Anda di halaman 1dari 12

MYELODISPLASTIC SYNDROME

BAB I
PENDAHULUAN
MDS adalah sekumpulan kelainan yang mempunyai ciri-ciri satu atau lebih sitopenia sekunder
dari darah tepi sampai dan kelainan sumsum tulang. Sindrom ini muncul sejak lahir atau bisa
juga muncul sekunder setelah pengobatan dengan kemoterapi dan atau radioterapi untuk
penyakit lain. MDS sekunder biasanya memiliki prognosis yang lebih jelek dari pada MDS de
Novo. Prognosisnya berhubungan langsung dengan jumlah sel blast sumsum tulang dan derajat
sitopenia darah tepi. MDS dapat menjadi AML sekitar 30% dari seluruh pasien setelah melalui
bermacam-macam rentang diagnosis dan rasio variabel yang berdasarkan klasifikasi seluler
darah. Leukimia akut yang mengalami transformasi sangat kurang responsif terhadap kemoterapi
daripada Leukimia Myeloid Akut (AML) de Novo. Prognosisnya juga juga berhubungan dengan
tipe MDS. Terapi memerlukan perawatan yang intensif. Tindakan transfuse darah atau platelet
dapat mencegah alloimunisasi dan kelebihan zat besi, dan prognosis yang baik. MDS ditandai
dengan sumsum tulang dan morfologi sel darah yang abnormal.

Hiperplasi eritroid

megaloblastik dengan anemia makrositik dengan vitamin B12 dan folat yang normal sering
didapatkan. Granulosit dalam sirkulasi biasanya menurun, sering hipogranular (Anonim, 2002).
MDS terjadi terutama pada pasien tua (biasanya di atas usia 60 tahun), meskipun ada juga yang
melaorkan adanya pasien usia 2 tahun. Anemia, perdarahan, mudah bengkak dan mudah lelah
merupakan tanda awal dari penyakit ini. kadang terjadi splenomegali atau hepatomegali. hampir
setenganh dari pasien telah terdeteksi memiliki abnormalitas sitogenik, biasanya delesi sebagian
atau kesluruhan kromosom 5 atau 7, atau trisomi 8. Meskipun sumsum tulang biasanya
hiperseluler pada diagnosis, 15% hingga 20% menunjukkan hipoplastik sumsum tulang
(Anonim, 2002).
System klasifikasi telah dikembangkan untuk memprediksi kesembuhan pasien dengan MDS dan
evolusi dari MDS ke AML. System klasifikasi ini termasuk klasifikasi French-American-British,
skor Bournemouth, skor Sanz, dan skor Lille. Variable klinis termasuk dalam system ini
memasukkan persentase mieloblast sumsum tulang, sitopeni spesifik, usia, kadar laktat

dehidrogenase, pola sitogenik sumsum tulang. Kumpulan data telah dianalisis dan menghasilkan
pronostik system yang disebut International Prognostic Scoring System (IPPS) untuk MDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Mielodisplasia adalah suatu kelompok heterogen dari kelainan hematologi yang ditandai dengan
sitopenia yang berhubungan dengan dismorfik (bentuk abnormal) dan biasanya pada seluler
sumsum tulang, dan diakibatkan oleh produksi sel darah yang tidak efektif. Lima klasifikasi
ditetapkan: anemia refraktori (refractory anemia (RA)), anemia refraktori dengan cincin
sideroblast (refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)), anemia refraktori dengan blast
yang kelebihan (refractory anemia with excess blasts (RAEB)), anemia refraktori dengan blast
yang kelebihan dalam transformasi (refractory anemia with excess blasts in transformation
(RAEB-t)), dan leukemia mielomonositik kronik (myelomonocytic leukemia (CMML)).
Klasifikasi WHO (2002) menetapkan bahwa perbedaan antara RAEB-t dengan akut myeloid
leukemia berubah-ubah dan mengelompokkan mereka bersama-sama sebagai leukemia akut,
catatan bahwa CMML mempunyai sifat sebagai penyakit mieloproliferatif, dan terpisah dari
anemia refraktori (Young, 2008).
Klasifikasi MDS oleh WHO

Penyakit
RA

Frek.
5-10%

Temuan Darah
Anemia

RARS

10-12%

Anemia

Hanya displasia eritroid

Tanpa blast

< 5% blast

Refractory cytopenia

24%

Temuan Sumsung Tulang Prognosis


Hanya displasia eritroid Memperpanjang
perawatan
Tanpa atau sedikit < 5% blast
blast
6% berubah menjadi
<15% sideroblast cincin leukemia

Sitopenia

Memperpanjang
perawatan

>15% sideroblast cincin

1-2% berubah menjad


leukemia

Displasia pada 10% se

Tergantung klinis

with multilineage

Tanpa atau sedikit < 5% blast


blast
Tanpa Auer rods
Tanpa Auer rods
<15% sideroblast cincin
<1109/L monosit

dysplasia (RCMD)

RCMD with ringed

15%

Sitopenia

Displasia pada 10% se

sideroblasts (RCMDRS)

Tanpa atau sedikit < 5% blast


blast
Tanpa Auer rods
Tanpa Auer rods
15% sideroblast cincin
<1109/L monosit

Refractory anemia with 40%

Sitopenia

excess blasts-1 (RAEB- (RAEB-1

< 5% blast

1)

+2)

11% berubah menjad


leukemia

Displasia unilineage atau


multilineage

Kegagalan sumsum t
progresif

5-9% blast

25% berubah menjad


leukemia

Tanpa Auer rods


Tanpa Auer rods
<1109/L monosit

Refractory anemia with

Sitopenia

excess blasts-2 (RAEB-

5-19% blast

2)

Displasia unilineage atau


multilineage

Kegagalan sumsum t
progresif

10-19% blast

33% berubah menjad


leukemia

Auer rods
Auer rods
<1109/L monosit

Myelodysplastic

Belum
diketahui

syndrome, unclassified

Sitopenia

Displasia pada myeloid


atau platelet lineage

Belum diketahui

Tanpa atau sedikit


blast
< 5% blast

(MDS-U)

MDS with isolated del


(5q)

Belum
diketahui

Tanpa Auer rods

Tanpa Auer rods

Anemia

Normal atau peningkatan Belum diketahui


megakariosit dengan
nucleus hipolobulated

<5% blast

Platelet normal
atau meningkat

< 5% blast
Tanpa Auer rods
Isolated del(5q)

(Young, 2008)
B. EPIDEMIOLOGI
MDS idiopatik merupakan penyakit pada usia tua, usia rata-rata saat onset mulai muncul adalah
68 tahun. Jumlah penderita pria sedikit lebih banyak dibandingkan penderita perempuan. MDS
merupakan bentuk gagal sumsum tulang yang umum, dengan angka laporan insiden 35 hingga
lebih dari 100 penderita dari setiap satu juta penduduk pada populasi umum, dan 120 hingga
lebih dari 500 penderita dari setiap satu juta penduduk usia lanjut. MDS jarang diderita anakanak, namun leukemia monositik dapat terjadi. MDS yang terkait dengan terapi tidak
berhubungan dengan tingkatan usia dan terjadi pada sekitar 15 % pasien yang tengah menjalani
terapi kombinasi modalitas kanker. Angka kejadian MDS terus meningkat, seiring semakin
dikenalnya sindrom ini oleh dokter dan meningkatnya usia harapan hidup (Young, 2008).
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
MDS disebabkan oleh paparan dari lingkungan seperti radiasi dan benzene, beberapa factor
risiko yang lain telah dilaporkan secara tidak konsisten. MDS sekunder terjadi sebagai efek
toksik dari terapi kanker, biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetic alkylating agent
seperti busulfan, nitrosourea, atau prokarbazin (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA
topoisomerase inhibitor (2 tahun). Baik anemia aplastik yang didapat setelah terapi yang
imunosupresif maupun anemia Fanconi, keduanya dapat berkembang menjadi MDS. MDS
merupakan kelainan stem sel hemopoitik klonal yang mengarah pada gangguan proliferasi dan
diferensiasi sel. Abnormalitas sitogenik ditemukan pada sekitar separuh pasien, dan beberapa
spesifik lesi yang sama juga terlihat pada leukemia yang sesungguhnya, aneuploid lebih sering
terjadi disbanding translokasi. Manifestasi hemtologik merupakan hasil dari akumukasi dari lesi
genetic multiple: hilangnya tumor supresor gen, aktifnya mutasi onkogenik, atau perubahan
merugikan lainnya. Abnormalitas sitogenik tidak terjadi secara acak (hilangnya semua atau

5,7,dan 20, trisomi 8) dan berhubungan debgan etiologi (11q23 following topoisomerase II
inhibitors); leukemia mielomonositik kronik sering berhubungan dengan t(5;12) yang
menghasilkan gen chimeric tel-PDGF. Jenis dan jumlah abnormalitas sitogenik berhubungan
kuat dengan kemungkinan berubah menjadi leukemia dan harapan hidup. Mutasi dari N-ras
(onkogen), p53 dan IRF-I (tumor supresor gen), Bcl-2 (antiapoptotik gen), dan beberapa yang
lain telah dilaporkan namun terjadi lambat pada rangkaian yang berkembang menjadi leukemia.
Apoptosis pada sel sumsum tulang meningkat pada MDS, agaknya berhubungan dengan
perubahan genetik ini atau sebagai respon imun. Patofisiologi imun diduga berhubungan dengan
trisomi 8 MDS, yang sering memberi reaksi secara klinis terhadap terapi imunosupresif (Young,
2008).
D. KRITERIA DIAGNOSIS
1. GEJALA KLINIS
Diagnosis MDS harus dipertimbangkan pada setiap pasien, khususnya pada pasien tua dengan
persisten sitopenia atau monositosis yang tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan yang teliti
terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang diperlukan untuk membuktikan kebenaran ciriciri sitologi displastik dalam satu atau lebih hematopoietic lineages. Keberadaan granulosit
dengan nuclear hipopigmentasi, yaitu, anomali pseudo-Pelger-Huet, mononuclear atau
mikromegakariosit, netrofil hipogranular atau megakariosit, makro-ovalosit, dan akantosit
mungkin akan jelas. Karena penemuan yang tunggal bukan merupakan diagnosis MDS, kondisi
yang poternsial memberikan kontribusi harus dikeluarkan. Status gizi, penggunaan alcohol dan
obat-obatan, paparan dengan bahan kimia beracun, , terapi sebelumnya dengan antineoplastik
atau radioterapi dan factor risiko untuk HIV harus diperhatikan (List and Doll, 1998).
Perjalanan penyakit myelodysplastic syndrome (MDS) bisa berlangsung selama beberapa tahun
dengan anemia yang tidak diketahui sebabnya dan trombositopeni atau neutropeni ringan. Gejala
klinis yang muncul pada myelodysplastic syndrome biasanya berkaitan dengan rendahnya
jumlah sel-sel darah tepi, yaitu anemia, atau trombositopeni atau neutropeni. Namun 50% dari
penderita MDS tidak merasakan gejala apa-apa, dan penyakit ii baru ditemukan dengan tidak
sengaja pada pemeriksaan darah rutin (Young, 2008).

Dari anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan lemas, lesu, cepat lelah saat beraktivitas
yang disebabkan oleh anemia. Adanya kemungkinan riwayat mimisan, gusi berdarah, badan
mudah memar, sebagai manifestasi klinis dari trombositopeni. Fungsi trombosit yang tidak baik
merupakan penyebab lain yang akan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. Adanya demam
dan infeksi bakteri atau jamur, seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih, yang dikaitkan
dengan neutropeni. Batuk darah, hematuria, dan darah pada feses juga mungkin terjadi. Adanya
riwayat kemoterapi atau paparan radiasi merupakan fakta yang penting (Young, 2008).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda anemia, seperti kulit dan membran mukosa pucat.
Bisa ditemukan petechie atau ekimosis pada kulit akibat trombositopenia. Pada sekitar 20%
penderita MDS ditemukan adanya splenomegali. Lesi pada kulit yang langka seperti Sweets
syndrome (febrile neutrophilic dermatosis), juga mungkin muncul pada MDS. Sedangkan
sindrom autoimun jarang ditemukan (Harrison) (Young, 2008).
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pasien dengan myelodysplastic syndrome, ditemukan perubahan yang signifikan pada
perhitungan sel-sel darah tepi, dan abnormalitas pada sumsum tulang.
a. Pemeriksaan Darah
Pada perhitungan sel-sel darah tepi, anemia muncul pada sebagian besar kasus, baik berdiri
sendiri maupun sebagai bagian dari bisitopeni atau pansitopenia. Adanya neutropenia atau
trombositopenia tanpa disertai anemia jarang terjadi. Biasanya merupakan anemia makrositik,
dan pada pemeriksaan darah tepi biasanya tampak adanya bimorfik eritrosit dengan ukuran
besar dan jumlah kurang dari normal. Trombosit juga ditemukan dalam ukuran besar dengan
jumlah granula minimal.. neutrofil juga ditemukan mengalami hipogranulasi, adanya
hiposegmentasi, bentuk melingkar, atau segmen abnormal pada nucleus, meliputi badan Dohle,
dan mungkin mengalami penurunan fungsi. Adanya mieloblast pada sirkulasi berhubungan
dengan banyaknya blast pada sumsum tulang, dan jumlah ini penting untuk klasifikasi dan
prognosis. Jumlah total sel darah putih biasanya normal atau rendah, kecuali pada leukemia
mielomonositik kronik. Seperti pada anemia aplastik, MDS dapat dihubungkan dengan populasi
klonal sel PNH (Young, 2008).

b. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Sumsum tulang biasanya normal atau hiposeluler, tetapi pada 20% kasus hiposeluler ini
dibingungkan dengan aplasia. Tidak ada karakteristik tunggal dari sumsum tulang yang dapat
membedakan MDS, tetapi berikut ini perlu diperhatikan: perubahan diseritropoetik (terutama
abnormalitas nuclear) dan sideroblast cincin pada erythroid lineage; hipogranulasi dan
hipopigmentasi pada precursor granulositik, dengan peningkatan mieloblast; dan jumlah
megakariosit menurun dengan inti yang tidak teratur. Nucleus megaloblastik berhubungan
dengan hemoglobulinisasi pada erythroid lineage sering ditemukan. Prognosis sangat
dipengaruhi proporsi dari blast sumsum tulang. Analisis sitogenik dan fluoresen in situ
hibridisasi dapat menidentifikasi abnormalitas kromosom (Young, 2008).
E. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini biasanya kurang memuaskan. Pengobatan dengan tindakan transplantasi sumsum
tulang dapat meningkatkan survival rate hingga 50% selama 3 tahun.
Kemoterapi tidak dianjurkan pada fase awal MDS, umumnya hanya diberikan pada tipe RAEB,
RAEB-T, CMML. Sejak 1968 pengobatan dengan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada
pasien MDS dapat memberikan respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan 2-14
bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasi adalah 20mg/m2/hari secara drip
atau 10mg/m2 secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari (Ashariati, 2008).
GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan pada pasien MDS yang mengalami pansitopenia untuk
merangsang diferensiasi hematopoiesis progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500
mcg/m2/hari atau G-CSF 50-1600 mcg/m2 (0,1-0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan selama 7-14 hari)
(Ashariati, 2008).
Penggunaan piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat sebagai pengobatan MDS.
Piridoksin 200mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respons pada tipe
RASB walaupun sangat kecil. Danazol 600mg/hari/oral selama 3 bulan dapat meningkatkan
trombosit terutama pada MDS tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1,0

mg/kgBB/hari/oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3 minggu pengobatan


(Ashariati, 2008).
F. PROGNOSIS
Walaupun stratifikasi prognosis berguna untuk kategori diagnostik pasien dengan MDS,
pembatasan prognosis dengan klasifikasi FAB telah terbukti dengan quite variable clinical
within in FAB subgroup. Gambaran morfologi termasuk dalam variabel.
IPSS untuk MDS ada dari pertimbangan workshop analisis risiko MDS internasional,
dibandingkan dengan system yang baru, resiko berdasarkan IPSS telah dibuat untuk
meningkatkan penggolongan prognosis dalam kasus MDS. Dalam analisis ini, sitogenik,
morfologi dan data klinis digabung dan dikumpulkan dari kelompok yang besar dari kasus MDS
yang termasuk dalam studi prognosis yang baru dilaporkan. FAB morfologi digunakan untuk
menentukan diagnosis MDS, selain itu gambaran darah tepi 4-6 minggu digunakan untuk
menyingkirkan etiologi cytopeni yang lain seperti : obat-obatan, penyakit-penyakit yang lain,
atau awal evolusi AML (Greenberg, et al, 2004).
Variabel independen untuk menentukan harapan hidup dan evolusi AML berdasarkan persentase
blast sumsum tulang, jumlah sitopeni dan subgroup sitogenetik (baik, sedang, jelek ). Pasien
dengan kelainan kromosom t8, 21 atau inv 16 digolongkan dalam AML. Usia juga merupakan
variabel yang lain untuk menentukan harapan hidup, tapi bukan variabel untuk menentukan
evolusi AML. Prosentase sel blast sumsum tulang dibagi menjadi 4 kategori yaitu : 1. kurang
dari 5% , 2. 5%-10% , 3. 11%-20%, 4.21%-30% (Greenberg, et al, 2004).
Sitopeni ditetapkan oleh IPSS berdasarkan kadar hemoglobin <10 g/dl dan hitung neutofil
absolute (ANC) dibawah 1800/ml dan trombosit dibawah 100.000/ml. Pasien dengan kariotipe
sumsum tulang yang normal del(5q), del (20q) dany Y mempunyai prognosis yang baik (70%),
sedangkan pasien yang mempunyai kelainan yang komplek (3 atau lebih kelainan kromosom),
atau kelainan kromosom 7 mempunyai prognosis yang jelek (16%). Pasien dengan kategori
yang komplek, sebagian besar mempunyai kelainan kromosom 5/7 dengan adanya kelainan
yang lain (Greenberg, et al, 2004).

Untuk megembangkan IPSS untuk MDS, skor resiko relatif untuk tiap variable yang signifikan
(prosentase sel blast, subgroup sitogenetik, dan jumlah sitopeni) digenerated. Dengan
menggabungkan skor risiko untuk varibel utama, pasien dibagi menjadi 4 kelompok resiko
dalam segi harapan hidup dan evolusi AML yaitu : rendah, sedang 1, sedang 2, dan tinggi
(Greenberg, et al, 2004).

Tabel International Prognostic Scoring System (IPPS) untuk MDS

Blast sumsum tulang


Kariotipe
Sitopenia (lineages affected)

Skor
0
<5%
Bagus
0 atau 1

Kelompok risiko
Rendah
Sedang I
Sedang II
Tinggi

0
0,5-1,0
1,5-2,0
2,5

Variabel Prognostik

Skor

0,5
5-10%
Sedang
2 atau 3

1,5
11-20%

2
21-30%

Jelek

(Young, 2008).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Mielodisplasia adalah suatu kelompok heterogen dari kelainan hematologi yang ditandai dengan
sitopenia yang berhubungan dengan dismorfik (bentuk abnormal) dan biasanya pada seluler
sumsum tulang, dan diakibatkan oleh produksi sel darah yang tidak efektif. Angka kejadian MDS
terus meningkat, seiring semakin dikenalnya sindrom ini oleh dokter dan meningkatnya usia
harapan hidup (Young, 2008).
MDS disebabkan oleh paparan dari lingkungan seperti radiasi dan benzene, beberapa factor
risiko yang lain telah dilaporkan secara tidak konsisten. MDS sekunder terjadi sebagai efek
toksik dari terapi kanker, biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetic alkylating agent
seperti busulfan, nitrosourea, atau prokarbazin (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA
topoisomerase inhibitor (2 tahun).

Gejala klinis yang muncul pada myelodysplastic syndrome biasanya berkaitan dengan rendahnya
jumlah sel-sel darah tepi, yaitu anemia, atau trombositopeni atau neutropeni. Adanya riwayat
kemoterapi atau paparan radiasi merupakan fakta yang penting (Young, 2008). Pemeriksaan yang
teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang diperlukan untuk membuktikan kebenaran
ciri-ciri sitologi displastik dalam satu atau lebih hematopoietic lineages.
Sampai saat ini, prognosis penatalaksanaan MDS biasanya kurang memuaskan. Pengobatan
dengan tindakan transplantasi sumsum tulang dapat menurunkan survival rate hingga 50%
selama 3 tahun.
B. SARAN
1. Diagnosis MDS harus dipertimbangkan pada setiap pasien, khususnya pada pasien usia lanjut
dengan persisten sitopenia atau monositosis yang tidak dapat dijelaskan.
2. Terapi edukasi kepada pasien MDS dan keluarga harus dilakukan oleh seorang dokter agar
pasien memahami kondisi dan prognosis penyakit yang diderita.
3. Informasi mengenai MDS perlu untuk disebarluaskan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

KEPUSTAKAAN
Ashariati, A. 2006.

Sindrom Dismielopoetik. In: Sudaryono, AW., Setiyohadi, B.,

Alwi, I. (editors) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 6635
Besa, EC. 2008. Myelodysplastic Syndrome. In: Adler, J., Chelmow, D., Elston, D., Ferguson, B.,
Geibel, J., Gellman, H., Griffing, G., Harris, J., Ho, S., Kulkarni, K., Lin, E., Lorenzo, C.
(editors)

Medscapes

Continually

Updated

Clinical

Reference.

http://emedicine.medscape.com/article/207347
Greenberg, PL., et al. 2004. Myelodisplatic Syndrome. In: Greenberg, PL., Attar, E., Battiwalla,
M., Bennett, J., Bloomfield, J., DeCastro, C. (editors) Practice Guidelines in Oncology .Vol.1.
2004. New York: National Comprehensive Cancer Network (NCCN). Pp: 1-14
List, Alan F. and Doll, Donald C. 1998. The Myelodisplastic Syndromes. In: Lee , R., Foerster, J.,
Lukens, J., Paraskevas, F., Greer, J., Rodgers, G. (editors) Wintrobes Clinical Hematology, 10th
Ed. New York: Lippincott William and Wilkins. P: 97
Theml, Herald, et al. 2004. Myelodisplasia (MDS). In: Theml, H., Diem, H., Haferlach, T.
(editors) Color Atlas of Hematology, 2nd Revised Ed. New York: Thieme Stuttgart. Pp: 106-9

Young, Neals S. 2008. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and Related Bone Marrow Failure
Syndrome. In: Kasper, DL., Braunwald, E., Fauci, A., Hauser, S., Longo, D., Jameson, J. (editors)
Harrisons 17th edition Principles of Internal Medicine. New York: McGraw Hill. Pp: 668-71

Anda mungkin juga menyukai