Anda di halaman 1dari 13

Kajian Karakteristik Reologi Madu dan Uji Validasi Sifat Alirannya dalam Sistem Transportasi Fluida

Study Rheological Properties of Honey and Validation Test of its Flow Behaviour in Fluid Transportation
System
Bambang Nurhadi1, Tensiska1, Siti Nurhasanah1, Muhammad Ikhsan2
Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRAK
Karakteristik reologi madu merupakan hal yang penting dipelajari untuk aplikasinya sebagai bahan baku
dalam industri pangan. Reologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat aliran dan perubahan bentuk suatu
bahan apabila diberikan tekanan atau secara alami. Sebagian besar bahan pangan berbentuk fluida memiliki
sifat aliran newtonian, pseudoplastik dan dilatan yang dapat dianalisis menggunakan model power law,
sehingga model ini dipilih untuk menganalisis sifat reologi madu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji karakteristik reologi madu dan pengaruh suhu terhadap viskositas serta mengetahui seberapa akurat
model reologi (Power Law) yang digunakan dalam menganalisis sifat aliran madu. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode eksperimen dengan analisis secara deskriptif (Explanatory Research). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa madu yang digunakan pada penelitian ini memiliki sifat aliran pseudoplastik yang
ditunjukkan dengan nilai indesks perilaku aliran sebesar 0,947 ( = 6318,459 ( )0,947) . Pengaruh suhu
terhadap viskositas madu menunjukkan bahwa viskositas madu semakin menurun seiring dengan meningkatnya
suhu (= 1,051x10-10 e76,01/8,134(T)). Hasil validasi massa madu tersisa dalam sistem transportasi tabung kaca
menggunakan karakteristik reologi dari model power law menunjukkan tingkat keakuratan yang sangat tinggi
setelah dibandingkan dengan hasil yang sebenarnya (R2 = 0,9967).
ABSTRACT
Rheological characteristic of honey is an important thing to studied in its aplication as an ingredient in food
industry. Rheology is the study of flow and deformation properties of a material when its given pressure
intentionally or naturally. The majority of fluid foods had flow behaviour such as newtonian, pseudoplastic and
dilatan that can be studied with power law model, so this model is choosen to analiyze the rheological
characteristic of honey . The purpose of this study was to examine the rheological characteristics of honey and
the effect of temperature on viscosity as well as knowing how accurate the rheological model used (Power Law)
to analyze the fluidity properties of honey. The method used is an experimental method with a descriptive
analysis (explanatory research).. The results showed that the honey used in this study has indicated
pseudoplastic flow properties with a flow behavior index value of 0.947 ( = 6318,459 ( )0,947). Effect of
temperature on the viscosity of honey showed that the viscosity of honey decreases with increasing temperature
(= 1,051x10-10 e76,01/8,134(T)). The results of validation mass of honey left inside the glass tube transport system
using rheological characteristics of power-law models show a very high degree of accuracy when compared
with the actual results (R2 = 0,9967).
1.
1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Madu merupakan salah satu bahan makanan
alami yang telah dikenal sejak berabad-abad yang
lalu. Madu pertama kali dikenal dan digunakan
oleh manusia sekitar tahun 7000 SM di Spanyol.
Hingga saat ini madu dikenal sebagai salah satu
bahan yang dipercaya memiliki banyak khasiat

Banyak peneliti telah membuktikan khasiat madu


sebagai obat-obatan melalui penelitian-penelitian
secara ilmiah, sehingga madu banyak digunakan
sebagai salah satu bahan bahan baku baik dalam
industri makanan maupun industri obat-obatan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki potensi yang cukup besar dalam
produksi madu. Produksi madu di Indonesia pada
tahun 2006 mencapai 1.421,38 ton (Direktorat

Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan


Sosial, 2007). Permintaan masyarakat terhadap
madu juga semakin meningkat selain untuk
konsumsi langsung, juga untuk digunakan dalam
industri makanan. Beberapa industri lain seperti
industri minuman, makanan bayi, kosmetik dan
farmasi juga banyak yang menggunakan madu
sebagai salah satu bahannya (White, 1975 dikutip
Febriami, 2011). Dalam suatu industri makanan
sangat penting untuk memerhatikan kualitas
bahan baku yang akan diolah maupun produk
yang telah diolah agar didapatkan produk yang
memiliki kualitas yang baik dan terstandar.
Salah satu cabang ilmu yang berguna untuk
menentukan parameter-parameter yang
berhubungan dengan kualitas bahan pangan
adalah reologi (Toledo, 1991). Reologi merupakan
ilmu yang mempelajari sifat aliran dan perubahan
bentuk suatu bahan apabila diberikan tekanan atau
secara alami. Beberapa model telah digunakan
untuk menggambarkan sifat reologi pada bahan
pangan seperti model Power Law (Ostwald-deWaele), Power Law dengan pengaruh yield stress
(Herschel-Bulkley) dan Casson Models (Marcotte
et al., 2001). Model yang paling banyak
digunakan untuk mempelajari sifat reologi yaitu
model Power Law memiliki peranan penting
untuk menganalisis karakteristik reologi seperti
indeks perilaku aliran (n), Koefisien Konsistensi
(K) dan Viskositas (). Model Power Law Paling
banyak digunakan dalam industri pangan karena
sebagian besar bahan-bahan pangan yang berupa
fluida umumnya memiliki sifat aliran Newtonian,
non-Newtonian pseudoplastik dan non-Newtonian
dilatan dimana fluida-fluida yang memiliki sifatsifat aliran tersebut dapat dianalisis dengan
menggunakan model Power Law.
Salah satu parameter dari karakteristik
reologi yaitu viskositas menjadi bagian yang kritis
selama penyimpanan, penanganan dan pengolahan
(White, 1978). Viskositas bahan pangan cair
seperti madu dapat diukur dengan menggunakan
alat viskometer. Metode pengukuran dengan
menggunakan alat ini merupakan pendekatan
yang umum digunakan untuk menganalisis
karakteristik reologi (Samdara, dkk., 2008).
Kajian mengenai sifat reologi madu sangat
penting dalam industri pangan terutama untuk
menentukan kualitas tekstur, pemahaman
mengenai tekstur, aplikasi proses teknik pada
bahan pangan, perancangan sistem transportasi
bahan pangan dan menentukan sifat sensori bahan

pangan. Analisis sifat reologi juga penting dalam


perancangan alat dan mesin di industri pangan.
Sistem transporasi bahan merupakan salah
satu hal yang penting dalam suatu industri
terutama industri besar. Bahan yang biasanya
dialirkan dalam suatu sistem transportasi adalah
bahan yang berupa fluida atau cairan. Sistem
transportasi fluida yang baik akan mempermudah
distribusi bahan dan juga mempermudah
berjalannya suatu produksi. Dalam menganalisis
sistem transporasi fluida harus menggunakan
model persamaan atau model analisis yang akurat
dan tepat agar proses transportasi bahan dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien, sehingga
perlu dilakukan validasi suatu model persamaan
agar diketahui seberapa tepat model perhitungan
tersebut.
Parameter-parameter reologi yaitu indeks
perilaku aliran (n) dan Koefisien konsistensi (K)
dapat digunakan dalam persamaan-persamaan
untuk menganalisis aliran fluida dalam suatu
sistem transportasi. Masalah yang terdapat dalam
pengukuran menggunakan parameter-parameter
reologi tersebut adalah seberapa akurat hasil
perhitungan menggunakan persamaan tersebut
apabila dibandingkan dengan data yang
didapatkan secara nyata.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu
dilakukan kajian mengenai karakteristik reologi
madu, selain itu juga perlu dilakukan uji validasi
sifat aliran madu menggunakan model Power
Law. sehingga dapat diketahui seberapa akurat
model ini untuk menganalisis sifat aliran madu
dalam sistem transportasi fluida.
2.

METODE PENELITIAN

Penelitian pendahuluan dilakukan mulai


bulan Maret 2012 - Juli 2012 dan penelitian utama
dilakukan pada bulan Februari 2013 di
Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,
Laboratorium Kimia Pangan, Pilot Plan,
Laboratorium Uji dan Laboratorium Gizi dan
Penilaian Indera Jurusan Teknologi Industri
Pangan, Universitas Padjadjaran.
Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi
talas Bogor yang berasal dari Bogor, garam dan
air. Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis
yaitu HCl, HgO, H3BO3, K2SO4, aquadest,
alkohol, larutan Luff Schoorl, H2SO4, KI,
Na2S2O3, dan NaOH.

Alat-alat yang digunakan adalah baskom,


hingga menghasilkan adonan setengah jadi yang
pisau, loyang, alumunium foil, hammer mill tipe
agak lengket dan sedikit kompak.
SKL, Ayakan Tyler, neraca analitik, ayakan
3. Pengayakan
alumunium, panci pengukus, kompor gas, gas
Adonan yang telah berbentuk butiran diayak
elpiji, termometer infrared, kain saring, oven,
dengan ayakan alumunium 3 mesh sehingga
desikator, grinder, sendok, gelas ukur 50 ml, pipet
didapatkan granula adonan tiwul yang relatif
ukur 10 ml. Alat-alat yang digunakan untuk
seragam.
analisis adalah cawan, desikator, buret, labu ukur,
4. Pengukusan
kertas saring, penangas air, beaker glass, gelas
Pengukusan dilakukan agar menghasilkan
ukur, erlenmeyer, erlenmeyer refluks, pipet,
tiwul kukus yang tergelatinisasi sempurna.
corong, kertas saring, penjepit cawan dan labu
Pengukusan adonan yang telah berbentuk butiran
kjeldahl, oven, Rapid Visco Analyzer, Texture
dilakukan dengan menggunakan panci pengukus
Analyzer, kotak CIE-Lab, kamera digital 16
dengan diameter 15 cm.
megapixel, komputer dan panelis.
5. Pendinginan
Metode penelitian yang digunakan adalah
Pendinginan dilakukan agar sisa uap air
metode eksperimen dengan analisis deskriptif
hilang. Pendinginan dilakukan hingga suhu tiwul
(Explanatory Research) dilanjutkan dengan
mendekati suhu kamar.
analisis regresi dan korelasi yang terdiri dari tujuh 6. Pengeringan
perlakuan dengan dua kali ulangan. Perlakuan
yang diujikan adalah :
Tepung Talas
A = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
90oC5oC selama 30 menit
Air
B = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
Pembasahan dan Pembentukan Butiran
70% v/b
90oC5oC selama 40 menit
C = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
Pengayakan
tidak lolos 3 mesh
90oC5oC selama 50 menit
(3 mesh)
D = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
o
o
90 C5 C selama 60 menit
Granula Adonan Tiwul
E = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
90oC5oC selama 70 menit
F = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
Pengukusan
90oC5oC selama 80 menit
(90oC5oC selama 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 menit)
G = adonan tiwul yang dikukus pada suhu
o
o
90 C5 C selama 90 menit
Tiwul Kukus Panas
Pendinginan

1.

2.

Adapun tahapan proses yang dilakukan


pada penelitian utama adalah :
Persiapan Bahan
Persiapan bahan dilakukan dengan
menyiapkan tepung talas dan air sebanyak
70% v/b sebagai bahan baku dalam pembuatan
tiwul instan.
Pembasahan dan Pembentukan Butiran
Pembasahan dan pembentukan butiran
adonan dilakukan dengan menambahkan air
70% v/b dari total tepung sedikit demi sedikit
sambil diuyek (diaduk sambil diremas-remas
dengan tangan) di dalam wadah baskom

(hingga T kamar)
Pengeringan dalam Oven
(70C5C, 9 jam)
Pendinginan dalam Desikator
(10 menit)
Penggilingan dalam Grinder
(10 detik)
Pengayakan
( 20 mesh)
Tiwul Instan

7.

8.

9.

Pengeringan bertujuan mengurangi kadar air


tiwul kukus. Tiwul kukus dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 70oC5oC selama 9
jam hingga tiwul kering merata.
Pendinginan
Pendinginan ini bertujuan untuk menjaga
tiwul yang telah kering dari kandungan uap air di
sekelilingnya. Pendinginan dilakukan dalam
desikator selama 10 menit.
Penggilingan
Penggilingan bertujuan menghancurkan dan
menggiling tiwul yang telah kering sehingga
berukuran lebih kecil. Penggilingan dilakukan
dengan menggunakan grinder selama 10 detik.
Pengayakan
Pengayakan bertujuan menghasilkan tiwul
talas instan yang seragam. Pengayakan dilakukan
dengan ayakan tyler berukuran 20 mesh. Bahan
yang lolos ayak adalah tiwul talas instan.
Diagram proses pembuatan tiwul talas
instan dapat dilihat pada Gambar 1.

1.
2.

Pengamatan penunjang dilakukan


terhadap tepung tiwul talas instan dengan
hasil paling optimal, yaitu:
Kadar Protein metode Kjeldahl (AOAC,
1999)
Kadar Serat Kasar (AOAC, 1999)

tidak
lolos
20 mesh

III.HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kadar Air
Berdasarkan hasil analisis regresi
terdapat keeratan hubungan yang kuat
antara lama pengukusan adonan dengan
kadar air tiwul talas instan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.
12

f(x) = - 0.06
R = 0.97

10
Kadar Air (%)

8
6
0

10 20 30 40 50 60

Lam a Pe ngu ku san (m e

Gambar 1 Diagram Proses Pembuatan Tiwul Talas


Instan

Kriteria pengamatan yang dilakukan adalah


sebagai berikut :
A.
Pengamatan Utama
1. Pengamatan terhadap tepung tiwul talas instan :
a) Rendemen (Apriyantono, dkk., 1989)
b) Daya Rehidrasi (Ranganna, 1986)
c) Suhu Gelatinisasi dengan Rapid Visco
Analyzer (Collado, et al., 2001)
d) Kadar air metode Thermogravimetry
(AOAC, 1999)
e) Kadar Pati metode Hidrolisis Asam
(Sudarmadji dkk, 1997)
2. Pengamatan terhadap tiwul talas instan setelah
rehidrasi :
a) Warna dengan metode CIE LAB (Yam dan
Papadakis, 2004)
b) Tekstur dengan TA-XT2 Texture Analyzer
(Stable Micro System, 2000)
c) Tingkat kesukaan terhadap rasa, warna,
tekstur (kelembutan), dan aroma
menggunakan uji hedonik dengan uji
statistik (Soekarto, 1985)
B.
Pengamatan Penunjang

Gambar 2. Kurva Hubungan antara Lama


Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Kadar Air Tiwul Talas Instan
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin
lama pengukusan maka kadar air tiwul talas instan
semakin rendah. Adanya penurunan kadar air pada
tiwul talas instan disebabkan oleh terjadinya
proses gelatinisasi selama pengukusan yang
dilanjutkan dengan pengeringan. Pada saat
pengukusan, energi kinetik molekul air menjadi
lebih kuat dibanding daya tarik-menarik antar
molekul pati di dalam granula, sehingga air dapat
masuk ke dalam granula pati (Winarno, 1997).
Pengukusan yang terus dilakukan akan
menyebabkan granula pati membengkak dan
pecah menjadi struktur gel. Semakin lama waktu
pengukusan maka granula pati yang telah
membengkak dan pecah tersebut cenderung
memiliki rongga antar sel yang lebih besar dan
banyak, hal ini mengakibatkan semakin mudah
untuk melepaskan air pada proses pengeringan.
Berdasarkan hasil penelitian, kadar air tiwul
talas instan yang dikukus selama 30 menit hingga
90 menit berkisar antara 10,98% - 7,65%. Tiwul
talas instan dengan perlakuan lama pengukusan 90
menit memiliki kadar air paling kecil yaitu 7,65%.

Jika dibandingkan dengan kadar air beras yaitu


12% (Mahmud dkk, 2009), maka tiwul talas
instan memiliki kadar air yang lebih baik karena
lebih rendah dari beras. Selanjutnya Pangarsa
(2003) menyatakan bahwa tiwul instan yang baik
memiliki kadar air di bawah 10%, sehingga jika
dilihat dari persamaan regresi linear, maka tiwul
talas instan dengan perlakuan mulai dari 53 menit
sudah memenuhi persyaratan tersebut.

menyebutkan bahwa jumlah padatan yang


terdapat pada bahan akan menentukan
besar kecilnya rendemen yaitu semakin
tinggi jumlah padatan maka akan semakin
tinggi rendemen. Rendemen yang
dihasilkan juga dipengaruhi oleh bahan
yang terbuang saat proses pengukusan,
dimana adonan tiwul yang dikukus dengan
alas kain saring cukup banyak yang
menempel dan cenderung sulit untuk
3.2 Rendemen
dilepaskan seiring dengan peningkatan
Berdasarkan hasil analisis regresi terdapat
lama pengukusan. Hal ini terjadi karena
hubungan yang sangat erat antara lama
tepung talas memiliki kadar amilopektin
pengukusan dengan rendemen tiwul talas instan.
yang tinggi yaitu 83,49% (Hartati dan
Kurva hubungan antara lama pengukusan dengan
Prana, 2003) sehingga dengan adanya
rendemen tiwul talas instan dapat dilihat pada
penambahan air akan menyebabkan tiwul
Gambar 3.
talas lekat di kain saring dan cenderung
62.5
sulit dilepaskan.
Menurut Hudaya dkk (2003), tiwul
62
f(x) = -1.53 ln(x) + 67.26
instan yang baik memiliki nilai rendemen
61.5
R = 0.91
minimal 50% dari berat total bahan,
Re nde m e n (%)
61
sehingga tiwul talas instan yang dihasilkan
60.5
pada semua perlakuan lama pengukusan
60
masih memiliki rendemen yang baik.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Lam a Pe n guk usan (me n it)
3.3

Gambar 3. Kurva Hubungan antara Lama


Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Rendemen Tiwul Talas
Instan
Gambar 3 menunjukkan bahwa
semakin lama pengukusan maka rendemen
tiwul talas instan cenderung menurun.
Persentase rendemen yang dihasilkan tiwul
talas instan pada lama pengukusan 30
menit - 90 menit berkisar 62,03% 60,51% dengan nilai R2 (koefisien
determinasi) sebesar 0,907.
Rendemen tiwul talas instan dihitung
berdasarkan perbandingan berat tiwul talas
instan setelah proses pengeringan terhadap
berat adonan yang terbentuk setelah proses
pembasahan dan pembentukan butiran.
Nilai rendemen yang dihasilkan
dipengaruhi oleh jumlah padatan yang
terdapat pada bahan. Padatan pada bahan
dengan kandungan air yang semakin
menurun pada tiwul talas instan
mengakibatkan berat akhir produk akan
semakin kecil. Septiani (2011)

Daya Rehidrasi
Daya rehidrasi merupakan
persentase dari perbandingan antara berat
setelah tiwul talas instan direhidrasi
dengan sebelum direhidrasi. Berdasarkan
hasil analisis regresi terdapat keeratan
hubungan antara lama pengukusan dengan
daya rehidrasi tiwul talas instan. Kurva
hubungan antara lama pengukusan dengan
daya rehidrasi dapat dilihat pada Gambar
4.
470
460

f(x) = 0.44x + 426.13


R = 0.98

450
Daya Re h idrasi (%)

440
430
420
10
0

30
20

50
40

70
60

80

90
100

Lam a Pe n guk usan (me n it)

Gambar 4...........................................................
Kurva Hubungan antara Lama
Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Daya Rehidrasi Tiwul Talas
Instan

Gambar 4 menjelaskan bahwa


bentuk hubungan antara lama pengukusan
dengan daya rehidrasi semakin lama
pengukusan maka daya rehidrasi akan
semakin tinggi. Peningkatan daya rehidrasi
tiwul talas instan disebabkan oleh
perbedaan peluang penyerapan air saat
direhidrasi. Semakin lama pengukusan
maka pati yang tergelatinisasi menjadi
semakin banyak. Pada pati yang
tergelatinisasi, ikatan hidrogen
intramolekulnya mengalami kerusakan
sehingga banyak gugus hidroksil yang
bebas. Semakin banyak gugus hidroksil
yang bebas maka daya rehidrasi akan
semakin besar seiring dengan penambahan
waktu pengukusan sampai terjadi
kesetimbangan dimana air tidak dapat
terserap karena sudah lewat jenuh. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Winarno (1997)
yang menjelaskan bahwa jumlah gugus
hidroksil yang besar pada molekul pati
akan menyebabkan produk memiliki
kemampuan menyerap air yang sangat
besar.
Berdasarkan hasil perhitungan, daya
rehidrasi tiwul talas instan yang dikukus
selama 30 menit - 90 berkisar antara
438,74% - 465,57%. Menurut Limonu dkk
(2008) semakin banyak air yang terserap
pada produk pangan instan maka daya
rehidrasinya akan semakin tinggi dan
kualitas produk akan semakin baik. Jika
dibandingkan dengan daya rehidrasi tiwul
singkong instan hasil penelitian Aminah
(2004) yaitu 350,21%, maka tiwul talas
instan pada semua perlakuan lama
pengukusan memiliki daya rehidrasi yang
lebih baik.
3.4 Kekerasan
Berdasarkan hasil analisis regresi terdapat
keeratan hubungan antara lama pengukusan
adonan dengan kekerasan tiwul talas instan seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 5.

4
3.5

f(x) = - 0.01x + 3.64


R = 0.91

3
Ke ke rasan (Kg Force )

2.5
2
10
0

30
20

50
40

70
60

80

90
100

Lam a Pe n guku san (m e n it)

Gambar 5...........................................................
Kurva Hubungan antara Lama
Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Kekerasan Tiwul Talas
Instan Setelah Rehidrasi
62
60
Kadar Pati (%)

58

f(x) = - 0.05x + 61.


R = 0.99

56
54
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Lam a Pe n guk usan (m e nit)

Gambar 5 menunjukkan bahwa lama pengukusan


memiliki korelasi negatif terhadap tingkat
kekerasan tiwul talas instan setelah rehidrasi,
yaitu semakin lama pengukusan maka tingkat
kekerasan tiwul talas instan setelah rehidrasi
semakin menurun. Nilai kekerasan tiwul talas
instan setelah rehidrasi yang dikukus selama 30
menit - 90 menit adalah 3,40 Kg force - 2,83 Kg
force.
Tingkat kekerasan yang menurun pada tiwul
talas instan setelah rehidrasi disebabkan oleh daya
rehidrasi yang semakin meningkat seiring dengan
penambahan waktu pengukusan. Peningkatan
waktu pengukusan membuat uap air panas
memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk
ke dalam granula pati, sehingga ketika proses
pengeringan berlangsung rongga-rongga yang
terbentuk di dalam butir pati akan semakin
banyak, hal ini menyebabkan pada saat rehidrasi
air lebih mudah masuk ke dalam butir tiwul dan
menghasilkan butir tiwul yang lebih lembut. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Limonu dkk (2008)
yang menjelaskan bahwa daya rehidrasi pada
produk instan yang semakin tinggi akan
menghasilkan produk dengan tingkat kekerasan
yang semakin menurun.

Nilai kekerasan yang baik pada tiwul talas


instan dilakukan dengan menghubungkan hasil
analisis kekerasan secara fisik dan hasil analisis
tingkat kesukaan tekstur tiwul talas instan setelah
rehidrasi. Berdasarkan hasil analisis tingkat
kesukaan tekstur, panelis menyukai tekstur tiwul
talas instan pada lama pengukusan 70 menit
hingga 90 menit. Perlakuan tersebut menghasilkan
nilai kekerasan dengan rentang 3,05 KgF hingga
2,83 KgF, oleh karena itu, berdasarkan persamaan
linear, nilai kekerasan 3 KgF telah dicapai dengan
perlakuan lama pengukusan 70 menit.
3.5 Kadar Pati Tidak Tergelatinisasi
Berdasarkan hasil analisis regresi terdapat
keeratan hubungan antara lama pengukusan
adonan dengan kadar pati tidak tergelatinisasi
tiwul talas instan.
Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin
lama pengukusan maka kadar pati tidak
tergelatinisasi tiwul talas instan semakin rendah.
Berdasarkan hasil penelitian, kadar pati tidak
tergelatinisasi tiwul talas instan yang dikukus
selama 30 menit hingga 90 menit berkisar antara
59,76% - 56,58%. Semakin lama pengukusan
maka pati yang tergelatinisasi akan semakin
banyak sehingga pati mentah yang terdeteksi akan
semakin berkurang.
Gambar 6. Kurva Hubungan antara Lama
Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Kadar Pati Tidak
Tergelatinisasi Tiwul Talas Instan
Menurut Limonu dkk (2008),
pengembangan yang terjadi pada granula pati
sangat ditentukan oleh jumlah air dan panas yang
mampu masuk ke dalam granula pati dalam waktu
tertentu. Proses pemanasan pati pada suhu yang
tinggi dengan jumlah air yang terbatas akan
menyebabkan proses gelatinisasi hanya
berlangsung sebagian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu pengukusan selama
30 menit - 90 menit belum memungkinkan
seluruh pati tergelatinisasi secara sempurna.
Jumlah pati yang belum tergelatinisasi sempurna
diduga karena jumlah air yang masuk ke dalam
granula pati masih terbatas. Adanya garam yang
terkandung pada adonan tiwul talas instan juga
akan menghambat penyerapan air oleh granula
pati, karena adanya garam akan menyebabkan gel
lebih tahan terhadap kerusakan mekanik sehingga

pembengkakan menjadi lebih lambat dan tidak


sempurna.
Faktor lain diduga karena cara pemasakan
yang dilakukan selama proses pengolahan tiwul
talas instan, yaitu dengan cara pengukusan.
Selama pengukusan, granula pati hanya
mendapatkan uap air panas yang dihasilkan akibat
pemanasan, tidak bersentuhan langsung dengan
air sehingga air yang diterima pada saat proses
berlangsung masih terbatas.
Menurut Santosa dkk (2005) tepung instan
yang baik adalah tepung instan yang memiliki pati
tergelatinisasi sempurna sehingga kadar pati tidak
tergelatinisasi yang terdeteksi akan semakin kecil,
sehingga tiwul talas instan dengan perlakuan lama
pengukusan 90 menit memiliki kadar pati tidak
tergelatinisasi yang paling kecil.

3.6 Suhu Gelatinisasi


Berdasarkan hasil analisis regresi terdapat
keeratan hubungan antara lama pengukusan
adonan dengan suhu gelatinisasi tiwul talas instan,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.
69
68
67
66
Su hu Ge latin isasi (oC ) 65
64
63

f(x) = -2.77 ln(x) + 77.84


R = 0.99

10
0

30
20

50
40

70
60

80

90
100

Lam a Pe n guk usan (m e n it)

Gambar 7. .........................................................
Kurva Hubungan antara Lama
Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Suhu Gelatinisasi Tiwul
Talas Instan
Dari Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa
semakin lama pengukusan maka nilai suhu
gelatinisasi tiwul talas instan cenderung semakin
kecil. Adanya kecenderungan penurunan suhu
gelatinisasi tiwul talas instan terjadi karena
perbedaan tingkat kesempurnaan gelatinisasi tiwul
talas instan selama pengukusan. Winarno (1997)
menjelaskan bahwa faktor yang dapat
memengaruhi suhu gelatinisasi adalah konsentrasi
pati, ukuran granula pati, pH, dan adanya

gula/garam. Suhu gelatinisasi yang masih


terdeteksi diduga karena ukuran granula pati talas
yang sangat kecil yaitu 1 m - 4 m sehingga
akan menghambat proses gelatinisasi. Pati dengan
ukuran granula yang lebih kecil memiliki ikatan
hidrogen intramolekuler yang lebih kuat sehingga
granula akan mengembang pada suhu yang lebih
tinggi. Terhambatnya proses gelatinisasi juga
diduga karena adanya garam yang terkandung
pada tepung talas akibat proses pengolahan.
Garam yang bersifat mengikat air akan
menyebabkan pembengkakan granula pati
menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi
menjadi lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, suhu
gelatinisasi tiwul talas instan yang dikukus selama
30 menit hingga 90 menit berkisar antara 68,37oC
- 65,25oC dengan tingkat penurunan yang sangat
kecil. Tingkat penurunan suhu gelatinisasi tiwul
talas instan yang sangat kecil menunjukkan bahwa
waktu pengukusan selama 30 menit - 90 menit
belum mampu menghasilkan pati yang
tergelatinisasi secara sempurna karena sesuai
dengan pernyataan Santosa dkk (2005) bahwa pati
yang telah tergelatinisasi sempurna akan
mengakibatkan suhu gelatinisasi produk instan
tidak akan terdeteksi.
3.7 Warna
3.7.1 Nilai L* (Kecerahan)
Nilai L* menunjukkan intensitas kecerahan
dari suatu produk, dimana semakin tinggi nilainya
maka intensitas kecerahan semakin tinggi. Kurva
hubungan antara lama pengukusan dengan nilai
warna L* dapat dilihat pada Gambar 8.

30 menit - 90 menit memiliki nilai 42,65-36,08


dan menunjukkan bahwa peningkatan lama
pengukusan menyebabkan warna tiwul talas
instan setelah rehidrasi semakin gelap. Menurut
Nurhadi dan Nurhasanah (2010), apabila suatu
nilai L* bernilai 0 hingga 50 maka menunjukkan
berwarna gelap dan apabila bernilai 50 hingga 100
maka menunjukkan berwarna cerah dengan nilai
semakin tinggi akan semakin cerah intensitas
warnanya.
Warna yang semakin gelap seiring dengan
peningkatan waktu pengukusan disebabkan oleh
air yang terserap selama proses rehidrasi.
Kecerahan dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang
dipantulkan bahan. Semakin banyak air yang
mampu terserap akan mengakibatkan pigmen
melanoidin yang dihasilkan dari reaksi Maillard
semakin terlarut sehingga warna tiwul talas instan
akan semakin terlihat gelap.
Menurut Kumalaningsih (1989), tiwul yang
baik memiliki warna putih kecoklatan, sehingga
tiwul talas instan dengan tingkat kecerahan yang
paling baik adalah tiwul talas instan dengan
perlakuan lama pengukusan 30 menit.
3.7.2 Nilai a* (Merah-Hijau)
Berdasarkan hasil analisis regresi hubungan
antara lama pengukusan dengan nilai a*
mengikuti kurva logaritmik. Kurva hubungan
antara lama pengukusan dengan nilai a* dapat
dilihat pada Gambar 9.
5
4.8

f(x) = 0.71 ln(x) + 1.


R = 0.87

4.6
W arn a (a*) 4.4

45

4.2

43

f(x) = -6.03 ln(x) + 63.12


R = 0.98

41
W arn a (L*) 39

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1
Lam a Pe n guk usan (m e nit)

37
35
0

Gambar 9. Kurva Hubungan antara Lama


Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Nilai a* Tiwul Talas Instan
Setelah Rehidrasi

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Lam a Pe ngu ku san (m e nit)

Gambar 8. Kurva Hubungan antara Lama


Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Nilai L* Tiwul Talas Instan
Setelah Rehidrasi
Gambar 8 memperlihatkan bahwa nilai
warna L* tiwul talas instan yang dikukus selama

9.5

W arn a (b*)

yang memiliki warna a* dianggap paling baik


pada perlakuan lama pengukusan 30 menit.

f(x) = -0.92 ln(x) + 12.72


adalah
R = 0.99

8.5
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Lam a Pe ngu kusan (m e nit)

Nilai positif warna a* menunjukkan produk


cenderung memiliki warna kemerahan, sedangkan
pada produk yang memiliki nilai a* negatif maka
produk cenderung memiliki warna kehijauan.
Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin lama
pengukusan maka warna a* akan semakin merah
pada perlakuan lama pengukusan 30 menit hingga
90 menit. Setiap perlakuan lama pengukusan
memberikan pengaruh yang kuat terhadap nilai
warna a* tiwul talas instan setelah rehidrasi.
Warna kemerahan pada tiwul talas instan
disebabkan oleh warna tepung talas yang
digunakan yaitu putih kecoklatan. Warna tepung
talas yang dihasilkan disebabkan oleh reaksi
pencoklatan enzimatis yang masih terjadi pada
proses pengolahan tepung talas dimana
penambahan garam kurang mampu menghambat
aktivitas enzim fenolase dalam umbi talas
sehingga tepung talas menghasilkan warna putih
kecoklatan. Warna yang semakin kemerahan pada
tiwul talas instan juga disebabkan karena reaksi
Maillard. Proses pemanasan akan mempercepat
reaksi Maillard sehingga warna tiwul talas instan
yang dihasilkan akan semakin coklat. Winarno
(1997) menjelaskan bahwa reaksi Maillard yang
terjadi pada gula pereduksi dan gugus amina
primer akan menghasilkan bahan berwarna coklat
yang dapat menjadi pertanda penurunan mutu.
Menurut Tranggono dan Sutardi (1990) dikutip
Septiani (2011), reaksi pencoklatan akan terjadi
pada bahan makanan yang dikeringkan.
Pencoklatan yang terjadi adalah pencoklatan
enzimatis yang disebabkan oleh proses
pengeringan tidak seluruhnya menghilangkan
aktifitas dari enzim polifenolase dan pencoklatan
non enzimatis yang diakibatkan oleh reaksi
Maillard.
Berdasarkan hasil penelitian, nilai a* yang
dihasilkan berkisar antara 4,16 - 4,96 yang berarti
warna kemerahan semakin pekat yang
menandakan bahwa tiwul talas instan memiliki
warna semakin gelap, sehingga tiwul talas instan

3.7.3 Nilai b* (Kuning-Biru)


Berdasarkan hasil analisis regresi hubungan
antara lama pengukusan dengan nilai b*. Nilai
positif warna b* menunjukkan produk cenderung
90 100
memiliki warna kekuningan, sedangkan pada
produk yang memiliki nilai b* negatif maka
produk cenderung memiliki warna kebiruan.
Kurva hubungan antara lama pengukusan dengan
nilai warna b* dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kurva Hubungan antara Lama
Pengukusan Pada Suhu 90oC5oC
Terhadap Nilai b* Tiwul Talas Instan
Setelah Rehidrasi
Gambar 10 menunjukkan bahwa setiap
perlakuan lama pengukusan ternyata memberikan
pengaruh yang kuat terhadap nilai warna b* tiwul
talas instan setelah rehidrasi. Berdasarkan hasil
penelitian, nilai warna b* tiwul talas instan yang
dikukus selama 30 menit hingga 90 menit
memiliki nilai 9,59 - 8,65 yang menunjukkan
bahwa tiwul talas instan memiliki kecenderungan
berwarna kuning. Warna kekuningan yang
dihasilkan tiwul talas instan setelah rehidrasi
disebabkan oleh penggunaan umbi talas untuk
dibuat menjadi tepung talas adalah umbi berwarna
putih kekuningan. Selain itu reaksi pencoklatan
yang masih terjadi selama proses pengolahan
umbi talas menjadi tepung talas diduga
menyebabkan tiwul talas instan setelah rehidrasi
memiliki warna cenderung kuning. Berdasarkan
hasil perhitungan, tiwul talas instan yang paling
baik memiliki warna b* paling tinggi yaitu pada
pengukusan 30 menit.
3.8 Sifat Organoleptik Tiwul Talas Instan
Setelah Rehidrasi
Berdasarkan hasil uji statistik, perlakuan
lama pengukusan adonan tiwul talas instan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai rata-rata kesukaan warna, aroma
dan rasa tiwul talas instan setelah rehidrasi namun
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
rata-rata tekstur tiwul talas instan setelah rehidrasi
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Lama Pengukusan


Terhadap Sifat Organoleptik Tiwul
Talas Instan Setelah Rehidrasi
Perlakuan (Lama

Rata-rata

Rata-rata

Pengukusan)
A : 30 menit
B : 40 menit
C : 50 menit
D : 60 menit
E : 70 menit
F : 80 menit
G : 90 menit

Nilai Warna
3,19 a
3,63 a
3,44 a
3,13 a
3,25 a
3,31 a
3,69 a

Nilai Aroma
3,31 a
3,31 a
3,38 a
3,19 a
3,06 a
3,06 a
3,44 a

Ket : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan


huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Duncan pada taraf 5%
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa nilai
warna antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini
disebabkan karena warna tiwul talas instan setelah
rehidrasi secara kasat mata memiliki warna yang
sama (sulit dibedakan). Nilai kesukaan warna
yang diberikan panelis berkisar 3,13 - 3,69 yang
berada pada rentang tingkat kesukaan biasa
dimana hal ini berarti masih dapat diterima
panelis. Menurut Soekarto (1985), meskipun
warna paling cepat dan mudah memberi kesan,
tetapi paling sulit diberi deskripsi sehingga
penilaian secara subjektif dengan penglihatan
masih sangat menentukan dalam penilaian suatu
komoditas.
Nilai kesukaan aroma tiwul talas instan
untuk tiap perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai
yang diberikan oleh panelis berkisar antara 3,06 3,44 yang berarti memiliki aroma yang cukup baik
dan dapat diterima oleh panelis. Aroma yang
tercium adalah aroma talas karena proses
pengolahan tiwul talas instan hanya berasal dari
tepung talas yang memiliki komposisi yang sama
pada seluruh perlakuan.
Penilaian kesukaan tekstur yang diberikan
oleh panelis memberikan pengaruh yang berbeda
nyata antar perlakuan. Nilai rata-rata kesukaan
tekstur tiwul talas instan setelah rehidrasi pada
perlakuan lama pengukusan 70, 80, dan 90 menit
tidak berbeda nyata. Begitu pula nilai kesukaan
tekstur antara perlakuan 30, 40, 50, 60, 70, dan 80
menit tidak berbeda nyata, tetapi perlakuan lama
pengukusan 30 menit berbeda nyata dengan
perlakuan lama pengukusan 90 menit.
Berdasarkan hasil uji kesukaan tekstur tiwul talas
instan setelah rehidrasi, perlakuan pengukusan
dengan lama 30 menit hingga 60 menit cenderung

menghasilkan tiwul talas yang kurang lembut


karena tekstur keras tiwul talas instan masih terasa
di mulut, sedangkan pada perlakuan 70 menit
hingga 90 menit sudah tidak terasa keras dengan
tekstur mirip nasi. Hal ini sesuai dengan
pengukuran kekerasan yang dilakukan
menggunakan Texture Analyzer yaitu semakin
lama pengukusan maka kekerasan tiwul talas
instan setelah rehidrasi semakin berkurang.
Penilaian rata-rata kesukaan rasa tiwul talas
instan antara perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai
rata-rata kesukaan rasa yang diberikan panelis
antar perlakuan berkisar 3,06-3,56 yang berada
pada rentang tingkat kesukaan biasa dan masih
dapat diterima oleh panelis. Rasa yang dihasilkan
tiwul talas instan setelah rehidrasi adalah asin,
dimana rasa asin ini timbul karena adanya
penambahan garam selama proses pengolahan
tepung talas yang bertujuan untuk mengurangi
kadar oksalat pada talas dan memperbaiki kualitas
warna tepung talas.
3.9 Penentuan Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik diperoleh
berdasarkan hasil terbaik dari setiap kriteria
pengamatan. Tiwul instan yang baik memiliki
kadar air di bawah 10% (Pangarsa, 2003) dan
rendemen di atas 50% (Hudaya dkk, 2003). Selain
itu tiwul instan yang baik juga tidak memiliki
suhu gelatinisasi karena pati sudah tergelatinisasi
sempurna, dengan demikian kadar pati tidak
tergelatinisasi juga tidak akan terdeteksi dan daya
rehidrasi yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Secara organoleptik tiwul instan yang baik
menurut Kumalaningsih (1989) adalah berwarna
cerah putih kecoklatan, dengan tekstur yang
lembut dan setengah padat. Tiwul talas instan
yang dihasilkan yaitu berwarna gelap seiring
dengan penambahan waktu pengukusan, namun
tekstur yang dihasilkan akan semakin lembut.
Berdasarkan matriks perlakuan terbaik, lama
pengukusan antara 70 menit hingga 90 menit
menghasilkan karakteristik tiwul talas instan
dengan nilai yang memenuhi persyaratan di atas,
namun untuk meningkatkan efisiensi waktu
pengolahan tiwul talas instan maka perlakuan
lama pengukusan yang dipilih sebagai perlakuan
paling optimal adalah perlakuan lama pengukusan
70 menit. Matriks perlakuan terbaik tiwul talas
instan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Matriks Perlakuan Terbaik

3.10
Protein (Penunjang)
Protein merupakan suatu zat makanan yang
sangat penting bagi tubuh, karena protein
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan
sebagai zat pembangun dan pengatur, yaitu
membentuk jaringan baru, mempertahankan
jaringan yang ada, dan mengganti jaringan tubuh
yang telah rusak. Protein adalah sumber asamasam amino yang mengandung unsur-unsur C, H,
O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau
karbohidrat (Winarno, 1997).
Berdasarkan hasil analisis pada perlakuan
terbaik tiwul talas instan yaitu perlakuan lama
pengukusan 70 menit, maka didapat hasil kadar
protein sebesar 8,48%. Jika dibandingkan dengan
tiwul singkong instan hasil penelitian Pangarsa
(2003) yaitu 1,65% dan Hudaya dkk (2003) yaitu
6,10%, maka nilai protein tiwul talas instan lebih
baik dibanding tiwul singkong instan.
Kadar protein tiwul talas instan didasarkan
pada banyaknya jumlah nitrogen yang terkandung
di dalam produk yang dianalisis. Protein yang
terkandung pada tiwul talas instan lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar protein tepung talas
yaitu 3,77%. Kenaikan jumlah protein yang terjadi
disebabkan oleh air yang berada dalam bahan
mudah teruapkan selama proses pengeringan
sehingga persentase senyawa lain dalam bahan
menjadi meningkat.
3.11
Serat Kasar (Penunjang)
Serat kasar adalah komponen sisa hasil
hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat
selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga
terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan
hemiselulosa 85% (Tensiska, 2008). Menurut
Scala (1975) dikutip Winarno (1997) sekitar

seperlima hingga sepersepuluh bagian dari serat


kasar berfungsi sebagai serat makanan. Serat
makanan merupakan komponen nabati yang
berpengaruh terhadap peningkatan kekambaan
feses, penurunan kolesterol dan mengurangi
kecepatan penyerapan glukosa atau karbohidrat
lainnya (Tensiska, 2008).
Hasil analisis serat kasar yang dihasilkan
pada perlakuan terbaik tiwul talas instan yaitu
perlakuan lama pengukusan 70 menit adalah
3,59%. Jumlah ini terbilang lebih besar jika
dibandingkan dengan nilai serat kasar beras yaitu
0,2% (Mahmud dkk, 2009). Berdasarkan hasil
riset Puslitbang Depkes RI (2001) dikutip Enesis
Group (2011), konsumsi serat sebaiknya sebanyak
25 gram - 35 gram serat sehari, sehingga untuk
mencukupi kebutuhan serat, tiwul talas instan
perlu ditambahkan bahan lain.

IV.KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa lama pengukusan
memiliki keeratan hubungan yang sangat
kuat terhadap kadar air, rendemen, daya
rehidrasi, kekerasan, kadar pati tidak
tergelatinisasi, suhu gelatinisasi dan warna
tiwul talas instan. Perlakuan lama
pengukusan 70 menit hingga 90 menit
menghasilkan karakteristik tiwul talas
instan dengan nilai yang memenuhi
persyaratan, namun pengukusan yang
dipilih sebagai perlakuan paling optimal
adalah perlakuan lama pengukusan 70
menit dengan kadar air 9,01%; rendemen
63,04%; daya rehidrasi 457,00%;
kekerasan 3,01KgF; kadar pati tidak
tergelatinisasi 57,57%; suhu gelatinisasi
66,08oC; kadar protein 8,48%; kadar serat
kasar 3,59%; warna merah kekuningan
agak gelap dengan nilai L* 37,50; a* 4,95;
dan b* 8,65; dan sifat organoleptik dengan
nilai kesukaan terhadap tekstur 3,38;
warna 3,25; aroma 3,06; dan rasa 3,19.

4.2 Saran
Perlu dilakukan penggunaan alas
pengukusan lain yang lebih efektif untuk
meningkatkan rendemen tiwul talas instan dan
penelitian lebih lanjut mengenai upaya

memperbaiki warna tepung talas dan mengurangi


rasa asin agar tiwul talas instan lebih disukai.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1999. Official Methods Of Analysis.
Association of Official Analytical Chemists.

Washington, DC.

Penyedia Gizi Bagi Masyarakat. Lembaga


Penelitian, Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Kumalaningsih S. Guritno, B. dan Sukadi. 1989.
Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tiwul Dalam
Bentuk Instan. Proceeding Seminar
Nasional Peningkatan Nilai Tambah
Singkong. Fakultas Pertanian, Universitas
Padjdjaran, Bandung.

Aminah, S. 2004. Pengaruh Penambahan Tepung


Tempe Terhadap Kadar Protein, Sifat Fisik
dan Organoleptik Tiwul Instan. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Universitas
Muhammadiyah Semarang 1 (1) : 16-26.

Limonu, M., Sugiyono, F. Kusnandar. 2008.


Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Sebelum
Pengeringan Terhadap Instan Jagung Muda.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 19
(2) : 139-148.

Apriyantono. A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasasri, S.


Yasni, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis
pangan : Petunjuk Laboratorium. IPB Press,
Bogor.

Mahmud, M.K., Hermana, N.A. Zulfianto, R.R.


Apriyantono, I. Ngadiarti, B. Hartati,
Bernadus, dan Tinexcelly. 2009. Tabel
Komposisi Pangan Indonesia. PT Elex
Media Komputindo, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah dan Distribusi


Penduduk. Available at :
http://www.bps.go.id (diakses pada 28 Juni
2012).

Nurhadi, B dan S. Nurhasanah. 2010. Sifat Fisik


Bahan Pangan. Penerbit Widya Padjadjaran,
Bandung.

Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates, and H.


Corke. 2001. Bihon-Type Noodles from
Heat-Moisture-Treated Sweet Potato Starch.
Journal of Food Science 66 (4) : 604-609.

Pangarsa, N. 2003. Teknik Pembuatan Tiwul


Instan dengan Penambahan Tepung
Komposit. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur, Malang.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2011. Umbiumbian (Talas). Available at :


http://tanamanpangan.deptan.go.id (diakses
pada 20 Mei 2012).

Ranganna, S. 1986. Handbook of Analysis and


Quality Control for Fruit and Vegetable
Product. Mc Graw Publishing Company
Limited, New Delhi.

Enesis Group. 2011. Ingin Sehat, Konsumsi Serat.


Available at : http://www.enesis.com
(diakses pada 15 Maret 2013).

Santosa, B.A.S., Sudaryono, dan S. Widowati.


2005. Evaluasi Teknologi Tepung Instan
dari Jadung Brondong dan Mutunya. Jurnal
Pascapanen 2 (2) : 18-27.

Hartati, N.S. dan T.K. Prana. 2003. Analisis Kadar


Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa
Kultivar Talas (Colocasia esculenta L.
Schott). Jurnal Natur Indonesia 6 (1) : 2933.
Hartomo, A.J. dan M.C. Widiatmoko. 1993.
Emulsi dan Pangan Instan Ber-Lesitin. Andi
Offset, Yogyakarta.
Hudaya, S., B.D. Sofiah, Marsetio. 2003.
Peningkatan Kualitas Tiwul Instan Sebagai

Septiani, T. 2011. Kajian Karakteristik Tiwul


Sukun (Artocarpus altilis) Instan Pada
Beberapa Lama Pengukusan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik
untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Penerbit Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Stable Micro System. 2000. TA-XT2i Express


User Guide. Texture Technologies Corp and
by Stable Micro System. Ltd.
Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1997.
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Tensiska. 2008. Serat Makanan. Pustaka Ilmiah
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Yam, K.L dan S.E. Papadakis. 2004. A Simple
Digital Imaging Method for Measuring and
Analyzing Color of Food Surfaces. J. Food
Engineering 61 : 137-142.

Anda mungkin juga menyukai