Anda di halaman 1dari 46

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

IV.1

Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai Kaligarang

IV.1.1 Lokasi Sungai Kaligarang


Secara administrasi Sungai Kaligarang terletak di wilayah Kota Semarang
Provinsi Jawa Tengah. Sungai Kaligarang mengalir dari bagian hulu di Kabupaten
Semarang ke bagian hilir di Kota Semarang. Induk Kaligarang yang bersumber
dari hutan di pegunungan Ungaran mengalir ke arah utara, bergabung dengan
beberapa anak sungai menuju ke muara yaitu di laut Jawa yang masih termasuk
Kota Semarang. Anak sungainya cukup banyak, berbentuk seperti ranting pohon
yang disebut pola air dendritik. Anak sungai tersebut antara lain adalah Sungai
Blimbing, Sungai Kreo, Sungai Kripik dan Sungai Kranji. Sungai Kaligarang
memiliki panjang total 34 km dengan luas daerah pengaliran (catchment area)
204 km2. Debit air Sungai Kaligarang bervariasi. Pada saat musim kemarau
debitnya sangat kecil yaitu 2,75 m3/ detik, sedangkan pada musim hujan debit
maksimumnya 34,5 m3/ detik (Bapedal Jawa Tengah, 2007).
Sungai Kaligarang memiliki aliran yang cukup deras, derasnya aliran merupakan
akibat dari kemiringan dasarnya yang relatif besar. Pada pertemuan dengan anak
Sungai Kreo dan Kripik di Desa Pegandan (daerah Tugu Suharto), terbentuk
lembah sungai yang mulai melebar dan melandai. Sehingga hal ini akan membuat
daerah sekitarnya menjadi daerah luapan banjir.
Sungai Kaligarang berfungsi sebagai salah satu sumber air baku bagi Perusahaan
Air Minum (PDAM) Kota Semarang. Selain itu juga berfungsi sebagai pengendali
banjir dan penggelontoran kota melalui Kali Semarang yang intakenya berada
tepat di sisi kanan Bendung Simongan yang melintang di tengah Sungai
Kaligarang.

45

IV.1.2 Aktivitas di Sekitar Sungai Kaligarang


Aktivitas di sekitar induk Sungai Kaligarang di bagian hulu adalah pertanian.
Airnya cukup jernih, beberapa penduduk memanfaatkan untuk mandi dan cuci.
Industri yang membuang air limbahnya di sekitar daerah ini adalah industri
keramik PT. Ratu Keramik dan pelapisan logam PT. Raja Besi.
Di dekat bagian hulu Sungai Kreo terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Jatibarang yang merupakan tempat pembuangan sampah Kota Semarang.
Tepatnya TPA Jatibarang ini berada di Desa Jatibarang. Ada kemungkinan pada
musim hujan, leachate dan timbunan sampah akan masuk ke Sungai Kaligarang.
Setelah bergabung dengan Sungai Kreo, Sungai Kripik, Sungai Kranji dan Sungai
Blimbing di Desa Pajangan (Tugu Suharto) debit Sungai Kaligarang menjadi
besar. Aktifitas yang ada di lokasi tersebut adalah penambangan pasir,
pemukiman, pertanian dan kegiatan industri. Industri tersebut antara lain: PT.
Semarang Makmur, PT. ISTW, PT. Kimia Farma, PT. Phapros, PT. Aldas, PT.
Semarang Panca Jaya, PT. Damaitex dll. Di lokasi tersebut air Sungai Kaligarang
digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM Kota Semarang untuk memenuhi
kebutuhan air penduduk Kota Semarang. Di bagian hilir terdapat aktifitas
perikanan dan lalu lintas perahu nelayan pencari ikan.
Tabel IV.1 Industri-Industri yang Ada di Sekitar Sungai Kaligarang
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Nama Industri

Jenis Industri
Ubin
Tekstil
Galvanisasi
Minyak goreng
Farmasi
Galvanisasi
Galvanisasi
Tekstil

PT. Alam Daya Sakti


PT. Damaitex
PT. ISTW
PT. Kimia Farma
PT. Phapros
PT. Raja Besi
PT. Semarang Makmur
PT. Sinar Panca Jaya
Sumber: Bapedal Provinsi Jawa Tengah (2007)

46

IV.1.3 Peruntukan Sungai Kaligarang


Sungai Kaligarang sudah ditentukan peruntukannya melalui SK. Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 660.1/28/10/1990 tanggal 1 Juni 1990.
Menurut SK tersebut peruntukan Sungai Kaligarang adalah sebagai berikut:
Air Sungai Kaligarang dari hulu sampai Bendung Simongan (Plered)
ditetapkan sebagai air golongan B.
Air Sungai Kaligarang dari Bendung Simongan (Plered) sampai muara
ditetapkan sebagai air golongan C.
Akan tetapi sejak dikeluarkannya PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, peruntukan Sungai Kaligarang
belum ditetapkan kembali. Maka sebagai tolok ukur digunakan baku mutu air
Kelas II. Khusus untuk lokasi yang digunakan sebagai sumber air baku PDAM
Kota Semarang digunakan baku mutu Kelas I.

IV.1.4 Kualitas Air Sungai Kaligarang


Sungai Kaligarang Semarang merupakan salah satu sungai di Jawa Tengah yang
masuk ke dalam Program Kali Bersih (Prokasih) yang dilaksanakan oleh Bapedal
Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu tiap tahun selalu dilakukan pemantauan
terhadap kualitas air Sungai Kaligarang. Lokasi pemantauan di DAS Kaligarang
ada 5 (lima) titik yaitu: KG 1 (jembatan Jl. Pramuka), KG 2 (Desa Tinjomoyo),
KG 3 (Tugu Suharto), KG 4 (Bendung Simongan) dan KG 5 (di bawah rel ka Jl.
Madukoro).
Selama tahun 2006 pemantauan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada bulan Mei
dan Agustus. Hasil pemantauan kualitas air Sungai Kaligarang di titik KG 4
(Bendung Simongan) yang dilakukan oleh Bapedal Provinsi Jawa Tengah selama
tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

47

Tabel. IV.2 Kualitas Air Sungai Kaligarang


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Parameter
pH
BOD
COD
DO
Total Fosfat sebagai P
Kadmium
Tembaga
Nitrit sebagai N (NO2)
Belerang sebagai H2S
fenol

Mei

Agustus

Baku Mutu
PP No. 82/2001
Kelas II

6,73
2,765
18,30
7,10
0,079
< 0,005
0,038
0,253
0,016
10,0

8,20
5,376
25,74
4,15
0,475
0,011
<0,005
0,05
0,009
20,0

6-9
3
25
4
0,2
0,01
0,02
0,06
0,002
1

Hasil Analisa

Satuan
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
g/l

Sumber: Bapedal Provinsi Jawa Tengah (2006)

Pemantauan kualitas air Sungai Kaligarang di titik KG 4 (Bendung Simongan)


pada tahun 2006 yang dilakukan pada bulan Mei menunjukkan ada beberapa
parameter yang melebihi baku mutu dengan mengacu pada PP No. 82/2001 untuk
baku mutu air kelas II. Parameter-parameter tersebut antara lain adalah: Tembaga,
Nitrit, H2S dan Fenol. Sedangkan untuk pemantauan yang dilakukan bulan
Agustus 2006 juga menunjukkan beberapa parameter yang masih melebihi baku
mutu air kelas II. Parameter tersebut antara lain adalah: BOD, COD, Kadmium,
Sulfida, Fenol dan Fosfat.
Pemantauan kualitas air Sungai Kaligarang pada tiap tahun menunjukkan adanya
parameter yang selalu tidak memenuhi syarat yaitu: BOD, COD dan Fenol.
Sedangkan parameter yang kadang-kadang melebihi baku mutu adalah Fosfat,
Nitrit dan Sulfida. Tingginya parameter BOD, COD dan Fenol mengindikasikan
bahwa buangan dari kegiatan pemukiman juga memberikan andil besar terhadap
penurunan kualitas air Sungai Kaligarang selain dari buangan industri. Sedangkan
tingginya parameter logam berat seperti Krom, Tembaga dan Kadmium selain
berasal dari buangan industri galvanisasi juga berasal dari limpasan lindi TPA
Jatibarang.

48

IV.2

Reliabilitas Instrumen Penelitian

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat
dipercaya atau dapat diandalkan. Konsep reliabilitas adalah seberapa besar tingkat
konsistensi alat ukur untuk memberikan hasil yang sama dalam mengukur hal dan
subyek yang sama. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Reliabilitas
merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik.
Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach. Nilai Alpha
Cronbach dapat diinterpretasikan sebagai suatu koefisien korelasi dengan nilai
alpha berkisar dari 0 sampai dengan 1. Nilai koefisien yang mendekati 1
menunjukkan konsistensi yang tinggi.
Berdasarkan hasil perhitungan, keseluruhan item pada kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini memiliki nilai koefisien reliabilitas Alpha Cronbach yang
memenuhi syarat. Nilai reliabilitas masing-masing item pertanyaan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel IV.3 Nilai Reliabilitas Berdasarkan Koefisien Alpha Cronbach
Variabel Penelitian

Materi Pertanyaan

Sikap masyarakat terhadap

Stewardship Value

pelestarian Sungai

Bequest Value

Kaligarang

Existence Value

Nilai
Alpha
Cronbach

0,642

Indirect Value
Persepsi masyarakat

Kondisi air Sungai Kaligarang kotor

terhadap kualitas air Sungai Sungai Kaligarang menimbulkan bau


Kaligarang

Banyak sampah di sekitar Sungai Kaligarang


Ketergangguan masyarakat dengan kondisi
Sungai Kaligarang

49

0,614

IV.3

Profil Responden

Total reponden sebanyak 100 kepala keluarga dari rumah tangga yang ada di
Kelurahan Barusari. Data umum responden meliputi nama dan alamat responden.
Tujuan pencantuman nama dan alamat responden ini adalah agar tidak terjadi
pengulangan responden. Berikut ini adalah profil dari responden pada penelitian
ini.
1.

Usia dan Jenis Kelamin


Komposisi responden wanita sebanyak 48% dan responden laki-laki
sebanyak 52%. Sebanyak 30% responden berada pada rentang usia di atas
50 tahun, 29% berada pada rentang usia 40-50 tahun, 29% berada pada
rentang usia 30-40 tahun dan 12% berada pada rentang usia 20-30 tahun.

Persentase (%)

Komposisi Jenis Kelamin Responden


100
80
52 %

60

48 %

40
20
0
Laki-laki

jenis kelamin

Perempuan

Gambar IV.1 Komposisi Jenis Kelamin Responden

Komposisi Usia Responden

Persentase (%)

100
80
60

29 %

40

29 %

30 %

12 %

20

0
< 20 tahun 20-30 tahun 30-40 tahun 40-50 tahun > 50 tahun
Usia

Gambar IV.2 Komposisi Usia Responden


2.

Tingkat Pendidikan
Di dalam penelitian ini sebanyak 39% responden memiliki latar belakang
pendidikan SMU/ sederajat. Sedangkan 38% responden memiliki tingkat
pendidikan di bawah SMU (17% SLTP, 18% SD dan 3% tidak sekolah).

50

Sedangkan untuk perguruan tinggi/ akademi sebanyak 23% responden.


Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden di dalam
penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik karena
mendapatkan pendidikan tingkat lanjut yaitu SMU/ sederajat dan
perguruan tinggi/ akademi sebanyak 62%.

Kom posisi Tingkat Pendidikan Responden


100
Persentase (%)

80
60

39 %

40
20

18 %

17 %

SD

SLTP

23 %

3%

0
Tidak Sekolah

SMU/
sederajat

Perguruan
Tinggi

Pendidikan

Gambar IV.3 Komposisi Tingkat Pendidikan Responden


3.

Pekerjaan
Sebanyak 36% responden memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta/
perdagangan. Sedangkan 33% responden memiliki pekerjaan lain-lain.
Pekerjaan lain-lain ini meliputi antara lain: pensiunan (11%), ibu rumah
tangga (17%) dan serabutan (5%).

Kom posisi Pekerjaan Responden


Persentase (%)

100
80
60
20

33 %

36 %

40
8%

7%

16 %

0
PNS/ TNI/
POLRI

Wirasw asta/ Buruh pabrik/


Perdagangan
industri

Karyaw an
sw asta

lainnya

Pekerjaan

Gambar IV.4 Komposisi Pekerjaan Responden


4.

Tingkat Penghasilan
Komposisi tingkat penghasilan responden paling banyak adalah pada
tingkat penghasilan sebesar Rp.1.000.000-Rp.1.500.000 yaitu sebanyak

51

31%. Sedangkan untuk penghasilan yang lebih tinggi yaitu Rp.1.500.000Rp.2000.000

sebanyak

19%,

Rp.2.500.000

sebanyak

9%,

tingkat
tingkat

penghasilan
penghasilan

Rp.2000.000-

Rp.

2.500.000-

Rp.3000.000 sebanyak 3% dan tingkat penghasilan di atas Rp. 3000.000


sebanyak 4%.

Komposisi Penghasilan Responden

Persentase (%)

100
80
60
40
20

31 %

22 %

19 %

12 %

9%

3%

4%

0
< 500.000

Rp. 500.000 Rp. 1.000.000

Rp. 1.000.000 Rp. 1.500.000 Rp. 2.000.000 Rp. 2.500.000 > Rp. 3.000.000
Rp. 1.500.000
Rp. 2.000.000 Rp. 2.500.000
Rp. 3.000.000
Penghasilan

Gambar IV.5 Komposisi Tingkat Penghasilan Responden


5.

Jumlah Anggota Keluarga


Sebanyak 56% responden di dalam penelitian ini memiliki jumlah anggota
keluarga sebanyak 4-7 orang. Untuk jumlah anggota keluarga 1-3 orang
sebanyak 42% dan untuk jumlah anggota keluarga 8-11 orang sebanyak
2%.
Komposisi Jumlah Anggota Keluarga

Persentase (%)

100
80
56%

60
40

42%

20
2%

0
1-3 orang

4-7 orang

8-11 orang

Keluarga

Gambar IV.6 Komposisi Jumlah Anggota Keluarga Responden


6.

Pengeluaran
Tingkat pengeluaran responden yang paling banyak berada pada kisaran
Rp. 1000.000-Rp.1.500.000 yaitu sebanyak 32% responden. Sedangkan
untuk tingkat pengeluaran sebesar Rp.500.000-Rp.1000.000 sebanyak

52

26% responden. Untuk responden dengan tingkat pengeluaran di atas


Rp.1.500.000 sebanyak 20%. Pada umumnya besar tingkat pengeluaran
responden akan sebanding dengan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh
responden.

Komposisi Pengeluaran Responden


100

Persentase (%)

80
60
40

26%

21%

20

32%
20%

1%

0
< Rp. 100.000

Rp. 100.000
Rp. 500.000

Rp. 500.000 Rp. 1.000.000 > Rp. 1.500.000


Rp. 1.000.000 Rp. 1.500.000
Pengeluaran

Gambar IV.7 Komposisi Tingkat Pengeluaran Responden


Lama Tinggal dan Status Kepemilikan Rumah
Sebanyak 62% responden memiliki lama tinggal di Kelurahan Barusari ini
lebih dari 20 tahun. Lama tinggal 10-20 tahun sebanyak 16%. Sedangkan
banyaknya responden yang tinggal di Kelurahan Barusari selama kurang
dari 10 tahun adalah sebanyak 22%.
Untuk status kepemilikan rumah sebanyak 89% responden dalam
penelitian ini memiliki status kepemilikan rumah milik sendiri. Sedang
untuk responden yang menyewa/ kontrak hanya 11%.

Komposisi Lama Tinggal Responden


100

Persentase (%)

7.

80

62 %

60
40
20

11 %

10 %

16 %

1%

0
< 1 tahun

1 5 tahun

5 10 tahun 10 20 tahun

> 20 tahun

Lama Tinggal

Gambar IV.8 Komposisi Lama Tinggal Responden

53

Persentase (%)

Komposisi Status Tempat Tinggal Responden


100

89 %

80
60
40
11 %

20

0
Milik sendiri

Sew a/ kontrak

Dinas

Status tempat tinggal

Gambar IV.9 Komposisi Status Kepemilikan Rumah Responden

IV.4

Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Sungai Kaligarang

Sikap dan perilaku masyarakat terhadap Sungai Kaligarang perlu untuk diketahui
agar dapat dieksplorasi pemikiran tiap-tiap individu terhadap kondisi air Sungai
Kaligarang. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sikap masyarakat terhadap Sungai
Kaligarang yang ada di dalam kuesioner didesain sedemikian rupa agar dapat
mengungkapkan sebanyak mungkin motif-motif yang mendasari perlunya
pelaksanaan usaha konservasi sungai. Dari beberapa pertanyaan dalam kuesioner
akan dapat diketahui penggunaan Sungai Kaligarang oleh responden, termasuk
juga persepsi dan pengetahuan responden terhadap pencemaran air Sungai
Kaligarang.

IV.4.1 Sikap Masyarakat terhadap Konservasi Sungai Kaligarang


Untuk mengetahui motif-motif yang dimiliki oleh responden terhadap usaha
konservasi Sungai Kaligarang, diberikan empat buah pertanyaan kepada
responden. Responden diminta untuk memberikan pendapatnya terhadap beberapa
pernyataan yang mewakili masing-masing motif perlunya usaha konservasi
Sungai Kaligarang. Pernyataan-pernyataan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1.

Pencemaran yang terjadi di Sungai Kaligarang adalah masalah yang penting


meskipun sungai tersebut tidak pernah digunakan sama sekali oeh anda
maupun oleh orang lain (Stewardship value) (Q12).

2.

Kita memiliki tanggung jawab menjaga Sungai Kaligarang untuk


kepentingan generasi yang akan datang (Bequest value) (Q13).

54

3.

Jumlah ikan yang ada di Sungai Kaligarang tiap tahun senantiasa berkurang,
menurut anda apakah ini merupakan suatu masalah yang cukup serius?
(Existence value) (Q14).

4.

Sungai Kaligarang yang bersih dan nyaman akan menarik pengunjung untuk
wisata/ rekreasi air sehingga hal ini akan membuka adanya peluang ekonomi/
bisnis (Indirect value) (Q15).

IV.4.1.1.

Stewardship Value

Pernyataan (Q12) dalam kuesioner merefleksikan stewardship value yang timbul


dari adanya kepercayaan/ keyakinan bahwa manusia harus menjaga kelestarian
lingkungannya meskipun sungai tidak dimanfaatkan sama sekali oleh dirinya
maupun orang lain. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 71% responden
memiliki motif stewardship value sebagai alasan perlunya dilakukan konservasi
Sungai Kaligarang. Karena mereka menganggap bahwa sungai yang tercemar
merupakan masalah yang penting meskipun tidak dimanfaatkan sama sekali.
Sedangkan sebanyak 21% responden tidak memiliki motif ini. Responden tersebut
beranggapan bahwa pelestarian/ konservasi Sungai Kaligarang tidak perlu
dilakukan bila sungai tersebut tidak dimanfaatkan sama sekali.

a. "Pencemaran Sungai Kaligarang masalah yang


Penting Meskipun Tidak Pernah Digunakan Sama Sekali
oleh Anda atau Orang Lain (Stewardship Value )"

Tidak
21%

Ya
71%

Tidak Tahu
8%

Gambar IV.10 Distribusi Stewardship Value Responden

55

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

83.33

75.86
72.41

20-30 tahun
n=12

Hubungan antara Pendidikan Responden dan


Stewardship Value

30-40 tahun
n=29

40-50 tahun
n=29

60

Persentase (%)

Persentase (%)

Hubungan antara Usia Responden dan


Stewardship Value
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

84.62

22.22
Sekolah Dasar
n=18

>50 tahun
n=30

95.65

70.59

SLTP/ Sederajat
n=17

SLTA/ Sederajat
n=39

Perguruan Tinggi
n= 23

Pendidikan Responden

Usia Responden

Gambar IV.11 Hubungan antara Stewardship Value dan Latar Belakang


Responden

Pada grafik hubungan antara motif stewardship value dengan usia responden
menunjukkan bahwa kelompok usia responden yang paling banyak memiliki
motif ini sebagai alasan dalam mendukung upaya pelestarian Sungai Kaligarang
adalah pada kelompok usia 20-30 tahun yaitu sebanyak 83,33%. Semakin tua
umur responden motif stewardship value ini akan semakin berkurang. Bila dilihat
pada grafik hubungan antara motif stewardship value dengan pendidikan
responden menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden
maka kesadaran responden untuk melestarikan Sungai Kaligarang berdasarkan
motif stewardship value ini semakin besar. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi
kesadaran responden untuk melestarikan sungai juga tinggi karena responden
beranggapan bahwa melestarikan sungai merupakan kewajiban meskipun sungai
tersebut tidak pernah dimanfaatkan sama sekali oleh responden maupun oleh
orang lain.

IV.4.1.2.

Bequest Value

Pernyataan (Q13) dalam kuesioner mewakili bequest value sebagai salah satu
motif/ alasan perlunya dilakukan konservasi sungai. Bequest value beranggapan
bahwa konservasi sungai perlu dilakukan untuk kepentingan generasi yang akan
datang. Survei yang dilakukan menunjukkan bahwa sebanyak 95% responden
memiliki motif bequest value ini sebagai alasan perlunya dilakukan konservasi
Sungai Kaligarang. Hal ini menunjukkan bahwa motif ini cenderung kuat sebagai
alasan bagi responden dalam mendukung upaya konservasi Sungai Kaligarang.
Hanya 1% saja yang tidak memiliki motif ini. Sedangkan sisanya 4% responden

56

merasa ragu-ragu dengan motif ini sebagai alasan perlunya dilakukan konservasi
Sungai Kaligarang.

b. "Kita Wajib Menjaga Sungai Kaligarang untuk Kepentingan


Generasi yang Akan Datang (Bequest Value) "

Tidak
1%

Tidak Tahu
4%

Ya
95%

Gambar IV.12 Distribusi Bequest Value Responden

Hubungan antara Pendidikan Responden dan


Bequest Value

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

100

20-30 tahun
n=12

96.55

30-40 tahun
n=29

96.55

90

40-50 tahun
n=29

Persentase (%)

Persentase (%)

Hubungan antara Usia Responden dan


Bequest Value

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

100

Tidak Sekolah
n=3

>50 tahun
n=30

100

100

77.78

66.67

Sekolah Dasar SLTP/ Sederajat SLTA/ Sederajat


n=18
n=17
n=39

Perguruan
Tinggi n= 23

Pendidikan Responden

Usia Responden

Gambar IV.13 Hubungan antara Bequest Value dan Latar Belakang Responden
Responden dengan kelompok usia 20-30 tahun pada penelitian ini semuanya
memiliki motif bequest value dalam mendukung upaya pelestarian Sungai
Kaligarang. Kelompok responden yang paling sedikit memiliki motif ini ada pada
kelompok usia di atas 50 tahun yaitu sebanyak 90%. Apabila dilihat dari tingkat
pendidikan

responden,

ternyata

semakin

tinggi

pendidikan

responden

menunjukkan hasil yang sangat signifikan terhadap adanya motif bequest value
ini. Responden pada kelompok pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi
semua menyatakan setuju dengan motif bequest value ini. Hal ini disebabkan
karena dengan pendidikan yang cukup tinggi, kesadaran responden bahwa Sungai
Kaligarang harus dijaga kelestariannya untuk kepentingan masa depan generasi
yang akan datang juga akan sangat tinggi.

57

IV.4.1.3.

Existence Value

Pernyataan (Q14) berhubungan dengan existence value, yaitu suatu nilai yang
menyatakan bahwa usaha konservasi sungai perlu dilakukan untuk melindungi
ekosistem yang ada di sungai seperti ikan dan tanaman air. Dimana sungai
diperlukan sebagai habitat bagi ikan dan tanaman air serta untuk mendukung
kelangsungan hidup ekosistem sungai tersebut. Hasil dari survei yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa 82% responden memiliki motif ini sebagai alasan
untuk melestarikan Sungai Kaligarang. Sedangkan 9% responden menyatakan
tidak setuju dengan pernyataan tersebut, sehingga dapat dikatakan responden
tersebut tidak memiliki motif existence value dalam melestarikan Sungai
Kaligarang.

c. "Penurunan Jumlah Ikan Merupakan


Masalah yang Serius (Existence Value )"
Tidak
9%

Tidak
Tahu
9%

Ya
82%

Gambar IV.14 Distribusi Existence Value Responden

Hubungan antara Pendidikan Responden dan


Existence Value

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

83

89

89
66

20-30 tahun
n=12

30-40 tahun
n=29

40-50 tahun
n=29

>50 tahun
n=30

Persentase (%)

Persentase (%)

Hubungan antara Usia Responden dan


Existence Value

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

72.22

89.74

82.61

33.33

Tidak Sekolah
n=3

Usia Responden

82.35

Sekolah Dasar
n=18

SLTP/ Sederajat SLTA/ Sederajat Perguruan Tinggi


n=17
n=39
n= 23

Pendidikan Responden

Gambar IV.15 Hubungan antara Existence Value dan Latar Belakang Responden
Pada penelitian ini responden yang paling banyak memiliki motif existence value
sebagai alasan perlunya dilakukan konservasi Sungai Kaligarang adalah pada
kelompok usia 30-40 tahun dan 40-50 tahun yaitu sebesar 89%. Sedangkan
kelompok usia di atas 50 tahun hanya 66% yang memiliki motif ini. Bila dilihat

58

dari tingkat pendidikan, responden dengan tingkat pendidikan SLTA paling


banyak memiliki motif ini yaitu sebesar 89,74%. Alasan yang diberikan oleh
responden yang tidak menyetujui motif ini adalah bahwa responden bukan pencari
ikan, sehingga tidak merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian Sungai
Kaligarang berdasarkan motif existence value ini.

IV.4.1.4.

Indirect Value

Pernyataan (Q15) merefleksikan indirect value sebagai motif dalam melakukan


pelestarian Sungai Kaligarang. Indirect value ini berhubungan dengan adanya
keuntungan secara tidak langsung dari sektor ekonomi. Sungai Kaligarang yang
bersih dan nyaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi, sehingga akan
membuka peluang ekonomi bagi daerah di sekitarnya. Hasil survei menunjukkan
bahwa hampir semua responden menyetujui motif ini sebagai alasan perlunya
dilakukan usaha pelestarian Sungai Kaligarang. Sebanyak 99% responden
menyatakan setuju dan hanya 1% yang menjawab tidak tahu.

d. "Sungai Kaligarang yang Bersih dan Nyaman


Akan Membuka Peluang Ekonomi/ Bisnis (Indirect Value) "
Tidak Tahu
1%

Ya
99%

Gambar IV.16 Distribusi Indirect Value Responden

100

20-30 tahun
n=12

Hubungan antara Pendidikan Responden dan


Indirect Value

100
96

30-40 tahun
n=29

40-50 tahun
n=29

100

Persentase (%)

Persentase (%)

Hubungan antara Usia Responden dan


Indirect Value
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

100

94.44

Tidak Sekolah Sekolah Dasar


n=3
n=18

>50 tahun
n=30

Usia Responden

100

100

SLTP/
Sederajat
n=17

SLTA/
Sederajat
n=39

100

Perguruan
Tinggi n= 23

Pendidikan Responden

Gambar IV.17 Hubungan antara Indirect Value dan Latar Belakang Responden

59

Pada penelitian ini hampir semua responden menyatakan setuju dengan motif ini
sebagai alasan untuk melestarikan Sungai Kaligarang. Dilihat dari segi usia dan
tingkat pendidikan tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan. Karena
responden dari tiap-tiap kelompok usia dan tingkat pendidikan hampir semuanya
sependapat dengan motif ini. Hal ini terjadi karena motif ini berhubungan dengan
adanya peluang ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dari responden
bila Sungai Kaligarang dibuka sebagai tempat rekreasi.

IV.4.1.5 Hubungan antara Masing-Masing Motif Konservasi Sungai


Kaligarang
Untuk mengetahui hubungan dari masing-masing motif responden dalam
mendukung upaya pelestarian Sungai Kaligarang perlu dilakukan analisa korelasi
tiap-tiap motif. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah motif-motif
responden dalam melestarikan Sungai Kaligarang merupakan motif tunggal atau
saling melengkapi satu sama lain.
Tabel IV.4. Nilai Korelasi antara Motif-Motif untuk Mendukung Konservasi
Sungai Kaligarang
Motif Konservasi
Sungai Kaligarang
Stewardship Value

Stewardship
Value
1

Bequest
Value

Bequest Value

0.353

Existence Value

0.420

0.211

Existence
Value

Indirect
Value

0.195
0.492
0.320
1
Indirect Value
Nilai korelasi : < 0,20 = Sangat kecil; 0,20 - < 0,40 = Kecil (tidak erat);
0,40 - < 0,70 = Cukup erat; 0,70 - < 0,90 = Erat; 0,90 - < 1,00 = Sangat erat;
1,00 = Sempurna

Dari hasil uji korelasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara responden yang memiliki motif non use values
(stewardship, bequest dan existence values). Hal ini dapat kita lihat pada besarnya
koefisien korelasi pada motif stewardship dan existence value sebesar 0,420 dan
koefisien korelasi pada motif stewardship dan bequest value sebesar 0,353.
Hubungan antara motif stewardship value dengan existence value dapat dikatakan

60

cukup erat dan hubungannya searah. Hal ini terjadi karena responden pada
penelitian ini ada yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan, sehingga
berkurangnya jumlah ikan dapat menjadi masalah yang serius. Sedangkan
hubungan antara stewardship value dan bequest value dapat dikatakan kecil/ tidak
erat.
Hubungan antara motif non use values dan indirect values cukup erat dan positif,
yang ditunjukkan dengan besar koefisien korelasi sebesar 0,492. Di antara motifmotif lain, hubungan antara bequest value dan indirect value ini dapat dikatakan
paling cukup erat. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini banyak responden
yang memiliki motif indirect value dan bequest value secara bersamaan dalam
mendukung upaya pelestarian Sungai Kaligarang. Adanya hubungan yang cukup
erat dan positif dari masing-masing motif menunjukkan bahwa alasan responden
dalam mendukung upaya pelestarian Sungai Kaligarang tidak hanya terdiri dari
satu motif saja tetapi terdiri dari beberapa motif yang saling melengkapi.

IV.4.2 Aktivitas Masyarakat di Sungai Kaligarang


Saat pelaksanaan survei diajukan pertanyaan kepada responden mengenai
frekuensi dan aktivitas yang sering dilakukan oleh responden saat mengunjungi
Sungai Kaligarang. Frekuensi serta aktivitas masyarakat di Kelurahan Barusari
terhadap Sungai Kaligarang dapat dilihat pada Tabel IV.5.
Frekuensi responden mengunjungi Sungai Kaligarang sangat beragam mulai dari
tiap hari, tiap minggu, tiap 2 minggu sekali, tiap bulan dan tidak tentu. Dari hasil
analisis diketahui bahwa frekuensi responden mengunjungi Sungai Kaligarang
paling banyak dilakukan tiap hari yaitu sebanyak 47%. Banyaknya responden
yang memiliki frekuensi mengunjungi Sungai Kaligarang tidak tentu juga cukup
besar yaitu sebanyak 30%.

61

Tabel IV.5 Frekuensi Responden Mengunjungi Sungai Kaligarang


Frekuensi Mengunjungi Sungai
Kaligarang
Tiap hari

Persentase (%)
47

Tiap minggu

13

Tiap 2 minggu sekali

Tiap bulan

Tidak tentu

30

Jumlah

100

Tabel IV.6 Hubungan antara Frekuensi dan Aktivitas Masyarakat


di Sungai Kaligarang
Frekuensi
Mengunjungi
Sungai Kaligarang
Tiap hari

Sekedar
lewat
17

Aktivitas di Sungai Kaligarang


Bersantai menikmati Memancing
Mencuci
pemandangan
mencari ikan baju, mandi
12
7
25

Lain-lain
0

Tiap minggu

Tiap 2 minggu

Tiap bulan

Tidak tentu

24

42

28

20

31

Jumlah

Persentase (%)

Frekuensi & Aktivitas Responden di Sungai Kaligarang


22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Tiap hari

Tiap minggu

Tiap 2 minggu
Frekuensi

Sekedar lewat
Memancing mencari ikan
Lain-lain

Tiap bulan

Tidak tentu

Bersantai menikmati pemandangan


Mencuci baju, mandi

Gambar IV.18 Frekuensi dan Aktivitas Responden di Sungai Kaligarang


Hasil analisis hubungan antara frekuensi dan aktivitas responden menunjukkan
bahwa responden yang mengunjungi Sungai Kaligarang tiap hari paling banyak
melakukan aktivitas mencuci baju dan mandi yaitu sebanyak 20,33%, sekedar

62

lewat (13,82%), bersantai menikmati pemandangan (9,76%) dan memancing


(5,69%). Responden yang mengunjungi Sungai Kaligarang tiap minggu paling
banyak melakukan aktivitas bersantai menikmati pemandangan yaitu sebanyak
4,88% dan memancing sebanyak 3,25%. Sedangkan responden yang mengunjungi
Sungai Kaligarang tiap 2 minggu sekali dan tiap bulan paling banyak melakukan
aktivitas bersantai menikmati pemandangan yaitu masing-masing sebesar 1,63%
dan 2,44%. Ada juga responden yang melakukan aktivitas lain-lain tiap bulan
yaitu melakukan kerja bakti membersihkan sampah di sekitar Sungai Kaligarang
(1,63%). Responden dengan frekuensi tidak tentu dalam mengunjungi Sungai
Kaligarang paling banyak melakukan aktivitas hanya sekedar lewat Sungai
Kaligarang 19,51%. Hal ini disebabkan karena responden tinggal di sekitar Sungai
Kaligarang sehingga jika responden bepergian maka akan selalu melewati Sungai
Kaligarang.

IV.4.3 Persepsi Masyarakat terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang


Pada saat pelaksanaan survei diajukan pertanyaan kepada responden mengenai
sumber pencemaran di Sungai Kaligarang dan persepsi responden terhadap
kondisi Sungai Kaligarang saat ini. Pertanyaan mengenai sumber pencemaran
Sungai Kaligarang dan persepsi responden terhadap kondisi Sungai Kaligarang
saat ini diajukan kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap pencemaran yang terjadi di Sungai Kaligarang.
Tabel IV.7 Sumber-Sumber Pencemaran di Sungai Kaligarang
Sumber Pencemar Sungai Kaligarang

Persentase (%)

Buangan limbah industri

57

Buangan limbah domestik

31

Buangan dari aktivitas pertanian

Pembuangan sampah di sekitar sungai

11

Hasil dari pelaksanaan survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden


(57%) beranggapan bahwa sumber pencemaran di Sungai Kaligarang disebabkan
oleh pembuangan limbah cair oleh industri. Sebanyak 31% responden
beranggapan bahwa buangan limbah rumah tangga/ domestik merupakan salah

63

satu penyebab pencemaran Sungai Kaligarang. Hanya 11% responden yang


beranggapan bahwa pencemaran di Sungai Kaligarang disebabkan oleh aktivitas
pembuangan sampah di sekitar sungai. Survei yang telah dilaksanakan
menunjukkan bahwa kebanyakan dari responden beranggapan bila sumber
pencemaran di Sungai Kaligarang tidak hanya dari satu aktivitas saja, karena pada
umumnya responden memilih aktivitas buangan limbah industri dan buangan
limbah domestik/ rumah tangga secara bersamaan sebagai sumber pencemaran
Sungai Kaligarang.
Pengetahuan responden terhadap sumber pencemaran di Sungai Kaligarang dapat
dikatakan baik. Karena pendapat/ opini yang diberikan oleh responden mendekati
keadaan yang sebenarnya. Dimana di sekitar Sungai Kaligarang terdapat 8
industri yang membuang efluen limbahnya ke Sungai Kaligarang. Selain itu juga
buangan limbah domestik dari pemukiman yang ada di sekitar sungai juga
dialirkan ke Sungai Kaligarang.
Untuk mengetahui persepsi responden terhadap kondisi Sungai Kaligarang saat
ini, diajukan 3 buah pertanyaan kepada responden yang berhubungan dengan
kondisi fisik Sungai Kaligarang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain
tentang: kebersihan air Sungai Kaligarang (Q19), air Sungai Kaligarang
menimbulkan bau (Q20) dan banyak sampah di sekitar Sungai Kaligarang (Q21).

Air sungai Kotor

Kebersihan Air Sungai Kaligarang

4%

Tidak

3%

Tidak tahu

93 %
Ya
0

20

40

60

80

100

Persentase (%)

Gambar IV.19 Persepsi Responden terhadap Kebersihan Air Sungai Kaligarang

64

Air s ungai bau

Bau pada Sungai Kaligarang


33 %

Tidak
3%

Tidak tahu

64 %
Ya
0

10

20

30

40

50

60

70

Persentase (%)

Gambar IV.20 Persepsi Responden terhadap Bau pada Sungai Kaligarang

Banyak sampah di
sungai

Sampah pada Sungai Kaligarang

4%

Tidak

3%

Tidak tahu

93 %
Ya
0

20

40

60

80

100

Persentase (%)

Gambar IV.21 Persepsi Responden terhadap Sampah di Sekitar Sungai Kaligarang


Secara keseluruhan responden memiliki persepsi bahwa Sungai Kaligarang sudah
tercemar. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase responden yang
menyatakan bahwa air Sungai Kaligarang kotor/ tidak jernih (93%), air Sungai
Kaligarang menimbulkan bau (64%) dan banyak sampah di Sungai Kaligarang
(93%). Responden yang tidak beranggapan bahwa air Sungai Kaligarang kotor/
tidak jernih hanya 4% saja. Sedangkan responden yang beranggapan bahwa air
Sungai Kaligarang tidak menimbulkan bau sebanyak 33%.

65

Merasa terganggu
dengan kondisi Sungai
Kaligarang

Tingkat ketergangguan masyarakat terhadap


Sungai Kaligarang
17 %

Tidak
Raguragu

19 %
64 %

Ya
0

10

20

30

40

50

60

70

Persentase (%)

Gambar IV.22 Tingkat Ketergangguan Responden terhadap Sungai Kaligarang


Bila dilihat dari tingkat ketergangguan masyarakat terhadap kualitas air Sungai
Kaligarang saat ini sebanyak 64% responden menyatakan merasa terganggu, 17%
merasa tidak terganggu dan sebanyak 19% responden merasa ragu-ragu.

Karakteristik Responden yang Terganggu dengan Kondisi Sungai Kaligarang


Berdasarkan Frekuensi Kunjungan & Aktivitas Responden di Sungai
100

memancing & mencuci baju/ mandi

90
Persentase (%)

80

10

25

9.09
9.09

10

50
44.44

66.67

30
10

18.18
18.18

20

60

20

25

25

70

40

33.33

50

50

45.45

5.56

santai menikmati pemandangan,


memancing & mencuci baju
santai menikmati pemandangan &
memancing
sekedar lewat & memancing/ mencari
ikan
sekedar lewat & bersantai menikmati
pemandangan
lain-lain (kerja bakti)

13.89
mencuci baju/ mandi

0
Tiap Hari

Tiap
Minggu

n= 36

n= 10

Tiap 2
Minggu
n= 3

Tiap Bulan Tidak tentu


memancing/ mencari ikan
n= 4

n= 11

Frekuensi Kunjungan Responden ke Sungai


Kaligarang

bersantai menikmati pemandangan


sekedar lewat

Gambar IV.23 Karakteristik Responden yang Terganggu dengan Kondisi Sungai


Kaligarang Berdasarkan Frekuensi Kunjungan dan Aktivitas
Responden
Gambar IV.23 menunjukkan bahwa responden yang paling banyak merasa
terganggu dalam penelitian ini ada pada kelompok responden yang mengunjungi
Sungai Kaligarang tiap hari dan melakukan aktivitas mencuci baju/ mandi, yaitu
sebanyak 44,44%. Sedangkan pada kelompok responden yang mengunjungi
Sungai Kaligarang tiap minggu, tiap 2 minggu dan tiap bulan yang merasa
terganggu dengan kondisi sungai saat ini, didominasi oleh responden yang
melakukan aktivitas bersantai sambil menikmati pemandangan. Pada kelompok

66

responden yang tidak tentu mengunjungi sungai didominasi oleh responden yang
melakukan aktivitas hanya sekedar lewat Sungai Kaligarang saja.
Menurut responden kondisi Sungai Kaligarang saat ini tidak nyaman bila
dibandingkan dengan keadaan pada 10-20 tahun yang lalu. Menurut masyarakat
karena banyak sampah yang dibuang di pinggir kali maka sungai sering bau dan
selain itu juga mengganggu keindahan pemandangan di sekitar Sungai
Kaligarang. Adanya pendangkalan sungai serta pulau-pulau di pinggir sungai
selain menimbulkan potensi banjir juga mengganggu keindahan sungai karena
menimbulkan kesan kumuh.

IV.5

Tanggapan Responden terhadap Kesediaan untuk Membayar

Saat pelaksanaan survei responden diberikan pertanyaan mengenai tanggapan


responden terhadap adanya usaha peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang
(Q24). Hasil survei menunjukkan bahwa semua responden mendukung adanya
program atau usaha untuk meningkatkan kualitas air Sungai Kaligarang. Sebanyak
100% responden menyatakan setuju bila dilakukan usaha atau program untuk
meningkatkan kualitas air Sungai Kaligarang. Tetapi ketika ditanyakan kepada
responden mengenai kesediaan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program
peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang dengan membayar sejumlah uang
tertentu (Q25), tidak semua responden menyatakan bersedia untuk membayar.

Analisis Frekuensi Tanggapan Responden terhadap


Usaha Peningkatan Kualitas Air Sungai Kaligarang
Persentase (%)

100
80

100%

60
40
20

Ragu-Ragu

Tidak Setuju

0
Setuju

Tanggapan thd usaha peningkatan kualitas air Sungai


Kaligarang

Gambar IV.24 Tanggapan Responden terhadap Usaha Peningkatan Kualitas


Air Sungai Kaligarang

67

Kesediaan Responden untuk Membayar

Persentase (%)

100
80

95 %

60
40
5%

20
0
0
Bersedia

Tidak Tahu

Tidak Bersedia

Tanggapan thd kesediaan untuk membayar

Gambar IV.25 Kesediaan Responden untuk Membayar


Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak semua responden
bersedia untuk membayar. Sebanyak 95% responden menyatakan bersedia untuk
membayar sedangkan responden yang tidak bersedia untuk membayar sebanyak
5%. Responden yang menyatakan tidak bersedia untuk membayar diminta untuk
menyebutkan alasannya. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden antara
lain adalah:
- Biaya hidup sudah tinggi.
- Banyak pengeluaran dan penghasilannya pas-pasan.
- Sudah banyak retribusi/ iuran/ sumbangan lainnya.
- Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
- Tidak menggunakan sungai dan lokasi rumah jauh dari sungai.
Alasan-alasan yang disebutkan oleh responden yang tidak bersedia membayar
pada dasarnya karena alasan ekonomi. Dari 5 orang responden yang tidak
menyatakan WTP-nya, sebanyak 3 orang responden menyatakan pertimbangan
ekonomi sebagai alasan utama. Sedangkan 2 orang responden menyatakan tidak
bersedia membayar karena menganggap bahwa konservasi Sungai Kaligarang
adalah tanggung jawab pemerintah sepenuhnya dan karena lokasi rumah
responden yang jauh dari sungai serta tidak menggunakan Sungai Kaligarang.
Adanya responden yang menganggap bahwa konservasi Sungai Kaligarang
merupakan tanggung jawab pemerintah menunjukkan indikasi adanya anggapan
bahwa Sungai Kaligarang merupakan barang publik yang tidak memiliki

68

kepemilikan. Sehingga responden menganggap bahwa pengelolaan Sungai


Kaligarang merupakan tanggung jawab dari pemerintah.
Tabel IV.8 Atribut Responden yang memiliki nilai WTP = 0
Atribut Responden

Frekuensi

WTP = 0
Persentase (%)

Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-Laki

4
1

80
20

Usia
20-30 tahun
30-40 tahun
40-50 tahun
>50 tahun

2
1
1
1

40
20
20
20

Pendidikan
SD
SLTP
SMU/ Sederajat

1
2
2

20
40
40

Penghasilan
< Rp.500.000
Rp.1.000.000-Rp.1.500.000
Rp.1.500.000-Rp.2.000.000

2
2
1

40
40
20

Pekerjaan
Wiraswasta
Buruh Pabrik
Lain-Lain

1
2
2

20
40
40

Jumlah Anggota Keluarga


1-3 orang
4-7 orang

2
3

40
60

Status Kepemilikan Rumah


Milik Sendiri
Sewa/ Kontrak

4
1

80
20

Lama Tinggal
1-5 tahun
10-20 tahun
> 20 tahun

1
1
3

20
20
60

Lokasi Rumah
Dekat Sungai
Jauh dari Sungai

1
4

20
80

Responden yang tidak bersedia menyatakan WTP nya, atau memiliki WTP = 0
sebagian besar adalah responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
80% dan sisanya laki-laki sebanyak 20%. Hal ini terjadi karena pada umumnya
responden perempuan mengatur keuangan keluarga. Sehingga alasan ekonomi
menjadi pertimbangan utama dalam kesediaannya menyatakan WTP-nya. Bila

69

dilihat dari tingkat penghasilan, responden yang memiliki WTP = 0 paling banyak
pada kelompok responden dengan penghasilan <Rp. 500.000 (40%) dan pada
kelompok penghasilan antara Rp.1.000.000-Rp.1.500.000 sebanyak 40%. Namun
yang menarik ternyata ada 1 responden yang memiliki tingkat penghasilan antara
Rp.1.500.000-Rp.2.000.000 yang tidak menyatakan WTP-nya. Responden ini
meski memiliki penghasilan dan tingkat pendidikan yang cukup tinggi namun
tidak bersedia menyatakan WTP-nya, dengan alasan tidak menggunakan sungai
serta karena alasan lokasi rumahnya jauh dari sungai.
jauh

dekat

100%

Penghasilan
<Rp.500.000
Rp.1.000.000-Rp.Rp.1.500.000
Rp.1.500.000-Rp.2.000.000

Percent

75%

Bars show percents


50%

n=1
25%

n=1

n=1

n=1

SLTP

SMU/ Sederajat

n=1

0%

SD

SD

pendidikan

SLTP

SMU/ Sederajat

pendidikan

Gambar IV.26 Tabulasi Silang antara Pendidikan, Penghasilan dan Lokasi Rumah
pada Responden dengan WTP = 0
Dari segi pendidikan, responden yang tidak bersedia menyatakan WTP-nya paling
banyak pada responden dengan tingkat pendidikan SMU/ sederajat (40%) dan
SLTP (40%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SD hanya 20%
saja. Hal ini cukup menarik karena dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi
ternyata ada responden yang tidak bersedia menyatakan WTP-nya. Dilihat dari
lama tinggal, responden yang paling banyak tidak menyatakan WTP-nya adalah
responden yang memiliki lama tinggal > dari 20 tahun yaitu sebesar 60%.
Sedangkan bila dilihat dari status kepemilikan rumah, responden yang tidak
bersedia menyatakan WTP-nya paling banyak pada kelompok kepemilikan rumah
milik sendiri yaitu 80%.
Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor utama yang mendasari mengapa responden
tidak bersedia menyatakan WTP-nya, tanpa melihat tingkat pendidikan, lama

70

tinggal dan status kepemilikan rumah. Faktor utama yang mempengaruhi


responden tidak bersedia menyatakan WTP-nya dalam penelitian ini adalah faktor
ekonomi yang ditunjukkan dengan tingkat penghasilan responden dan faktor
lokasi rumah responden dengan sungai. Bila dilihat dari lokasi rumah ternyata
hampir semua responden yang tidak bersedia menyatakan WTP-nya, memiliki
lokasi rumah yang jauh dari sungai (80%). Hal ini menunjukkan bahwa alasan
yang dikemukakan oleh responden yaitu penghasilan pas-pasan, banyak
pengeluaran dan lokasi rumah yang jauh dari sungai memang merupakan alasan
utama mengapa responden tidak bersedia menyatakan WTP-nya.

IV.6

Kesanggupan Membayar (Willingness to Pay) Masyarakat

IV.6.1 Tingkat Kesanggupan Membayar Masyarakat


Tingkat kesanggupan membayar masyarakat (WTP) di Kelurahan Barusari
terhadap peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang bervariasi antara Rp. 500
sampai dengan Rp. 5000. Distribusi WTP masyarakat di Kelurahan Barusari dapat
dilihat pada Gambar IV.27 di bawah ini.

Willingness to Pay Responden


Persentase (%)

100
75
50
28.42%

25
5.26%

27.37%

23.16%

8.42%

7.37%

0
Rp. 500
n=5

Rp. 1000
n=8

Rp. 2000
n = 27

Rp. 3000
n = 22

Rp. 4000
n=7

Rp. 5000
n = 26

WTP Responden

Gambar IV.27 Distribusi Willingness To Pay Responden


Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa WTP responden paling
banyak ada pada nilai Rp. 2000 yaitu sebesar 28,42%. Akan tetapi banyaknya
responden yang memilih Rp. 5000 menunjukkan persentase yang tidak berbeda
jauh dengan banyaknya responden pada WTP Rp.2000 yaitu sebesar 27,37%.

71

Langkah-langkah dalam melakukan valuasi dengan metode Contingent Valuation


Method (CVM) salah satunya adalah dengan menghitung nilai rataan WTP. Oleh
karena itu dilakukan analisa data hasil survei dengan statistik deskriptif. Dengan
statistik deskriptif akan diketahui mean, median dan juga modus WTP responden.
Hal ini akan memudahkan untuk mengetahui gambaran secara jelas data WTP
yang diperoleh dari pelaksanaan survei. Hasil dari analisa data dengan statistik
deskriptif dapat dilihat pada tabel IV.9.
Tabel IV.9 Statistik Deskriptif WTP Responden
N

Valid
Missing

Mean
Std. Error of Mean
Median
Mode
Std. Deviation
Skewness
Std. Error of Skewness
Minimum
Maximum

95
0
3036.842
150.073
3000
2000
1462.732
0.082
0.247
500
5000

Harga WTP maksimum yang sanggup dibayarkan oleh responden diambil dari
nilai rata-rata WTP. Dari tabel statistik deskriptif WTP responden di atas
diperoleh nilai rata-rata sebesar Rp. 3036,84 atau dapat dibulatkan menjadi Rp.
3000. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga WTP maksimum masyarakat
Kelurahan Barusari adalah sebesar Rp.3000.
Tabel IV.10 Distribusi Frekuensi WTPmaks Responden
WTP

Frekuensi (Responden)

Persentase (%)

Kurang dari WTPmaks

40

42%

WTPmaks (Rp. 3000)

22

23%

Lebih dari WTPmaks

33

35%

Jumlah responden yang memiliki WTP kurang dari WTPmaks paling banyak yaitu
sebesar 42%, dibandingkan dengan banyaknya responden yang memiliki WTPmaks
dan WTP di atas WTPmaks. Hal ini mungkin terjadi karena berhubungan dengan
tingkat ekonomi responden. Profil tingkat penghasilan responden pada penelitian

72

ini sebagian besar dapat dikatakan rendah, yaitu memiliki penghasilan Rp.
1.500.000. Oleh karena itu mungkin ada hubungan antara tingkat penghasilan
responden dengan besarnya WTP responden yang perlu dianalisis lebih lanjut.

IV.6.2 Nilai Manfaat terhadap Peningkatan Kualitas Air Sungai Kaligarang


Dalam melakukan evaluasi besaran secara ekonomi nilai manfaat peningkatan
kualitas air Sungai Kaligarang Semarang diperlukan data jumlah rumah tangga di
Kelurahan Barusari. Hal ini disebabkan karena nilai manfaat atau WTP sosial
merupakan agregasi dari WTP individu/ WTP tiap-tiap rumah tangga. WTP
individu/ WTP tiap-tiap rumah tangga diwakili oleh WTPmaks. Maka WTP sosial
adalah perkalian WTPmaks dengan jumlah rumah tangga.
Dengan menganggap bahwa sampel yang diambil dapat mewakili populasi maka
nilai manfaat yang dapat diperolah dari peningkatan kualitas air Sungai
Kaligarang Semarang di Kelurahan Barusari yang memiliki 1724 rumah tangga
adalah:
Nilai Manfaat = 1724 Rumah Tangga x Rp. 3000
= Rp. 5.172.000,- / bulan.
Nilai manfaat yang merupakan konversi data WTP rataan sampel ke data WTP
rataan populasi secara keseluruhan di Kelurahan Barusari sebesar Rp. 5.172.000,-/
bulan.

IV.6.3 Hubungan antara Atribut Responden dengan WTP


Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara atribut responden dengan WTP
maka dilakukan uji korelasi dan uji Kruskal-Wallis. Uji korelasi dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara masing-masing atribut responden dengan WTP.
Sedangkan uji Kruskall-Wallis dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan
yang signifikan terhadap WTP pada masing-masing atribut responden. Sehingga
diharapkan dapat diketahui faktor-faktor apa saja dari atribut responden yang
mempengaruhi WTP.

73

1.

Usia dengan WTP

Usia responden dengan WTP memiliki hubungan yang positif. Semakin tua usia
responden maka akan semakin tinggi WTP. Namun hubungan antara usia
responden dengan WTP ini tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan besar
koefisien korelasi sebesar 0,395 pada tingkat signifikansi 0,286. Hasil uji KruskalWallis juga menunjukkan bahwa WTP pada masing-masing kelompok usia

Persentase (%)

responden tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

40

33.33

18.18
38.46

50
31.82

71.43

25.93
60

37.5
12.5

Rp. 500
n=5

23.08

29.63

40.91

11.11

9.09

14.29

26.92

14.29

11.54

Rp. 1000 Rp. 2000 Rp. 3000 Rp. 4000 Rp. 5000
n=8
n = 27
n = 22
n=7
n = 26

WTP Responden

20-30 tahun

30-40 tahun

40-50 tahun

>50 tahun

Gambar IV.28 Hubungan antara Usia Responden dengan WTP


2.

Pendidikan dengan WTP

Pendidikan responden mempunyai korelasi positif dengan WTP. Hal ini


menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka akan
semakin tingggi kesadaran responden untuk ikut melestarikan Sungai Kaligarang
yang ditunjukkan dengan besarnya WTP responden. Hubungan antara pendidikan
responden dengan WTP dalam penelitian ini dapat dikatakan kuat dengan melihat
nilai koefisien korelasi sebesar 0,699 pada tingkat signifikansi 0,000.
Hasil uji Kruskal-Wallis antara pendidikan responden dan WTP memberikan
angka probabilitas sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan

bahwa WTP dalam

masing-masing kelompok pendidikan memiliki perbedaan yang signifikan.


Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini pendidikan responden
mempengaruhi WTP.

74

Persentase (%)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

6.67
33.33

21.62

13.33
41.18

8.11

20.00

73.91

33.33

43.24

35.29
53.33
33.33

Tidak Sekolah
n=3

27.03

23.53

6.67
0.00
Sekolah Dasar SLTP/ Sederajat SMU/ Sederajat
n = 17
n = 15
n = 37

8.70
13.04
4.35
0.00
Akademi/
Perguruan
tinggi n = 23

Pendidikan
Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.29 Hubungan antara Pendidikan Responden dengan WTP

Berdasarkan tabulasi silang diketahui bahwa responden yang tidak sekolah dan
memiliki pendidikan SD memiliki WTP yang cenderung rendah yaitu berkisar
antara Rp. 500 hingga Rp. 2000. Pada responden dengan latar belakang
pendidikan SLTP dan SMU sudah mulai memiliki WTP yang cukup tinggi yaitu
berkisar dari Rp. 1000 hingga Rp. 5000. Pada tingkat pendidikan SLTP
didominasi dengan responden yang memiliki WTP Rp. 2000. Sedangkan pada
kelompok responden dengan tingkat pendidikan SMU didominasi oleh responden
yang memiliki WTP Rp. 3000. Pada kelompok responden dengan pendidikan
akademi/ perguruan tinggi paling banyak memiliki WTP Rp. 5000.
Semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka cenderung semakin besar pula
WTP responden. Hal ini disebabkan karena responden dengan tingkat pendidikan
yang cukup tinggi akan memiliki penghasilan yang tinggi juga. Nilai koefisien
korelasi antara pendidikan dan penghasilan responden dalam penelitian ini sebesar
0,626 dengan tingkat signifikansi 0,01. Besarnya koefisien korelasi ini
menunjukkan bahwa hubungan antara pendidikan dan penghasilan responden
cukup kuat, signifikan dan merupakan hubungan yang searah/ positif.
3.

Pekerjaan Responden dengan WTP

Hubungan antara pekerjaan responden dengan WTP cukup signifikan yang


ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi sebesar 0,565 pada tingkat
signifikansi 0,042. Hasil uji Kruskal-Wallis sebesar 0,062 juga menunjukkan

75

bahwa WTP pada masing-masing kelompok pekerjaan responden tidak

Persentase (%)

menunjukkan perbedaan yang signifikan.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

20

28.57
62.50

25

22.58
6.45
16.13

14.29
60

20
25

28.57

12.50

8.57

PNS/ TNI/
POLRI n = 8

Wiraswasta/
Perdagangan
n = 35

20

43.75
25.81
31.25

22.58
6.45

Buruh Pabrik/
Industri n = 5

Karyawan
Lain-lain n = 31
Swasta n = 16

Pekerjaan Responden
Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.30 Hubungan antara Pekerjaan Responden dengan WTP


Kesanggupan membayar responden yang memiliki status pekerjaan sebagai
PNS/TNI/POLRI dalam penelitian ini paling banyak pada harga Rp. 5000 yaitu
sebesar 62,5%. Sedangkan responden yang bekerja sebagai karyawan swasta
memiliki WTP paling banyak pada harga Rp. 3000. Responden dengan mata
pencaharian sebagai wiraswasta/ perdagangan kebanyakan memiliki WTP
Rp.2000 (28,57%) dan Rp. 5000 (28,57%). Buruh pabrik/ industri memiliki WTP
yang paling banyak pada Rp. 2000 begitu juga dengan responden yang memiliki
pekerjaan lain-lain memiliki WTP paling banyak pada Rp. 2000. Responden yang
memiliki pekerjaan lain-lain ini terdiri dari: pensiunan, ibu rumah tangga dan
pekerja serabutan.

4.

Penghasilan dan Pengeluaran dengan WTP

Hasil uji korelasi antara penghasilan responden dan WTP memberikan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,698 dengan tingkat signifikansi 0,000. Hubungan
yang terjadi cukup kuat dan searah. Semakin tinggi penghasilan responden maka
WTP responden juga akan semakin tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis antara
penghasilan responden dan WTP menunjukkan angka probabilitas sebesar 0,000.
Hal ini berarti bahwa WTP pada masing-masing kelompok penghasilan memiliki
perbedaan yang signifikan.

76

100
90

4.55
4.55

20

17.24

13.64

80

10.34

44.44

Persentase (%)

70

66.67

60

50

50

59.09

5.56

41.38

40

100

27.78

30

11.11

20

30

10
0

66.67

9.09

27.59

33.33
22.22

22.22

9.09

3.45
0.00
< Rp. 500.000 Rp.500.000 - Rp.1000.000 - Rp.1500.000 - Rp.2000.000 - Rp.2500.000 > Rp.
n = 10
Rp.1000.000 Rp.1500.000 Rp.2000.000 Rp.2500.000 Rp.3000.000 3000.000
n = 22
n = 29
n = 18
n=9
n=3
n=4

Penghasilan Responden
Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.31 Hubungan antara Penghasilan Responden dengan WTP

Hasil tabulasi silang antara penghasilan responden dengan WTP menunjukkan


bahwa semakin tinggi tingkat penghasilan responden maka akan semakin besar
pula WTP responden. Responden yang memiliki penghasilan < Rp. 500.000
cenderung memberikan WTP yang rendah yaitu berkisar antara Rp. 500, Rp. 1000
dan Rp. 2000. Pada kelompok responden yang memiliki penghasilan
Rp.2.000.000 - Rp. 2.500.000 sudah mulai cenderung memberikan WTP yang
cukup tinggi yang berkisar dari Rp. 3000, Rp. 4000 dan Rp. 5000. Semua
responden yang memiliki penghasilan di atas Rp. 3.000.000 memberikan WTP
Rp. 5000.

WTP/Penghasilan (%)

Proporsi WTP terhadap Penghasilan Responden


0.55
0.50
0.45
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0

500000

1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 4000000


Penghasilan Responden (Rupiah)

Gambar IV.32 Proporsi WTP terhadap Penghasilan Responden

77

Analisa proporsi WTP terhadap penghasilan responden dilakukan untuk


mengetahui sejauh mana pengorbanan responden untuk ikut berpartisipasi dalam
upaya peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang. Hasil analisa menunjukkan
bahwa proporsi WTP terhadap penghasilan responden dalam penelitian ini
berkisar antara paling rendah 0,05% hingga paling tinggi 0,50%. Nilai rata-rata
proporsi WTP terhadap penghasilan responden dalam penelitian ini adalah
0,1974% atau bila dibulatkan menjadi 0,20%. Proporsi paling besar dimiliki oleh
responden yang memiliki penghasilan Rp. 1.000.000 dan WTP sebesar Rp. 5000.
Responden tersebut bersedia untuk berkorban lebih besar dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas air Sungai Kaligarang karena lokasi rumah responden
dekat dengan Sungai Kaigarang, mengunjungi sungai tiap hari dan juga karena
merasa terganggu dengan kondisi Sungai Kaligarang saat ini.
Hasil uji korelasi antara pengeluaran responden dan WTP memberikan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,670 dengan tingkat signifikansi 0,000. Hubungan
yang terjadi cukup kuat dan berlangsung searah. Semakin tinggi pengeluaran
responden maka WTP responden juga akan semakin tinggi. Hasil uji KruskalWallis antara pengeluaran responden dan WTP menunjukkan angka probabilitas
sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa WTP pada masing-masing kelompok

Persentase (%)

pengeluaran memiliki perbedaan yang signifikan.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

10.53
5.26

11.54
11.54

30.00

36.84

19.23

6.67

36.84

50.00

10.53

7.69

Rp.100.000 Rp.500.000
n = 19

Rp.500.000 Rp.1.000.000
n = 26

100

< Rp. 100.000


n=1

63.16

43.33
16.67
3.33
0.00

10.53
15.79
10.53

Rp.1.000.000- >Rp.1.500.000
n = 19
Rp.1.500.000
n = 30

Pengeluaran Responden

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.33 Hubungan antara Pengeluaran Responden dengan WTP

78

Hasil tabulasi silang antara pengeluaran responden dengan WTP menunjukkan


bahwa semakin tinggi pengeluaran responden maka akan semakin besar pula
WTP responden. Hal ini dapat terjadi karena di dalam penelitian ini penghasilan
dan pengeluaran responden memiliki hubungan yang searah dan cukup kuat yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,794 pada tingkat signifikansi
0,000.
5.

Lama Tinggal, Lokasi Rumah dan Status Kepemilikan Rumah dengan


WTP

Lama tinggal mempunyai hubungan yang searah dengan WTP. Responden yang
semakin lama tinggal di Kelurahan Barusari akan memberikan WTP yang
semakin besar. Akan tetapi hubungan ini tidak terlalu signifikan, yang
ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,432 pada tingkat signifikansi
0,380. Hasil uji Kruskal-Wallis antara lama tinggal responden terhadap WTP
menunjukkan angka probabilitas sebesar 0,183. Hal ini menunjukkan bahwa WTP
pada masing-masing kelompok lama tinggal responden tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Hasil tabulasi silang antara lama tinggal responden dengan WTP
dapat dilihat pada Gambar IV.34 di bawah ini.
100
Persentase (%)

20

80

10

60

30

100

20

13.33

6.78
18.64

20

26.67

30.51

10
10

20

10.17
6.78

10-20 tahun
n = 15

> 20 tahun
n = 59

40

40
40

20
0
< 1 tahun
n=1

27.12

40

1-5 tahun
n = 10

5-10 tahun
n = 10

Lama Tinggal Responden

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.34 Hubungan antara Lama Tinggal Responden dengan WTP


Semua responden (100%) yang memiliki masa tinggal di Kelurahan Barusari < 1
tahun memiliki WTP Rp. 1000. Semakin lama tinggal di Kelurahan Barusari,
maka WTP yang diberikan oleh responden juga akan semakin meningkat. Tetapi
pada kelompok responden dengan lama tinggal di atas 20 tahun memiliki WTP

79

yang paling banyak pada harga Rp. 2000. Hal ini dapat terjadi karena adanya
pengaruh faktor lain seperti usia dan penghasilan responden. Kelompok responden
yang memiliki lama tinggal > 20 tahun didominasi oleh responden yang berusia >
50 tahun yang kebanyakan sudah pensiun, sehingga penghasilan yang dimiliki
tidak terlalu besar.

Lokasi rumah responden dengan WTP memiliki hubungan yang searah. Semakin
dekat rumah responden dengan Sungai Kaligarang maka semakin besar WTP
responden. Nilai koefisien korelasi antara lokasi rumah responden dengan WTP
adalah 0,205 pada tingkat signifikansi 0,528. Hubungan yang terjadi tidak
signifikan atau dapat dikatakan kecil. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan
probabilitas 0,369 sehingga dapat dikatakan bahwa WTP pada masing-masing

Persentase (%)

lokasi rumah responden tidak berbeda secara signifikan.


100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

33.33

24.19
9.68

3.03
27.27
27.27
3.03
6.06
Dekat Sungai
n = 33

20.97
29.03
11.29
4.84
Jauh Sungai
n = 62

Lokasi Rumah Responden

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.35 Hubungan antara Lokasi Rumah Responden dengan WTP


Hasil tabulasi silang lokasi rumah responden dengan WTP pada Gambar IV.35 di
atas menunjukkan bahwa responden yang lokasi rumahnya dekat dengan Sungai
Kaligarang memiliki WTP yang paling banyak pada harga Rp. 5000 (33,33%).
Sedangkan pada kelompok responden yang lokasi rumahnya jauh dari sungai
paling banyak memiliki WTP pada harga Rp. 2000 (29,03%).
Hasil uji korelasi antara status kepemilikan rumah responden dengan WTP
menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,158 pada tingkat signifikansi
0,788. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi berlangsung searah dan

80

sangat kecil. Hasil uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan bahwa WTP pada
masing-masing status kepemilikan rumah responden tidak berbeda secara

Persentase (%)

signifikan yang ditunjukkan dengan angka probabilitas sebesar 0,177.


100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

29.41

10
10

7.06

20

23.53
40
27.06
10
10

8.24
4.71
Milik sendiri
n = 85

Sewa/ Kontrak
n = 10

Status Kepemilikan Rumah Responden


Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.36 Hubungan antara Status Kepemilikan Rumah Responden dengan


WTP
Hasil tabulasi silang pada Gambar IV.36 di atas menunjukkan bahwa pada
kelompok responden yang memiliki rumah sendiri, paling banyak memiliki WTP
pada harga Rp. 5000 (29,41%). Sedangkan pada kelompok responden yang status
kepemilikan rumahnya adalah sewa/ kontrak, memiliki WTP paling banyak pada
harga Rp. 2000 (40%).
6.

Frekuensi Mengunjungi Sungai dan Ketergangguan dengan WTP

Hubungan antara frekuensi responden mengunjungi Sungai Kaligarang dengan


WTP tidak signifikan. Hasil uji korelasi memberikan koefisien korelasi sebesar
0,391 pada tingkat signifikansi 0,642. Hubungan yang terjadi berlangsung searah
dan tidak kuat. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan angka probabilitas sebesar
0,384. Sehingga dapat dikatakan bahwa WTP responden dalam masing-masing
kelompok frekuensi mengunjungi Sungai Kaligarang tidak berbeda secara
signifikan.

81

Persentase (%)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

27.91
4.65
20.93

24.14

25

30.77

50
7.69

20.69

23.08
25

25.58

Tiap hari
n = 43

37.93

50

30.77
11.63
9.30

10.34

25

25
7.69

6.90

tiap minggu tiap 2 minggu tiap bulan


n = 13
n=4
n=6

tidak tentu
n = 29

Frekuensi Mengunjungi Sungai

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.37 Hubungan antara Frekuensi Mengunjungi Sungai dengan WTP


Hasil dari tabulasi silang menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang
mengunjungi Sungai Kaligarang tiap hari, didominasi dengan responden yang
memiliki WTP Rp. 5000 (27,91%). Sedangkan pada kelompok responden yang
tidak tentu dalam mengunjungi Sungai Kaligarang, didominasi oleh responden
yang memiliki WTP Rp. 2000 (37,93%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
sering responden mengunjungi Sungai Kaligarang, maka akan semakin besar
WTP yang diberikan. Walaupun hubungan yang terjadi tidak signifikan, namun
ada kecenderungan untuk berlangsung searah.
Hasil uji korelasi antara ketergangguan responden terhadap kondisi Sungai
Kaligarang dengan WTP, menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,388 pada
tingkat signifikansi 0,078. Hubungan yang terjadi berlangsung searah walaupun
tidak terlalu signifikan. Responden yang merasa terganggu dengan kondisi Sungai
Kaligarang saat ini akan cenderung untuk memberikan WTP yang lebih besar.
Hasil uji Kruskal-Wallis memberikan angka probabilitas sebesar 0,002 yang
menunjukkan bahwa WTP antara kelompok responden yang merasa terganggu,
ragu-ragu dan tidak terganggu dengan kondisi Sungai Kaligarang saat ini adalah
berbeda secara signifikan.

82

Persentase (%)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

5.56
5.56
38.71

6.67
13.33
13.33

27.78

6.45
24.19

44.44

20.97
6.45
3.23

11.11
5.56

Terganggu
n = 63

40
13.33
13.33

Ragu-Ragu
n = 18

Tidak n = 15

Ketergangguan Responden terhadap Sungai Kaligarang

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.38 Hubungan antara Ketergangguan Responden dengan WTP

7.

Banyaknya Motif Responden dan WTP

Banyaknya motif responden dalam mendukung upaya pelestarian Sungai


Kaligarang terhadap WTP memiliki hubungan yang positif dan cukup erat. Hal ini
ditunjukkan dengan besar koefisien korelasi 0,604 pada tingkat signifikansi 0,000.
Semakin banyak motif yang dimiliki oleh responden maka akan semakin besar
WTP yang diberikan oleh responden.
Hasil uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan adanya perbedaan WTP pada tiap-tiap
kelompok banyaknya motif yang dimiliki responden. Hal ini ditunjukkan dengan
angka probabilitas sebesar 0,002. Angka ini menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa WTP pada masing-masing kelompok

Persentase (%)

banyaknya motif yang dimiliki responden adalah berbeda secara signifikan.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

33.33
6.35
31.75
23.81
3.17
1.59
semua motif
n = 63

7.69
7.69
7.69

23.53
11.76
5.88

38.46

41.18
17.65
0
3 motif
n = 17

100

100

1 motif
n=1

tidak memiliki
motif n = 1

15.38
23.08
2 motif
n = 13

Banyaknya Motif Responden

Rp. 500

Rp. 1000

Rp. 2000

Rp. 3000

Rp. 4000

Rp. 5000

Gambar IV.39 Hubungan antara Banyaknya Motif Responden dengan WTP

83

Hasil dari tabulasi silang pada Gambar IV.39 menunjukkan bahwa di dalam
penelitian ini didominasi oleh responden yang memiliki semua motif
(stewardship, bequest, existence dan indirect value) dalam mendukung upaya
konservasi Sungai Kaligarang yaitu sebesar 66,32%. Kelompok responden yang
memiliki semua motif dalam mendukung upaya konservasi Sungai Kaligarang,
paling banyak memiliki WTP pada harga Rp. 5000 (33,33%). Pada kelompok
responden yang memiliki 3 motif dan 2 motif saja dalam mendukung upaya
konservasi Sungai Kaligarang paling banyak memiliki WTP pada harga Rp. 2000.
Sedangkan pada kelompok responden yang hanya memiliki 1 motif memiliki
WTP Rp. 500 dan pada kelompok responden yang tidak memiliki motif sama
sekali, memiliki WTP pada harga Rp. 1000. Semakin banyak motif yang dimiliki
oleh responden maka akan semakin besar WTP yang diberikan oleh responden.

IV.6.4 Model Kesanggupan Membayar (Willingness To Pay) Responden


Menyusun model WTP merupakan bagian dari analisis ekonometrik pada teknik
valuasi dengan metode CVM. Penyusunan model WTP dilakukan untuk
mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi WTP responden. Dengan
menggunakan program SPSS 13 dilakukan analisis diskriminan berganda
(multiple discriminant analysis) untuk mengkaji pengaruh variabel-variabel bebas
seperti: usia (Q4), pendidikan (Q5), pekerjaan (Q6), penghasilan (Q7), jumlah
anggota keluarga (Q8), pengeluaran (Q9), status kepemilikan rumah (Q10), lama
tinggal responden (Q11) dan ketergangguan responden terhadap Sungai Kaligarang
(Q23), terhadap WTP sebagai variabel terikat. Hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
WTP = a+ b1x1 + b2x2 + b3x3 + ...... + bnxn
dengan :
a, b1, b2, b3, bn = konstanta
x1, x2, x3, xn = variabel-variabel bebas

Analisis diskriminan pada WTP dalam penelitian ini akan membagi responden
menjadi 3 kategori yaitu responden dengan WTP rendah, WTP sedang dan WTP

84

tinggi. Pembagian responden berdasarkan WTP ini dilakukan sesuai dengan


pengelompokkan yang telah dilakukan sebelumnya pada Tabel IV.10.
- Responden dengan WTP < WTPmaks masuk dalam kategori rendah
- Responden dengan WTP = WTPmaks masuk dalam kategori sedang
- Responden dengan WTP > WTPmaks masuk dalam kategori tinggi.
Dari 9 variabel bebas atribut responden, variabel yang berbeda secara signifikan
pada WTP adalah: penghasilan responden, pengeluaran responden dan pendidikan
responden. Sehingga dapat dikatakan bahwa penghasilan responden, pengeluaran
responden dan pendidikan responden mempengaruhi WTP untuk kategori WTP
rendah, WTP sedang dan WTP tinggi. Hasil analisis ini dapat dilihat pada output
analisis diskriminan bagian Variabel In Analysis maupun Variabel Not In
Analysis.
Dalam hasil output analisis diskriminan pada analisis Wilks Lambda diperoleh
nilai signifikansi sebesar 0,001 atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan yang benar-benar signifikan atau berbeda secara nyata
antara 3 kelompok WTP. Variabel bebas yang membuat WTP ini berbeda adalah:
penghasilan responden, pengeluaran responden dan pendidikan responden.
Fungsi diskriminan mempunyai fungsi yang hampir sama dengan persamaan
regresi berganda. Fungsi diskriminan ini dapat digunakan untuk menganalisis
suatu responden yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok WTP tertentu
berdasarkan atribut yang dimilikinya. Dari hasil output analisis diskriminan
diperoleh fungsi diskriminan dengan persamaan sebagai berikut:
WTP = -3,263 + 0,439X1 + 0,756X2 - 0,109X3
dimana:
X1 = Pendidikan Responden
X2 = Penghasilan Responden
X3 = Pengeluaran Responden

85

Model

fungsi

diskriminan

yang

telah

dihasilkan

memiliki

ketepatan

mengklasifikasi kasus sebesar 65,3%. Karena di atas 50% ketepatan model


dianggap tinggi dan model fungsi diskriminan tersebut bisa digunakan untuk
mengklasifikasi kasus pada kelompok WTP tertentu. Penghasilan responden,
pengeluaran responden dan pendidikan responden mempengaruhi WTP untuk
kategori WTP rendah, WTP sedang dan WTP tinggi.

IV.6.5 Hubungan antara WTP dan Ability to Pay (ATP)


Adanya nilai WTP pembuka (starting point) yang ditawarkan kepada responden
dapat memberikan pengaruh terhadap nilai WTP responden yang sesungguhnya.
Oleh karena itu pada pelaksanaan valuasi diajukan pertanyaan terbuka kepada
responden mengenai jumlah terbesar yang mampu dibayarkan untuk berpartisipasi
dalam program peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang Semarang (Q33).
Pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui kemampuan responden membayar
(Ability to Pay). Sehingga dapat diketahui apakah kesanggupan responden
membayar (WTP) akan sama atau berbeda dengan kemampuan maksimum

Persentase (%)

responden membayar (ATP).

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

29.47%
22.11%

24.21%
13.68%

1.05%
Rp. 500
n=1

4.21%

Rp. 1000
n=4

2.11%
Rp. 2000
n = 21

Rp. 3000
n = 23

Rp. 4000
n=2

2.11%
Rp. 5000
n = 28

1.05%

Rp. 10.000 Rp. 15.000 Rp. 20.000


n = 13
n=2
n=1

ATP Responden

Gambar IV.40 Distribusi Ability To Pay (ATP) Responden


Kemampuan maksimum responden membayar (ATP) berkisar antara paling
rendah Rp. 500 hingga paling tinggi sebesar Rp. 20.000. Pada Gambar IV.40
menunjukkan bahwa ATP responden yang paling banyak adalah pada harga Rp.
5000 sebanyak 29,47% kemudian Rp. 3000 sebanyak 24,21% dan Rp. 2000
sebanyak 22,11%. Dengan mengajukan pertanyaan terbuka kepada responden

86

mengenai kemampuan maksimal untuk membayar (ATP) sebagai bentuk


partisipasi terhadap program peningkatan kualitas air Sungai Kaligarang
Semarang, ada beberapa responden yang memiliki harga ATP yang cukup besar
yaitu Rp.10.000 (13.68%), Rp.15.000 (2,11%) dan Rp. 20.000 (1,05%).

Distribusi ATP Berdasarkan Pendidikan Responden


30%

Pendidikan Responden
SD

4%

SLTP
SMU/ sederajat

2%
20%

Perguruan Tinggi
Tidak Sekolah

Percent

4%
11%

Bars show percents


21%
1%
1%
14%

10%
6%

12%
3%
1%
0%

4%

2%

3%
1%

4%

2%

2%

1%

500 1000 2000 3000 4000 5000 10000 15000 20000

(ATP)

Gambar IV. 41 Distribusi ATP Berdasarkan Pendidikan Responden


Pada Gambar IV.41 di atas nampak bahwa untuk ATP yang tinggi yaitu mulai
dari Rp. 4000 hingga Rp. 20.000 didominasi oleh responden dengan latar
belakang pendidikan yang cukup tinggi seperti SMU/Sederajat dan Perguruan
Tinggi. Namun ada juga

responden yang berpendidikan SLTP walau

persentasenya kecil, yang memiliki ATP RP. 5000 (4%) dan Rp. 10.000 (1%).
Sedangkan untuk ATP Rp. 500, Rp. 1000 dan Rp. 2000 banyak didominasi oleh
responden yang memiliki latar belakang pendidikan SD. Responden dengan ATP
Rp. 3000 paling banyak didominasi oleh responden dengan latar belakang
pendidikan SMU/Sederajat. Dengan melihat distribusi ATP berdasarkan
pendidikan responden dapat dilihat bahwa semakin tinggi latar belakang
pendidikan responden maka semakin tinggi pula ATP yang dimilikinya. Hal ini
ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,628 yang menunjukkan bahwa
pendidikan dan ATP memiliki korelasi searah/ positif dan hubungan yang cukup
erat.

87

Distribusi ATP Berdasarkan Penghasilan Responden


30%

Penghasilan Responden
< Rp.500.000
Rp. 500.000-Rp.1000.000

6%

Rp. 1000.000-Rp.1500.000
Rp.1500.000-Rp.2000.000
5%

20%

Rp.2000.000-Rp.2500.000
Rp.2500.000-Rp.3000.000
> Rp. 3000.000

Percent

6%

15%

11%
10%

Bars show percents


5%

11%

4%
5%

7%
1%

4%

1%

5%

0%

1%

1%

2%
1%

4%

1%
1%

1%

500 1000 2000 3000 4000 5000 10000 15000 20000

(ATP)

Gambar IV.42 Distribusi ATP Berdasarkan Penghasilan Responden


Pada ATP rendah yaitu Rp. 500 dan Rp. 1000 didominasi oleh responden yang
memiliki penghasilan rendah yaitu di bawah Rp. 1.000.000. Responden yang
memiliki tingkat penghasilan Rp. 1000.000-Rp. 1.500.000 memiliki ATP mulai
pada harga Rp. 2000. Kemampuan responden membayar yang cukup tinggi yaitu
mulai dari Rp. 3000 hingga Rp. 20.000 didominasi oleh responden yang memiliki
tingkat penghasilan di atas Rp. 1.500.000. Walaupun ada beberapa responden
dengan penghasilan di bawah Rp. 1.500.000 yang memiliki ATP pada harga Rp.
3000 dan Rp. 5000. Hubungan antara penghasilan responden dengan ATP
ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar Rp. 0,701. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan yang cukup erat antara penghasilan dan ATP. Semakin tinggi
penghasilan responden maka akan semakin besar pula kemampuan responden
untuk membayar (ATP).

88

Tabel IV.11 Tabulasi Silang WTP dan ATP Responden


(WTP)
500
1000
2000
3000
4000
5000
Total

500
1
0
0
0
0
0
1

1000
2
2
0
0
0
0
4

2000
2
6
13
0
0
0
21

(ATP)
4000
5000
0
0
0
0
0
6
0
6
2
5
0
11
2
28

3000
0
0
8
15
0
0
23

Total
10000
0
0
0
1
0
12
13

15000
0
0
0
0
0
2
2

20000
0
0
0
0
0
1
1

ATP Responden (Rp)

Hubungan antara WTP dan ATP Responden


21000
20000
19000
18000
17000
16000
15000
14000
13000
12000
11000
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
0

1000

2000

3000

4000

5000

WTP Responden (Rp)

Gambar IV.43 Hubungan antara WTP dan ATP Responden


Hasil dari tabulasi silang antara WTP dan ATP menunjukkan bahwa ada beberapa
responden yang memiliki ATP sama dengan WTP. Jumlah responden yang
memiliki ATP=WTP adalah sebesar 46,23% atau sebanyak 44 responden.
Sedangkan jumlah responden yang memiliki ATP lebih besar dari WTP adalah
55,77% atau sebanyak 51 responden. Dari hasil uji korelasi diperoleh koefisien
korelasi sebesar 0,726. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
WTP dan ATP. Semakin tinggi kemampuan responden membayar (ATP) maka
semakin tinggi pula kesanggupan responden membayar (WTP).
Pada analisa mengenai kesanggupan membayar responden (WTP) diperoleh harga
WTPmaks di Kelurahan Barusari adalah sebesar Rp. 3000. Untuk melihat apakah

89

5
8
27
22
7
26
95

WTPmaks ini layak untuk diterapkan maka dapat dilakukan suatu perbandingan
antara WTPmaks dengan ATP responden.
Tabel IV.12 Distribusi ATP Responden Berdasarkan WTPmaks
ATP

Frekuensi (Responden)

Persentase (%)

Kurang dari WTPmaks

26

27,36%

WTPmaks (Rp. 3000)

23

24,21%

Lebih dari WTPmaks

46

48,43%

Hasil analisa distribusi ATP responden berdasarkan WTPmaks menunjukkan bahwa


responden yang memiliki ATPWTPmaks lebih banyak (72,64%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki ATP<WTPmaks (27,36%). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penetapan WTPmaks sebesar Rp. 3000 layak untuk diterapkan,
karena masih berada pada jangkauan kemampuan membayar responden pada
penelitian ini.

90

Anda mungkin juga menyukai