O72- + 14H+ + 6e -> 2Cr3+ + 7H2O
Metode lainnya yaitu dengan penukar ion meski jarang dilakukan karena memerlukan energi
yang sangat tinggi dan bahan kimia yang sangat banyak. Untuk air limbah organik asam
kromat digunakan resin penukar ion positif yang bersifat basa kuat. Metode lain yang juga
dapat dipergunakan adalah reduksi fotokatalitik, di mana merupakan kombinasi proses
fotokimia dan katalis yang terintegrasi untuk dapat melangsungkan suatu reaksi transformasi
kimia yang berlansung pada permukaan bahan katalis semikonduktor yang terinduksi oleh
sinar.
Posted in Waste Management
Leave a comment

Brief of Bioremediation
DEC 6
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

SENYAWA-SENYAWA PENCEMAR LINGKUNGAN

Pencemar: senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam tetapi jumlahnya


(konsentrasinya) sangat tinggi tidak alami. Contoh: minyak mentah, minyak hasil
penyulingan, fosfat, logam berat.

Senyawa xenobiotik: senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang sebelumnya tidak pernah
ditemukan di alam. Contoh: pestisida, herbisida, plastik, serat sintetis.
REMEDIASI LINGKUNGAN

Remediasi: Proses perbaikan.

Proses perbaikan lingkungan yang tercemar.

Pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk menghilangkan pencemar dari lingkungan.


TEKNOLOGI YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGHILANGKAN SENYAWA PENCEMAR ORGANIK

Ekstraksi uap tanah

Tekanan udara

Serapan panas

Pencucian tanah

Dehalogenasi kimiawi

Ekstraksi tanah

Penggelontoran tanah in situ

Bioremediasi
BIOREMEDIASI

Proses mengubah senyawa pencemar organik yang berbahaya menjadi senyawa lain
yang lebih aman dengan memanfaatkan organisme.
Melibatkan proses degradasi molekular melalui aktifitas biologis.
Campur tangan manusia untuk mempercepat degradasi senyawa pencemar yang
berbahaya agar turun konsentrasinya atau menjadi senyawa lain yang lebih tidak berbahaya
melalui rekayasa proses alami atau proses mikrobiologis dalam tanah, air dan udara.

KEUNGGULAN BIOREMEDIASI SENYAWA ORGANIK

Proses alami.

Mengubah molekul senyawa pencemar organik, bukan hanya memindahkan.

Biaya paling murah dibandingkan cara yang lain.

Hasil akhir degradasi adalah gas karbon dioksida, air, dan senyawa-senyawa sederhana yang
ramah lingkungan.
ALASAN PENGGUNAAN PERLAKUAN BIOLOGIS
Murah, karena:

Dapat digunakan in-situ sehingga mengurangi biaya pengangkutan dan gangguan lingkungan.
Mikroba alami dapat digunakan.

PELAKU UTAMA:

Mikroorganisme : Bakteria, Sianobakteria, dan fungi > Remediasi oleh mikrobia

Tanaman > Fitoremediasi


PENERAPAN BIOREMEDIASI

Situs-situs yang sulit dijangkau

Lingkungan di bawah permukaan tanah

Air berminyak

Limbah Nuklir
KEUNTUNGAN MENGGUNAKAN MIKROBIA UNTUK MENDEGRADASI SENYAWA PENCEMAR
ORGANIK:

Jumlahnya banyak dan ada dimana-mana

Jalur metabolisme dalam aktivitas hidupnya dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi


senyawa pencemar organik dan mengubahnya menjadi senyawa yang lebih tidak berbahaya
PERTIMBANGAN KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN:
Apakah kontaminannya dapat terdegradasi secara biologis?

hidrokarbon minyak bumi sederhana


hidrokarbon aromatik (hingga 3 cincin)
amina sederhana
ester
keton
eter

SENYAWA PENCEMAR ORGANIK YANG SECARA POTENSIAL DAPAT DIBIOREMEDIASI

Mudah terdegradasi: BBM, minyak tanah, keton dan alkohol, aromatik monosiklik, aromatik
bisiklik (naftalena)

Sedikit terdegradasi: kreosol, tars, batu bara, pentaklorofenol (PCP)

Sulit terdegradasi: pelarut terklorinasi (TCE), beberapa pestisida dan herbisida


Umumnya tidak terdegradasi: dioksin, bifenil terpoliklorinasi (PCB)

PENGOLAHAN BIOLOGIS LAHAN TERCEMAR SENYAWA ORGANIK


Pengolahan lahan tercemar senyawa organik dapat dikelompokkan ke dalam:

Ex situ pengolahan dilakukan di tempat lain sehingga perlu pemindahan.


In situ pengolahan dilakukan di tempat pencemaran tanpa pemindahan.

CONTOH PENGOLAHAN TANAH TERCEMAR SENYAWA ORGANIK SECARA EX SITU:


Slurry Phase: bejana besar digunakan sebagai bio-reactor yang mengandung tanah, air,
nutrisi dan udara untuk membuat mikroba aktif mendegradasi senyawa pencemar.
Composting: limbah dicampur dengan jerami atau bahan lain untuk mempermudah masuknya
air, udara, dan nutrisi. Tiga tipe pengomposan:

Dalam Lubang

Mechanically agitated in-vessel

Tumpukan
Biopile: tanah tercemar tidak dipindahkan namun diangkat ke permukaan, ditumpuk, dan
diberi perlakuan penambahan air, udara, dan nutrien.
Landfarming: tanah terkontaminasi dipindahkan dan disebar di permukaan lapangan kemudian
diperlakukan dengan penambahan bakteri, air, udara, dan nutrisi. Cara ini yang paling sering
digunakan.
CONTOH PENGOLAHAN TANAH TERCEMAR SENYAWA ORGANIK IN SITU:

Bio-venting: pemompaan udara dan nutrisi melalui sumur injeksi.

Air Sparging: pemompaan udara untuk meningkatkan aktifitas degradasi oleh mikroba.

Injeksi Hidrogen Peroksida: menggunakan sprinkler atau pemipaan.

Sumur Ekstraksi: untuk mengeluarkan air tanah yang kemudian ditambah nutrisi dan
oksigen dan dimasukkan kembali ke dalam tanah melalui sumur injeksi.
OPTIMASI BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR SENYAWA ORGANIK
1. Untuk mengoptimalkan dan mempercepat biodegradasi senyawa pencemar yang ada di
dalam air dan tanah dapat digunakan mikroba yang telah beradaptasi dan digabungkan dengan:

Menjamin ketersediaan air (kadar air antara 30-80%).


Menambahkan nutrisi (nitrogen, fosfor, sulfur).

2. Menjamin keterssediaan oksigen (jika tipe degradasi aerobik), yaitu 2-3 kg oksigen per kg
hidrokarbon yang didegradasi.
3. Menjamin pH moderat Tidak terlalu masam maupun basa, antara 6-9.
4. Menjamin suhu yang moderat 10oC to 40oC.
5. Penambahan enzim, katalis kimia untuk mendegradasi senyawa-senyawa limbah.
6. Penambahan surfaktan (detergen).
KELEMAHAN PERLAKUAN BIOLOGIS

Kadang-kadang tidak efektif di beberapa lokasi karena toksisitas pencemar:

Logam
Senyawa organik berkhlor
Garam-garam anorganik

WAKTU YANG DIPERLUKAN

in situ perlu waktu bervariasi antara 1 6 tahun.

ex situ antara 1-7 bulan.


REMEDIASI LAHAN TERCEMAR SENYAWA ANORGANIK (LOGAM)
LOGAM BERAT YANG DAPAT DIPERLAKUKAN

Logam beracun: uranium, kromium, selenium, timbal (Pb), teknetium, raksa

Logam lainnya: vanadium, molibdenum, tembaga, emas, perak


BIOLEACHING
1. Mekanisme mobilisasi logam
2. Mikroba akan memproduksi asam organik atau asam sulfat yang dapat membentuk khelat
logam

Mikrobia heterotropik = asam organik


Thiobacillus spp. = asam sulfat

3. Me-leaching logam dari padatan limbah kota : Zn, Cu, Cr, Pb, Ni, Al
4. Ada hubungan antara efisiensi penghilangan dengan pH
BIOSORPSI

Biosorpsi merupakan salah satu mekanisme imobilisasi logam

Logam terserap di permukaan sel oleh interaksi anion-kation


OVERVIEW FITOREMEDIASI

FITOEKSTRAKSI: Absorpsi logam berat oleh akar tanaman dan translokasinya dalam
tanaman.

RHIZOFILTRASI: Penghilangan logam dari lingkungan perairan.

FITOSTABILISASI: Imobilisasi logam dalam tanah oleh penjerapan, pengendapan dan


kompleksasi.
Posted in Waste Management
Leave a comment

Fundamentals of SBR
NOV 26
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

There are a large number of different types of activated sludge process. The Activated Sludge
process was developed inEnglandin 1914 by E. Ardenand W.T. Lockett. The Activated Sludge is

defined as an activated mass of microorganisms capable of stabilizing waste aerobically. The


Activated Sludge is the biomass contained in the Mixed Liquor.

What Does SBR mean?


SBR stands for Sequencing Batch Reactor: Sequencing- a series of steps that occur one after
the other. Batch- it is a batch process, as opposed to a continuous process like most
conventional biological treatment plants. Reactor- the vessel where all the steps in the
Sequence take place, that makes up one Batch. Each step is a different type of Reaction.

Why use SBRs?


SBRs are well suited to the treatment of Landfill Leachate. Where as most continuous
processes are based on fixed flow rates, such as municipal wastewater plants or wastewater
treatment plants, SBRs are very flexible. During a dry period, (low precipitation) there is very
little leachate generated, but it tends to be more concentrated in terms of contaminates. The
strength of the contaminates is meaured using the parameters discussed in Lesson 1. During
rainy periods, a lot of leachate is generated, but it tends to be more dilute with the level of
contaminates being lower. During dry periods, the flexibility of the SBR, allows the cycle time
to be extended (increased) and the biomass maintained. The extended reaction time and
lower flow rates are usually necessary since the waste is stronger. During peak rainfall
periods, the leachate becomes more dilute. The cylce time on the reactor can be reduced and
the flow rates increased.
Other advantages to SBRs include relatively low construction and operation costs.

SBR Terminology (Modes of Operation)


SBRS are operated in a number of Standard Modes. It is very important to understand the
different modes as well as adopt a common terminology. Different test books may use
conflicting terminology; this is the terminology we will use:
React: Blower and Surface aerators on, no influent (feed into the reactor). This is when
aerobic processes of carbonaceous BOD removal and nitrification take place.
React-Fill: Blower and Surface aerators on, feed being pumped into the SBR. The difference
between React and React-fill is that feed is being added to the reactor during React-fill. The
same processes are taking place.
Denite: Blower and Surface aerators off, no feed being pumped to the SBR. This is the same
anoxic denitrification.

Denite Fill: The blower and surface aerators are turned off; feed is being pumped to the
reactor.
Settle: The blower and surface aerators are turned off; no feed is being pumped to the
reactor. This is the same equipment configuration as denite, however, this is a separate part
of the process. The purpose of the Settle Mode is allowing the biomass to separate from the
mixed liquor (sink to the bottom of the pond) so the SBR can be decanted. The Settle Mode
will typically only take 0.5 to 1.0 hours. The purpose of the denite mode is to allow enough
time for the complete depletion of oxygen in the reactor so that anoxic denitrification can
take place.
Decant: The treated effluent is withdrawn from the top to the SBR using the decant pump.
The treated effluent is sometimes referred to as the supernate.
Sludge Wasting: Following the decant is typically a period when solids, including some of the
biomass is withdrawn from the bottom of the SBR.

SBRs Cycle
The above modes are put together in a series of steps to complete one cycle. The order the
modes are placed, depends on what needs to be accomplished (treated). As example, if total
nitrogen is a concern, then a denite or denite-fill mode maybe included following the decant
and sludge wasting.
Example of a typical cycle, Starting after the Sludge Wasting Mode
Denite or Denite-Fill: With the blowers and the surface aerators off, feed may or may not be
added to the SBR. The dissolved oxygen should already be very low (essentially zero) and
provided enough substrate is present, anoxic denitrification will take place. If Denite-Fill is
being conducted, caution not to overload the SBR must be practiced. Overloading is a
condition when too much influent or feed is added to quickly. This can shock the bacteria
causing inhibition. Inhibition is a condition where the bacteria to not function normally.
During extreme shock (inhibition or overloading) it maybe necessary to reseed (add fresh
bacteria) or dilute SBR with pond water to revive the bacteria.
React or React-Fill: The blowers and surface aerators are started. Note: From experience,
especially if gentrification is extremely aggressive, there maybe some odor released by the
SBR for a short period following gentrification. This is the mode when most of the
carbonaceous BOD removal and nitrification occur and is typically the longest mode.
React: Normally before a decant, the SBR is allowed to react without adding any additional
influent. This allows the complete reaction of any contaminates in the system that remain and
can be oxidized.

Settle: The Blowers and surface aerators are shut off and the biomass allowed to separate and
settle out of the mixed liquor. The equipment configuration is the same as with denitrification
(denite mode), but the Settle mode is typically a short mode lasting 0.5-1.5 hours. The denite
mode is typically much longer.
Decant: During the decant mode the treated effluent is discharged (pumped) from the SBR.
Sludge Wasting: As required, sludge is withdrawn from the bottom to the SBR, before starting
the next cycle.

SBRs Monitoring
The SBR is a living group of organisms. Therefore, the proper environment must be maintained
to support those organisms.
pH: Nitrification will occur in the range of 7.2-9.0 pH units. Denitrification will occur in the
range of 6.5 to 7.5 pH units, 7.0 being optimal. The optimal pH for bacteria growth is 6.5 to
7.5 pH units. From experience, the best results are achieved with the pH between 7.0 and 7.5
pH units. Most bacteria will not tolerate pH less then 4.0 or greater than 9.5.
Dissolved Oxygen: The DO needs to be greater then 2.0 mg/l for nitrification and close to 0
(zero) for denitrification.
Temperature: As with most processes, the higher the temperature the faster the process. This
is true for both nitrification and denitrification. However, as temperature increases, the
solubility of oxygen (all gases) decreases. At temperature higher then 40 oC, it becomes
difficult to maintain proper DO levels.
Nutrients: Bacterias require are large number of trace nutrients (same as humans).
Fortunately, leachate contains most of them with the exception of phosphorous. This is why
H3PO4 is added to the SBRs as a supplement.

SBRs Process Control


Obviously from the dicussion regarding the SBRs Monitoring, it is necessary to monitor pH and
DO on a regular basis. We cannot control temperature, but if low DO is a problem,
temperature is a good parameter to check.
Ammonia levels are the best indicators as to whether the bacteria in the SBR are active. In
general carbonaceous BOD is easier to oxidize (remove or treat) then ammonia. Known as the
OLeary Pizza and Spinach Theory, the bacteria will eat the pizza (carbonaceous BOD) first and
the ammonia second. Therefore, if waste-containing ammonia is being fed into the SBR, and
the ammonia is being reacted, then the carbonaceous BOD should be reacting as well. It is

also important to note that for every pound of ammonia oxidized, 7.14 pounds of alkalinity as
CaCO3 is removed. Therefore, if high concentrations of ammonia are being treated, it is normal
to see a decrease in SBR pH levels.
One of the most overlooked parts of the SBR process is time. During each mode the process
essentially changes. The plant manager and operator, particularly when trouble shooting,
need to be able to correlate all the functions of the SBR and the plant as a whole with time.
Posted in Waste Management
Leave a comment

Definitions in Bioplant
OCT 21
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Aerobic Processes- are biological treatment processes that occur in the presence of oxygen.
Anaerobic Processes- are biological treatment processes that occur in the absence of oxygen.
Anoxic Denitrification- is a process by which nitrate nitrogen is converted biologically to
nitrogen gas in the absence of oxygen. This process is also known as anaerobic denitrification.
Biological Nutrient Removal- is the term applied to the removal of nitrogen and phosphorous in
biological treatment processes.
Facultative processes- are biological treatment processes in which the organisms can function
in the presence or absence of molecular oxygen.
Carbonaceous BOD removal- is the biological conversion of the carbonaceous organic matter in
the wastewater to cell tissue and various gaseous end products. In the conversion, it is
assumed that nitrogen present in the various compounds is converted to ammonia.
Nitrification- is the biological process by which nitrate is converted first to nitrite and then to
nitrate.
Denitrification- is the biological process by which nitrate is converted to nitrogen and other
gaseous products.
Substrate- is the term used to denote the organic matter or nutrients that are converted
during biological treatment or that may be limiting in biological treatment.
Suspended-growth processes- are biological treatment processes in which the microorganisms
responsible for the conversion of organic matter or other constituents in the wastewater to
gases or cell tissue are maintained in suspension within the liquid.

Attached-growth processes- are biological treatment processes in which the microorganisms


responsible for the conversion of organic matter or other constituents in the wastewater to
gases or cell tissue are attached to some inert medium such as rocks, slag, or specially
designed ceramic or plastic materials. Also known as fixed film processes.
Mixed Liquor- is the term used to refer to the biomass in a Suspended Growth Process.
Chemical Terminology
The following definitions relate to lab analysis. Lab analysis is on of the fundamentals of plant
operation, but before discussing operation; let us first discuss some of the tests.
pH- Mathematically, pH is the inverse log of the hydrogen ion concentration. More practically it
can be though of as the intensity of the acidic or basic characteristic of a solution.
For base the pH range is 7.0 to 14.0, 14.0 being very basic, in fact even corrosive. Liquids with
a pH greater than 12.5 are considered characteristically hazardous.
For acid the pH range is 0.0 to 7.0, 0.0 being very acidic, in fact even corrosive. Liquids with a
pH less than 2.0 are considered characteristically hazardous.
Chemical Oxygen Demand (COD) is used as a measure of the oxygen equivalent of the organic
matter content of a sample that is susceptible to oxidation by a strong chemical oxidant. COD
is a very rigorous test and will always produce a higher mg/l value then BOD.
Biological Oxygen Demand (BOD) is an empirical test based on how much dissolved oxygen is
depleted from a container of water saturated with oxygen and combined with sample over a
five day test period.
Total Dissolved Solids (TDS) is a measure of portion of solids that passes through a 2.0 micron
filter. This includes dissolved minerals and salts.
Total Suspended Solids (TSS), also sometimes denoted as Suspended Solids (SS) is a measure of
solids that do not filter, but are retained by the filter and can be measured after drying.
Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS)- This is a portion of mixed liqueur filtered and dried at
103-105 deg. Celsius. This test only applies to samples from the SBR.
Mixed Liquor Volatile Suspended Solids-This the remaining residue after the MLSS is ignited at
550 deg. Celsius.
Nitrogen-In order of decreasing oxidation state are nitrate, nitrite, ammonia and organic.
Nitrate-Nitrogen (NO3-N) is the highest oxidation state of nitrogen and is the end product of
the nitrification cycle.

Nitrite-Nitrogen (NO2-N)- is the second highest oxidation state of nitrogen and is an


intermediate between ammonia-nitrogen and nitrate-nitrogen.
Ammonia-Nitrogen (NH3-N) is a measure of nitrogen compounds in the second lowest oxidation
state of nitrogen.
Organic Nitrogen (Norg) is the lowest oxidation state of nitrogen, and is a combination of a
proteins, peptides, nucleic acids, urea and in leachate any number of complex synthetic
nitrogen compounds.
Kjeldahl Nitrogen- is an analytical method used to measure the combined Organic-Nitrogen and
Ammonia-Nitrogen. Note: Kjeldahl Nitrogen typically includes the ammonia nitrogen, but
depending on the specific laboratory procedure, may exclude the ammonia-nitrogen value.
Total Nitrogen- is the sum of the Nitrite-Nitrogen, Nitrate-Nitrogen and Kjeldahl Nitrogen
(Ammonia included).
Posted in Waste Management
Leave a comment

Ozonasi Fenol
OCT 19
Posted by Muhammad Yusuf Firdaus

Fenol
Fenol, juga dikenal sebagai carbolic acid, hydroxy benzene, phenyl
hydroxide,monohydroxybenzene, dan phenyl alcohol, adalah cairan tidak berwarna dengan
bau yang khas dan tajam. Rumus kimianya adalah C6H5OH dengan gugus hidroksil (-OH) yang
terikat pada cincin fenil membentuk senyawa aromatik. Berat molekulnya 94,11 gram / mol,
meleleh pada 40,5oC, mendidih pada 181,7oC, dan densitasnya 1,07 gram / cm3 (GS Brady,
1984).
Gugus OH merupakan aktivator kuat dalam reaksi substitusi aromatik elektrofilik. Karena
ikatan karbon sp2 lebih kuat daripada ikatan oleh karbon sp3, maja ikatan C-O dari suatu fenol
tidak mudah terputuskan. Fenol tidak bereaksi SN1 atau SN2 atau reaksi-reaksi eliminasi seperti
alkohol. Meskipun ikatan C-O fenol tidak mudah patah, ikatan OH mudah putus. Fenol, dengan
pKa = 10, merupakan asam yang lebih kuat daripada alkohol atau air (RJ Fessenden dan JS
Fessenden, 1993).
Fenol menguap lebih lambat daripada air dan mudah hilang dalam air. Hal ini disebabkan fenol
dapat membentuk ikatan hidrogen dalam air. Fenol sangat larut dalam metil eter dan etil
alkohol, karbon tetraklorida, asam asetat, gliserol, dan benzena. Fenol larut pula dalam
hidrokarbon parafin dan dapat menarik api. Kelarutan fenol dalam air terbatas. Delapan gram
fenol dapat larut dalam 100 gram air (www.msdssearch.com, 2005).
Fenol dapat tinggal dalam udara, tanah, dan air dalam waktu lama jika terlepas dalam jumlah
besar sekaligus atau secara konstan terlepas ke lingkungan dari sumbernya. Fenol dalam
jumlah kecil tidak akan tinggal dalam udara lebih dari sehari, dalam tanah tidak lebih dari 2

5 hari,
dan dalam air tidak lebih dari 9 hari (www.cdc.gov/niosh/ipcsneng/nengsyn.html,2005).
Pembuatan dan Manfaat Fenol
Fenol pertama kali diisolasi dari tar batubara pada 1834. pada mulanya senyawa ini ditemukan
dan digunakan untuk mengobati luka. Setelah itu fenol mulai dibuat secara sintetis, dan
beberapa turunannya mulai dibuat.
Fenol dapat dibuat melalui oksidasi parsial terhadap benzena, melalui proses Cumene, atau
melalui proses Raschig. Fenol juga dapat ditemukan sebagai produk dari oksidasi batubara.
Fenol dapat digunakan dalam bidang kesehatan antara lain sebagai slimicide, yaitu senyawa
kimia yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri dan jamur pada lendir. Selain itu fenol
dapat pula digunakan sebagai bahan anestesi pada salep, obat tetes telinga dan hidung, lotion
antiseptik, lotion penghilang perih, disinfektan, serta campuran pada obat batuk dan penyegar
mulut (www.cdc.gov/niosh/ipcsneng/nengsyn.html,2005).
Efek Fenol
Fenol dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian jika tertelan, terhirup, atau
terabsorbsi melalui kulit. Absorbsi pada sistem organ dapat menyebabkan kejang-kejang,
seperti yang ditimbulkan oleh kerusakan ginjal dan liver. Jika masuk ke dalam tubuh dapat
menyebabkan rasa nyeri seperti terbakar pada mulut dan tenggorokan, diare berdarah, muka
pucat, berkeringat, lesu, sakit kepala, pening, nyeri dan sakit otot, jantung berdebar dan
sentakan, telinga berdengung, suhu tubuh turun drastis, serta iritasi pada mata, hidung, dan
tenggorokan(www.osha.gov, 2005)
Jika terhirup melalui mulut dapat menyebabkan nafas berbunyi, mulut dan hidung berbusa,
korosi berkepanjangan pada kelenjar lendir, menurunkan kerja sistem syaraf pusat, dan dapat
menyebabkan kematian. Fenol yang terkandung pada air minum dapat menyebabkan diare dan
mulut pedih jika dikonsumsi terus-menerus (www.msdsonline.com, 2005).
Jika terserap melalui kulit dapat menyebabkan luka dan membakar kulit disertai mati rasa dan
dermatitis. Ketika fenol terserap kulit, ukuran luas permukaan yang terserap oleh kulit dapat
mempengaruhi kekuatan dari efek racun (www.msdsonline.com, 2005).
Ozon
Sifat Fisika dan Kimia Ozon
Ozon, dengan rumus molekul O3, merupakan bentuk alotropik dari senyawa oksigen (O2).
Senyawa ini merupakan gas tidak berwarna (pada suhu kamar), yang mengembun membentuk
suatu cairan biru pada temperatur -112oC, dan membeku pada suhu -251,4oC. Pada suhu di atas
100oC ozon akan cepatmengalami dekomposisi. Spesifikasi ozon adalah sebagai berikut:

Berat molekul
: 48 gr/mol

Kerapatan relatif terhadapudara


: 1,667
o

Berat jenis pada 0 Cdan 1 atm


: 2,143 kg/m3

Panas pembentukan padavolume tetap


: 143 kJ/mol
Ozon merupakan gas yang mempunyai bau pedas (pungent), tajam (acrid), dan tidak enak
seperti bau bahan pemutih klorin. Ozon merupakan gas yang sangat beracun, lebih beracun
dari sianida (CN), striknina, dan karbon monoksida.

Ozon merupakan oksidator kuat melebihi oksigen (O2) dengan potensial oksidasi sebesar 2,07
Volt. Bersifat sangat reaktif dan mampu mengoksidasi senyawa organik maupun anorganik.
Kelebihan lain dari ozon adalah dapat mengubah senyawa kompleks menjadi senyawa
yang lebih sederhana sehingga dapat meningkatkan sifat biodegradable suatu senyawa. Ozon
memiliki kelarutan di dalam air, bersih dan aman untuk proses oksidasi, serta mampu
menghilangkan bau.
Ozon merupakan zat yang keberadaannya kurang stabil dengan titik didih sebesar -112 oC pada
tekanan atmosfer. Dalam larutan cair ozon relatif tidak stabil di mana memiliki waktu paruh
(half-time) sekitar 20 30 menit di dalam air destilat pada suhu 20oC. Tetapi pada udara
kering, ozon akan lebih stabil dengan waktu paruh sekitar 12 jam (Rise dan Browning, 1981).
Ozon berbentuk gas pada temperatur dan tekanan normal. Kelarutan ozon dalam air
tergantung pada temperatur dan tekanan parsialnya dalam fase gas, di samping adanya
pengaruh pH cairan. Sebagai senyawa tak stabil yang mudah terurai kembali menjadi oksigen,
laju dekomposisinya bertambah besar sebanding dengan kenaikan suhu dan pH.
Pengaruh temperatur terhadap kelarutan ozon dalam air dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Kelarutan ozon dalam air

Suhu (oC)
Kelarutan O3 (mg/l)

Kelarutan O2 (mg/l)

20

6,9

10

6,6

20

8,92

4,3

28

1,5

3,7

Sumber: Bruno Langlais et al., 2004.


Semakin besar suhu maka kelarutan ozon dalam air akan semakin berkurang, karena sebagian
akan menguap atau terdekomposisi, sehingga jumlah ozon terlarut semakin kecil.
Ozonasi
Saat ini metode pengolahan limbah cair secara kimiawi dipilih sebagai alternatif karena waktu
prosesnya yang jauh lebih cepat daripada proses pengolahan secara biologis. Di samping itu
kebutuhan ruang untuk proses kimiawi ini umumnya jauh lebih kecil daripada yang dibutuhkan

oleh metode biologis. Tetapi metode kimiawi memiliki kendala besar dalam hal kerumitan
pengoperasian dan perawatan. Kerumitan proses kimiawi ini kebanyakan disebabkan oleh
dampak lain dari sifat reaksi kimia dalam sistem pengolahan limbah tersebut, misalnya korosi,
pembentukan kerak, atau endapan lainnya. Sebagai alternatif lain yang diberikan adalah
dengan menggunakan teknik ozonasi.
Proses ozonasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonasi atau proses
dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan oleh Nies dari Prancis sebagai metode
sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonasi kemudian berkembang
pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan
air minum menggunakan ozonasi untuk proses sterilisasinya di Amerika (www.lipi.gov, 2002).
Dewasa ini, metode ozonasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan,
pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran.
Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal
(mudah bereaksi dengan senyawa di sekitarnya) serta memiliki potensial oksidasi yang besar
(2,07 Volt). Selain itu ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma
seperti corona discharge (Anto Tri Sugiarto dan Suherman, 2002).
Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisme
seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai
mikroorganisme patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui proses oksidasi langsung, ozon akan
merusak dinding bagian luar sel mikroorganisme (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga
melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hidrogen peroksida (HO 2) dan radikal
hidroksil (OH.) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan perkembangan
teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik
dan industri. Ozon dalam pengolahan limbah cair digunakan untuk pengendalian bau serta
penghilangan zat-zat organik berbahaya yang terlarut di dalam limbah cair tersebut. Saat ini di
Indonesia penggunaan ozon sebagai senyawa pengoksidasi dalam industri masih sangat terbatas
dan umumnya hanya digunakan sebagai senyawa disinfektan untuk sterilisasi industri air
minum.
Ozonasi senyawa aromatis secara langsung terjadi melalui reaksi subtitusi elektrofilik, di mana
muatan positif dari ozon menyerang posisi senyawa aromatik yang banyak mengandung muatan
negatif (posisi orto dan para). Penyerangan terhadap inti aromatis terjadi secara kompetisi.
Lanjutan dari hasil ozonasi adalah desiklinasi, yaitu penghilangan struktur aromatik. Untuk
senyawa aromatik yang kurang reaktif terhadap ozon, maka diperlukan sistem oksidasi dengan
menggunakan radikal bebas yang dihasilkan oleh dekomposisi ozon.
Pengolahan Fenol dengan Ozonasi
Ozonasi senyawa fenol dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Ozonasi senyawa fenol secara langsung terjadi pada suasana asam melalui reaksi
substitusi elektrofilik dari oksidator pada posisi orto atau para dari substituen donor atau pada
posisi meta. Pada proses ini oksidator yang dominan adalah ozon (O3) itu sendiri. Dalam
substitusi pada posisi orto-para, oksigen dari gugus OH membantu membagikan muatan positif
sehingga menstabilkan intermediet yang terbentuk dengan jalan delokalisasi muatan. Bila
substitusi masuk pada posisi meta, oksigen tidak dapat membantu membagi muatan.

Intermediet meta dan bentuk transisinya mengandung energi yang lebih besar daripada transisi
substitusi orto-para. Karena energi aktivasinya lebih tinggi, maka kemungkinan untuk terjadi
reaksi substitusi pada posisi meta sangat sedikit (RJ Fessenden dan JS Fessenden, 1997).
Penyerangan terhadap inti aromatis terjadi secara kompetisi. Penyerangan pada posisi orto dan
para akan menghasilkan hydroquinone dan pyrocatechinol (Decoret et al.,
1984; Gurol danVatistas, 1987; Dor dan Legube, 1983; Eisenhauer, 1968, 1971). Oksidasi
selanjutnya akan menyebabkan desiklinasi, yaitu penghilangan struktur aromatik, yang
menghasilkan asam mukonat, mukonaldehid, serta asam maleat dan asam fumarat. Senyawasenyawa ini kemudian dioksidasi kembali menjadi asam oksalat, asam glioksal, glioksaldehid,
dan asam formiat, yang merupakan senyawa-senyawa organik yang lebih sederhana yang
mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang ada di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari
proses oksidasi hanya akan didapatkan karbon dioksida dan air (Anto Tri
Sugiarto dan Suherman, 2002).
Selain ozonasi secara langsung, terdapat pula sistem oksidasi dengan menggunakan radikal
bebas yang dihasilkan oleh ozon. Ozon akan larut dalam air dan terdekomposisi menghasilkan
hidroksil radikal (OH.), sebuah radikal bebas yang memiliki potensial oksidasi sangat tinggi (2,8
Volt), jauh melebihi ozon (2,07 Volt) dan klorin (1,36 Volt). Hidroksil radikal inilah yang
merupakan bahan oksidator yang dapat mengoksidasi senyawa fenol. Proses ini merupakan
oksidasi secara tidak langsung dalam suasana basa, di mana oksidator yang lebih banyak
berperan adalah hidroksil radikal. Makin basa maka dekomposisi ozon menjadi hidroksil radikal
makin cepat, sehingga hidroksil radikal yang dihasilkan makin banyak (Gurol dan Vatistas,
1987).
Apapun mekanisme yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, produk yang
dihasilkan tetaplah sama. Namun demikian, pengolahan ini tetap dilanjutkan dengan proses
oksidasi tingkat lanjut (Advance Oxidation Process) untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Dalam aplikasi, sistem ozonasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau hidrogen
peroksida. Dengan menggunakan kombinasi ini dengan mudah akan didapatkan hidroksil radikal
dalam air yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa fenol (Anto Tri
Sugiarto danSuherman, 2002). Gurol dan Vatistas (1987) mengusulkan urutan keampuhan
proses oksidasi fenol sebagai berikut:

O + UV > O > UV
3

Substitusi elektrofilik pada fenol merupakan kinetika kimia orde satu sesuai persamaan
(Hoign dan Bader, 1983; Gurol dan Nekuoinaini, 1984):

d[fenol] / dt = k [O ] [fenol]
3

Berdasarkan strukturnya, laju reaksi senyawa fenol meningkat ketika densitas elektron pada
cincin aromatik diperbesar dan berkurang dengan penambahan ukuran substituen (Gould,
1987). Juga terdapat konsensus mengenai kenaikan laju reaksi pada pH yang lebih tinggi
berkaitan dengan disosiasi ion fenol menjadi ion fenolat (C6H5O). Data yang diperoleh
bervariasi sesuai dengan sumbernya. Hoign dan Bader (1983) memberikan data berikut ini
untuk fenol kisaran pH 2 6:
k fenol yang tidak terdisosiasi

= 1,3 + 0,2 x 103 M-1 s

k ion fenolat
= 1,4 + 0,4 x 109 M-1 s-1
Kedua peneliti ini telah menentukan konstanta laju reaksi untuk senyawa fenol lainnya sebesar
103 104 M-1 s-1 untuk spesi yang tidak terdisosiasi, dan 10 9 untuk spesi yang terdisosiasi.

Kesimpulannya adalah bahwa laju reaksi keseluruhan meningkat sepuluh kali dengan masingmasing pH. Di lain pihak, Anderson (1977) melaporkan bahwa laju reaksi ozon dengan ion
fenolat hanya 27 menit pada fenol yang tidak terdisosiasi. Dengan memvariasikan pH , Joshi
dan Shaumbaugh (1982) memperoleh daftar konstanta keseluruhan sebagai berikut:
Tabel 2. Oksidasi fenol dan efek pH pada kinetika reaksi*.
pH
6,0

S (mol fenol / mol ozon)


0,240

7,0
8,0

0,240
0,226

k2 (M-1 s-1)
0,09 x 103
0,140 x 103
0,180 x 103

9,0
0,420
0,246 x 103
* Kondisi percobaan: temperatur 20oC, konsentrasi awal fenol = 1,0632 M / mL, konsentrasi
ozon pada umpan gas = 3% berat, total laju alir gas masuk reaktor = 1,4331 NTP / menit.
Pemutusan cincin fenol membutuhkan 4 6 mol ozon / mol fenol (Gould dan Weber, 1976;Dor
et. al., 1978; Gilbert, 1974).
Hidroksil radikal yang berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik dan anorganik juga
dapat digunakan dalam proses sterilisasi mikroorganisme, menghilangkan bau, dan
menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat mengoksidasi senyawa
organik dan anornganik serta membunuh bakteri patogen yang banyak terkandung dalam
limbah cair rumah sakit.
Teknologi ozonasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun (fenol) yang
berada dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat
diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem ozonasi tidak hanya dapat
mengolah limbah tapi juga dapat menggunakan kembali air umpan yang telah diproses (didaur
ulang). Teknologi ini selain efisien waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan
tempat instalasi yang luas (Anto Tri Sugiarto dan Suherman, 2002).

Anda mungkin juga menyukai