Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan pada anak sering menyebabkan kegelisahan pada orangtua. Mereka khawatir
kalau anaknya menderita penyakit yang serius seperti hemofili salah satunya, atau berlebihan
dalam menaksirkan jumlah darah yang keluar dan mengira anaknya akan terus berdarah hingga
meninggal. Oleh karena itu perawat harus menghadapi orangtua dengan pengertian dan kepekaan
untuk menjelaskan apakah perdarahan yang dialami ringan atau berat. (William, 1993)
Hemofili adalah kelainan keturunan, namun jarang menyebabkan perdarahan yang serius pada
neonatus. Biasanya penyakit ini baru bermanifestasi pada saat anak mulai berlari-lari dan
mengalami ekimosis dan hemartrosis, namun yang serius adalah perdarahan intrakranial. Oleh
karena itu, pasien hemofili yang mengalami trauma kepala, sakit kepala atau gejala yang
berhubungan dengan SPP harus dikelola dengan seksama. (William, 1993)
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi kongenital paling sering dan serius. Kelainan ini
terkait dengan defisiensi faktor VIII, IX, atau XI yang ditentukan secara genetik. Sekitar 80%
kasus hemofilia A, yang disebabkan oleh gena yang defect yang terdapat pada kromosom X.
Kira-kira 75% penderita hemofilia A mengalami penurunan yang sebanding pada aktifitas faktor
8 dan antigen (protein) faktor VIII. Mereka diklasifikasikan sebagai material reaksi silang (crossreacting material [CRM]) menurun. Sisanya 25% penderita mengalami penurunan aktifitas faktor
8, tetapi antigen faktor 8 ada dan penderita diklasifikasikan sebagai CRM+. Banyak mutasi pada
struktur gena telah dideskrisipkan. Yang paling umum adalah delesi besar dan mutasi misensi.
Hemofili di Indonesia diperkenalkan oleh Kho Lien Keng di Jakarta baru tahun 1965
diagnosis laboratorik dengan Thromboplastin Generation Time (TGT) di samping prosedur masa
perdarahan dan masa pembekuan. Pengobatan yang tersedia di rumah sakit hanya darah segar,
sedangkan produksi Cryoprecipitate yang dipakai sebagai terapi utama hemofilia di Jakarta,
diperkenalkan oleh Masri Rustam pada tahun 1975 (hemofila. or.id, 2006).
lnsidensi dari gangguan koagulasi herediter tidak pernah secara persis didefinisikan.
Perkiraannya berkisar sekitar 1 dalam 10.000 atau 1 dalam kelahiran populasi. Hemofilia A
adalah bentuk yang paling sering dijumpai, mencakup 70-80% dari data yang dapat dilaporkan.
Penyakit von willebrand tampaknya hampir sama seringnya dengan hemofilia A namun insidensi
tepatnya tidak diketahui karena kriteria diagnostik yang inadekuat. Hemofilia B (defisiensi faktor

IX) mewakili 10% dari keseluruhannya (1130.000). Ketiga kelainan ini mendominasi 90% dari
gangguan koagulasi herediter I. dan sisanya sangatlah langka.
Di Amerika Serikat sendiri, berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Federation of
Hemophilia pada tahun 2001, jumlah pasien dengan hemofilia yang dapat diindentifikasi kurang
lebih hanya 100.000 kasus, dan sebagian besar adalah hemofilia A (83%). Sementara metode
diagnosis yang paling banyak dipakai adalah uji faktor spesifik (64%), yang masih relatif mahal
(digilib. unsri. ac.id, 2006). Data penderita hemofilia di Indonesia belum ada dan data yang ada
baru di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sebanyak 175 penderita.
Salah satu kegiatan yayasan hemofilia Indonesia adalah mengumpulkan data penderita
hemofilia di Indonesia, terutama yang ada di rumah sakit di seluruh Indonesia. Penyakit
hemofilia merupakan penyakit yang relatif langka dan masih perlu terus dipelajari untuk
pemahaman yang lebih baik dalam mendeteksi dan menanggulanginya secara dini. Penderita
hemofilia di Indonesia yang teregistrasi di HMHI Jakarta tersebar hanya pada 21 provinsi dengan
jumlah penderita 895 orang, jumlah penduduk Indonesia: 217.854.000 populasi, prevalensinya
4,1/1 juta populasi (0,041/10.000 populasi), hal ini menunjukkan masih tingginya angka
undiagnosed hemofilia di Indonesia. Angka prevalensi hemofilia di Indonesia masih sangat
bervariasi sekali, beberapa kota besar di Indonesia seperti DKI Jakarta, Medan, Bandung, dan
Semarang angka prevalensinya lebih tinggi.
Penderita hemofilia dengan inhibitor mempunyai risiko untuk menjadi cacat akibat
perdarahan dalam sendi dan mereka dapat meninggal akibat perdarahan dalam yang berat. Selain
itu, banyak penderita hemofilia yang tertular HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Mereka terkena
infeksi ini dari plasma, cryopresipitat dan khususnya dari konsentrat faktor yang dianggap akan
membuat hidup mereka normal. Masalah penyakit hemofilia merupakan masalah yang sangat
serius sehingga harus ditangani dengan baik, penanganan yang baik terhadap penderita dapat
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif, sama seperti orang normal.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hemofilia
Istilah hemofilia mengacu kepada sekelompok gangguan perdarahan karena adanya
defisiensi salah satu faktor yang diperlukan untuk koagulasi darah. Walaupun terdapat gejala
serupa tanpa dipengaruhi faktor pembekuan mana yang mengalami defisiensi, identifikasi

defisiensi faktor pembekuan darah yang spesifik memungkin terapi definitif dengan agen
pengganti. (Donna, 2009)
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah kongenital karena anak kekurangan faktor
pembekuan VIII (Hemofilia A) atau faktor IX (Hemofilia B). Faktor tersebut merupakan protein
plasma yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh pembekuan darah khususnya
dalam pembentukan bekuan fibrin pada daerah trauma.
Hemofilia merupakan penyakit yang ditandai oleh adanya gangguan pembekuan tahap
pertama, karena kekurangan faktor pembekuan yang bekerja pada tahap tersebut. Hemofilia
bersifat herediter, biasanya hanya terdapat pada anak laki-laki, tetapi dapat diturunkan oleh
wanita (bersifat sex-linked recessive). Jika orang normal mengalami luka, darahnya akan segera
membeku dalam waktu 5-7 menit, penderita hemofilia jika terluka darahnya akan membeku
sekitar 50 mnt 2 jam, hal ini akan mengakibatkan penderita mengalami kehilangan banyak
darah dan dapat menimbulkan kematian.
Gambar 1. Pewarisan hemofilia. Perempuan pembawa (karier) yang menikah dengan laki-laki
normal akan melahirkan 50% anak anak perempuan sebagai karier dan 50% anak laki-laki yang
mengalami hemofilia (generasi I). Laki-laki hemofilia yang menikah dengan perempuan normal
akan melahirkan 100% perempuan karier dan laki-laki normal (generasi II). (Atul, 2008)
Hemofilia A (Hemofilia Klasik) atau hemofilia B (penyakit Christmas) masingmasing terjadi akibat defek faktor pembekuan VIII (pada kromosom Xq28) atau faktor IX (pada
kromosom Xq27). (David, 2007)
B.

Klasifikasi Hemofilia
Hemofilia dibagi dua yaitu hemofilia A ( kekurangan faktror VIII) dan hemofilia B (kekurangan
faktor IX).

1.

Hemofilia tipe A ( hemofilia klasik)


Jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah.
Hemofilia kekurangan faktor VIII terjadi karena faktor VIII protein pada darah yang
menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.

2.

Hemofilia B (Christmas disease)


Hemofilia kekurangan faktor IX terjdi karena kekurangan faktor IX protein pada darah yg
menyebabkan

masalah

proses

pembekuan

darah.

Berdasarkan kadar faktor pembekuan darah di dalam tubuh,hemofilia di bagi menjadi 3, yaitu :

a. Berat <1 % jumlah normal


b. Sedang 1%- 5% dari jumlah normal
c. Ringan 5% - 30% dari jumlah normal
3.

Hemofilia C (Von Willebrand)


Hemofili C adalah penyakit terkait-X yang disebabkan karena tidak adanya faktor XI.
Penyakit Von Willebrand adalah penyakit dominan autosom akibat abnormalitas faktor von
Willebrand (vWF). Faktor ini dilepaskan dari sel endotel dan trombosit yang memiliki peran
penting dalam pembentukan sumbatan trombosit. (Elizabeth, 2009)

Faktor risiko dari penyakit hemofilia adalah :


1.

Faktor genetik / keturunan

2.

Hemofilia banyak terjadi pada pria

3.

Bayi yang lahir karena ayah dan ibu menderita hemophilia.

C. Etiologi Hemofilia
1.

Hemofilia A timbul jika ada defek gen yang menyebabkan kurangnya faktor pembekuan VIII
(AHG)

2.

Hemofilia B disebabkan kurangnya faktor pembekuan IX (Plasma Tromboplastic Antecendent) .

3.

Hemofili C disebabkan faktor vWF mengalami penurunan, kadar faktor VIII juga akan
berkurang. (Elizabeth, 2009)

D. Insiden Kejadian Hemofilia


Pada sekitar 80% kasus hemofilia, pola pewarisan terlihat sebagai resesif terkait-X. Dua
gangguan yang paling sering dijumpai adalah defisiensi faktor VIII (hemofilia A, atau hemofilia
klasik) dan defisiensi faktor IX (hemofilia B, atau penyakit Christmas). (Donna, 2009)
Di Amerika Serikat sendiri, berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Federation of
Hemophilia pada tahun 2001, jumlah pasien dengan hemofilia yang dapat diindentifikasi kurang
lebih hanya 100.000 kasus, dan sebagian besar adalah hemofilia A (83%).Penderita hemofilia di
Indonesia yang teregistrasi di HMHI Jakarta tersebar hanya pada 21 provinsi dengan jumlah
penderita 895 orang.
E. Patofisiologi Hemofilia
Gangguan perdarahan herediter dapat timbul pada defisiensi atau gangguan fungsional
pada faktor pembekuan plasma yang manapun kecuali faktor XII, prekalikrein, dan kininogen

dengan berat molekul tinggi (HMWK). Bila adanya ketiga faktor ini walaupun PTT mamanjang,
tidak akan menyebabkan perdarahan klinis gangguan perdarahan yang sering dijumpai terkait
dengan X-resesif.
Tanpa faktor VIII, jalur koagulasi intrinsik terganggu dan terjadi perdarahan hebat hanya
dari luka kecil atau robekan mikrovaskuler. Perdarahan biasanya terjadi di persendian dan dapat
menimbulkan nyeri hebat serta ketidakmampuan. (Elizabeth, 2009)
Perdarahan karena gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada jaringan yang
letaknya dalam seperti otot, sendi, dan lainya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap
pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap pertama, dimana
tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme pembekuan yang terdapat pada
hemofili A dan B.
Perdarahan mudah terjadi pada hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di
awali ketika seseorang berusia 3 bulan atau saat saat akan mulai merangkak maka akan
terjadi perdarahan awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya.
Hemofilia juga dapat menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya
adalah ketika mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran
tempat darah mengalir keseluruh tubuh) darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah
mengerut/

mengecil

Keping

darah

(trombosit)

akan

menutup

luka

pada

pembuluhKekurangan jumlah faktor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman


penutup luka tidak terbentuk sempurnadarah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh
perdarahan (normalnya: Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat anyaman (benang benang fibrin) yang akan menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh)
Mekanisme Pembekuan : Bahan yang turut serta dalam pembekuan dinamakan faktor
pembekuan dan diberi tanda dengan angka romawi I sampai XIII. Faktor-faktor tersebut adalah
faktor I (fibrinogen), II (protrombin), III (tromboplastin), IV (kalsium dalam bentuk ion), V
(prokaelerin, faktor labil), VII (Prokonvertin, faktor stabil), VIII (AHG=Antihemofilic Globulin),
IX (PTC= Plasma Tromboplastin Component, faktor Christmas), X (Faktor Stuart-Prower), XI
(PTA=Plasma Thromboplastin Antecedent), XII (faktor Hageman), dan XIII (faktor stabilisasi
fibrin).
Mekanisme pembekuan dibagi dalam tiga tahap dasar:
1.

Tahap Pertama: Pembentukan tromboplastin

Dimulai dengan pekerjaan trombosit, terutama TF 3 (faktor trombosit 3) dan faktor pembekuan
lain pada permukaan asing atau pada sentuhan dengan kolagen. Faktor pembekuan tersebut ialah
faktor IV, V, VIII, IX, X, XI, XII kemudian faktor III dan VII.
2.

Tahap Kedua: Perubahan protrombin menjadi thrombin


Tahap ini dikatalisasi oleh tromboplastin, faktor IV, V, VII dan X.

3.

Tahap Ketiga: Perubahan fibrinogen menjadi fibrin


Tahap ini dikatalisasi trombin, TF 1 dan TF 2
F. Manifestasi Klinis Hemofilia
1. Perdarahan berkepanjangan pada setiap tempat dari atau dalam tubuh.
2. Perdarahan akibat trauma; tanggalnya gigi susu, sirkumsisi, luka tersayat, epistaksis atau injeksi.
3. Memar yang berlebihan bahkan akibat cedera ringan seperti terjatuh.
4. Perdarahan subkutan dan intramuskular
5. Hemartrosis (perdarahan ke dalam rongga sendi), khususnya sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku.
6. Hematoma; nyeri, pembengkakan, dan gerakan terbatas
7. Hematuria spontan. (Donna, 2009)
G. Pemeriksaan Penunjang Hemofilia
1. Waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) memanjang, waktu protrombin (PT) normal,
waktu perdarahan normal, faktor VIII plasma berkurang (<1% dari normal pada kasus berat,
tetapi mencapai 10% dari normal pada kasus ringan)
Kondisi

PT

APTT

Waktu perdarahan

Lainnya

(PFA-100)
Hemofilia A

Faktor VIII

Hemofilia B

Faktor IX

2. Karier memiliki faktor VIII kira-kira 50% dari normal. Analisis DNA membantu dalam deteksi
karier dan konsultasi. (Atul, 2008)
3. Dapat dilakukan pemeriksaan pranatal untuk gen yang bersangkutan. (Elizabeth, 2009)
H. Komplikasi Hemofilia
1.

Artropati progresif, melumpuhkan

2.

Dapat terjadi perdarahan intrakranial

3.

Kontraktur otot

4.

Paralisis karena hematoma pada medula spinalis

5.

Splenomegali

6.

Hepatitis

7.

Reaksi transfusi alergi terhadap produk darah

8.

Anemia hemolitik disebabkan terjadinya perdarahan di sepanjang saluran GI

9.

Trombosis atau tromboembolisme

10.

Sering terjadi infeksi virus HIV sebelum diciptakan faktor VIII buatan yang menurunkan
kebutuhan untuk prosedur transfusi. (Elizabeth, 2009)

I.

Penatalaksanaan Hemofilia
Secara Medis :
Masalah
Hemartrosis akut
Awal
Akhir
Hemoragi
intramuskuler

Leserasi lidah dan


mulut

Ekstraksi gigi
permanen
Hematuria berat
spontan tanpa sakit

Terapi
Kantong es, gendongan non berat badan atau
bidai ringan dapat sangat membantu, aspirasi
sendi jarang
Penunkang non berat badan; tirah baring total
untuk hemoragi di otot spinal bawah yang
berkaitan dengan trokanter femur
Angens antifibrionolitik ( asam aminokoproat ) ,
sedasi, puasa pada anak kecil, aplikasi lokaldari
kasa oradesif dapat digunakan pada perdarahan
gusi
Angens antifibrionolitik dimulai satu hari
sebelum pembedahan, dilanjutkan 7-10 hari
Peningkatan cairan per oral; beberapa
menggunakan kortikosteroid dan / faktor VII

1. Infus konsentrat faktor VIII untuk meningkatkan kadar pada pasien sampai 20-50% dari normal
untuk perdarahan berat.
a.

Rekombinan Faktor VIII


Disediakan dengan teknologi DNA rekombinan oleh beberapa pabrik. Indikasi pada pasien
hemofilia A dengan cara injeksi IV. (M. Juffrie, 2003)

b.

Anti-hemophilic Faktor (AHF)

Disediakan sebagai buku liofilisasi dari plasma donor yang dikumpulkan. Indikasi untuk pasien
pasien hemofilia A lewat injeksi IV. (M. Juffrie, 2003)
c.

Protrombinex
Disediakan dari bubuk liofisasi dari plasma donor yang dikumpulkan. Produk ini mengandung
konsentrat faktor-faktor bekuan II, IX, dan X. Indikasi untuk pasien dengan christmas disease
(defisisensi faktor IX). (M. Juffrie, 2003)

2. Kadar dinaikkan sampai dan dipertahankan pada 80-100% untuk pembedahan elektif.
3. Desmopresin, suatu analog vasopresin, menyebabkan sedikit peningkatan faktor VIII endogen
yang berguna pada kasus ringan.
4. Hindari aspirin, obat antitrombosit lainnya, dan suntikan IM.
5. Pasien harus diregistrasi oleh pusat hemofilia yang diakui dan harus membawa kartu yang berisi
perincian kondisi mereka.
6. Pasien mungkin harus menjalani pengobatan berkelanjutan atau pengobatan profilaktik di
rumah. (Atul, 2008)
Terapi primer pada penyakit hemofilia adalah penggantian faktor pembekuan yang
hilang. Produk yang kini tersedia meliputi konsentrat faktor VIII dari plasma darah di kumpulkan
atau preparat rekombinannya yang dibuat lewat rekayasa genetik, untuk disusun kembali dengan
air steril sesaat sebelum digunakan, dan DDAVP (1-deamino-8-D-argigine vasopresin), suatu
bentuk vasopresin sintetik yang merupakan terapi pilihan pada penyakit hemofili ringan jika
anak memperlihatkan respon yang terhadap pemberian preparat ini. Terapi yang agresif perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya kecacatan kronis akibat perdarahan sendi. (Donna, 2009)
Obat-obat lain dapat diikutsertakan dalam rancangan terapi dan hal ini bergantung pad
sumber perdarahan. Kortikosteroid dapat diberikan kasus hematuria, hemartrosis akut dan
sinovitis kronis. Obat NSAID, seperti ibuprofen, merupakan preparat yang efektif untuk
meredakan rasa nyeri akibat sinovitis, namun NSAID harus diberikan dengan hati-hati-hati
karena akan menghambat fungsi trombosit. Pemberian asam epsilon-aminokaproat (Amicar) per
oral atau lokal akan mencegah penghancuran bekuan darah. (Donna, 2009)
Program latihan yang teratur dan fisioterapi merupakan aspek penatalaksanaan penting
pada penyakit hemofilia. Aktivitas fisik dalam batas wajar akan memperkuat otot-otot di sekitar
sendi dan dapat mengurangi sejumlah episode perdarahan spontan. (Donna, 2009).
Secara Keperawatan :
Semakin dini episode perdarahn dikenali, semakin efektif terapi untuk mengatasinya. Tandatanda yang menunjukkan perdarahan internal merupakan hal yang amat penting untuk dikenali.

Anak-anak menyadari adanya perdarahan internal dan sangat bisa diandalkan untuk memberi
tahu pemeriksa mengenai tempat terjadinya perdarahan internal. Selain manifestasi yang telah
dijelaskan perawat perlu mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi ketika anak yang
menderita hemofili menunjukkan tanda-tanda seperti sakit kepala, bicara pelo, penurunan
kesadaran, dan fases yang berwarna hitam seperti ter (akibat perdarahan GI). (Donna, 2009)
1. Mencegah Perdarahan
Tujuan pencegahan episode perdarahan di arahkan kepada upaya mengurangi resiko
cedera. Pencegahan episode perdarahan sebagian besar diarahkan kepada latihan yang tepat
untuk memperkuat otot dan sendi dan memungkinkan aktivitas yang sesuai dengan usia klien.
Pencapaian normal keterampilan motorik pada masa bayi dan toddler menciptakan peluang yang
tidak terhitung jumlahnya bagi pasien untuk jatuh, mengalami memar, dan luka ringan.
Membatasi anak untuk menguasai berbagai perkembangan motorik dapat menimbulkan berbagai
persoalan jangka panjang yang lebih serius dibandingkan membiarkan saja perilakunya tersebut.
Akan tetapi, lingkungan di sekelilingnya yang harus dibuat seaman mungkin dengan pengawasan
ketat selama waktu bermain untuk meminimalkan cederaakibat kecelakaan. (Donna, 2009)
Pada anak-anak yang lebih besar, keluarga biasanya membutuhkan bantuan dalam
mempersiapkan anak untuk masuk sekolah. Seorang perawat yang sudah mengenal keluarga ini
dapat membantu mereka dengan membicarakan keadaan tersebut dengan perawat sekolah dan
kemudian secara bersama-sama merencanakan jadwal aktivitas yang tepat. Karena hampir semua
pasien hemofilia adalah laki-laki, pembatasan aktivitas fisik yang terkait harus di modifikasi
dengan sensitivitas terhadap kebutuhan emosional dan fisik anak. Pemakaian alat pelindung,
seperti bantalan dan helm merupakan tindakan yang sangat pentiing dan jenis olahraga yang
dianjurkan meliputi olahraga non-kontak, khususnya berenang (Dragone dan Karp, 1996:
National Hemophilia Foundation and American Red Cross, 1996). (Donna, 2009)
Untuk mencegah perdarahan oral, beberapa penyesuaian yang terkait dengan higiene oral
mungkin diperlukan untuk mengurangi kemungkinan trauma pada gusi, seperti misalnya
menggunakan alat penyemprot air untuk membersihkan gigi, melembutkan sikat gigi yang
direndam dahulu dalam air hangat sebelum menyikat gigi, atau menggunakan sikat gigi sekali
pakai yang ujungnya terbuat dari spons. Sikat gigi biasa harus memiliki bulu-bulu sikat lembut
dan berukuran kecil. (Donna, 2009)
Karena setiap trauma dapat mengakibatkan perdarahan, semua petugas yang merawat
anak-anak ini harus mengenakan tanda pengenal medis dan anak yang lebih besar perlu diajarkan
untuk mengenali situasi, yang penting bagi mereka untuk mengungkapkan kondisinya, seperti

selama cabut gigi atau injeksi. Petugas kesehatan harus melakukan tindakan kewaspadaan khusus
guna mencegah pelaksanaan prosedur yang dapat menyebabkan perdarahan, seperti suntikan IM.
Suntikan subkutan dilakukan untuk mengganti suntikan IM kapanpun jika cara tersebut
dimungkinkan. Biasanya petugas kesehatan lebih suka melakukan pungsi vena untuk mengambil
sampel darah anak yang menderita hemofili ini. Biasanya perdarahan terjadi sesudah pungsi vena
lebih sedikit dibandingkan penusukan jari atau tumit. Aspirin ataupun senyawa yang
mengandung aspirin tidak boleh diberikan. Asetaminofen merupakan obat pengganti aspirin yang
lebih tepat, khususnya jika obat tersebut digunakan untuk mengendalikan rasa nyeri saat
dirumah. (Donna, 2009)
2. Mengenali dan mengendalikan perdarahan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, semakin dini episode perdarahan dikenali, semakin
efektif terapi untuk mengatasinya. Terapi sulih (pengganti) faktor pembekuan darah harus
dilakukan sesuai protokol medis yang sudah ditetapkan dan tindakan suportif dapat di
implementasikan, seperti RICE, yang berupa tindakan: (1)rest (istirahat), (2) ice (kompres es),
(3) compression (kompresi atau menekan bagian yang berdarah) dan (4) elevation(meninggikan
bagian yang berdarah). Apabila orangtua dan anak yang lebih besar sudah mendapatkan
pelajaran tentang berbagai tindakan tersebut, mereka dapat dipersiapkan untuk segera memulai
terapi. Kantong plastik berisi es atau kompres dingin harus selalu disimpan di freezer untuk
dipakai dalam keadaan darurat. Akan tetapi tindakan tersebut tidak dapat menggantikan terapi
sulih faktor pembekuan. (Donna, 2009)
3. Mencegah terjadinya kecacatan akibat perdarahan
Akibat episode hemartrosis berulang, absorbsi darah yang tidak sempurna dalam
persendian dan keharusan untuk membatasi gerakan, dapat terjadi perubahan pada tulang dan
otot yang mengakibatkan kontraktur dalam posisi fleksi dan fiksasi sendi. Selama episode
perdarahan, persendian harus ditinggikan dan di imobilisasi. Biasanya rentang pergerakan sendi
yang aktif dimulai sesudah episode akut. Tindakan ini memungkinkan anak mengontrol derajat
latihan dan gangguan rasa nyamannya.
Jika program latihan akan dilaksanakan dirumah, mungkin memerlukan seorang
fisioterapi atau perawat puskesmas untuk mengawasi kepatuhan pasien dalam menjalani regimen
latihan. Jarang diperlukan intervensi ortopedik, seperti gips, aplikasi traksi, atau aspirasi darah
untuk mempertahankan fungsi sendi. Diet merupakan persoalan yang juga penting karena berat
badan yang berlebih dapat menambah ketegangan pada sendi yang sakit, khususnya sendi lutut,

dan mempredisposisi terjadinya hemartrosis. Akibatnya jumlah kalori dalam diet harus
disesuaikan dengan kebutuhan energinya. (Donna, 2009)
4. Mendukung keluarga dan mempersiapkan perawatan di rumah
Konseling genetik sangat penting dan harus segera dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan. Berbeda dengan kelainan lainnya biasanya perasaan tanggung jawab terhadap
keadaan ini berada pada pihak ibu. Tanpa memberikan kesempatan kepada ibu untuk
membicarakan perasaanya, hubungan perkawinan orangtua bisa berantakan. Anak yang
menderita hemofilia harus diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap penyakitnya sejak dini,
mereka belajar tentang keterbatasan dirinya dan berbagai preventif lain selain cara pemberian
profilaksis AHF oleh dirinya sendiri. (Donna, 2009)

Anda mungkin juga menyukai