Anda di halaman 1dari 10

Latar belakang: albumin secara luas diberikan untuk pasien kritis.

Salah satu
kegunaan dari albumin adalah untuk meningkatkan diuresis. Tujuan: untuk
membandingkan output urine pada pasien yang diberikan furosemide dengan dan
tanpa albumin dan untuk menilai variabel lain yang memiliki keterkaitan dengan
peningkatan diuresis. Metode: sebuah studi retrospektif dilakukan pada pasien di
unit perawatan intensif yang menerima terafi furosemide sebagai infus dengan dan
tanpa albumin 25% selama lebih dari 25% selama lebih dari 6 jam. Poin akhir
yang akan dilihat adalah keluaran urin dan kehilangan cairan. Hasil: sebanyak 31
pasien dilibatkan dalam analisis akhir. Rata-rata pengeluaran urin pada pasien
yang hanya diberikan furosemide tida memiliki perbedaan yang signifikan dengan
pengeluaran urin pasien yang diberikan furosemide dan albumin pada 6, 24, dan
48 jam, dengan rata-rata pengeluaran 1119 (SD, 597) mL vs 1201 (SD, 612) mL,
P=.56; 4323 (SD, 1717) mL vs 4615 (SD, 1741) mL, P=.42; and 7563 mL (SD,
2766) vs 7432 (SD, 2324) mL, P=.94. Selain itu, kehilangan cairan bersih tidak
berbeda secara signifikan antara 2 kelompok di 6, 24, dan 48 jam. Konsentrasi
yang lebih tinggi dari serum albumin meningkatkan produksi urin. Satu-satunya
variabel bebas yang secara signifikan terkait dengan outpun urin ditingkatkan
pada 24 dan 48 jam dapat meningkatkan asupan cairan. Kesimpulan: penambahan
albumin dengan infus furosemid dan pada pemberian furosemide saja tidak
meningkatkan diuresis pada pasien kritis (American Journal of Critical Care.
2012;21: 280-286)
Kelebihan cairan merupkan masalah yang umum pada pasien sakit kritis, biasanya
diberikan restriksi cairan dan diuretik. Furosemide adalah loop diuretik yang
paling sering diresepkan untuk meningkatkan urin pada pasien kritis.
Dibandingkan

dengan

pemberian

secara

bolus,

pemberian

furosemide

menggunakan infus dapat meningkatkan diuresis dengan efek samping yang lebih
sedikit.1,2

Mekanisme dari resistensi diuretik masih belum jelas, namun hipoalbuminemia


mungkin menjadi salah satu penyebabnya.2 Sebuah studi dari Inoue menunjukkan
bahwa kombinasi furosemide dan albumin yang diberikan secara bolus tunggal,
sama efektifnya dengan dosis yang sama dari furosemide saja dalam
meningkatkan produksi urin pada pasien dengan resistensi diuretik.3
Outpun urin maksimal terjadi dalam 1 jam pertama di kedua kelompok pasien.
Dalam penelitian selanjutnya, dengan peningkatan design, efek dari furosemide
ditambah albumin diberikan pada populasi tertentu, seperti pasien dengan sindrom
nefrotik dan sirosis dengan asistes.4-8 Baru-baru ini, Martin menyarankan bahwa
furosemidew ditambah albumin mungkin lebih baik daripada hanya furosemide
saja untuk pengobatan sindrom gangguan pernafasan pada orang dewasa. 9 Karena
sejumlah pasien pada penelitian menunjukkan perbedaan angka kematian dengan
penggunaan albumin, penelitian telah berfokus pada manfaat dari albumin yang
berhubungan dengan oksigenasi dan diuresis.
Karena periode yang singkat, biaya yang tinggi, dan efek samping dari albumin,
studi tentang efektifitas albumin dalam meningkatkan diuresis pada pasien kritis
masih diperlukan.10 Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah infus
albumin 25% ditingkatkan bila diberikan dengan furosemide melalui infus.
Peneliti memiliki kesempatan untuk mempelajari masalah ini karena cotherapy
dengan albumin dan infus furosemide mungkin sebelum atau sesudah pemberian
infus furosemide saja yang sering digunakan di Intensive Care Unit (ICU) bagian
Ilmu Kesehatan Pusat di Arizona, Tucson, Arizona. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk membandingkan outpu urin pada pasien yang diberikan saja
dengan output pasien yang diberikan furosemide dan albumin. Tujuan kedua
adalah untuk mengidentifikasi variabel lain yang mungkin terkait dengan
peningkatan diuresis.
Metode
Desain Penelitian
Pada pasien dewasa di ICU yang menerima infus furosemide dengan dan tanpa
albumin 25% dipelajari secara retrospektif. Penelitian dilakukan di Ilmu

Kesehatan Pusat Arizona. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah melihat keluaran
urin dan kehilangan cairan bersih. Efek diuretik dari infus kontinu dari puncak
furosemide sekitar 3 jam setelah infus dimulai. 3 Oleh karena itu, urin kumulatif
pada 6 jam dipilih sebagai titik akhir untuk memastikan pengukuran efek diuretik
penuh dari infus furosemide.
Pemilihan Pasien
Setiap pasien dewasa yang dirawat di ICU antara 1 januari 2007 sampai 31
agustus 2010, yang menerima infus berurutan secara terus menerus furosemide
selama minimal 6 jam dan furosemide ditambah infus albumin 25% selama
minimal 6 jam. Urutan pemeberian infus tidak menjadi masalah asalkan tidak ada
kesenjangan yang terjadi antara 2 infus berurutan. Pasien dieksklusikan jika: tidak
mendapatkan furosemide dan furosemide ditambah albumin, memiliki asupan dan
catatan output yang tidak lengkap, atau memiliki disfungsi ginjal (didefinisikan
sebagai tingkat serum kreatinin lebih dari 1,5 mg/dL), atau penyakit ginjal
(misalnya, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis).
Pengumpulan Data
Data dasar dikumpulkan termasuk usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,
tingkat serum kreatinin, kadar serum albumin, obat diuretik, diagnosis ICU dan
penyakit yang mendasari, rasio PaO2 dengan fraksi oksigen inspirasi, dan skor
pada Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II dan Penilaian
Sequential Organ Failure. Selain itu, pengukuran harian kadar serum albumin,
furosemide dan albumin dosis, asupan cairan, dan output urin pada 6 jam pertama
(0-6 jam), dan setiap 6 jam sampai 48 jam (jika data tersedia) dimasing-masing
kelompok dicatat.
Statistik
Berdasarkan data output urin pada pasien kritis, diperkirakan bahwa 22 pasien
akan diperlukan untuk mendeteksi sebanyak 30% output urin antara furosemide
saja dan kelompok albumin ditambah furosemide dengan kekuatan 80% dan = .

05. Namun, peneliti memutuskan untuk mengambil setidaknya 30 pasien untuk


mengurangi risiko kesalahan tipe II. Data kontinyu untuk perbandingan 2
kelompok pasien dievaluasi dengan menggunakan tes t berpasangan Sebuah uji t
2 sampel digunakan untuk mengevaluasi data berpasangan. Analisis regresi linier
digunakan untuk menyelidiki hubungan antara output variabel dependen urin dan
variabel independen demografis (usia, berat badan, tingkat keparahan penyakit)
dan variabel independen lainnya (yaitu, furosemide atau dosis albumin, asupan
cairan, dan serum albumin.
Hasil
Sebanyak 170 pasien menerima infus kontinu furosemide dan albumin 25%
selama masa studi. Tiga puluh enam pasien memenuhi kriteria inklusi menerima
infus kontinu furosemide dengan dan tanpa albumin 25% selama minimal 6 jam.
Dari jumlah tersebut, 5 pasien memiliki kadar kreatinin serum lebih dari 1,5 mg /
dL dan / atau nekrosis tubular akut. Oleh karena itu, data pada 31 pasien
dilibatkan dalam analisis akhir. Dari 31 pasien, 17 awalnya menerima infus
furosemide; yang lain 14 pasien awalnya menerima infus furosemide ditambah
albumin. Sebanyak 19 pasien (61%) adalah perempuan, dan usia rata-rata adalah
54,3 tahun. 3 penyakit yang mendasari yang paling umum adalah kanker (36%),
paling sering kanker kulit; penyakit kardiovaskular (23%); dan penyakit hati
(16%), sebagian besar disebabkan hepatitis C.
Sebanyak 26 pasien (84%) memiliki rasio PaO2 untuk sebagian kecil dari udara
terinspirasi kurang dari 300. karakteristik dasar lainnya disajikan pada Tabel 1.
Tingkat infus untuk furosemide dimulai pada 2 sampai 5 mg / jam dan dititrasi
dalam upaya untuk mencapai output urine 50 sampai 100 mL / h lebih besar dari
asupan cairan. Tingkat infus untuk albumin 25% adalah 8 atau 10 mL / jam dalam
semua tapi 3 pasien (tingkat 5 mL / jam untuk 2 pasien dan 12 mL / jam untuk 1
pasien). Median awal dosis furosemide adalah 4 mg / jam pada pasien yang
menerima furosemide saja dan 5 mg / jam pada pasien yang menerima furosemide
ditambah albumin. Perbedaan dosis furosemide antara 2 kelompok di 6 jam (P =
0,33) dan 24 jam (P = .50) tidak signifikan. Pada 48 jam, pasien yang menerima

furosemide ditambah albumin menerima furosemide lebih daripada pasien yang


menerima furosemide saja (P = .04). Urin tidak berbeda secara signifikan antara 2
kelompok di 6, 24, atau 48 jam (masing-masing nilai P: 0,56, 0,42, dan 0,94).
Demikian pula, output urin tidak berbeda secara signifikan dalam kelompok
furosemide saja (P = 0,09) dan kelompok furosemide albumin (P = 0,89) sesuai
dengan urutan di mana infus diberikan sebagai titik akhir. Selain itu, kehilangan
cairan bersih tidak berbeda secara signifikan antara 2 kelompok di 6, 24, atau 48
jam (masing-masing nilai P: 0,42, 0,47, dan 0,82). Tabel 3 menunjukkan
hubungan antara output urin dan variabel independen sesuai dengan analisis
regresi sederhana. Asupan cairan adalah satu-satunya prediktor signifikan dari
peningkatan output urin untuk kedua kelompok furosemide saja (P = 02; R2 =
0,27) dan kelompok furosemide ditambah albumin (P = 0,004; R2 = 0,29) pada 24
dan 48 jam. Pada pasien yang diberikan furosemide ditambah albumin, kadar
serum albumin meningkat dari 6 sampai 24 jam (rata-rata, 2,0 g / dL [SD, 0,46]
untuk 2,4 g / dL [SD, 0,47]; P = .04) dan dari 24 ke 48 jam (rata-rata, 2,4 g / dL
[SD, 0,47] untuk 2,8 g / dL [SD, 0,45] P = .02), tetapi hanya 6-48 jam kenaikan
(mean, 2,0 g / dL [SD, 0,46] 2,8 g / dL [SD, 0,45]; P <.001) adalah signifikan
penyesuaian nilai P.
Tabel 1. Karakteristik Dasar
karakteristik
Usia (tahun)
Berat
Tinggi (cm)
Serum kreatinin (mg/dL3)
Serum albumin (g/dL3)

Rata-rata (SD)
54,3 (17,8)
78,2 (24,3)
167,2 (10,1)
0,8 (0,3)
2,1 (0,5)

rentang
21-84
46,5-142
148-180,5-1,58
0,5-1,5
1,3-3,2

Diskusi
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertamakali dilakukan untuk
menentukan apakah pemberian infus albumin 25% diberikan secara terumenerus
atau tidak dengan furosemid yang memicu diuresis pada pasien sakit kritis. Kami
menemukan bahwa efek dari pemberian secara bersamaan furosemid dan albumin
tidak lebih besar bila dibandingkan dengan pemberian infus furosemid.

Berbagai

mekanisme

yang

menguntungkan

dari

kerja

albumin

selain

mengekspansi volume secara sederna telah diuraikan sebelumnya. Sebagai


contoh, sebuah evaluasi3 dari furosemid yang dicampurkan dengan larutan
equimolar albumin pada tikus dengan analbuninemia menyatakan bahwa albumin
yang diduga memiliki peran yang penting dalam menhantarkan furosemid pada
ginjal, sehingga meningkatkan diuresis. Sebaliknya, dalam studi 4 pada tikus
dengan sindrom nefrotik, respon terhadap furosemid ketika obat diberikan
bersamaan dengan albumin, menunjukan bahwa furosemid yang berikatan dengan
albumin mengurangi ketersediaan dari senyawa aktif. Ketika ditambahkan obat
yang menggantikan albumin pada reseptor pada albumin, didapatkan adanya
perbaikan dari respon diuretik. Kesimpulan ini menunjukan bahwa hubungan
antara albumin dan furosemid tidak dimengerti dengan sepenuhnya.
Metode pemberian dapat mempengaruhi efisiensi dari albumin dalam efek
diuresis. Sebagai contoh, hasil dari tikus normal dan analbuminemia menyatakan
bahwa albumin dan furosemid yang diberikan secara bersama akan membentuk
suatu ikatan yang membawa furosemid ke ginjal untuk penyerapan oleh sel
tubulus ginjal. Penellitian kami merupakan penelitian pertama yang meneliti efek
diuretik dari pemberian terusmenerus albumin pada pasien ICU. Pada penelitian
sebelumnya difokuskan pada pasien pada populasi tertentu yang diberikan
albumin melalui bolus atau infus jangka pendek, yang memberikan hasil
bertentangan. Dalam uji coba dari 8 pasien dengan sindrom nefrotik, Akcicek dkk5
diberikan furosemid 60 mg sebagai bolus intravena yang dilanjutkan dengan 4
jam infus furosemid dengan

dan tanpa albumin 20%. Respon diuretik dan

natriuretik maksimal muncul saat obat di infuskan pada seluruh kelompok.


Penambahan albumin tidak memiliki efek diuretik. Sebaliknya, Fliser dkk 6
melakukan secara acak, double-blind, plasebo, percobaan terkontrol pada 9 pasien
dengan sindrom nefrotik. Pasien mendapatkan 60 mg furosemid bolus dengan
plasebo, bfurosemid bolus 60 mg dengan 200 ml albumin 20%, atau plasebo
diberikan secara bolus dengan 200 ml albumin 20%. Peningkatan pengeluaran
urin diantara ketiga kelompok dalam 8 jam pemantauan sangat signifikan. Fliser

dkk menyatakan bahwa hasil yang sama dapat dicapai dengan mengoptimalkan
dosis furosemid saja dibandingkan dengan menambahkan albumin.
Kombinasi dari furosemid dan albumin untuk manajemen asites pada pasien
denagn sirosis juga memiliki hasil yang berbeda. Gentilini dkk 7 melakukan
percabaan acak terkontrol dari 126 pasien dengan sirosis dan asites. Pasien secara
acak menerima dosis diuretik yang terus meningkat dengan atau tanpa albumin
25%. Batas akhir dari rawat inap pada uji coba termasuk hilangnya asites dan
durasi dari rawat inap di rumah sakit.manfaat dari furosemid dan albumin secara
signifikan lebih baik dari manfaat furosemid saja untuk kedua batas akhir.
Berbeda dengan temuan ini, Chalasani dkk8 menemukan kurangnya manfaat
dengan pemberian furosemid dan albumin. Mereka melakukan studi crossover
acak pada 13 pasien dengan sirosis dan asites untuk mengevaluasi efek dari
albumin sebagai respon untuk furosemid yang diindikasikan dengan eksresi dari
natrium dan volume urin. Pasien menerima setiap cairan sebagai berikut lebih dari
30 menit, yaitu 40 mg furosemid tunggal, 25 mg dari albumin tunggal, 40 mg
furosemide dicampurkan dengan 25 mg albumin, dan 40 mg furosemid dan 25 g
albumin yang diberikan bersamaan pada lengan yang berbeda. Urin yang
dikeluarkan pada pemberian furosemid tunggal sama dengan kombinasi. Respon
diuretik dan natriuretik kembali normal dalam 6 jam setelah pemberian obat pada
seluruh tangan pada penelitian. Chalasani dkk8 menyimpulkan bahwa pemberian
bersamaan furosemid dan albumin tidak meningkatkan diuresis pada pasien
sirosis dengan asites dan kemungkinan besar tidak meningkatkan diuresis pada
pasien populasi yang berbeda.
Martin dkk9 meneliti furosemid dan albumin pada pasien dengan hipoproteinemia
dan cedera paru akut yang diobati dengan ventilasi mekanik. Pada penelitian
acak, double-blind, placebo-controlled, percobaan multisenter, perubahan
oksigenasi lebih dari 24 jam adalah titik akhir primer. Kehilangan cairan bersih
adalah hasil sekunder. Sebanyak 40 pasien menerima furosemid dengan plasebo
atau albumin. Kelompok kontrol menerima bolus furosemid 20 mg dilanjutkan
dengan titrasi hingga 10mg per jam furosemid selama 72 jam dengan plasebo
normal saline sebanyak volume setara albumin. Kelompok perlakuan menerima

25 g albumin 25% segera sebelum bolus furosemid dan setiap 8 jam setelah itu
dengan durasi yang sama. Perbaikan oksigenasi dan total keseimbangan ciran
negatif pada pasien yang menerima furosemid dengan albumin secara signifikan
lebih besar daripada perubahan pada pasien dengan pemberian furosemid dan
plasebo. Data tersebut yang paling menyatakan bahwa albumin dapat
meningkatkan efektivitas furosemid pada pasien dengan populasi tertentu.
Meskipun sebagian besar pasien kami memiliki rasio PaO2 ke fraksi oksigen
inspirasi kurang dari 300, kami tidak melihat efek diuretik yang bermanfaat
dengan menambahkan albumin. Salah satu perbedaan dalam desain kami dan
Martin dkk9 adalah kami menggunakan infus albumin terusmenerus dari pada
bolus. Juga, kami tidak dapat mengecualikan hubungan antara peningkatan
konsentrasi albumin dan peningkatan respon diuretik. Kemungkinan ini mungkin
menjelaskan hilangnya total cairan bersih dalam 72 jam pada penelitian Martin
dkk.
Dalam analisis regresi kami, konsentrasi albumin dlam 48 jam dikaitkan dengan
urit output, namun temuan ini hanya berdasarkan data dari 5 pasien. Selain itu,
dalam 48 jam, secara signifikan lebih banyak furosemid yang diberikan pada
pasien yang menerima furosemid ditambah albumin daripada pasien yang diberika
furosemid saja. Ini merupakan situasi yang dapat menjelaskan peningkatan urin
output pada saat ini. Pada penelitian kami, salah satu faktor yang konsisten secara
signifikan terkait dengan peningkatan urin output adalah peningkatan asupan
cairan.
Meskipun albumin hiperonkotik, mungkin memiliki potensi yang menguntungkan
pada populasi tertentu. Kami menyimpulkan bahwa penambahan infus albumin
25% untuk melanjukan infus dengan furosemid tidak memperbaiki diuresis pada
pasien dengan hipoalbunemia. Sesuai dengan studi sebelumnya, kami
menyarankan mengoptimalkan dosis furosemid sebelum mempertimbangkan
penambahan koloid. Selain itu, jika terjadi resistensi diuretik, penambahan
diuretik thiazid dapat memberikan hasil yang lebih baik dan lebih efektif dalam
biaya dalam mencapai diuresis pada pasien dengan volume cairan berlebih dan
status hemodinamik yang stabil.2

Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Dikarenakan penelitian


merupakan retrospektif, informasi yang tercatat secara tidak benar dan faktor
perancu yang tidak terkendali merupakan sesuatu yang mungkin didapatkan.
Misalnya, rincian karakteristik pasien yang mungkin telah mempengaruhi respon
furosemid atau regimen kombinasi mungkin telah terlewatkan. Dikarenakan
pendataan yang terbatas, kami tidak melakukan analisis subkelompok untuk
mengefaluasi apakah albumin bermanfaat dalam populasi tertentu pasien di ICU.
Selain itu, terbatasnya jumlah pasien saat 48 jam terakhir menghambat penarikan
kesimpulan mengenai efek atau kurangnya efek dari albumin dalam meningkatkan
efek diuretik furosemid dengan pemberian yang lebih lama. Akhirnya, kami
mengevaluasi penggunaan infus albumin dan furosemid terus menerus hanya pada
satu lembaga, sehingga hasil penelitian kami mungkin tidak dapat digeneralisakan
untuk ICU lainnya.
Kesimpulan
Dibandingkan dengan pemberian infus furosemid tunggal terus menerus,
pemberian furosemid dengan albumin dalam infusan terus menerus tidak
memperbaiki pengeluaran urin pada pasien sakit kritis. Lebih jauh, total cairan
hilang tidak jauh berbeda anatara kedua kelompok. Peningkatan pengeluaran urin
secara erat dihubungkan dengan peningkatan asupan cairan dan tidak dengan
variabel independen lainnya seperti kadar albumin serum.
Daftar Pustaka
1. Sanjay S, Annigeri RA, Seshadri R, Rao BS, Prakash KC, Mani MK. The
comparison of the diuretic and natriuretic effect of continuous and bolus
intravenous furosemide in patients with chronic kidney disease.
Nephrology (Carlton). 2008;13(3):247-250.
2. Asare K. Management of loop diuretic resistance in the intensive care
unit. Am J Health Syst Pharm. 2009;66:1635-1640.
3. Inoue M, Okajima K, Itoh K, et al. Mechanism of furosemide resistance in
analbuminemic

rats

1987;32(2):198-203.

and

hypoalbuminemic

patients.

Kidney

Int.

4. Kirchner KA, Voelker JR, Brater DC. Binding inhibitors restore


furosemide potency in tubule fluid containing albumin. Kidney Int.
5.

1991;40:418-424.
Akcicek F, Yalniz T, Basci A, Ok E, Mees EJ. Diuretic effect of
furosemide in patients with nephrotic syndrome: is it potentiated by

intravenous albumin? BMJ. 1995;310(6973): 162-163.


6. Fliser D, Zurbruggen I, Mutschler E, et al. Coadministration of albumin
and furosemide in patients with the nephrotic syndrome. Kidney Int.
1999;55(2):629-634.
7. Gentilini P, Casini-Raggi V, Di Fiore G, et al. Albumin improves the
response to diuretics in patients with cirrhosis and ascites: results of a
randomized, controlled trial. J Hepatol. 1999;30(4):639-645.
8. Chalasani N, Gorski JC, Horlander JC, et al. Effects of albumin/
furosemide mixtures on responses to furosemide in hypoalbuminemic
patients. J Am Soc Nephrol. 2001;12(5): 1010-1016.
9. Martin GS, Moss M, Wheeler AP, Mealer M, Morris JA, Bernard GR. A
randomized, controlled trial of furosemide with or without albumin in
hypoproteinemic patients with acute lung injury. Crit Care Med.
2005;33(8):1681-1687.
10. Dorhout Mees EJ. Does it make sense to administer albumin to the patient
with nephrotic oedema? Nephrol Dial Transplant. 1996;11(7):1224-1226.

Anda mungkin juga menyukai