Anda di halaman 1dari 33

1

Upaya Penegakan Hukum dalam memberantas Terorisme di


Indonesia
I.

Latar Belakang
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang
selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga
sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku
yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna
bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak
memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak
mendapatkan pembalasan yang kejam.

Al-Qaeda sering disebut-sebut sebagai actor di balik tragedi kemanusianyang


spektakuler tersebut. Bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisismulti dimensional
juga tak luput dari target aksi terorisme.Dari uraian yang telah dibahas diatas penulis
tertarik untuk menjabarkansecara lebih detail lagi tentang terorisme, khususnya
terorisme di Indonesia. 1
Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober
2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,
1

http://danalingga.wordpress.com

yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.Banyak pendapat
yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang
tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions)
act, 1984, sebagai berikut: Terrorism means the use of violence for political ends and
includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the
public in fear. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain
merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai
akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor
intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang
mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan
pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak
Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada
tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum
Pidana Khusus2
2

http://danalingga.wordpress.com

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003


mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis
derogat lex generalis)''.3
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan
tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan
tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam
ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus
tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk
menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku
adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya
pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum
Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya,
terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang
merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asasasas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila
memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan
tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi
3

http://danalingga.wordpress.com

Manusia. Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25


Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum
acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP)4. Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh
bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah
ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam
Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana
dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia,
apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa
dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat
dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang
yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan
pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun
dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu
perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai
dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan
kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap

seseorang

yang

diduga

keras

telah

melakukan

Tindak

Pidana

berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti
4

http://danalingga.wordpress.com

Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas
mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat
di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
1. Untuk

memperoleh

Bukti

Permulaan

yang

cukup,

penyidik

dapat

menggunakan setiap Laporan Intelijen.


2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera
memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti
Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan
sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan
Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan
suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua
Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara
tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat
untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu

Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana
pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat
sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang
sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum,
diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan
batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen,
sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal
26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk
melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang
dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal
tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat,
dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan
terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang
menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak
Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap
perbuatan terormelalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan
darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan
tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah
memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan
penindakan terhadap perbuatan teror5.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi
pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan
5

bbc.co.uk navigation

kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi


pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini
diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti
inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena
alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan
dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurutMunir, bahwa memang
secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi
dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan
Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya
membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia
tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan6.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat atau
membahasnya dalam sebuah makalah yang berjudulupaya penegakan hukum
dalam memberantas terorisme di Indonesia.

II .Perumusan Masalah

6 bbc.co.uk navigation

Agar pembahasan tidak terlalu melebar, penulis membatasi makalah ini dengan
bertemakan tentang Terorisme. Adapun untuk memudahkan menemukan jawaban,
penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. 1.Upaya-upaya penegakan hukum yang bagaimanakah dalam memberantas
terorisme di indonesia?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala dalam rangka pemberantasan
terorisme di indonesia?
III . Pembahasan
1.Upaya Menanggulangi dan Memberantas Terorisme
Kita semua pasti sepakat bahwa usaha-usaha memerangi terorisme dalambentuk
apapun tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan.
Upaya memerangi terorisme harus berangkat dari penyelesaian terhadap akar atau
sumber masalah, karena jika tidak diketahui dan dihilangkan dulu faktor penyebabnya
maka

sulit

ditemukan

langkah-langkah

atau

strategi

yang

tepat

untuk

memberantasnya.7
Pertama, perbaikan terhadap produk hukum dasar, sebagai akibat dari adanya
perkembangan sebagaimana disebut sebelumnya dengan undang-undang no. 15 tahun
2003 dan undang-undang no. 16 tahun 2003, perlu mendapat perhatian untuk dikaji
lebih lanjut. Haruslah dicatat bahwa aparat kepolisian telah menunjukkan
peningkatan profesionalitas di dalam melakukan berbagai upaya pencegahan dan
pemberantasan serta penanganan ancaman terorisme. Tetapi upaya-upaya kepolisian
yang dari waktu ke waktu telah semakin menunjukkan prestasinya perlu didukung
oleh aparat penegak hukum lainnya di tingkat proses pengadilan sehingga kasuskasus kriminal terorisme dapat berjalan secara lebih cepat. Sejumlah keluhan bahwa
hasil penyelidikan polisi terhadap pelaku tindakan terorisme yang kerap terhambat
Rohmawati,Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003 , Jakarta:UIN Press.
2004
7

karena proses pembuktian yang alot dan belum di tingkat pengadilan tak jarang
membuat hasil penyelidikan polisi tidak dapat direspons dengan cepat di tingkat
peradilan.
Kedua, koordinasi antar badan-badan intelijen militer dan kepolisian merupakan
suatu keharusan di dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan terorisme.
Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang mata rantai jaringan pendukungnya
tidak gampang terurai. Untuk itu maka meskipun kepolisian merupakan ujung
tombak dalam upaya pencegahan dan penangkalan aksi-aksi terorisme, badan-badan
intelijen pada masing-masing angkatan di tubuh tentara nasional Indonesia (TNI)
perlu juga bekerja dan dikoordinasikan secara sinerjis sehingga langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan terorisme dapat semakin komprehensif. Ide mengenai
mengaktifan kembali desk-desk anti teror pada masing-masing angkatan di dalam
TNI perlu digalang kembali sehingga dan dikoordinasikan sedemikian rupa untuk
dapat saling bahu-membahu dengan pihak kepolisian.
Ketiga, karena sifat organisasi terorisme yang transnasional, maka kerjasama baik
pada level bilateral maupun multilateral dalam rangka upaya memberantas terorisme
adalah suatu langkah yang mutlak harus dilakukan. Sifat transnasional jaringan
terorisme hasrusnya semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa aksi-aksi
yang ditimbulkan jaringan ini adalah kejahatan kemanusiaan yang karenanya harus
dilihat sebagai musuh bersama, dan sebagai musuh bersama maka mencegah dan
memberantas terorisme merupakan kewajiban internasional yang mengharuskan
negara-negara bersatu memeranginya.
Keempat, diperlukan identifikasi dan analisis yang mendalam berkaitan dengan akar
persoalan utama (root causes) dari setiap insiden teror. Gambaran yang jelas
mengenai hal ini merupakan prasyarat yang mutlak terhadap upaya-upaya preventif
yang selanjutnya dapat diambil. Pada tataran inilah perlunya kesadaran bersama
bahwa upaya penangkalan dan pencegahan yang terutama dilakukan aparat kepolisian
hanyalah sebagian dari upaya memberantas terorisme secara keseluruhan.
Kelima, di dalam kaitannya dengan poin pertama, sebagai pemerintahan yang
demokratis maka pemerintah perlu menunjukkan ketegasan politik di dalam menjaga
keberlangsungan hukum di dalam setiap upaya memberantas terorisme. Pemerintah
harus bertindak tegas, sebab ketidaktegasan akan memunculkan persepsi ambivalen
yang potensial memberikan ruang gerak terhadap aksi-aksi terorisme.

10

Keenam, di dalam menjalankan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan serta


penanganan terorisme, pemerintah harus sedemikian rupa berupaya mendapat
dukungan publik. Lemahnya dukungan publik niscaya akan memperlemah langkahlangkah pemberantasan terorisme. Masih belum berhasilnya pihak kepolisian
menangkap sejumlah buron utama pelaku tindakan terorisme semisal Noordin M Top
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih memberikan tempat perlindungan
bagi buronan-buronan ini. Dengan demikian, setidaknya ada segelintir kelompok
masyarakat, dengan alasan apapun, belum sepenuhnya mendukung berbagai upaya
pemerintah yang ditujukan untuk mencegah dan memberantas ancaman terorisme.
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, keenam hal yang disebutkan ini bukanlah
pikiran baru. Tetapi pengkajian ulang terhadap keenamnya tentu masih sangat
diperlukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme di
Indonesia.8
Bachtiar Efendy berpendapat bahwa usaha untuk memerangi terorisme di Negeri ini,
terutama yang berkaitan dengan kelompok garis keras, tidakbanyak yang bisa
dilakukan karena sebenarnya sebab-sebab terorisme itu tidak ada di Indonesia,
Indonesia hanya ketempatan terorisme global saja. Jadi untuk memeranginya harus
bersifat global pula.
Menyoroti masalah terorisme di Indonesia yang semakin meningkat belakangan ini,
bahtiar menyatakan pandangannya tentang pentingnya penegakan hukum dan
keadilan di Indonesia. Setiap tindakan kekerasanharus ditindak tegas, siapapun
pelakunya.9
2 . faktor yang menjadi kendala dalam pemberantasan terorisme

8 Widjajanto, A. (2003) Menangkal Terorisme Global. Dalam: R. Marpaung & A. Araf, (eds). Terorisme,
Defenisi, Aksi, dan Regulasi. Jakarta: Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. page number(s).

9 Purwanto, Wawan H.Teror i s m e U n d e rco v e r : M e m b e r a n t a s Teror i s m e H ingga ke Akar- Aka r,


M u n g ki n K a h ? . Jakarta: CMB Press2007

11

Secara umum munculnya tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih darifaktorfaktor berikut:
a.Ideologi
Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menadi dasar dari tindakan
seseorang, sekelompok, partai atau Negara. Ideology adalah salah satu alasan yang
digunakan orang atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan atau
terorisme.
b.Perjuangan Agama
Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada perjuangan agama
tertentu adalah kelompok-kelompok islam radikal yang berkembang di seluruh dunia
terutama yang memiliki penduduk mayoritas beragama islam.Tujuan tersebut
biasanya muncul disebabkan oleh ketidak puasan kelompok-kelompok tersebut
terhadap kebijakan pemerintah.
c.Ketidakadilan
Munculnya aksi terorisme dalam suatu Negara itu terkait dengan kebijakan
pemerintah nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis
tatanan masyarakat yang pluralistic yang berlangsung lama dan tidakadak harapan
adanya perubahan.10
Pemberantasan tindak pidana terorisme selalu berbenturan dengan yurisdiksi kriminal
suatu negara. Akibatnya beberapa pelaku tindak pidana terorisme lolos dari jerat
hukum karena sistem hukum antarnegara berbeda-beda.
Hal tersebut diungkapkan Ihat Sublihat, pengajar Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Islam Negeri SGD Bandung saat mempertahankan desertasi untuk
10 Purwanto, Wawan H.Teror i s m e U n d e rco v e r : M e m b e r a n t a s Teror i s m e H ingga ke Akar- Aka r,
M u n g ki n K a h ? . Jakarta: CMB Press2007

12

memperoleh gelar doktor ilmu hukum di Universitas Padjadjaran, Senin (30/7).


Dalam kesempatan tersebut Ihat menyampaikan desertasi berjudul "Perluasan
Yurisdiksi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia".
Ihat menjelaskan, disahkannya UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme secara konseptual di dalamnya terdapat beberapa prinsip umum
internasional untuk menjangkau perbuatan terorisme. Namun prinsip-prinsip tersebut
pada tingkat aplikatif menghadapi beberapa masalah terutama karena konflik
yurisdiksi dan hubungan kedaulatan dua negara atau lebih.
"Kejahatan di luar negeri khusus terorisme dapat dijerat dengan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme sepanjang ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara,"
ujarnya.
Fakta bahwa suatu negara melalui hukum nasionalnya seringkali tidak dapat
melakukan penuntutan terhadap pelaku pidana terorisme mendorong negara lain yang
merasa berkepentingan menerapkan yurisdiksi. Misalnya negara Malaysia
membiarkan warga negaranya meledakkan bom di Indonesia dan tidak melakukan
penuntutan terhadap Noerdin M. Top dan Azhari.
"Pelaku terorisme tidak hanya berasal dari Indonesia melainkan melibatkan banyak
orang dari berbagai negara. Dan kontroversi internasional atas batas yurisdiksi
menjadi permasalahan karena implementasi yuridiksi sering menimbulkan konflik
dalam menindak pelaku teroris. Penggunaan hukum nasional dalam menanggulangi
tindak pidana teroris juga sering tidak efektif. Dengan alasan asas resiprositas, banyak
negara yang tidak mau menyerahkan kasusnya diselesaikan di negara lain," tuturnya.
Oleh karena itu, Ihat menuturkan, penerapan yurisdiksi kriminal tindak pidana
terorisme dapat diterobos dengan menggunakan prinsip nasional aktif, sehingga
dimanapun warga negara Indonesia melakukan tindak pidana terorisme, Indonesia
sebagai negara berdaulat punya kewenangan untuk mengadili. "Prinsip nasional aktif
memungkinkan suatu negara untuk memperluas yurisdiksi kriminal di luar batas
teritorial dengan kerjasama penyerahan alat bukti dan saksi-saksi," katanya. 11
III.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk :
1. Memahami lebih mendalam tentang Terorisme
11 http://www.pikiran-rakyat.com/node/197793

13

2. Mengetahui sebab-sebab terjadinya terorisme di Indonesia


3. Sebagai Salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu hukum
IV.Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran pembahasan yang menyeluruh, maka penulisan
makalah ini dibagi menjadi tiga bab dengan sistematika sebagai berikut : Daftar Isi
Kata Pengantar
BAB I, Pendahuluan terdiri dari: Latar Belakang, Pembatasan danPerumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II, Terorisme di Indonesia, Terdiri dari : Pengertian Terorisme, SejarahTerorisme,
Sebab-Sebab Terorisme, Bentuk-Bentuk Terorisme, Terorisme di Indonesia, Upaya
Menanggulangi dan Memberantas Terorisme.
Bab III. Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB II
TERORISME DI INDONESIA
I.Pengertian Terorisme

14

Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni Terrere (gemetaran) dan
Deterrere (takut). Menurut kamus ilmiah Populer (2006 : 467) terorisme adalah
hal tindakan pengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan(bidang politik);
penggunaan kekerasan dan ancaman secara sistematis danterencana untuk
menimbulkan rasa takut dan menggangu system-sistem wewenang yang ada 2.
Defenisi Terorisme, Berdasarkan konvensi PBB tahun 1939, adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas3 Sedangkan menurut Departemen Pertahanan Amerika Serikat,
terorisme merupakan perbuatan melawanhukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan ataupaksaan terhadap individu atau hak milik untuk
memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama,atau ideologi. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat
memahami bahwa unsur utama dari terorisme adalah penggunaan kekerasan yang
dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci (agama), motif
ekonomi, dan balas dendam, membebaskan tanah air, menyingkirkan musuh
politik, dan bahkan gerakan separatis.4
II.Sejarah Terorisme
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan
bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk
mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula
2

Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press. 2006) cet 1. h. 467

http://www.wikipedia.org/definisi_terorisme.htm tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB

ibi

dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi


pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok
terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.Pembunuhan terhadap individu ini
sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada

15

sejarah Terorisme modern.Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad
ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant
Wardlawdalam

buku

Political

Terrorism

(1982),

manifestasi

Terorisme

sistematismuncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh


keduaabad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancistahun
1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya PerangDunia-I,


terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme
mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika.Mereka percaya bahwa
Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun
sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada
tahun 1890-an aksiterorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir
denganbencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia
I.Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian darigerakan sayap
kiri yang berbasiskan ideologi.Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang
Dunia II, Terorismedilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat
pemerintah.Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan
olehFLN yang mempopulerkan serangan yang bersifat acak terhadap masyarakat
sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apayang disebut sebagai
Terorisme negara oleh Algerian Nationalist
Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.Bentuk ketiga
Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah Terorisme Media,
berupa serangan acak terhadap siapa saja untuktujuan publisitas. Bentuk ketiga ini
berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

16

1.Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya


gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2.Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama,radikalis
setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilyakota.
3.Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika
itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan
mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan the
philosophy of the bomb yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Pasca Perang
Dunia II, dunia tidak pernah mengenal "damai".Berbagai pergolakan berkembang dan
berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi
konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya
menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah,
pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga,
pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil
dan bergejolak. Ketidak stabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara
berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan
sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme. Fenomena Terorisme
meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang
dalam sengketa ideologi,fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan,
gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan
kekuasaannya. Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik

1. Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.


2. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional
secepat mungkin.

17

3. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang


sudahdilakukan.
4. Serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena
sasarannyasama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

III. Sebab-Sebab Terorisme


Adalah sangat

penting untuk mengetahui

sebab-sebab terjadinya terorisme.Karena

dengan mengetahui sebab-sebabnya, maka dapat ditemukanlangkah-langkah atau


strategi yang tepat dan efektif untuk memberantasnya.Secara umum munculnya
tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih dari faktor-faktor berikut:
a.Ideologi
Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menadi dasar dari tindakan
seseorang, sekelompok, partai atau Negara. Ideology adalah salah satu alasan yang
digunakan orang atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan atau
terorisme.
b.Perjuangan Agama
Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada perjuanganagama
tertentu adalah kelompok-kelompok islam radikal yangberkembang di seluruh dunia
terutama yang memiliki pendudukmayoritas beragama islam.Tujuan tersebut biasanya
muncul disebabkan oleh ketidak puasankelompok-kelompok tersebut terhadap
kebijakan pemerintah.
c.Ketidakadilan
Munculnya aksi terorisme dalam suatu Negara itu terkait dengankebijakan
pemerintah nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis

18

tatanan masyarakat yang pluralistic yang berlangsung lama dan tidakadak harapan
adanya perubahan
IV.Bentuk-Bentuk Terorisme
a . Ditinjau dari cara-c ara yang digunakan
1. Terror Fisik
Yang dimaksud dengan terror fisik adalah penciptaan rasa takut dangelisah
dengan menggunakan alat-alat yang berlangsung berkenaandengan unsure
jasmani manusia.
2.Teror mental
Terror mental dilakukan dengan tujuan untuk mencipatakan rasatakut dan
gelisah dengan menggunakan alat-alat yang tidakberkenaan langsung
dengan jasmani manusia, tetapi dengan tekananpsikologi sehingga
menimbulkan tekanan bathin yang luar biasasampai-sampai sasaran terror
menjadi putus asa, gila hingga bunuh diri

b.Ditinjau dari skala sasaran

19

1. Terorisme

Domestik

(Lokal)

atau

Terorisme

Nasional
Terorisme domestic atau terorisme nasional adalah tindakan terroryang
diarahkan pada lingkup geografis suatu Negara secara terbatas
2. Terorisme Internasional atau Terorisme Global
Terorisme

internasional

adalah

tindakan

terror

yang

mengarah

padakepentingan-kepentingan global, tanpa batas-batas tertentu suatunegara


V. Terorisme di Indonesia
Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukanoleh
kelompok militan Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda ataupun
kelompok militan yang menggunakan ideologi serupadengan mereka. Sejak tahun
2002, beberapa "target negara Barat" telahdiserang. Korban yang jatuh adalah turis
Barat dan juga pendudukIndonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000
dengan terjadinyaBom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar
lainnya, danyang paling mematikan adalah Bom Bali 2002Berikut adalah beberapa
kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesiadan instansi Indonesia di luar
negeri:

a. Tahun 1981
Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan
maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan padaPenerbangan
dengan pesawat DC-9Woyla berangkat dari Jakarta padapukul 8 pagi, transit
di Palembang, dan akan terbang ke Medan denganperkiraan sampai pada

20

pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawattersebut dibajak oleh 5 orang teroris


yang menyamar sebagaipenumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan
granat, dan mengakusebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1
tentarakomando tewas; 3 teroris tewas.
b. Tahun 1985
Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme iniadalah
peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpaIndonesia.
c. Tahun 2000

Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuahmobil


yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta
Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka,termasuk Duta Besar

Filipina Leonides T Caday.


Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak dikompleks

Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak adakorban jiwa.


Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan
mengguncanglantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang

tewas, 90 oranglainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.


Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bompada
malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa16 jiwa dan

melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.


d. Tahun2001

Bom

KawasanKalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.


Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak

dikawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.


Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom

Gereja

Santa

Anna

dan

HKBP,

22

Juli

2001.

di

mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada

21

korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC

Lifecabang Makassar tidak meledak.


Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan
meledakdi halaman Australian International School (AIS), Pejaten,
Jakarta.

e. Tahun 2002

Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di


depanrumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan
seoranglainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat

ledakanbom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.


Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202
korbanyang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang
lainnyaluka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom

rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom
rakitanyang

dibungkus

wadah

pelat

baja

meledak

di

restoran

McDonald'sMakassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.


f. Tahun 2003

Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom


rakitanmeledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak

adakorban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak
diiarea publik di terminal 2F, bandar udara internasional SoekarnoHatta,Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang
danringan.

22

Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian


Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang
lainnyamengalami luka-luka.

g. Tahun2004

Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)


Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi
didepan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan
lainnyaluka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa
gedung disekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung

BNI.(Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)


Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada
12Desember 2004.

h. Tahun 2005

Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005


Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom
rakitanyang

dibungkus

wadah

pelat

baja

meledak

di

restoran

McDonald'sMakassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.


i. Tahun 2003

Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan


meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada

korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak
diiarea publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-

23

Hatta,Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang

dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian
Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang
lainnyamengalami luka-luka.

j. Tahun2004

Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)Bom


Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi didepan
Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnyaluka-luka.
Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung disekitarnya
seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI.(Lihat pula:

Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)


Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada
12Desember 2004.

k. Tahun2005

Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005

Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.Bom Pamulang, Tangerang, 8


Juni 2005. Bom meledak di halamanrumah Ahli Dewan Pemutus
Kebijakan Majelis Mujahidin IndonesiaAbu Jibril alias M Iqbal di
Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.

Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurangkurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakanyang

24

terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah PantaiKuta


dan di Nyoman Caf Jimbaran.

Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar


diPalu,

Sulawesi

Tengah

yang

menewaskan

orang

dan

melukaisedikitnya 45 orang.

l. Tahun2009

Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW


Marriottdan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan,

sekitar pukul07.50 WIB.


m. Tahun2010
Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
Perampokan bank CIMB Niaga September 2010
Menyadari

sedemikian

besarnya

kerugian

yang

ditimbulkan

oleh

suatu

tindakTerorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesiasebagai


akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuksecepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidanapelaku dan aktor
intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadiprioritas utama dalam
penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan,diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang
Tindak PidanaTerorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang
adasaat ini yaitu Kitab
Un d a n g - Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta
tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana

25

http://ww.wikipedia.org/terorisme_di_indonesia.htm Tanggal Akses 13 Oktober

2010 Pukul 20.19 Wib

Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusunPeraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun2002, yang pada
tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Un d a n g - Undangdengan nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme. KeberadaanUndangUndang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme di samping KUHP danUndangUndang Nomor 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan
Hukum Pidana Khusus.Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan
Hukum Pidanayang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya

proses

dalammasyarakat.

kriminalisasi
Karena

atas

pengaruh

suatu

perbuatan

perkembangan

tertentu

zaman,

di

terjadi

perubahanpandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap


bukansebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma
dimasyarakat,

menjadi

termasuk

Tindak

Pidana

dan

diatur

dalam

suatuperundang-undangan Hukum Pidana.


2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadapperubahan
norma dan perkembangan teknologi dalam suatumasyarakat, sedangkan untuk
perubahan undang-undang yang telahada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakansuatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.

26

4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakanproses


yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telahada akan
mengalami kesulitan dalam pembuktian.Sebagai Undang-Undang khusus,
berartiUndang-Undang Nomor 15 tahun2003 mengatur secara materiil dan
formil sekaligus, sehingga terdapatpengecualian dari asas yang secara umum
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/KitabUndangUndang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) [[( lex specialis derogat lex generalis) ]]. Keberlakuan
lex specialisderogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa

pengecualian

terhadap Undang-Undang

yang

bersifat

umum,dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu


Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalamUndang-Undangkhusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebataspengecualian yang
dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetapberlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaanUndang-Undang khusus tersebut.Sedangkan
kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dariperkembangan
hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar
KUHPtermasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam
KUHPtentang kejahatan terorisme.

27

Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalamkejahatan
terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyaiwewenang yang lebih
atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkanpembuktian bahwa seseorang telah
melakukan suatu kejahatan terhadapkeamanan Negara, akan tetapi penyimpangan
tersebut adalah sehubungandengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan
negara yang harusdilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam
peraturankhusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain
ketentuantersebut, pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan
termasuk asas yang terdapat dalam buku IKitabUndang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) berlaku pula bagi peraturanpidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnyasaja, akan
tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikanbahwa aturan-aturan
tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asasumum yang terdapat baik dalam
ketentuan umum yang terdapat dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) bagi hukum pidana materielnyasedangkan untuk hukum pidana formilnya
harus tunduk terhadap ketentuanyang terdapat dalamUndang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme, bahwa untuk
menyelesaikan kasus-kasus Tindak PidanaTerorisme, hukum acara yang berlaku
adalah sebagaimana ketentuanUndang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya
pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas

28

umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada
kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalamUndang-Undangtersebut
yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana danHukum Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut mengurangi Hak AsasiManusia, apabila dibandingkan asasasas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila
memang diperlukan suatupenyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan
tersebut, karena setiapperubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi
Manusia[20]. Ataumungkin karena sifatnya sebagaiUndang-Undang yang khusus,
maka bukanpenyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas
yangsebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus
tersebut.
Sesuai pengaturanUndang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang HukumAcara
Pidana (KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP),penyelesaian suatu
perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahapberacara di pengadilan, dimulai
dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikutidengan penyerahan berkas penuntutan
kepada Jaksa PenuntutUmum. Pasal17 KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkanbahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorangyang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan
BuktiPermulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaanitu
sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelasmendefinisikannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) yang menjadi dasar
pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapatperbedaan pendapat di antara para
penegak hukum. Sedangkan mengenaiBukti Permulaan dalam pengaturannya pada
Un d a n g - Undang Nomor 15Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, pasal 26berbunyi:

29

1. Untuk

memperoleh

Bukti

Permulaan

yang

cukup,

penyidik

dapatmenggunakan setiap Laporan Intelijen.


2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yangcukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan prosespemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakansecara
tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)ditetapkan
adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka KetuaPengadilan Negeri segera
memerintahkan dilaksanakan Penyidikan

Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertianBukti


Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapatdikategorikan
sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen,apakah dapat dijadikan
Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat2, 3 dan 4 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme, penetapan
suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua
Pengadilan Negeri melaluisuatu proses/mekanisme pemeriksaan (H earing)secara
tertutup. Hal itumengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat
untukmelakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukansuatu
Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat ataupihak lain mana
pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutamadalam hal-hal yang sangat
sensitif seperti perlindungan terhadap hak-haksetiap orang sebagai manusia yang
sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.Oleh karena itu, untuk mencegah
kesewenang-wenangan dan ketidak pastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang
pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen,
apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana
sebenarnyahakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti

30

Permulaan.

Terutama

karena

ketentuan

pasal

26

ayat

(1)

tersebut

memberikanwewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan


perampasankemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai
telahmelakukan

Tindak

Pidana

Terorisme,

maka

kejelasan

mengenai

hal

tersebutsangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak


AsasiManusia

dengan

dilakukannya

penangkapan

secara

sewenang-wenang

olehaparat, dalam hal ini penyidik.


Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukantuntutan
terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, olehorang-orang yang
menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telahterlanggar, karena banyak
Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap
perbuatan teror melalui suatupengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan
darurat itu dianggaptelah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan
tetapi

jugaterhadap

telahmemberikan

Hak

Asasi

wewenang

Manusia.

yang

berlebih

Aturan

darurat

kepada

sedemikian

penguasa

di

itu

dalam

melakukanpenindakan terhadap perbuatan teror.


Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusiademi
pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yangdigolongkan
kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya dalam keadaan apapun[23].Undang-Undang Antiterorisme kini
diberlakukan di banyak Negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan
( arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip freeand fair trial.
Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwapenggunaan siksaan
dalam proses interogasi terhadap orang yang disangkateroris cenderung meningkat.
Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus
diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehinggapemberantasannya pun harus

31

dilaksanakan dengan mengindahkan Hak AsasiManusia. Demikian menurut Munir,


bahwa memang secara nasional harusada
Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisiyang jelas, tidak
boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. MelawanTerorisme harus ditujukan bagi
perlindungan Hak Asasi Manusia, bukansebaliknya membatasi dan melawan Hak
Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi
legitimasi penyalahgunaankekuasaan.

VI.Upaya Menanggulangi dan Memberantas Terorisme


Kita semua pasti sepakat bahwa usaha-usaha memerangi terorisme dalambentuk
apapun tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan.
Upaya memerangi terorisme harus berangkat dari penyelesaian terhadap akar
atausumber

masalah,

karena

jika

tidak

diketahui

dan

dihilangkan

dulu

factorpenyebabnya maka sulit ditemukan langkah-langkahh atau strategi yangtepat


untuk memberantasnya.
Bachtiar Efendy berpendapat bahwa usaha untuk memerangi terorisme diNegeri ini,
terutama yang berkaitan dengan kelompok garis keras, tidakbanyak yang bisa
dilakukan karena sebenarnya sebab-sebab terorisme itu tidak ada di Indonesia,
Indonesia hanya ketempatan terorisme global saja. Jadi untuk memeranginya
harus bersifat global pula.
Menyoroti masalah terorisme di Indonesia yang semakin meningkat belakangan ini,
bahtiar menyatakan pandangannya tentang pentingnya penegakan hukum dan

32

keadilan di Indonesia. Setiap tindakan kekerasanharus ditindak tegas, siapapun


pelakunya

BAB III
KE S I M P U L A N
Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak
aksi kekerasan,terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan
terjaditanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama
denganintimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya
langsung,sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah
orangyang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi
agarmasyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan
terortidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda
fisik.Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup
mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas
kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza
atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru
seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian

33

masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan


perjuangannya
untuk memerangi terorisme di Negeri ini, terutama yang berkaitan dengankelompok
garis keras, tidak banyak yang bias dilakukan karena sebenarnyasebab-sebab
terorisme itu tidak ada di Indonesia, Indonesia hanya ketempatan terorisme global
saja. Jadi untuk memeranginya harus bersifat global pula.Menyoroti masalah
terorisme di Indonesia yang semakin meningkat belakanganini, bahtiar menyatakan
pandangannya tentang pentingnya penegakan hukumdan keadilan di Indonesia. Setiap
tindakan kekerasan harus ditindak tegas,siapapun pelakunya.

DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Wawan H.Terorisme Undercover : Memberantas Terorisme
H ingga ke Akar- Akar, Mungkin Kah?. Jakarta: CMB Press2007
Rohmawati,Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003 , Jakarta:UIN Press.
2004
Tim Prima Pena.Kamus Ilmiah Populer Edisi Leng kap. (Jakarta: Gitamedia
Press.2006)
Zulfidah, Abdullah.Terorisme dan Konspirasi Anti Islam . Jakarta: Pustaka AlKautsar. 2002
www.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai