Anda di halaman 1dari 10

HAM DALAM TANGGAPAN KI HAJAR DEWANTARA

Disusun Oleh :
Muhammad Hadyan Muslihan

125060207111048

Jurusan Teknik Mesin


Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya Malang

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Pendidikan nasional adalah sebuah proses perubahan berbagai kemampuan dan derajat
manusia Indonesia ke arah yang lebih baik. Layaknya sebuah proses, pendidikan itu merupakan
ilustrasi usaha yang dilakukan secara terus menerus dari masa ke masa.
Kalau kita menengok kembali ke belakang, betapa ternyata proses pendidikan sudah
diakui kepentingannya sejak akhir PD II melalui Declaration of Human Right atau Deklarasi
Universal HAM. Di sana dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Artinya,
apapun yang menghalangi proses pendidikan itu sehingga tidak bisa terlaksana dengan baik,
maka itu artinya melanggar hak asasi manusia.
Perjuangan bangsa Indonesia sendiripun tidak lepas dari kegigihan para kaum terdidik
yang mengupayakan adanya kesetaraan dan peningkatan pendidikan rakyat Indonesia dengan
kaum Hindia Belanda. Adanya perjuangan ini menandakan sudah adanya penghalangan
kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk menerima pendidikan. Dan ini juga yang kita sebut
melanggar hak asasi manusia. Tentu saja kita tidak akan melupakan jasa Ki Hajar Dewantara.

BAB II
Pembahasan
A. Sejarah Pendidikan di Indonesia
Memasuki abad ke 16, bangsa Portugis datang ke Indonesia dengan tujuan
perdagangan dan berusaha menyebarkan agama katolik. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendatang Portugis ini mendirikan sekolah yang bertujuan memberikan pendidikan baca, tulis,
dan hitung sekaligus mempermudah penyebaran agama katolik. Masuknya masa pendudukan
Belanda membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah milik pendatang Portugis menjadi
terhenti.
Belanda juga membawa misi serupa Portugis yaitu menyebarkan agama Protestan kepada
masyarakat setempat. Untuk mewujudkan misi ini, Belanda melanjutkan apa yang dirintis oleh
bangsa Portugis dengan mengaktifkan kembali beberapa sekolah berbasis keagamaan dan
membangun sekolah baru di beberapa wilayah. Ambon menjadi tempat yang pertama dipilih oleh
Belanda dan setiap tahunnya, beberapa penduduk Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik
menjadi guru. Memasuki tahun 1627, telah terdapat 16 sekolah yang memberikan pendidikan
kepada sekitar 1300 siswa.
Setelah mengembangkan pendidikan di Ambon, Belanda memperluas pendidikan di
pulau Jawa dengan mendirikan sekolah di Jakarta pada tahun 1617. Berbeda dengan Ambon,
tidak diketahui apakah ada calon guru lulusan dari sekolah ini yang dikirim ke Jakarta. Lulusan
dari sekolah tersebut dijanjikan bekerja di berbagai kantor administratif milik Belanda.
Memasuki abad ke 19, saat Van den Bosch menjabat Gubernur Jenderal, Belanda
menerapkan sistem tanam paksa yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Keadaan ini membuat

Belanda mendirikan 20 sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota karesidenan dimana
pelajar hanya boleh berasal dari kalangan bangsawan. Ketika era tanam paksa berakhir dan
memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai menerima pelajar dari berbagai
kalangan yang kemudian berkembang menjadi bernama Sekolah Rakjat.
Pada akhir era abad ke 19 dan awal abad ke 20, Belanda memperkenalkan sistem pendidikan
formal bagi masyarakat Indonesia dengan struktur sebagai berikut.

ELS (Europeesche Lagere School) Sekolah dasar bagi orang eropa.

HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Sekolah dasar bagi pribumi.

MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Sekolah menengah.

AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) Sekolah atas.

HBS (Hogere Burger School) Pra-Universitas.


Memasuki abad ke 20, Belanda memperdalam pendidikan di Indonesia dengan mendirikan

sejumlah perguruan tinggi bagi penduduk Indonesia di pulau Jawa. Beberapa perguruan tinggi
tersebut adalah:

School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Sekolah kedokteran di


Batavia.

Nederland-Indische Artsen School (NIAS) Sekolah kedokteran di Surabaya.

Rechts Hoge School Sekolah hukum di Batavia.

De Technische Hoges School (THS) Sekolah teknik di Bandung.

B. Peran Ki Hajar Dewantara Dalam Pedidikan Di Indonesia


Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar

kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan
rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya,
ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga
mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite
tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan

seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang
Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang
kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah
kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri
tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk
bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi.
Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering.
Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri

Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah
air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian
dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air
dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa,
ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan
itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang
tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal

28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

C. Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara


Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu
usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya
bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan
kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal
dengan Teori Trikon, yakni:
1. Kontinu
2. Konsentris
3. Konvergen
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai
tempat yang oleh beliau diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu:
1. Alam keluarga
2. Alam perguruan
3. Alam pergerakan pemuda
2. Bidang Pengajaran
Pengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu
pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud memajukan
kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti.
Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran
meliputi:

1. Teori dasar-ajar
2. Trisakti jiwa
3. Sistem among

BAB III

KESIMPULAN

Seperti yang sudah diuraikan diatas, pendidikan ialah hak asasi manusia yang sudah
diakui oleh Declaration Of Human Right yang berisi tentang apapun yang menggangu proses
dari pendidikan dinyatakan mengganggu hak asasi seorang manusia.
Di Indonesia sendiri pendidikan pada jaman penjajahan mengalami pasang-surut akan
tetapi Ki Hajar Dewantara muncul sebagai tokoh nasional yang diberi julukan Bapak Pendidikan.
Ia mendapat julukan setelah ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan
ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Daftar Pustaka
http://www.bglconline.com/2015/01/sejarah-pendidikan-di-indonesia-danperkembangannya/
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-pendidikan-ki-hajar-dewantara/
https://www.facebook.com/permalink.php?
id=227541954022541&story_fbid=227550470688356
https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

Anda mungkin juga menyukai