Anda di halaman 1dari 31

Imunologi Dasar : Penyakit

Auto Imunitas
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali
bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan
respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari
hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit
autoimun
.
Autoimunitas
sering
disebabkan
oleh
kurangnya
perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan
respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit
auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak,
diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom
Sjgren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves ,
idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.
Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak
mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad
kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana normal tubuh tidak
mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap
respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan
dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun
merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut
autoimunitas alami), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena
toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan
alloimmunity .
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal
setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self
antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan
tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.
Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun
humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan


berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat
produk itu diikuti dengan proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun
selular terhadap antigen diri tidak selalu menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena
respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang
disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan
yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun
selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.

Faktor Genetik
Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan penyakit
autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah faktor risiko
lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak selalu mengembangkan penyakit
autoimun.
Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.
Imunoglobulin
T-sel reseptor
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).
Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren rentan
terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem kekebalan
tubuh untuk menanggapi berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga dapat
menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.
Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah
menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu allotypes
berkorelasi sangat

HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus Erythematosus ,


narkolepsi[6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi negatif dengan tipe DM 1.
HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjgren , myasthenia gravis , SLE ,
dan Jenis DM 1.
HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1 diabetes
mellitus , dan pemfigus vulgaris .
Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan
ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme dalam MHC
kelas II promotor dan penyakit autoimun.
Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian, pada hewan
model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes pada tikus NOD), dan
pada pasien (analisis keterkaitan Brian Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).
Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple termasuk
Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosis, tiroiditis
Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison, Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis
sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan arthritis psoriatis.

Jenis Kelamin
RASIO PEREMPUAN / LAKI-LAKI INSIDEN PENYAKIT AUTOIMUN

Hashimoto thyroiditis

10/1

Graves disease

7/1

Multiple sclerosis (MS)

2/1

Miastenia gravis

2/1

Systemic lupus erythematosus (SLE)

9/1

Rheumatoid arthritis

5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam pengembangan


autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling autoimun sebagai seks
penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta orang Amerika yang menderita
penyakit autoimun adalah perempuan, meskipun jutaan pria juga menderita
penyakit ini. Menurut the American Autoimmune Related Diseases Association
(AARDA), penyakit autoimun yang berkembang pada pria cenderung lebih parah.
Penyakit autoimun beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang
pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus ,
Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .
Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih besar
daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu, meningkatkan risiko
autoimunitas. [7]Keterlibatan steroid seks ini ditunjukkan dengan bahwa penyakit
autoimun cenderung berfluktuasi sesuai dengan perubahan hormon, misalnya,
selama kehamilan, dalam siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi
oral. Riwayat kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih
untuk penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka
selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung keseimbangan
gender dalam arah betina.
Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk mendapatkan
autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom X dinonaktifkan .
Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh Princeton University Jeff Stewart, baru-baru
ini telah dikonfirmasi eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun.
kompleks lainnya terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang
diselidiki.
Klasifikasi
autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-spesifik atau
lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari masing-masing penyakit.

Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjgren ,


skleroderma , rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini
cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang tidak
jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis kurang lebih jaringan tertentu
dalam presentasi, mungkin termasuk dalam kelompok ini karena autoantigens
sering mana-mana t-RNA sintetase.

ACCEPTED
/
SUSPECTE
NAMA PENYAKIT

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM)

Accepted

Addisons Disease

TIPE

AUTOANTIBODI

interferon omega;
transglutaminase; aromatic acid

carboxylase; GAD; HAI; 17


hydroxylase; 21 hydroxylase

Agammaglobulinemia

Alopecia areata

Accepted

T-cells

Accepted

ANCA?

Accepted

anti-cardiolipin;anti pyruvate
dehydrogenase; 2 glycoprotein I;
phosphatidylserine; anti apoH;
Annexin A5

Amyotrophic Lateral Sclerosis

Ankylosing Spondylitis

Antiphospholipid syndrome

Antisynthetase syndrome

Atopic allergy

Atopic dermatitis

Autoimmune aplastic anemia

Autoimmune cardiomyopathy

Accepted

Autoimmune enteropathy

Autoimmune hemolytic anemia

Accepted

Autoimmune hepatitis

Accepted

Autoimmune inner ear disease

Accepted

II

cellmediated

anti-mitochondrial antibodies;
ANA; anti-smooth muscle
antibodies, LKM-1; soluble liver
antigen

Autoimmune lymphoproliferative syndrome

Accepted

Autoimmune peripheral neuropathy

Accepted

Autoimmune pancreatitis

ANA; anti-lactoferrin
antibodiesanti-carbonic anhydrase
antibodies; rheumatoid factor

Accepted

Unknown
or
Autoimmune polyendocrine syndrome

Accepted

Autoimmune progesterone dermatitis

Accepted

Autoimmune thrombocytopenic purpura

Accepted

Autoimmune urticaria

Accepted

multiple

anti gpIIb-IIIa or 1b-IX

[11]

Autoimmune uveitis

Accepted

HLAB-27?

Balo disease/Balo concentric sclerosis

Behets disease

Bergers disease

IgA (elevated in 50% of patients),


IgA (in mesangial deposits on
kidney biopsy)

Bickerstaffs encephalitis

Anti-GQ1b 2/3 patients

Blau syndrome

IgG autoantibodies targeting the


type XVII collagen component of
hemidesmosomes

Bullous pemphigoid

Cancer

Castlemans disease

Celiac disease

Accepted

Chagas disease

Suspected

IV

Chronic inflammatory demyelinating


polyneuropathy

Anti-tissue transglutaminase
antibodies

Anti-ganglioside antibodies:antiGM1, anti-GD1a, anti-GQ1b

Chronic recurrent multifocal osteomyelitis

Chronic obstructive pulmonary disease

Suspected

Churg-Strauss syndrome

p-ANCA

Cicatricial pemphigoid

anti-BP-1, anti BP-2

Cogan syndrome

Cold agglutinin disease

Accepted

II

IgM

Complement component 2 deficiency

Contact dermatitis

III

Cranial arteritis

CREST syndrome

Anti-centromere antibodies Antinuclear antibodies

Crohns Disease (one of two types of idiopathic


inflammatory bowel disease IBD)

Accepted

IV

Cushings Syndrome

cortisol binding globulin?

Cutaneous leukocytoclastic angiitis

Degos disease

Dercums disease

Suspected

IgA; anti-epidermal
transglutaminase antibodies

Dermatitis herpetiformis

Dermatomyositis

Diabetes mellitus type 1

Accepted

Accepted

histidine-tRNA antisignal_recognition_peptide AntiMi-2 Anti-Jo1.[21]

IV

Glutamic acid decarboxylase


antibodies (GADA), islet cell
antibodies (ICA), and insulinomaassociated autoantibodies (IA-2),
anti-insulin antibodies

Diffuse cutaneous systemic sclerosis

anti-nuclear antibodies, anticentromere and anti-scl70/antitopoisomerase antibodies

Dresslers syndrome

myocardial neo-antigens formed as


a result of the MI

Drug-induced lupus

anti-histone

Discoid lupus erythematosus

III

Eczema

Endometriosis
Suspected[27]
Enthesitis-related arthritis

Eosinophilic fasciitis

Accepted

Eosinophilic gastroenteritis

IgE

Epidermolysis bullosa acquisita

Erythema nodosum

Erthroblastosis fetalis

II

ABO, Rh, Kell antibodies

Essential mixed cryoglobulinemia

Evans syndrome

Fibrodysplasia ossificans progressiva

Fibrosing aveolitis aka


Idiopathic_pulmonary_fibrosis

serum antiparietal and anti-IF


antibodies

Gastritis

Gastrointestinal pemphigoid

Accepted

Giant cell arteritis

Glomerulonephritis

Sometimes

Goodpastures syndrome

Accepted

Graves disease

Accepted

IgA

II

Anti-Basement Membrane Collagen


Type IV Protein

II

thyroid autoantibodies (TSHR-Ab)


that activate the TSH-receptor
(TSHR)

Guillain-Barr syndrome (GBS)

Accepted

IV

Hashimotos encephalopathy

Accepted

IV

Anti-ganglioside

alpha-enolase[33]

Hashimotos thyroiditis

Accepted

IV

antibodies against thyroid


peroxidase and/or thyroglobulin

Henoch-Schonlein purpura

immunoglobulin A (IgA) and


complement component 3 (C3)

Herpes gestationis aka Gestational Pemphigoid

IgG and C3 misdirected antibodies


intended to protect the placenta

Hidradenitis suppurativa

Suspected

Hypogammaglobulinemia

Idiopathic Inflammatory Demyelinating


Diseases

Idiopathic pulmonary fibrosis

Idiopathic thrombocytopenic purpura (See


Autoimmune thrombocytopenic purpura)

Accepted

IgA nephropathy

II

III?

IgA produced from marrow rather


than MALT

Inclusion body myositis

Chronic inflammatory demyelinating


polyneuropathy

Interstitial cystitis

Juvenile idiopathic arthritis aka Juvenile


rheumatoid arthritis

anti-ganglioside antibodies

Suspected

inconsistent ANA
Rheumatoid_factor

Kawasakis Disease

Suspected

voltage-gated calcium channels; Qtype_calcium_channel,


synaptogagmin, muscarinic
acetylcholine receptor M1

Lambert-Eaton myasthenic syndrome

Leukocytoclastic vasculitis

Lichen planus

Lichen sclerosus

Linear IgA disease (LAD)

Lou Gehrigs disease (Also Amyotrophic lateral


sclerosis)

ANA and SMA, LKM-1 , LKM-2 or


LKM-3; antibodies against soluble
liver antigen[37][38](anti-SLA, antiLP) no autoantibodies detected
(~20%)

Lupoid hepatitis aka Autoimmune_hepatitis

Lupus erythematosus

Accepted

III

Anti-nuclear antibodies[39] anti-Ro.


[40]
Also, they are often present in
Sjgrens syndrome.[41][42]

III

major peripheral myelin protein P0

Majeed syndrome

Mnires disease

Microscopic polyangiitis

p-ANCA myeloperoxidase

Miller-Fisher syndrome see GuillainBarre_Syndrome

Accepted

anti-GQ1b

Mixed Connective Tissue Disease

Accepted

anti-nuclear antibody anti-U1-RNP

Morphea

Suspected

Mucha-Habermann disease aka


Pityriasis_lichenoides_et_varioliformis_acuta

Multiple sclerosis

Suspected

IV

Myasthenia gravis

Accepted

II

nicotinic_acetylcholine_receptor
MuSK_protein

Suspected

II

hypocretin or orexin

II

NMO-IgG aquaporin 4.

II

voltage-gated potassium channels.

II?

BP-1, BP-2

Myositis

Narcolepsy[46][47]
Neuromyelitis optica (Also Devics Disease)

Neuromyotonia

Suspected

Occular cicatricial pemphigoid

Opsoclonus myoclonus syndrome

Suspected

IV?

Ords thyroiditis

anti-cyclic citrullinated peptide


antibodies (anti-CCP) and
antikeratin antibodies (AKA)

Palindromic rheumatism

PANDAS (pediatric autoimmune


neuropsychiatric disorders associated with
streptococcus)

Suspected

Paraneoplastic cerebellar degeneration

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)

Parry Romberg syndrome

II?

IV? II?

anti-Yo[57] (anti-cdr-2[58] in purkinje


fibers) anti-Hu, anti-Tr,
antiglutamate receptor

Sometimes

ANA

Parsonnage-Turner syndrome

Pars planitis

Pemphigus vulgaris

Accepted

II

Anti-Desmoglein 3

Pernicious anaemia

Accepted

II

anti-parietal cell antibody

Perivenous encephalomyelitis

POEMS syndrome

Polyarteritis nodosa

Polymyalgia rheumatica

Polymyositis

Accepted

IFN-gamma, IL-1, TNF-alpha

Accepted[62]

Anti-p62, Anti-sp100, AntiMitochondrial(M2)Anti-Ro aka


SSA.[63] Also, they are often present
in Sjgrens syndrome

Primary biliary cirrhosis

Primary sclerosing cholangitis

Progressive inflammatory neuropathy

Suspected

Psoriasis

Accepted

IV?

Psoriatic arthritis

Accepted

IV?

Pyoderma gangrenosum

Pure red cell aplasia

Rasmussens encephalitis

anti-NR2A antibodies

Raynaud phenomenon

Suspected

Relapsing polychondritis

Accepted

Reiters syndrome

Restless leg syndrome

Suspected

Retroperitoneal fibrosis

Rheumatoid arthritis

Accepted

Rheumatic_fever

III

II

Sarcoidosis

Suspected

Schizophrenia

Suspected

Rheumatoid factor (anti-IgGFc),


Anti-MCV , ACPAs(Vimentin

streptococcal M protein cross reacts


with human myosin,[69]anti-DNase
B, ASO

IV

anti-21 hydroxylase, anti-17


hydroxylase

Schmidt syndrome another form of APS

Schnitzler syndrome

Scleritis

Scleroderma

Suspected

Serum Sickness

Sjgrens syndrome

IV?

Scl-70 Anti-topoisomerase

III

Accepted

Anti-ro. Also, they are often present

in Sjgrens syndrome.

Spondyloarthropathy

Stills disease see Juvenile Rheumatoid


Arthritis

Stiff person syndrome

ANA

Suspected

Subacute bacterial endocarditis (SBE)

glutamic acid decarboxylase (GAD),

III

essential mixed cryoglobulinemia

Susacs syndrome

Sweets syndrome

Sydenham chorea see PANDAS

Sympathetic ophthalmia

ocular antigens following trauma

Systemic lupus erythematosis see Lupus


erythematosis

III

Takayasus arteritis

Temporal arteritis (also known as giant cell


arteritis)

Accepted

Thrombocytopenia

II

Tolosa-Hunt syndrome

Transverse myelitis

IV

Accepted

glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX in


ITP anti-ADAMTS13 in TTP.[83]and
HUS anti-cardiolipin (anticardiolipin antibodies) and
2glycoprotein I in
Antiphospholipid syndrome antiHPA-1a, anti-HPA-5b, and others in
NAIT

Ulcerative colitis (one of two types of idiopathic


inflammatory bowel disease IBD)

Accepted

Undifferentiated connective tissue disease


different from Mixed connective tissue disease

Accepted

IV

anti-nuclear antibody

Undifferentiated spondyloarthropathy

Urticarial vasculitis

Vasculitis

Accepted

Vitiligo

Suspected

Wegeners granulomatosis

Accepted

II?

anti C1q antibodies

III

sometimes ANCA

Anti-neutrophil
cytoplasmic(cANCA)

Sindrom Lokalyang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:

Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto , penyakit


Addison

Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious anemia

Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo

Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura


thrombocytopenic

Neurologis: Miastenia gravis


Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan organ tertentu dan non-organ
tertentu, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung penyakit autoimun.
Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis tidak memiliki asosiasi-tanda sel
B dan T didorong immunopathology. Dalam dekade terakhir telah mapan bahwa
jaringan peradangan terhadap diri tidak selalu bergantung pada T abnormal dan
respon sel B.
Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas harus
dilihat sepanjang kontinum penyakit imunologi, dengan penyakit autoimun klasik
pada satu ekstrim dan penyakit didorong oleh sistem kekebalan tubuh bawaan pada
ekstrem lainnya. Dalam skema ini, spektrum penuh autoimunitas dapat disertakan.
Banyak umum penyakit autoimun manusia dapat dilihat untuk memiliki
immunopathology dimediasi imun bawaan yang cukup besar menggunakan skema
baru. Skema klasifikasi baru ini memiliki implikasi untuk memahami mekanisme
penyakit dan untuk pengembangan terapi
Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas
Patogenesis autoimunitas
Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit autoimun,
dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi lingkungan. Hal ini di

luar cakupan artikel ini membahas masing-masing dari mekanisme ini secara
mendalam, tapi ringkasan dari beberapa mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan aktivasi


sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi dalam
jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini bisa di bypass dengan kasus yang jarang
terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super antigen , yang
mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan T-sel, dengan langsung
mengikat - subunit T-sel reseptor dalam mode non-spesifik.
T-Cell-B-Cell discordance Sebuah respon imun normal diasumsikan
melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika kita
tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda: konformasi
pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan fragmen peptida protein
untuk sel T. Namun, tidak ada sejauh kita tahu bahwa membutuhkan ini.
Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali antigen X endocytoses
dan proses protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan
Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan
bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG
oleh sel B sebagai bagian dari kompleks imun. Pada penyakit celiac
nampaknya sel B mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T
mengenali gliadin.
Aberrant B cell receptor-mediated feedback Sebuah fitur penyakit
autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada
sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah dikenal peran sinyal
dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A. reseptor, Kacang Tanah
agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini memunculkan gagasan bahwa autoimun
spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu
dapat sinyal menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan
terikat membran. Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG
reseptor, CD21, yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan
7 (yang dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi
menyimpang tidak langsung sel B juga bisa dipertimbangkan dengan
autoantibodies untuk reseptor asetil kolin (pada sel myoid thymus) dan
hormon dan protein hormon mengikat. Bersama dengan konsep T-sel-sel B
kejanggalan ide ini membentuk dasar hipotesis mengabadikan diri sel B
autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai
surviving karena subversi kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan
balik melalui reseptor sel B, dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang
bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan
hilangnya sel T diri-toleransi.
Molecular Mimicry Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan
struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi apapun
dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen diri) juga bisa, secara
teori, mengikat antigen host, dan memperkuat respon imun. Ide mimikri
molekuler muncul dalam konteks Demam rematik , yang mengikuti infeksi
dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun demam rematik telah
dikaitkan dengan mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum ada
secara resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu,
jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal
ganglia) berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin
bahwa penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara
kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium.
Idiotype Cross-Reaction Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan di
bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan Oldstone
disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat dari reaksi

silang antara idiotype pada antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk
virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel inang dibayangkan sebagai sebuah
gambar internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi dapat bereaksi dengan
sel inang.
Cytokine Dysregulation sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua
kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan:
Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. Kategori kedua sitokin, termasuk IL-4, IL-10
dan TGF- (untuk beberapa nama), tampaknya memiliki peran dalam
pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.
Dendritic cell apoptosis sel sistem kekebalan yang disebut sel dendritik
menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang cacat dalam
apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit aktivasi dan
penurunan konsekuen dalam diri toleransi.
Epitope spreading or epitope drift ketika reaksi kekebalan perubahan
dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan epitop lainnya.
Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak perlu secara
struktural mirip dengan yang utama.
Epitope modification or Cryptic epitope exposure mekanisme penyakit
autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam sistem
hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar N-glycan
(polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota lebih rendah
pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ hematopoietik. Paparan
glycans phylogenically primitif mengaktifkan satu atau lebih sel kekebalan
tubuh mamalia bawaan reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis
steril. Dengan adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan
tubuh adaptif yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi
autoantibody meningkat. Dalam bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat
mempercepat kerusakan organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi.
Meskipun rute ini untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai
negara penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit
ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini tidak
diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan ,
sel NKT , T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang
diselidiki.
SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat organ
spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada penyakit autoimun
organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun
ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan
spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen
dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama
reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sedangkan
penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan biasanya
berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh
tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi
kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya) .

Spektrum penyakit autoimun


Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait
Antigen diri

Penyakit

Reseptor hormonReseptor

Hiper atau hipotiroidismeHiper atau

TSHReseptor insulin

hipoglikemia

Reseptor neurotransmiterReseptor
asetilkolin

Miastenia gravis

Molekul sel adesiMolekul sel adesi


epidermal

Penyakit kulit yang melepuh

Protein plasmaFaktor VIII2


glikoprotein I dan protein antikoagulan
lain

Hemofili didapatSindrom antifosfolipid

Antigen permukaan selSel darah


merah (antigen multipel)Platelet

Anemia hemolitikPurpura
trombositopenia

Enzim intraselulerPeroksidase
tiroidSteroid 21-hidroksilase (korteks
adrenal)

Tiroiditis, kemungkinan
hipotiroidismeKegagalan
adrenokortikal (penyakit Addison)

Glutamat dekarboksilase (sel di


pulau pankreas)Enzim lisosom (sel
fagositik)Enzim mitokondria (terutama
piruvat dehidrogenase)

Diabetes autoimun Vaskulitis


sistemikSirosis biliar primer

Molekul intraseluler yang melibatkan


transkripsi dan translasiRantai dua
DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl
t-RNA sintaseProtein sentromer

SLESLESkleroderma
difusPolimiositisSkleroderma lokal

TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang
bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T
(terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons
imun, sehingga proses toleransi sel T lebih penting dalam penghindaran
autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif
juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan
yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T
yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection,

sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi
sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul
MHC di timus akan mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan
berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan
afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan
bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan afinitas
tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya. Namun sel T yang
berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan afinitas tinggi mempunyai
potensial untuk pengenalan dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi
induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui
proses negative selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus adalah
banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di timus
untuk menginduksinegative selection. Sebagian besar peptida yang berikatan
dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau terikat membran
yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga
toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol
lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di organ
avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif tidak
terlihat oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka
toleransi perifer aktif akan berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya
mengenali angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi
yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ
tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel
T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas. Sirkulasi
ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk
mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris dari
jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat dan dihancurkan, melalui
apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen
dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan
autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui
apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive
memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons imun. Sinyal
pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor antigen di sel T. Sinyal kedua
berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang
terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu,
meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau
kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator,
maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian sel T
melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas.
Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel dendritik.
Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+
dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe.
Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa cara, biasanya
melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi pola
resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai


struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif
terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan CD28
dan mengikat ligand yang sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4
menginduksi anergi atau kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek
genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya
autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif melalui
penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama (sel T
supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif dibatasi
terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B baru akan
terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak diantaranya
bersifat autoreaktif. Adanya proses hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel
B matur di pusat germinal nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi.
Apabila sel B baru atau hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai,
namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau
anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit
autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang
bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan
penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu
melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal.
Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan
anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan
antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain
hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai
puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan
eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang
mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi
beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca
pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi
studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan
bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada
gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar
imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal.
Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada

wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas


estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada
wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16-hidroksil dari 16hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon
hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada
target organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan
yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan antigen dan
presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun,
sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi
yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara
horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan,
antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah
destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada
membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta
gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan
sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV ,
virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat
mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk
membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari
bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli
yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya reversibel setelah
penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat berkembang progresif dan
memerlukan pengobatan imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa
dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat
(seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida yang mengandung
molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk menginduksi respons
abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan oleh
genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada
metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan
molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan
menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek
imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan
sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare dalam
respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi
ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat
menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah
imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam
kulit melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan
fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat
berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang
mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan antibodi

anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan penyakit autoimun
antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas
tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas
sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B
refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan
idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulinFaktor
virusFaktor hormon
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan
adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak
dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing
dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi
terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung
setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan
pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme
pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun.
Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan
meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan
terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah
diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran
tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan
antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi.
Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan
maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun.
Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik
peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya
terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau
kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang
disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui
berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel
T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau
komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B
tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat
dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit,
serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti
pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk
memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan
antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan
antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit.
Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai
substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita

penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan
baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag
berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit autoimun
masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah
dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya.
Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini
masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran
defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus
terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak
jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke
resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem,
terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel
B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada
penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang
memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel
B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi
oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor
tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih
imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit
autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan,
dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab
terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan
gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen
imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA
dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau antiidiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik
dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi antiidiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa,
autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau
terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga
bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang
menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik (lihat
Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau
stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga
bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta antiidiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang
memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada
patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi


dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh
paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat
terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru
dapat dilihat pada hewan yang kehilangan sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak
tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak
tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal
tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal
atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe
(dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC
dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi
inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler,
menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T
yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat
diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi
yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga
dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa
akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial
yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang
responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan
jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan
tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat

Antigen mikrobial

Antigen diri

Penyakit yang
diduga
akibat molecular
mimicry

Protein grup A
streptokokus M

Antigen di otot jantung

Demam reumatik

Bacterial heat shock


proteins

Self heat shock


proteins

Terkait dengan penyakit


autoimun berat namun
belum terbukti

Protein inti Coxsackie


B4

Glutamat
dekarboksilase sel
pulau pankreas

Diabetes melitus
dependen insulin

GlikoproteinCampyloba
cter jejuni

Gangliosida dan
glikolipid terkait mielin

Sindrom Guillain-Barre

Heat shock
protein dariEschericia
coli

Subtipe rantai HLA-DR


mengandung epitop
bersama artritis
reumatoid

Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada
presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan
percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan kostimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T
yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi
sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul
adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif yang telah
teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan yang
terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih
mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida
diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak,
respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik
autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T
sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih
antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas,
autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi
fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter
dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi
ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa
adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi
pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas di cairan
ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit
autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring
pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau
mencari penyakit autoimun lain yang sering menyertai suatu penyakit autoimun
tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.
Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang akurat
dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi dengan latar
belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin (misalnya, tinggi protein Creaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes serologi yang dapat mendeteksi
spesifik autoantibodi dapat digunakan. Gangguan Local paling mudah didiagnosa
oleh biopsi spesimen imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa
beberapa penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan
kemajuan penyakit.

Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun


Penyakit

Antibodi

Tiroditis Hashimoto

Tiroid

Miksedema primer

Tiroid

Tirotoksikosis

Tiroid

Anemia pernisiosa

Lambung

Atrofi adrenal idiopatik

Adrenal

Miastenia gravis

Otot, reseptor asetilkolin

Pemvigus vulgaris dan pemfigoid

Kulit

Anemia hemolitik autoimun

Eritrosit (uji Coombs)

Sindrom Sjogren

Sel duktus salivarius

Sirosis biliar orimer

Mitokondria

Hepatitis kronik aktif

Anti Sm, mitokondria

Artritis reumatoid

Antiglobulin

LES

Antinuklear, DNA, sel LE

Skleroderma

Nukleolus

Penyakit jaringan ikat lain

Nukleolus

PENGOBATAN
Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti imunosupresif , antiinflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi, seperti penggantian hormon
pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes mellitus mengobati hasil dari respon
autoaggressive, sehingga ini adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan

manipulasi diet membatasi keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit


lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari banyak
penyakit. Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya
etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan
pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati RA.
Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko efek
samping, seperti kerentanan terhadap infeksi.
Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan inokulasi
pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini ada dua perlakuan
yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik Necator americanus, umumnya
dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai
Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel juga sedang dieksplorasi sebagai terapi
masa depan untuk auto-imun gangguan.
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau
mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode
pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ
yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon
yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat timbul masalah
metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan
yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus autoimun
seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi
menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian. Pengobatan
penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan,
dan kontrol imunologis.
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan
manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol metabolik
biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk miksedema primer,
insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid
untuk penyakit Grave, dan lain-lain.
Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka
panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan bahwa kelenjar
tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk antigen.
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid, menunjukkan
manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti miastenia gravis, LES,
dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau
ibuprofen dipakai pula untuk artritis rheumatoid.
Imunosupresan
Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi dan
antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil, LES, dan artritis
reumatoid walaupun masih belum dapat diambil kesimpulan akhir tentang
manfaatnya.
Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang bersifat
nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat yang biasanya
diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah sering dilakukan
dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis kronik aktif, dan anemia
hemolitik autoimun.

Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat terbatas
pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan yang cukup
sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi kompleks imun,
yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom
Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati
hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap
defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus,
atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan dapat
menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-of sel B yang
terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa antibodi
monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan klinis LES dan
artritis reumatoid pada hewan percobaan.
Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk dimanfaatkan.
Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat bertahan terhadap efek
patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan membentuk anti-idiotipik terhadap
antibodi maternal tersebut. Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan antiidiotip akan dapat mengatasi berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit
autoimun.
Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor atau
ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah berbagai matra
sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun bahan radioaktif.
REFERENCES RECOMMENDED
Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). Self-recognition
promotes the foreign antigen sensitivity of naive T lymphocytes. Nature 420
(6914): 429434. doi:10.1038/nature01146. PMID 12459785.
Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New Scientist
Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X chromosome
inactivation:
Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). Skewed X-chromosome
Inactivation in Scleroderma. Clin Rev Allergy Immunol 34 (3): 3525.
doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID 18157513.
Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). Inhibition of Autoimmune
Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection. Infect Immun 75 (1):
397407.
Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients
Wllberg M, Harris R (2005). Co-infection with Trypanosoma brucei brucei
prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1 mice through
induction of suppressor APCs. Int Immunol 17 (6): 7218.
Edwards JC, Cambridge G (2006). B-cell targeting in rheumatoid arthritis and
other autoimmune diseases. Nature Reviews Immunology 6 (5): 394403.
Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A, Jonuleit H
(2005). Dendritic cells: sentinels of immunity and tolerance. Int J Hematol 81
(3): 197203.
Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins following DNA
vaccination: Unexpected reactivity to a protein paralogue Roopa Srinivasan,
Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok
Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and Marth,
J.D. (2007) Mammalian N-glycan branching protects against innate immune

self-recognition and inflammation in autoimmune disease pathogenesis


Immunity 27: 308-320.
Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006). Parasitic
worms and inflammatory diseases. Parasite Immunol. 28 (10): 51523.
doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732. PMID 16965287.
Dunne DW, Cooke A (2005). A worms eye view of the immune system:
consequences for evolution of human autoimmune disease. Nat. Rev.
Immunol. 5 (5): 4206.
Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). Helminth Infection with
Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits Allergic
Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a Murine Asthma
Model. J. Immunol. 180 (3): 17929.
Wohlleben G, Trujillo C, Mller J, et al. (2004). Helminth infection modulates
the development of allergen-induced airway inflammation. Int. Immunol. 16
(4): 58596. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID 15039389.
Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). The immunoepidemiology of
human hookworm infection. Parasite Immunol. 26 (1112): 44354.
doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x. PMID 15771680.
Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). Clonal anergy: the universally anergic B
lymphocyte. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 20137.
doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.
Jerne N (1974). Towards a network theory of the immune system. Ann
Immunol (Paris) 125C (12): 37389. PMID 4142565.
Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). Do self perpetuating B
lymphocytes drive human autoimmune disease?. Immology 97: 18681876.
Klein J, Sato A (September 2000). The HLA system. Second of two parts. N.
Engl. J. Med. 343 (11): 7826. doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID
10984567.
Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically reviewed by
Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009

Anda mungkin juga menyukai