Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK TATA CARA KERJA


ACARA IV
PERANCANGAN PERALATAN KERJA MENGGUNAKAN DATA
ANTHROPOMETRI

Disusun Oleh :
Kelompok A-5:
Annisa Nurul Ghifari

(09949)

Pradipta Aji

(09960)

Pipit Dwi Puspitasari

(09979)

Diany Pradnya paramita

(10001)

Co. Asisten:
Ahmad Sukron
LABORATORIUM SISTEM PRODUKSI
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam suatu industri, perancangan peralatan kerja sangat
mempengaruhi kinerja produktivitas. Suatu industri memfokuskan
perhatiannya

pada

analisis

perancangan

kerja

dalam

proses

penyederhanaan dan pembagian kerja yang mengarah pada spesialisasi


kerja. Namun setiap rancangan kerja yang dibuat perlu memperhatikan
ukuran dan bentuk dari tubuh pekerja (anthropometri) agar perancangan
sistem kerja yang dibuat memenuhi standar ergonomi yang baik.
Rancangan yang mempunyai kompatibilitas tingg i dengan
manusia yang memakainya sangat penting untuk mengurangi timbulnya
bahaya akibat terjadinya kesalahan pembuatan meja belajar dan akibat
adanya kesalahan disain ( designinduced error). Data athropometri akan
menunjang di dalam proses perancangan sistem kerja dan perancangan
produk dengan tujuan untuk mencari keserasian hubungan peralatan kerja
dan pekerja. Perancangan sistem kerja haruslah memperhatikan prosedurprosedur agar gerakan kerja sehingga dapat mengurangi kelelahan kerja.
Sehingga menjadikan tenaga kerja dapat bekerja secara nyaman, baik dan
efisien. Tenaga kerja akan bekerja secara terus menerus pada setiap hari
kerja di tempat kerja tersebut. Karena itu perancangan tempat kerja dan
peralatan pendukungnya menjadi penting agar sisi buruk yang ada pada
setiap produk perlatan kerja tidak muncul.

Dalam perancangan sistem kerja, aspek awal yang harus


diperhatikan adalah hal yang menyangkut perbaikan-perbaikan metode
atau cara kerja dengan menekankan pada prinsip-prinsip ekonomi
gerakan dengan tujuan utamanya adalah meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu praktikum yang digunakan
untuk memperbaiki dan merancang peralatan kerja dari industri. Tujuan
yang hendak dicapai adalah untuk mencapai standar ergonomi yang baik
dalam sistem kerja.
B. TUJUAN PRAKTIKUM
Praktikan dapat melakukan perancangan peralatan kerja (meja, rak,
dan alat bantu kerja) yang ergonomis dengan menggunakan data
anthropometri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ergonomi dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek
manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi,
fisiologi, psikologi engineering, manajemen dan disain/perancangan.
Didalam Ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana manusia,
fasilitas kerja dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan
utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya.
Ergonomi disebut juga sebagai Human Factors. Penerapan ergonomi
pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain ataupun
rancang ulang (re-desain) (Granjean,1992).
Perancangan tata letak tempat kerja mempunyai tujuan untuk
menciptakan tata letak tempat kerja yang ergonomis, sehingga
performansi pekerja dapat ditingkatkan mendekati batas maksimalnya.
Dalam perancangan tata letak tempat kerja yang baik mempunyai
kriteria yaitu tata letak tempat kerja yang memungkinkan bagi operator
atau pekerja melihat dan meraih dengan mudah dan cepat seluruh
panel kendali untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dengan
postur kerja yang alamiah yaitu tidak menimbulkan terjadinya tekanan
atau tegangan yang berarti pada bagian tertentu tubuh dari operator
atau pekerja (Wignjosoebroto,1992).
Kelalaian

dalam

melakukan

suatu

pekerjaan

dapat

mengakibatkan kecelakaan. Kelalaian tersebut dapat disebabkan oleh


kelelahan kerja yang dapat menyebabkan kecelakaan atau sakit akibat

kerja. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan berhubung dengan


hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti,
bahwa kecelakaan terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu
melaksanakan pekerjaan (Granjean,1992).
Kecelakaan yang terjadi di luar tubuh pekerja disebut
kecelakaan eksternal, begitu pula sebaliknya bila terjadi dalam tubuh
pekerja

disebut

kecelakaan

internal.

Menurut

Barnes

(1980)

permasalahan yang sering timbul perencanaan sistem kerja dalam


suatu industri adalah :
1. Bangunan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
2. Waktu terbuang dan menganggur yang tidak terduga.
3. Kesulitan dalam pengendalian persediaan.
4. Menurunnya produksi satu tempat kerja.
5. Ruang-ruang kerja penuh sesak.
6. Terlalu banyak pekerja memindahkan barang.
7. terjadinya bottle neck dalam produksi.
8. Terjadinya hambatan dalam aliran bahan.
9. Pemborosan luasan lantai.
10. Menganggurnya orang dan peralatan.
11. Pemborosan waktu yang berlebihan.

Wignjosoebroto (1995) berpendapat bahwa suatu sistem kerja


akan memiliki kaitan erat dengan proses manufacturing yang harus
berlangsung untuk merealisir sistem kerja tersebut, sehingga cukup
beralasan pada saat merancang suatu sistem kerja harus pula
memikirkan sistem yang paling mudah dan murah (the most
economical way) di dalam proses manufacturingnya. Perbaikan
sistem kerja dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
a.

Mengurangi
signifikan

dan

tidak

jumlah

komponen/bagian

mempengaruhi

yang

tidak

fungsi

produk

secara

kerja

terutama

yang

komponen-komponen

produk

yang

keseluruhan (simplifying the design).


b.

Mengurangi

jumlah

operasi

berkaitan dengan proses pemindahan bahan.


c.

Menggunakan

standard dengan toleransi dan spesifikasi teknis yang dipilih secara


tetap.
d.

Desain harus dipikirkan tidak saja dari aspek estetika


akan tetapi yang lebih penting adalah kemudahan-kemudahan untuk
pembuatannya baik untuk proses permesinan ataupun perakitan.

e.

Mengurangi waktu menganggur pekerja


Untuk mendapatkan kondisi kerja yang baik yaitu yang

memungkinkannya dilakukan gerakan yang ekonomis maka perlu


diperhatikan faktor yang mempengaruhi, yaitu (Barnes, 1980) :

1.

Penggunaan badan/anggota tubuh manusia serta gerakangerakannya.

2.

Pengaturan letak area kerja.

3.

Perancangan alat-alat dan perlengkapan kerja.


Dengan memperhatikan hal tersebut maka diharapkan akan

diperoleh prinsip-prinsip perencanaan dan penetapan kondisi kerja


yang sebaik-baiknya. Secara umum di dalam usaha mengembangkan
metode kerja dan gerakan kerja ekonomis maka beberapa hal tersebut
ini

bisa

dilaksanakan

antara

lain

sebagai

berikut

(Wignjosoebroto,1992):
a.

Hilangkan gerakan-gerakan kerja yang tidak perlu yang


justru memboroskan tenaga.

b.

Kombinasikan beberapa aktivitas menjadi aktivitas yang


memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan.

c.

Kurangi faktor kelelahan dengan memberi waktu istirahat


dan waktu longgar lainnya yang cukup.

d.

Perbaiki pengaturan tempat kerja dan disain dari


fasilitas / peralatan kerja yang sudah ada.
Menurut Wignjoesoebroto (1995), penyederhanaan kerja pada

hakekatnya bertujuan untuk mencari cara kerja yang lebih mudah,


lebih cepat, lebih efisien, dan menghindari pemborosan material,

waktu, tenaga, dan lain-lain. Pelaksanaan penyederhanaan kerja dapat


dinyatakan dalam lima langkah berikut:
1. Pemilihan kegiatan kerja yang diperbaiki
Langkah ini merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan,
kegiatan yang dianggap tidak efisien atau penyelesaiannya lambat
merupakan pertimbangan pokok dalam pemilihan objek studi.
2. Pengumpulan dan pencatatan data atau fakta
Langkah kedua adalah mengumpulkan dan mencatat semua data
atau fakta yang berkaitan dengan metode kerja yang selama ini
dilaksanakan.
3. Analisa terhadap langkah-langkah kerja
Metode kerja yang dilaksanakan kemudian dianalisa, langkah yang
tidak efisien dicari sebabnya dan dicari alternatif jalan keluar yang
lebih baik.
4. Usulan dan tes alternatif metode kerja yang lebih baik
Langkah dan metode kerja yang dianggap lebih baik diusulkan dan
diuji cobakan.
5. Aplikasi dan evaluasi metode kerja baru
Data antropometri untuk berbagai ukuran anggota tubuh baik yang
diukur dalam posisi tetap (structural body dimension) ataupun posisi
bergerak dinamis sesuai dengan fungsi yang bisa dikerjakan oleh

anggota tubuh tersebut (functional body dimension) --- dan


dikelompokan berdasarkan nilai persentil dari populasi tertentu akan
sangat bermanfaat untuk menentukan ukuran-ukuran yang harus
diakomodasikan pada saat perancangan sebuah produk, fasilitas kerja
maupun stasiun kerja. Persoalan yang paling mendasar dalam
mengaplikasikan data antropometri dalam proses perancangan adalah
bagaimana bisa menemukan dimensi ukuran yang paling tepat untuk
rancangan yang ingin dibuat agar bisa mengakomodasikan mayoritas
dan potensial populasi yang akan menggunakan/mengoperasikan hasil
rancangan tersebut. Dalam hal ini ada dua dimensi rancangan yang
akan dijadikan dasar menentukan minimum dan/atau maksimum
ukuran yang umum ingin ditetapkan, yaitu (Anonim, 2012):
a. Dimensi jarak ruangan (clearance dimensions), yaitu dimensi yang
diperlukan untuk menentukan minimum ruang (space) yang
diperlukan orang untuk dengan leluasa melaksanakan aktivitas
dalam sebuah stasiun kerja baik pada saat mengoperasikan maupun
harus melakukan perawatan dari fasilitas kerja (mesin dan peralatan)
yang ada. Jarak ruangan (clearance) dalam hal ini dirancang dengan
menetapkan dimensi ukuran tubuh yang terbesar (upper percentile)
dari populasi pemakai yang diharapkan. Sebagai contoh pada saat
kita merancang ukuran lebar jalan keluar-masuk (personal aisle) ke
sebuah areal kerja, maka disini dimensi ukuran lebar jalan akan
ditentukan berdasarkan data antropometri (lebar badan) dengan
persentil terbesar (95th atau 97.5th percentile) dari populasi.

b. Dimensi jarak jangkauan (reach dimension), yaitu dimensi yang


diperlukan untuk menentukan maksimum ukuran yang harus
ditetapkan agar mayoritas populasi akan mampu menjangkau dan
mengoperasikan peralatan kerja (tombol kendali, keyboard, dan
sebagainya) secara mudah dan tidak memerlukan usaha (effort)
yang terlalu memaksa. Disini jarak jangkauan akan ditetapkan
berdasarkan ukuran tubuh terkecil (lower percentile) dari populasi
pemakai yang diharapkan dan biasanya memakai ukuran 2.5th atau
5th percentile.
Berdasarkan dua dimensi rancangan tersebut diatas dan untuk
mengaplikasikan data antropometri agar bisa menghasilkan rancangan
produk, fasilitas maupun stasiun kerja yang sesuai dengan ukuran
tubuh dari populasi pemakai terbesarnya (fitting the task to the man);
maka ada tiga filosofi dasar perancangan yang bisa dipilih sesuai
dengan tuntutan kebutuhannya, yaitu (Tayyari dan Smith, 1997) :
(a) Rancangan untuk ukuran rata-rata (design for average), yang
banyak dijumpai dalam perancangan produk/fasilitas yang dipakai
untuk umum (public facilities) seperti kursi kereta api, bus dan
fasilitas umum lainnya yang akan dipakai oleh orang banyak
(masalah utama jarang sekali dijumpai orang yang memiliki
dimensi ukuran rata-rata, sehingga rancangan yang dibuat tidak
akan bisa sesuai dengan ukuran mayoritas populasi yang ada);
(b) Rancangan untuk ukuran ekstrim (design for extreem), yang
ditujukan untuk mengakomodasikan mereka yang memiliki ukuran

yang terkecil atau yang terbesar (dipilih salah satu) dengan


oritentasi mayoritas populasi akan bisa terakomodasi oleh
rancangan yang dibuat; dan
(c) Rancangan untuk ukuran yang bergerak dari satu ekstrim ke
ekstrim ukuran yang lain (design for range), yang diaplikasikan
untuk memberikan fleksibilitas ukuran (karena ukuran mampu
diubah-ubah) sehingga mampu digunakan oleh mereka yang
memiliki ukuran tubuh terkecil maupun yang terbesar (biasanya
akan memakai ukuran dari range percentile 5th dan 95th ).
Agar dapat menghasilkan rancangan stasiun kerja yang mampu
memberikan kondisi kerja yang efektif, efisien, nyaman dan aman,
maka dalam hal ini Tayyari dan Smith (1997) merekomendasikan 6
(enam) prinsip umum untuk diikuti, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip tentang apa-apa yang harus bisa dilihat dan diidentifikasikan
dengan jelas oleh seorang pekerja pada posisi dimana seharusnya
dia berada. Untuk memenuhi prinsip ini, maka mekanisme display
maupun kendali (kontrol) baik ditinjau dari segi jumlah maupun
jenis/tipikalnya haruslah dirancang serta ditempatkan (layout) pada
posisi dan jarak yang mudah untuk dilihat, dimonitor serta
dioperasikan.
2. Prinsip tentang apa-apa yang harus mampu didengar secara jelas
oleh seorang pekerja pada posisi dimana seharusnya dia berada. Apa
yang harus bisa didengar secara jelas tersebut meliputi kebutuhan
untuk bisa berkomunikasi lisan dengan pekerja lain (berada di

stasiun

kerja

yang

berbeda),

kebutuhan

untuk

mampu

mendengarkan signal suara yang berasal dari mesin ataupun fasilitas


kerja yang dioperasikan dan menjadi tanggung-jawab dalam hal
pengawasannya, dan sebagainya.
3. Prinsip tentang ruang lingkup tugas (aktivitas) yang harus
dikerjakan oleh seorang pekerja dalam batas-batas area kerja yang
menjadi tanggung-jawabnya. Dalam hal ini harus bisa dianalisa dan
diidentifikasikan gerakan-gerakan kerja yang harus dilakukan oleh
pekerja, terutama pada saat yang bersangkutan harus berinteraksi
dengan fasilitas kerja yang dioperasikannya. Gerakan-gerakan kerja
tersebut bisa berupa kegiatan untuk mengangkat (lifting), membawa
(transporting atau material handling), atau mengatur letak
(positioning atau loading-unloading) material, dan sebagainya. Agar
gerakan kerja tersebut bisa dilakukan secara leluasa, maka
diperlukan akses ruang yang cukup untuk dilalui oleh pergerakan
operator maupun peralatan material handling.
4. Prinsip tentang urutan kerja yang harus dilalui untuk penyelesaian
sebuah kegiatan. Disini harus dipahami benar kondisi alami dan
urutan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang pekerja.
5. Prinsip tentang perlunya ada ruang dan jarak (clearance) untuk
memberikan keleluasaan pada pekerja agar bisa bekerja dengan
efektif, efisien, nyaman dan aman. Analisa tekno-ekonomi dalam
penetapan clearance yang harus diberikan akan menentukan
kelancaran aktivitas yang harus dilakukan, dan disisi lain costs

(untuk tambahan space) harus dijaga dalam batas-batas yang


seminimal mungkin.
6. Prinsip tentang perlu tidaknya area khusus untuk menempatkan
material (storage) dalam sebuah stasiun kerja. Perancang harus
mengalokasikan ruang yang cukup untuk menempatkan bahan baku
(raw material), produk setengah jadi (in-process work-pieces) dan
produk jadi (finished goods). Demikian juga perlu diberikan ruang
yang cukup untuk penempatan perkakas kerja ataupun alat bantu
lainnya yang akan digunakan dan harus disimpan dalam stasiun
kerja.
Berdasarkan ke-enam prinsip tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan kalau perancangan stasiun kerja yang diharapkan
memenuhi persyaratan ergonomis untuk menentukan dimensi ukuran
akan didasarkan pada 3 (tiga) faktor, yaitu (Tayyari dan Smith, 1997):
(a) data antropometri yang dipakai,
(b) kondisi alami (nature) dari pekerjaan yang harus diselesaikan, dan
(c) pola perilaku pekerja.
Perancangan stasiun kerja yang dilakukan secara benar akan
mampu memberikan hasil kerja yang lebih ekonomis, meningkatkan
efektivitas dan efisiensi
Perbaikan metode kerja merupakan pendekatan sistematis untuk
mendapatkan cara yang lebih mudah dan baik dalam melakukan suatu

pekerjaan. Tujuan dasar dari perbaikan metode kerja ini adalah unuk
menghindari berbagai jenis pemborosan (waktu, usaha manusia, bahan
baku, modal, dan lain-lain). Perbaikan kemampuan kerja akan
mempengaruhi produktivitas perusahaan secara umum. Upaya
perbaikan kerja meliputi perbaikan gerakan kerja yang dilakukan dan
pengaturan peralatan penunjang kerja yang tepat (Davis, 1979).
Perbaikan metode kerja diarahkan supaya menyeimbangkan
distribusi beban kerja tersebut dan mewujudkan waktu kerja yang lebih
optimal. Kondisi
keseimbangan beban kerja juga dapat diamati dari efisiensi gerakan
tangan kiri dan tangan kanan (Davis, 1979).
Dalam melakukan evaluasi dan mendesain layout baru maka
terlebih dahulu diadakan brainstorming di mana menjadi dasar dalam
mendesain layout kerja baru yang diharapkan dapat mengatasi seluruh
permasalahan yang dihadapi dan dapat menyusun aliran kerja yang
efektif dan efisien. Brainstorming adalah cara untuk memacu
pemikiran kreatif guna mengumpulkan ide-ide dari suatu kelompok
dalam waktu yang relatif singkat (Soekarto, 1990).
Teknik brainstorming adalah teknik untuk menghasilkan gagasan
yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan ini
mendorong munculnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang
nyleneh, liar, dan berani dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat
menghasilkan gagasan yang kreatif. Brainstorming sering digunakan
dalam diskusi kelompok untuk memecahkan masalah bersama.

Brainstorming juga dapat digunakan secara individual (Anonim,


2012).
Salah satu cara untuk mendapatkan ide-ide dari sekelompok orang
dalam

waktu

singkat

adalah

melalui

metode

brainstorming.

Brainstorming mempunyai 4 tahap pokok, yaitu (Soekarto, 1990) :


1.

Menjelaskan persoalan
Pemimpin pertemuan menjelaskan persoalan yang dihadapi
dan menerangkan kepada peserta bagaimana berpartisipasi dalam
sumbang saran tersebut.

2.

Merumuskan kembali persoalan dengan lebih jelas


Berarti membuka jalan keluar atau memberi jawaban yang
dapat diterima tanpa adanya sumbang saran seterusnya.

3.

Mengembangkan salah satu atau beberapa penjelasan tersebut


Merupakan bagian pokok dari pertemuan, dimana diciptakan
suasana yang bebas untuk memaparkan idenya sebanyak mungkin.
Ide tersebut ditampung dan ditulis sehingga bisa dibaca oleh semua
peserta. Apabila pengeluaran ide mulai mengering, pemimpin dapat
menghentikan pertemuan dan minta waktu beberapa menit untuk
diam guna memungkinkan perkembangan ide seterusnya. Setelah
ide terkumpul lagi dan dituliskan semua, pemimpin dapat berpindah
ke acara lain dalam agenda.

4.

Mengevaluasi ide yang dihasilkan

Ide-ide yang dihasilkan harus dievaluasi dan beberapa ide yang


berguna

dipilih

dan

dimanfaatkan.

Teknik

brainstorming

dipopulerkan oleh Alex F. Osborn dalam bukunya Applied


Imagination. Istilah brainstorming mungkin istilah yang paling
sering digunakan, tetapi juga merupakan teknik yang paling tidak
banyak dipahami. Orang menggunakan istilah brainstroming untuk
mengacu pada proses untuk menghasilkan ide-ide baru atau proses
untuk memecahkan masalah (Anonim, 2012).
Keunggulan teknik brainstorming meliputi (Mizuno, 1994):
1. Menciptakan kesempatan seluas-luasnya bagi ide-ide kreatif.
2. Memfasilitasi lingkungan dimana para individu tidak merasa
terancam.
3. Dapat membuka jalan baru untuk memecahkan masalah-masalah
lama.
Kelemahan-kelemahan teknik ini antara lain (Mizuno, 1994) :
1.

Ada kemungkinan sulit untuk menujukan masalah.

2.

Keengganan partisipan takut akan celaan atau komentar negatif.

3.

Kecaman selama sesi berlangsung.

4.

Penghindaran masalah memerlukan judgement nilai.

5.

Kesulitan dalam memilih macam masalah.

BAB III
METODE PRAKTIKUM
Pelaksanaan Praktikum :
Digambarkan sistem kerja yang akan diperbaiki /
dirancang (yang digunakan di acara 2).
Digunakan skala sesuai kebutuhan.

Sistem kerja tersebut dievaluasi, kemudian ditunjukkan


kelemahan / kekurangan rancangan yang ada sehingga
perlu ada perbaikan.

Dirancang perbaikan sistem kerja menggunakan data


anthopometri dengan mempertimbangkan faktor
ergonomi sehigga akan mengurangi faktor delay,
ketdakseimbangan
kerja,
kelelahan,
MSDs.
Digambarkan dengan prinsip gambar teknik.

Jika perlu ada alat bantu, dibuat gambar alat bantu yang
dirancang menggunakan skala tertentu.

Dibuat gambar peta kerja yang sesuai untuk sistem kerja


baru

Dievaluasi keuntungan dan kerugian dari rancangan baru


yang dibuat

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.HASIL

B. PEMBAHASAN
Pada acara praktikum acara 4 yang berjudul Perancangan
Peralatan Kerja Menggunakan Data Anthropometri ini bertujuan agar
praktikan dapat melakukan perancangan peralatan kerja (meja, rak dan
alat

bantu

kerja)

yang

ergonomis

dengan

menggunakan

data

anthropometri. Sebelum menentukan perancangan alat untuk perbaikan


kerja pada operator, terlebih dahulu dilakukan brainstorming kelompok.
Brainstorming adalah diskusi kelompok yang dilakukan dengan
mengumpulkan gagasan atau

ide-ide yang diusulkan oleh masing-

masing anggota tanpa terkecuali guna memperoleh keputusan mufakat


untuk memecahkan permasalahan tertentu. Brainstorming dilakukan
untuk membahas kelebihan dan kekurangan sistem serta mencari solusi
perancangan sistem kerja dengan data antropometri pada operator stasiun
kerja penggorengan di Industri Kerupuk Subur.
Dari berbagai ide dan gagasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
setiap operator memiliki beberapa kekurangan dalam melakukan
operasinya. Dari brainstorming maka dapat diketahui sistem kerja yang
lama memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Pekerja pada penggorengan 2 mengangkat kerupuk dalam
penyaringan menggunakan

1 tangan saja,

hal

ini

dapat

menyusahkan pekerja dan dapat membuat cedera pada tangan


karena kerupuk yang diangkat tidaklah sedikit

2. Wajan tempat penggorengan 2 terlalu rendah sehingga pekerja


yang tinggi lelah untuk menyesuaikan dan dapat mengakibatkan
punggung pegal ketika melakukan operasi penggorengan
3. Saat penirisan, adanya waktu tunggu yang tidak efektif sehingga
terkadang

pekerja

terburu-buru

memindahkan

ke

tempat

pengemasan ketika penirisan selanjutnya, padahal kerupuk yang


ditiriskan masih belum maksimal
4. Ketika pemindahan kerupuk dari penimbangan ke penggorengan,
terjadinya arus balik yang maksimal dimana gang yang sempit dan
dipenuhi oleh rombong kerupuk di sisi samping sehingga ketika
pekerja akan memindahkan kerupuk, masih adanya kesulitan
karena gang tersebut dilewati oleh pekerja lain. Pekerja yang
mengangkat kerupuk daalam keranjang juga dapat menyebabkan
cedera pada tulang belakang bila terlalu berat beban keranjang
tersebut
Pada brainstorming yang menjelaskan tentang kelemahan-kelemahan
tersebut maka memunculkan rancangan alat untuk masing-masing
kelemahan yang terdapat pada stasiun kerja penggorengan. Pada
kelemahan pertama, perencanaan rancangan alat berupa saringan
berkatrol. Saringan berkatrol ini berfungsi untuk meringankan atau
mengurangi beban saat pekerja mengangkat saringan. Untuk kelemahan
kedua, perencanaan rancangan alat berupa pengontrol ketinggian meja
penggorengan. Alat ini berfungsi untuk meringankan beban pekerja agar
tidak terlalu membungkuk dan pemindahan kerupuk dari penggorengan 1
ke penggorengan 2 dapat dilakukan dengan mudah agar tidak banyak
scrap yang terjadi. Kelemahan ketiga, yaitu dilakukan perencanaan

rancangan alat berupa konveyor penirisan dan pengemasan. Alat ini


berfungsi untuk meminimumkan kesalahan pada inspeksi dan tidak
menyebabkan waktu tunggu saat penirisan sehingga pekerja tidak
terburu-buru memindahkan kerupuk yang sudah jadi kedalam kemasan.
Pada kelemahan terakhir, perencanaan rancangan alat berupa katrol
pemindah. Katrol pemindah ini berfungsi untuk meminimumkan arus
balik dan memudahkan pekerja tanpa harus bolak balik mengangkat
keranjang berisi kerupuk ke penggorengan.
Pertimbangan-pertimbangan mengapa perlu dilakukan perancangan
sistem kerja baru diantaranya karena sistem kerja yang lama membuat
operator pada stasiun kerja penggorengan menjadi mudah lelah akibat
cedera MSDS. Sistem kerja yang lama jika terus dipertahankan maka
dikhawatirkan justru akan menurunkan produktivitas (pekerja mudah
lelah).
Dari rancangan alat yang diajukan, terpilihlah alat katrol pemindah .
Karena, selain harganya lebih murah dibanding dengan rancangan alat
lainnya, dapat juga disesuaikan dengan keadaan industri saat ini sehingga
pekerja dapat menggunakannya dengan mudah dan dapat dengan cepat
beradaptasi. Kemudahan dalam penggunaan alat ini juga dapat
meringankan beban pekerja pada stasiun penggorengan.
Alat katrol pemindah

merupakan alat yang menggunakan katrol

dimana posisinya diletakkan di atas pekerja dan memiliki presentil yang


dapat disesuaikan dengan tinggi pekerja. Laju alat katrol berpindah
dimulai dari penimbangan kerupuk menuju ke penggorengan. Tiang

penyangga hanya terdapat di penimbangan kerupuk dan di penggorengan


sehingga gang diantara stasiun tersebut mudah dilewati oleh pekerja
tanpa terhalangi oleh apapun. Alat tersebut dilengkapi peer dan
dihubungkan dengan keranjangnya sehingga pekerja dapat luwes menarik
kebawah untuk mengambil keranjang dan memasukkan kerupuk.
Disediakan tongkat pada tiang untuk menarik keranjang sehingga dapat
dengan mudah diambil pekerja yang duduk ketika penimbangan kerupuk.
Alat tersebut dilengkapi roda penggerak yang kinerjanya mirip dengan
konveyor yang mampu memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat
lainnya yang dituju sehingga setelah kerupuk dimasukkan ke keranjang,
pekerja dapat mendorong keranjang tersebut menuju ke penggorengan
dari tempat semula tanpa melakukan usaha ekstra.
Persentil adalah suatu nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari
orang yang memiliki ukuran pada atau dibawah nilai tersebut. Sebagai
contoh, persentil 95 yang

menunjukkan bahwa 95% populasi akan

berada pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan persentil 5 akan


menunjukkan bahwa 5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran
itu. Dalam antropometri, angka persentil 95 akan menggambarkan
ukuran manusia yang terbesar sedangkan persentil 5 sebaliknya akan
menunjukkan ukuran terkecil. Penerapan persentil 95 biasanya digunakan
untuk pengukuran dalam pembuatan pintu (pada bagian tinggi pintu) hal
itu diharapkan agar 95% populasi dapat melewati pintu tersebut
sedangkan biasanya persentil 5 digunakan untuk perancangan suatu alat
kontrol terhadap operator dan diharapkan hanya 5% atau 10% populasi
yang berukuran minimum yang tidak dapat menggunakan.

Dalam perancangan alat ini, data persentil yang digunakan yaitu


data persentil 95 tinggi tubuh posisi berdiri tegak dan data persentil 5
tinggi pegangan tangan (grip) pada posisi tangan vertikal ke atas dan
duduk. Sedangkan untuk populasi yang digunakan yaitu laki-laki yang
memiliki tinggi sekitar 170 176 cm karena tinggi rata-rata pekerja di
pabrik subur yang menangani penggorengan memiliki rata-rata tinggi
tersebut dan banyak populasi yang digunakan untuk menghitung data
persentil sebanyak 11 orang. Data persentil 95 untuk tinggi tubuh posisi
berdiri tegak di hitung karena untuk menentukan posisi alat yang akan
dipasang sebab alat yang dirancang ini merupakan alat pemindah bahan
yang letaknya akan dipasang di atas tiang-tiang langit pabrik. Sehingga
dengan menggunakan data persentil 95 tinggi tubuh posisi berdiri tegak
agar alat yang dipasang di atas, sebanyak 95% populasi dari pekerja
bagian penggorengan tidak akan mengenai alat tersebut atau pekerja
dapat melewati alat ini meski saat alat ini sedang bergerak berpindah dan
pekerja juga sedang melakukan aktivitas. Besarnya nilai persentil 95
untuk tubuh posisi berdiri tegak dari populasi sebesar 174,150 cm maka
alat akan dirancang ketinggianya dari dasar bagian alat sampai ke tanah
sebesar 174,150 cm. dengan ketinggian tersebut maka diharapkan hanya
5% dari populasi pekerja saat berjalan (berdiri) yang akan mengenai alat
ini. Sedangkan untuk data persenti 5 tinggi pegangan tangan (grip) pada
posisi tangan vertikal ke atas dan duduk digunakan untuk merancang
tinggi alat tongkat kayu yang berfungsi untuk menarik beban berisi
kerupuk yang dipindahkan dari stasiun penimbangan kerupuk ke stasiun
kerja penggorengan maupun sebaliknya karena dalam kegiatan
menimbang pekerja melakukannya dalam posisi duduk maka alat yang

dirancang disesuaikan dengan posisi pekerja yang sedang duduk. Dan


kenapa memilih data tinggi pegangan tangan (grip) pada posisi tangan
vertikal ke atas dan duduk karena saat pekerja akan menarik beban
dengan tongkat kayu tentu tangan pekerja bagian kanan (kiri) akan
meraih beban menggunakan tongkat kayu dengan mengarahkan
tangannya ke posisi vertikal ke atas sehingga dalam hal ini panjang
tongkat kayu akan ditambah dengan jangkauan tangan pekerja saat posisi
vertikal ke atas. Oleh karena itu dalam perancangan tinggi alat tongkat
kayu digunakan data tersebut dan data yang digunakan yaitu persentil 5
karena diharapkan hanya 5% populasi yang tidak mampu meraih beban
untuk ditarik dengan menggunakan tongkat kayu. Nilai persentil 5 tinggi
pegangan tangan (grip) pada posisi tangan vertikal ke atas dan duduk
sebesar 110,185 cm. Dari nilai tersebut maka dapat ditentukan selisih dari
tinggi alat yang dipasang(174,150 cm) dengan tinggi pekerja saat posisi
tangan vertikal ke atas dalam keadaan duduk (110,185 cm). Maka
diperoleh selisih nilai sebesar 63,965 64 cm. Selisih nilai tersebut
digunakan sebagai nilai tinggi dari alat tongkat kayu yang akan dibuat.
Kelebihan perancangan alat sesuai brainstorming yang dilakukan
antara lain fleksibel karena dalam melakukan pemindahan pekerja tidak
perlu ikut berpindah dengan membawa beban melainkan hanya menarik
tali pada alat rancangan tersebut, selain itu juga nyaman karena pekerja
tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih serta operasi penggunaannya
mudah, efisien waktu karena dapat memindahkan bahan dalam jumlah
yang banyak dalam sekali perpindahan sehingga banyak waktu yang
dihemat dan efektif untuk produksi banyak Karen aalat yang dirancang

sesuai dengan jumlah produktivitas yang tinggi. Dari segi operator, akan
mengurangi adanya kelelahan yang dialami karena disebabkan oleh
beban pengangkatan kerupuk yang telah ditimbang menuju ke stasiun
penggorengan sehingga diharapkan produktivitas jauh lebih meningkat.
Meskipun perancangan sistem kerja yang baru telah dilakukan akan
tetapi perlu dilakukan evaluasi lagi atas alat yang baru ini karena
dikhawatirkan masih terdapat kelemahan dalam perancangan alat ini,
misalnya resiko kerusakan alat yang sewaktu-waktu bias terjadi jika tidak
dilakukan perawatan yang rutin, butuh waktu pembelajaran atau adaptasi
terhadap pekerja agar dapat mengoperasikannya, butuhnya atap langit
yang kuat karena jika tidak atau struktur bangunannya tidak kuat dan
tidak sesuai dikhawatirkan alat akan terjatuh sewaktu-waktu dan hal
tersebut akan menyebabkan kerugian yang sangat besar.

BAB V
KESIMPULAN
Setelah dilakukan brainstorming maka didapatkan kesimpulan
bahwa untuk mempermudah pekerja dalam melakukan pekerjaannya,
khususnya pada stasiun kerja yang kami amati yaitu stasiun
penggorengan, maka dibuat sebuah alat yang dapat mempermudah
pekerjaan tersebut, yaitu alat katrol pemindah yang merupakan alat yang
menggunakan katrol dimana posisinya diletakkan di atas pekerja dan
memiliki presentil yang dapat disesuaikan dengan tinggi pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Brainstorming. Dalam http://isroi.wordpress.com/2008/


04/12/brainstorming/. Diakses pada tanggal 23 April 2013 pukul
23.25 WIB.
Barnes, Ralph M. 1980. Motion and Time Study Design Measurement of
Work. John wiley and sons. Singapore.
Davis, Louis E. And James C.Taylor.1979. Design of Job. Goodyear
Publishing Co. Inc. California.
California.Granjean, Etienne. 1992. Fitting The Task to The Man : an
Ergonomic Approach. Taylor and Francis. London.
Mizuno, Shigeru. 1994. Pengendalian Mutu Perusahaan Secara
Menyeluruh. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Soekarto,T Soewarno. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi
Mutu Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB.
Tayyari, Fariborz and Smith, James L.1997. Occupational Ergonomics :
Principles and Applications.

Chapman & Hall. London.

Wignjosoebroto, S. 1992. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Jakarta :


Penerbit Guna Widya

Wignjosoebroto, Sritomo. 1995. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu.


Jakarta : Guna Widya.

Anda mungkin juga menyukai