Latar Belakang
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang
selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga
sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku
yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna
bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak
memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak
mendapatkan pembalasan yang kejam.
http://danalingga.wordpress.com
yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.Banyak pendapat
yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang
tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions)
act, 1984, sebagai berikut: Terrorism means the use of violence for political ends and
includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the
public in fear. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain
merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai
akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor
intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang
mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan
pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak
Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada
tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum
Pidana Khusus2
2
http://danalingga.wordpress.com
http://danalingga.wordpress.com
seseorang
yang
diduga
keras
telah
melakukan
Tindak
Pidana
berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti
4
http://danalingga.wordpress.com
Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas
mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat
di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
1. Untuk
memperoleh
Bukti
Permulaan
yang
cukup,
penyidik
dapat
Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana
pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat
sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang
sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum,
diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan
batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen,
sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal
26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk
melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang
dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal
tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat,
dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan
terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang
menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak
Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap
perbuatan terormelalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan
darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan
tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah
memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan
penindakan terhadap perbuatan teror5.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi
pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan
5
bbc.co.uk navigation
II .Perumusan Masalah
6 bbc.co.uk navigation
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, penulis membatasi makalah ini dengan
bertemakan tentang Terorisme. Adapun untuk memudahkan menemukan jawaban,
penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. 1.Upaya-upaya penegakan hukum yang bagaimanakah dalam memberantas
terorisme di indonesia?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala dalam rangka pemberantasan
terorisme di indonesia?
III . Pembahasan
1.Upaya Menanggulangi dan Memberantas Terorisme
Kita semua pasti sepakat bahwa usaha-usaha memerangi terorisme dalambentuk
apapun tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan.
Upaya memerangi terorisme harus berangkat dari penyelesaian terhadap akar atau
sumber masalah, karena jika tidak diketahui dan dihilangkan dulu faktor penyebabnya
maka
sulit
ditemukan
langkah-langkah
atau
strategi
yang
tepat
untuk
memberantasnya.7
Pertama, perbaikan terhadap produk hukum dasar, sebagai akibat dari adanya
perkembangan sebagaimana disebut sebelumnya dengan undang-undang no. 15 tahun
2003 dan undang-undang no. 16 tahun 2003, perlu mendapat perhatian untuk dikaji
lebih lanjut. Haruslah dicatat bahwa aparat kepolisian telah menunjukkan
peningkatan profesionalitas di dalam melakukan berbagai upaya pencegahan dan
pemberantasan serta penanganan ancaman terorisme. Tetapi upaya-upaya kepolisian
yang dari waktu ke waktu telah semakin menunjukkan prestasinya perlu didukung
oleh aparat penegak hukum lainnya di tingkat proses pengadilan sehingga kasuskasus kriminal terorisme dapat berjalan secara lebih cepat. Sejumlah keluhan bahwa
hasil penyelidikan polisi terhadap pelaku tindakan terorisme yang kerap terhambat
Rohmawati,Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003 , Jakarta:UIN Press.
2004
7
karena proses pembuktian yang alot dan belum di tingkat pengadilan tak jarang
membuat hasil penyelidikan polisi tidak dapat direspons dengan cepat di tingkat
peradilan.
Kedua, koordinasi antar badan-badan intelijen militer dan kepolisian merupakan
suatu keharusan di dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan terorisme.
Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang mata rantai jaringan pendukungnya
tidak gampang terurai. Untuk itu maka meskipun kepolisian merupakan ujung
tombak dalam upaya pencegahan dan penangkalan aksi-aksi terorisme, badan-badan
intelijen pada masing-masing angkatan di tubuh tentara nasional Indonesia (TNI)
perlu juga bekerja dan dikoordinasikan secara sinerjis sehingga langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan terorisme dapat semakin komprehensif. Ide mengenai
mengaktifan kembali desk-desk anti teror pada masing-masing angkatan di dalam
TNI perlu digalang kembali sehingga dan dikoordinasikan sedemikian rupa untuk
dapat saling bahu-membahu dengan pihak kepolisian.
Ketiga, karena sifat organisasi terorisme yang transnasional, maka kerjasama baik
pada level bilateral maupun multilateral dalam rangka upaya memberantas terorisme
adalah suatu langkah yang mutlak harus dilakukan. Sifat transnasional jaringan
terorisme hasrusnya semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa aksi-aksi
yang ditimbulkan jaringan ini adalah kejahatan kemanusiaan yang karenanya harus
dilihat sebagai musuh bersama, dan sebagai musuh bersama maka mencegah dan
memberantas terorisme merupakan kewajiban internasional yang mengharuskan
negara-negara bersatu memeranginya.
Keempat, diperlukan identifikasi dan analisis yang mendalam berkaitan dengan akar
persoalan utama (root causes) dari setiap insiden teror. Gambaran yang jelas
mengenai hal ini merupakan prasyarat yang mutlak terhadap upaya-upaya preventif
yang selanjutnya dapat diambil. Pada tataran inilah perlunya kesadaran bersama
bahwa upaya penangkalan dan pencegahan yang terutama dilakukan aparat kepolisian
hanyalah sebagian dari upaya memberantas terorisme secara keseluruhan.
Kelima, di dalam kaitannya dengan poin pertama, sebagai pemerintahan yang
demokratis maka pemerintah perlu menunjukkan ketegasan politik di dalam menjaga
keberlangsungan hukum di dalam setiap upaya memberantas terorisme. Pemerintah
harus bertindak tegas, sebab ketidaktegasan akan memunculkan persepsi ambivalen
yang potensial memberikan ruang gerak terhadap aksi-aksi terorisme.
10
8 Widjajanto, A. (2003) Menangkal Terorisme Global. Dalam: R. Marpaung & A. Araf, (eds). Terorisme,
Defenisi, Aksi, dan Regulasi. Jakarta: Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. page number(s).
11
Secara umum munculnya tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih darifaktorfaktor berikut:
a.Ideologi
Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menadi dasar dari tindakan
seseorang, sekelompok, partai atau Negara. Ideology adalah salah satu alasan yang
digunakan orang atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan atau
terorisme.
b.Perjuangan Agama
Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada perjuangan agama
tertentu adalah kelompok-kelompok islam radikal yang berkembang di seluruh dunia
terutama yang memiliki penduduk mayoritas beragama islam.Tujuan tersebut
biasanya muncul disebabkan oleh ketidak puasan kelompok-kelompok tersebut
terhadap kebijakan pemerintah.
c.Ketidakadilan
Munculnya aksi terorisme dalam suatu Negara itu terkait dengan kebijakan
pemerintah nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis
tatanan masyarakat yang pluralistic yang berlangsung lama dan tidakadak harapan
adanya perubahan.10
Pemberantasan tindak pidana terorisme selalu berbenturan dengan yurisdiksi kriminal
suatu negara. Akibatnya beberapa pelaku tindak pidana terorisme lolos dari jerat
hukum karena sistem hukum antarnegara berbeda-beda.
Hal tersebut diungkapkan Ihat Sublihat, pengajar Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Islam Negeri SGD Bandung saat mempertahankan desertasi untuk
10 Purwanto, Wawan H.Teror i s m e U n d e rco v e r : M e m b e r a n t a s Teror i s m e H ingga ke Akar- Aka r,
M u n g ki n K a h ? . Jakarta: CMB Press2007
12
13
BAB II
TERORISME DI INDONESIA
I.Pengertian Terorisme
14
Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni Terrere (gemetaran) dan
Deterrere (takut). Menurut kamus ilmiah Populer (2006 : 467) terorisme adalah
hal tindakan pengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan(bidang politik);
penggunaan kekerasan dan ancaman secara sistematis danterencana untuk
menimbulkan rasa takut dan menggangu system-sistem wewenang yang ada 2.
Defenisi Terorisme, Berdasarkan konvensi PBB tahun 1939, adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas3 Sedangkan menurut Departemen Pertahanan Amerika Serikat,
terorisme merupakan perbuatan melawanhukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan ataupaksaan terhadap individu atau hak milik untuk
memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama,atau ideologi. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat
memahami bahwa unsur utama dari terorisme adalah penggunaan kekerasan yang
dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci (agama), motif
ekonomi, dan balas dendam, membebaskan tanah air, menyingkirkan musuh
politik, dan bahkan gerakan separatis.4
II.Sejarah Terorisme
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan
bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk
mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula
2
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press. 2006) cet 1. h. 467
ibi
15
sejarah Terorisme modern.Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad
ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant
Wardlawdalam
buku
Political
Terrorism
(1982),
manifestasi
Terorisme
16
17
18
tatanan masyarakat yang pluralistic yang berlangsung lama dan tidakadak harapan
adanya perubahan
IV.Bentuk-Bentuk Terorisme
a . Ditinjau dari cara-c ara yang digunakan
1. Terror Fisik
Yang dimaksud dengan terror fisik adalah penciptaan rasa takut dangelisah
dengan menggunakan alat-alat yang berlangsung berkenaandengan unsure
jasmani manusia.
2.Teror mental
Terror mental dilakukan dengan tujuan untuk mencipatakan rasatakut dan
gelisah dengan menggunakan alat-alat yang tidakberkenaan langsung
dengan jasmani manusia, tetapi dengan tekananpsikologi sehingga
menimbulkan tekanan bathin yang luar biasasampai-sampai sasaran terror
menjadi putus asa, gila hingga bunuh diri
19
1. Terorisme
Domestik
(Lokal)
atau
Terorisme
Nasional
Terorisme domestic atau terorisme nasional adalah tindakan terroryang
diarahkan pada lingkup geografis suatu Negara secara terbatas
2. Terorisme Internasional atau Terorisme Global
Terorisme
internasional
adalah
tindakan
terror
yang
mengarah
a. Tahun 1981
Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan
maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan padaPenerbangan
dengan pesawat DC-9Woyla berangkat dari Jakarta padapukul 8 pagi, transit
di Palembang, dan akan terbang ke Medan denganperkiraan sampai pada
20
Bom
Gereja
Santa
Anna
dan
HKBP,
22
Juli
2001.
di
mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada
21
e. Tahun 2002
rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom
rakitanyang
dibungkus
wadah
pelat
baja
meledak
di
restoran
adakorban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak
diiarea publik di terminal 2F, bandar udara internasional SoekarnoHatta,Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang
danringan.
22
g. Tahun2004
h. Tahun 2005
dibungkus
wadah
pelat
baja
meledak
di
restoran
korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak
diiarea publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-
23
dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian
Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang
lainnyamengalami luka-luka.
j. Tahun2004
k. Tahun2005
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurangkurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakanyang
24
Sulawesi
Tengah
yang
menewaskan
orang
dan
melukaisedikitnya 45 orang.
l. Tahun2009
sedemikian
besarnya
kerugian
yang
ditimbulkan
oleh
suatu
25
proses
dalammasyarakat.
kriminalisasi
Karena
atas
pengaruh
suatu
perbuatan
perkembangan
tertentu
zaman,
di
terjadi
menjadi
termasuk
Tindak
Pidana
dan
diatur
dalam
26
Pidana (KUHAP) [[( lex specialis derogat lex generalis) ]]. Keberlakuan
lex specialisderogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa
pengecualian
terhadap Undang-Undang
yang
bersifat
27
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalamkejahatan
terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyaiwewenang yang lebih
atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkanpembuktian bahwa seseorang telah
melakukan suatu kejahatan terhadapkeamanan Negara, akan tetapi penyimpangan
tersebut adalah sehubungandengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan
negara yang harusdilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam
peraturankhusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain
ketentuantersebut, pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan
termasuk asas yang terdapat dalam buku IKitabUndang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) berlaku pula bagi peraturanpidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnyasaja, akan
tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikanbahwa aturan-aturan
tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asasumum yang terdapat baik dalam
ketentuan umum yang terdapat dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) bagi hukum pidana materielnyasedangkan untuk hukum pidana formilnya
harus tunduk terhadap ketentuanyang terdapat dalamUndang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme, bahwa untuk
menyelesaikan kasus-kasus Tindak PidanaTerorisme, hukum acara yang berlaku
adalah sebagaimana ketentuanUndang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya
pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas
28
umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada
kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalamUndang-Undangtersebut
yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana danHukum Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut mengurangi Hak AsasiManusia, apabila dibandingkan asasasas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila
memang diperlukan suatupenyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan
tersebut, karena setiapperubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi
Manusia[20]. Ataumungkin karena sifatnya sebagaiUndang-Undang yang khusus,
maka bukanpenyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas
yangsebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus
tersebut.
Sesuai pengaturanUndang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang HukumAcara
Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP),penyelesaian suatu
perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahapberacara di pengadilan, dimulai
dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikutidengan penyerahan berkas penuntutan
kepada Jaksa PenuntutUmum. Pasal17 KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkanbahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorangyang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan
BuktiPermulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaanitu
sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelasmendefinisikannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) yang menjadi dasar
pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapatperbedaan pendapat di antara para
penegak hukum. Sedangkan mengenaiBukti Permulaan dalam pengaturannya pada
Un d a n g - Undang Nomor 15Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, pasal 26berbunyi:
29
1. Untuk
memperoleh
Bukti
Permulaan
yang
cukup,
penyidik
30
Permulaan.
Terutama
karena
ketentuan
pasal
26
ayat
(1)
tersebut
Tindak
Pidana
Terorisme,
maka
kejelasan
mengenai
hal
dengan
dilakukannya
penangkapan
secara
sewenang-wenang
jugaterhadap
telahmemberikan
Hak
Asasi
wewenang
Manusia.
yang
berlebih
Aturan
darurat
kepada
sedemikian
penguasa
di
itu
dalam
31
masalah,
karena
jika
tidak
diketahui
dan
dihilangkan
dulu
32
BAB III
KE S I M P U L A N
Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak
aksi kekerasan,terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan
terjaditanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama
denganintimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya
langsung,sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah
orangyang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi
agarmasyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan
terortidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda
fisik.Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup
mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas
kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza
atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru
seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian
33
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Wawan H.Terorisme Undercover : Memberantas Terorisme
H ingga ke Akar- Akar, Mungkin Kah?. Jakarta: CMB Press2007
Rohmawati,Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003 , Jakarta:UIN Press.
2004
Tim Prima Pena.Kamus Ilmiah Populer Edisi Leng kap. (Jakarta: Gitamedia
Press.2006)
Zulfidah, Abdullah.Terorisme dan Konspirasi Anti Islam . Jakarta: Pustaka AlKautsar. 2002
www.wikipedia.org