Anda di halaman 1dari 4

akarta, Kompas - Pemerintah melonggarkan ekspor ikan beku dan segar dalam bentuk utuh dari yang

semula dibatasi hanya 22 jenis menjadi 23 jenis. Penyebabnya, industri pengolahan ikan belum
sepenuhnya siap menampung bahan baku perikanan.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
Martani Huseini, di Jakarta, Selasa (7/7), mengemukakan, realisasi produksi unit pengolahan ikan (UPI)
tahun 2008 baru mencapai 55,2 persen.
Sebagian bahan baku yang dibutuhkan justru diekspor ke luar negeri sehingga sulit menaikkan nilai
tambah perikanan. Tahun 2010, industri pengolahan diharapkan optimal menampung bahan baku,
ujarnya.
Martani menambahkan, bentuk pengolahan ikan yang paling sederhana adalah pemotongan kepala dan
insang ikan. Hal itu dinilai tidak sulit dilakukan oleh industri. Pemerintah menargetkan utilitas UPI naik
menjadi 70 persen tahun 2009.
Februari 2008, pemerintah membatasi hanya 14 jenis ikan yang boleh diekspor dalam bentuk utuh.
September 2008, ekspor ikan beku dan segar diperbanyak untuk 22 jenis ikan.
Penambahan jenis ikan yang boleh diekspor utuh, yakni ikan Gulamah (Pseudociena amoyensis). Badan
ikan dasar laut itu beracun, tetapi bisa dikonsumsi jika diolah khusus.
Adapun empat jenis ikan lainnya boleh diekspor dalam bentuk utuh, tetapi dibatasi hingga 31 Desember
2009, adalah cakalang (Skipjack tuna), kakap merah (Lutjanus spp), kakap putih (Lates calcarifer), dan
layur (Trichiurus savala).
Pengecualian ekspor ikan utuh juga diberikan untuk empat jenis ikan yang nilai jualnya lebih tinggi
dibandingkan dengan produk hasil olahan, yakni ikan kuwe (Caranx sexfasciatus), layaran (Istiophorus
platypterus), scampi (Metanephrops sp.), dan albaqora (Thunnus alalunga).
Jenis lainnya yang boleh diekspor utuh adalah baronang, layur, bawal hitam, bawal putih, gurita, dan ekor
kuning. Selain itu, lobster, rock lobster yang berukuran lebih dari 250 gram, kerapu bebek, dan sunu
berukuran di bawah 300 gram.
Tidak sinkron

Ketua II Asosiasi Tuna Indonesia Eddy Yuwono mengatakan, larangan ekspor ikan utuh harus didukung
penyediaan infrastruktur penunjang industri pengolahan, antara lain lemari pendingin (cold storage).
Penyebabnya, volume tangkapan ikan cenderung tidak menentu, berlimpah pada musim tertentu dan
merosot pada musim lainnya. Saat ini, kapasitas cold storage yang ada sekitar 20.000 ton. Pada masa
panen, produksi ikan bisa mencapai ratusan ribu ton ikan.
Apabila industri belum optimal menampung produk perikanan, perlu diberlakukan sistem buka-tutup
larangan ekspor sesuai dengan ketersediaan bahan baku, ujar Eddy. (LKT)
JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Departemen
Kelautan dan Perikanan melarang jenis ikan tertentu untuk diekspor sebelum diolah. Dalam Surat
Keputusan Nomor 033/DJ-P2HP/2008 disebutkan hanya 14 jenis hasil tangkapan laut yang tidak perlu
diolah untuk diekspor.
"Kebijakan ini untuk melindungi stok dalam negeri," kata Direktur P2HP Ahmad Purnomo dalam
seminar "Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan" di Departemen Kelautan dan Perikanan
kemarin. Dengan demikian, penyedia bahan baku dan pelaku ikan olahan bisa membicarakan soal
kuota dan harga yang menguntungkan kedua pihak.
Sebelumnya,

Asosiasi

Pengusaha

Pengalengan

Ikan Indonesia (Apiki)

mengeluhkan

sulitnya

mendapatkan pasokan bahan baku karena pengusaha perikanan tangkap lebih suka menjual ke luar
negeri. Menurut Ketua Apiki Hendri Sutandinata, perikanan lokal hanya menyuplai 100 ribu ton ikan
cakalang per tahun, padahal kapasitas perusahaan ikan kaleng 350 ribu ton per tahun. "Saat ini
sebanyak 50 ribu ton pasokan bahan baku kami dapatkan dari impor. Jadi kami masih kekurangan 200
ribu ton," kata dia
Dalam acara berbeda, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Departemen Kelautan dan Perikanan
Made L. Nurdjana meminta para pembudi daya hasil laut mengembangkan keanekaragaman produk
komoditas makanan laut. Upaya ini perlu dilakukan agar jika Amerika Serikat memberlakukan Undang
Undang

Antidumping

mereka

masih

memiliki

komoditas

lain

sebagai

sumber

pendapatan.

"Kembangkan yang lain, seperti sidat, patin, dan kerapu kertang," ujarnya.
Pemberlakuan UU Antidumping ada kemungkinan muncul mengingat harga udang lokal di Amerika
menurun akibat membanjirnya udang dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menurut Direktur Usaha dan Investasi Departemen Kelautan dan Perikanan Widodo Ma'aruf, pengajuan
petisi investigasi antidumping di Amerika cukup mudah. Jika ekspor dari suatu negara meningkat
drastis, hampir dipastikan negara eksportir akan menjadi target investigasi antidumping. Berdasarkan
data Departemen Kelautan dan Perikanan, nilai impor udang Amerika dari negara-negara yang akan
diinvestigasi sebesar US$ 2,5 miliar. Fanny Febyanti | ARTI EKAWATI. Koran Tempo, Jumat, 13 Juni
2008

-ekspor hasil perikanan yang dikirim secara utuh maupun dalam bentuk olahan/beku antara lain:
-ikan kuwe (Caranx sexfasciatus),
-layaran (Istiophorus platypterus),
-scampi (Metanephrops sp.),
-albaqora (Thunnus alalunga),
-baronang,
-layur,
-bawal hitam,
-bawal putih,
-gurita,
-ekor kuning,
-lobster,
-rock lobster yang berukuran lebih dari 250 gr,
-kerapu bebek,
-sunu berukuran di bawah
300 gr
-kepiting
-tiram,
-mutiara,
-kerang,
-rumput laut,

-cumi,
-sotong dan
-semua jenis udang kecuali udang galah dan udang windu, serta udang yang bertelur dan induk udang.

Anda mungkin juga menyukai