Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN FISIOLOGI NUTRISI ORGANISME BUDIDAYA

Oleh :
MAHENDRA ADI PRATAMA
26010211130063

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Fisiologi ikan nila


Menurut Khairulman dan Khairul (2003), ikan nila termasuk kedalam filum

Chordata, kelas Ostechtyes, ordo Percomorphi, famili Cichlidae dan bergenus


Oreochromis. Ikan nila memiliki nama ilmiah Oreochromis niloticus (nila merah) dan
Oreochromis sp. (nila biasa). Ikan nila merah dan ikan nila biasa termasuk golongan
genus Oreochromis atau Tilapia. Nama genus Oreochromis menurut klasifikasi yang
berlaku sebelumnya disebut Tilapia. Genus Tilapia sekarang telah dibagi menjadi
tiga genus yaitu Oreochromis, Sarotherodon, dan Tilapia. Genus Oreochromis berciri
induk ikan betina mengerami telurnya didalam rongga mulut dan mengasuh sendiri
anak-anaknya (Suyanto, 1994).

Gambar 1. Fisiologis Ikan Nila (Oreochromis sp.)


Hasil yang didapatkan dari pembedahan organ pencernaan pada ikan nila
adalah ukuran panjang usus ikan nila lebih panjang dari total panjang tubuh ikan
nila. Hal ini menandakan bahwa ikan nila termasuk jenis ikan pemakan tumbuhan
atau sering disebut ikan herbivora. Namun menurut Wahyuningsih (2009)
menyatakan bahwa ikan nila (Oreochromis sp.) termasuk jenis ikan pemakan
segalanya atau sering disebut dengan ikan omnivora. Jenis pakan ikan nila terdiri
dari fitoplankton, zooplankton, kelompok cacing, tumbuhan air, dan organisme
bentos.

Organ-organ pencernaan dalam tubuh ikan nila (Oreochromis sp.) terdiri dari
mulut sebagai alat untuk mencerna pakan secara mekanik, esophagus sebagai
saluran yang menghubungkan mulut dengan lambung, lambung sebagai tempat
untuk menghidrolisis pakan dengan bantuan kerja enzim, usus sebagai saluran
penghubung antara lambung dengan anus yang berfungsi untuk menyerap
kandungan nutrisi pakan yang sudah dihidrolisis oleh enzim-enzim yang ada di
lambung, dan anus sebagai organ untuk membuang hasil ekskresi pada ikan nila (
Khairul, 2003)

4.2.

Laju Pengosongan Lambung Ikan Lele


Hasil yang didapatkan dalam pengukuran uji laju pengosongan lambung ikan

lele dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut ini :


Tabel 1. Hasil Pengukuran Laju Pengosongan Lambung Ikan Lele
No
Jam
Pakan dalam
Pakan yang
Laju pengosongan lambung (%)
lambung

dimakan

1.

to

0,15

3,06

4,90 %

2.

t1

0,47

3,06

15,36 %

3.

t2

0,02

3,06

0,65 %

4.

t3

1,35

3,06

44,12 %

5.

t4

1,1

3,06

35,95 %

6.

t5

0,36

3,06

11,76 %

Ikan lele (Clarias sp.) adalah salah satu jenis ikan karnivora yang memiliki laju
pertumbuhan yang cukup cepat. Ikan ini mempunyai ukuran panjang usus yang lebih
pendek disbanding dengan ukuran panjang tubuh total ikan lele (Darmi dan
Abdullah, 2006).

Pakan dimanfaatkan ikan sebagai sumber energi untuk beraktifitas,


selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan (Affandi, 2004). Menurut
Effendie (2002), pertumbuhan terjadi apabila pada tubuh ikan terdapat kelebihan
input energi (protein) yang berasal dari pakan. Menurut Vahl (1979) dalam
Benedictus (2013) ada dua parameter yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pertumbuhan yang optimal dalam suatu sistem budidaya, yaitu jumlah maksimum
pakan yang dikonsumsi dalam satu kali makan dan laju pengosongan lambung yang
terkait langsung dengan frekuensi pengambilan pakan.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan isi lambung sangat tergantung
dari jumlah pakan yang dikonsumsi, struktur pakannya, dan tingkat temperatur
lingkungan pemeliharaannya. Berkurangnya jumlah makanan yang ada di dalam
lambung diakibatkan oleh pergerakan makanan dari segmen lambung ke arah
segmen posteriornya (Fujaya, 1999 dalam Darmin dan Abdullah, 2006).
Hasil yang didapatkan tidak menunjukan hasil uji yang akurat, disebabkan
ukuran ikan lele yang tidak homogen. Ikan besar yang selalu makan pakan yang
diberikan , sedangkan terdapat ikan yang ukuran kecil tidak memakan pakan yang
diberikan, hal ini terbukti saat melakukan pengambilan isi lambung pada waktu yang
ke dua (t2), isi lambung ikan ini tidak ada pakan yang dimakan.

4.3.

Laju Konsumsi Oksigen Ikan Lele


Hasil laju konsumsi oksigen dinamis dan statis dalam prkatikum Fisiologi

Nutrisi Organisme Budidaya dapat dilihat dalam Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini:

Tabel 2. Hasil Laju Konsumsi Oksigen Dinamis Ikan Lele (Clarias sp.)
DO
No

Waktu

Suhu

Laju Konsumsi

(mg/l)

( C)

O2

(jam)
A

(mg/gram.jam)

Keterangan

18.00

3,80

3,18

28,9

28,9

0,021

Ikan diam di dasar

20.00

5,09

4,86

27,6

27,5

0,008

Ikan diam di dasar

Tabel 3. Hasil Laju Konsumsi Oksigen Statis Ikan Lele


DO

Suhu

Laju konsumsi

(mg/l)

(oC)

O2(mg/gram.jam)

07.45

3,63

26,4

11.45

3,27

27,3

0,031

13.45

3,58

27,8

0,004

17.45

3,39

28,4

0,021

19.45

2,56

27,5

0,095

No.

Waktu (jam)

Respirasi merupakan aktivitas metabolik spesifik yang berhubungan dengan


jumlah oksigen perunit waktu, terjadi pemanfaatan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Respirasi digunakan sebagai petunjuk pada laju metabolisme. Laju
konsumsi oksigen biota pada periode waktu yang spesifik merupakan aktivitas dari
metabolisme. Sedangkan penetapan laju konsumsi oksigen sewaktu biota

mempertahankan kondisi aktivitas yang baik merupakan standar metabolisme. Laju


konsumsi oksigen berhubungan dengan jumlah konsumsi oksigen perunit waktu dan
berat (Moyle and Chech, 1982 dalam Kayawati et al., 2004).
Semakin lama waktu pemaparan maka tingkat konsumsi oksigen ikan lele
semakin menurun. Menurut Maharajan et al. (2013), menyatakan bahwa peranan
pernafasan dan konsumsi oksigen adalah parameter fisiologis yang penting untuk
menilai toksisitas racun
Menurut Sahetapy (2011), bahwa pergerakan oksigen ke dalam kapiler
darah di insang ditentukan oleh perbedaan tekanan oksigen yang terdapat dalam
insang
dengan tekanan oksigen dalam kapiler darah insang. Jika struktur lamella insang
terganggu atau rusak, maka dapat dipastikan akan menurunkan kemampuan insang
mengikat oksigen.
Menurut Affrianto (1988), pada sistem pembudidayaan keuntungan dari
sistem dinamis antara lain:
a. Aliran air yang mengalir mampu menyediakan kandungan oksigen terlarut dalam
air pada habitat yang jenuh. Dengan demikian oksigen terlarut dalam air selalu ada.
b. Aliran air akan mampu dengan segera membuang sisa makanan dan kotoran hasil
metabolisme, sehingga kemungkinan terjadi proses pembusukan yang akan
memperlambat proses pertumbuhan biota dapat dihindari.
Sementara sistem statis mempunyai keuntungan pada penggatian air yang
yang dapat dilakukan bila air sudah tidak layak untuk hidup biota, sistem statis
memerlukan aerasi untuk menjamin ketersediaan oksigen (Suprapto, 2000).

Anda mungkin juga menyukai