I. IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Tn. Robert Silitonga
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
:
28 tahun
Agama
:
Kristen Protestan
Suku
:
Batak
Pendidikan :
SMA
Pekerjaan :
Tidak ada
Status Pernikahan : Belum menikah
Alamat
:
Jl. Balinda 14 Babelan Bekasi
Datang dibawa keluarga ke Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM menemui terapis pertama kali
tanggal 20 Oktober 2008. Pasien mulai menjalani rawat inap di Bangsal Psikiatri RSCM
sejak tanggal 20 Oktober 2008.
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari catatan medik, autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 20
dan 21 Oktober 2008. Alloanamnesis dilakukan dengan kedua orang tua pasien pada
tanggal 20, 21, dan 25 Oktober 2008. Kunjungan ke rumah pasien dilakukan pada tanggal
25 Oktober 2008, berbincang bersama kedua orang tua, kakak, dan adik pasien.
A. KELUHAN UTAMA
Pasien marah-marah, tiba-tiba memukul anggota keluarga, bicara sendiri, menyendiri sambil mengumpulkan sampah, dan pergi tanpa tujuan yang jelas sejak lima hari
yang lalu.
B. RIWAYAT GANGGUAN SEKARANG
Sekitar 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien memukul tamu yang datang
ke rumah tanpa alasan. Padahal, pasien sudah mulai akrab dengan tamu tersebut
sebelumnya. Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien menjadi mudah marahmarah, memukul-mukul keluarga, pergi tanpa tujuan, menyendiri sambil mengumpulkan
sampah selama berada di rumah. Pasien sering melotot tajam, marah, dan memukul bila
bertemu dengan orang baru di rumahnya. Pasien sering berbicara sendiri dan bila diajak
berbicara, isi pembicaraannya sering menjadi kacau dan tidak nyambung. Pasien
mengatakan ada suara-suara bisikan di telinganya dan yakin dirinya adalah pilihan Tuhan.
Pasien mengaku pernah dan bisa melihat Tuhan Yesus. Diakui oleh keluarga pasien
bahwa memang dalam beberapa minggu belakangan ini pasien tidak teratur dalam hal
minum obat dikarenakan ibu pasien sedang pergi ke luar kota.
C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pada tahun 2000, pasien meminta dicarikan pekerjaan oleh ibunya karena merasa
bosan berada di rumah, sehari-hari hanya membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Akhirnya, pasien mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai bengkel tambal ban
yang tidak jauh dari rumahnya di Kalimalang. Selang 1 minggu bekerja di bengkel tersebut, orang tua pasien mengaku bahwa pasien tiba-tiba pulang ke rumah dengan rasa heran
dan kesal karena ternyata posisinya di bengkel tambal ban tersebut telah digantikan
dengan orang lain tanpa sepengetahuan pasien. Sejak diberhentikan dari pekerjaan
tersebut, pasien seringkali terlihat menyendiri, mulai berbicara dan tertawa sendiri, naik
ke kandang ayam, duduk di genteng tetangga, mengaku mendengar suara-suara bisikan,
dan sering tidak nyambung bila diajak berbicara.
Ketika mengetahui perubahan dalam diri pasien, orang tua pasien membawa pasien
berobat jalan di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Persahabatan. Pasien diberikan obat
risperidone, triheksifenidil, klorpromazine, dan haloperidol. Setahun kemudian, keluarga
pasien membawa pasien ke panti rehabilitasi narkoba di Cisarua karena menyangka
pasien ketergantungan narkoba. Pasien berada di panti rehabilitasi selama kurang lebih 1
bulan dan tidak mendapat terapi medis apapun.
Setelah pasien keluar dari panti rehabilitasi narkoba pada tahun 2001, pasien berobat jalan di Rumah Sakit Pertamina. Sepulang dari rumah sakit, pasien teratur meminum
obat. Lama kelamaan, pasien mulai merasa bosan meminum obat sehingga seringkali
tidak minum obat. Tahun 2004, pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grogol selama kurang lebih 4 hari karena memukul-mukul anggota keluarganya tanpa alasan yang
jelas.
Setelah keluar dari Rumah Sakit Jiwa Grogol, pasien berobat jalan (kontrol teratur)
di Rumah Sakit Persahabatan hingga sekarang. Pasien diresepkan obat yang sama dengan
sebelumnya (risperidone, THP, CPZ, dan haloperidol). Obat tersebut diminum teratur
oleh pasien sejak tahun 2004 hingga sekarang, akan tetapi ibu pasien mengakui bahwa
beliau seringkali menurunkan dosis obat tanpa sepengetahuan dokter ketika pasien telah
terlihat membaik. Menurut pengakuan ibu pasien, selama pasien teratur meminum obat
tersebut, pasien selalu bersikap normal dan dapat membantu menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga (menyapu, mengepel, mencuci piring, menyapu halaman).
2. Kondisi Medik Umum
Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan dan hilang kesadaran. Pasien pernah
dirawat di rumah sakit ketika berumur 6 bulan karena penyakit muntaber. Pasien tidak
pernah mengidap penyakit berat tertentu. Pasien pernah digigit anjing ketika SD akan
tetapi tidak pernah mengalami kejang-kejang.
3. Penggunaan Zat Psikoaktif
Dalam sehari, pasien biasa menghabiskan 1 sampai 2 bungkus rokok. Orang tua
pasien mengakui bahwa pasien merupakan perokok dan peminum kopi yang kuat.
Pasien tidak pernah minum minuman beralkohol. Semasa SMA, pasien pernah menggunakan ganja akan tetapi tidak sampai ketergantungan yang berlebihan.
ibunya. Ketika pasien berumur sekitar 1 tahun, ibu pasien mengandung anak kelima
dalam keluarga pasien. Hal ini menyebabkan perhatian ibu pasien kepada pasien
semakin berkurang. Ketika masa ini, pengasuhan pasien dibantu oleh saudara yang
tinggal serumah.
3. Periode Masa Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pada periode ini, pasien tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain. Pasien
mulai memasuki Sekolah Dasar ketika berumur 6 tahun, pasien dapat mengikuti
pelajaran dengan baik, prestasinya cukup baik. Pasien menyelesaikan Sekolah Dasar
selama 6 tahun. Pasien mempunyai waktu yang cukup untuk bermain bersama temanteman sebayanya. Pasien kerapkali diajak bermain bola oleh tetangga-tetangga di sekitar rumahnya.
4. Periode Masa Kanak Akhir dan Remaja
Semasa SMP dan SMA pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien juga dikenal
sebagai siswa yang pandai dalam bergaul. Pasien mempunyai banyak teman hingga
terkadang teman-teman sepermainannya sering bermalam di rumah. Semasa SMA
pasien pernah terpilih sebagai ketua OSIS di sekolahnya. Jabatan ini menjadikan pasien
memiliki aktivitas ekstrakurikuler yang cukup banyak ketika sepulang sekolah.
Ketika SMP pasien mulai pertama kali berpacaran dengan seorang perempuan yang
menjadi teman sekolahnya. Hubungan ini terus berlanjut ketika pasien SMA. Setamat
SMA, pasien diputuskan oleh pacarnya tersebut karena tidak kunjung mempunyai
pekerjaan. Keluarga pasien mengatakan hingga saat ini pasien masih sering menyebutnyebut nama pacarnya tersebut. Padahal, kontak antara pasien dan mantan pacarnya
tersebut telah lama putus, dan sekarang beliau telah menikah dengan orang lain.
Pasien menyelesaikan SD dan SMP tepat waktu, tidak pernah mengalami masalah
dalam hal akademis. Setelah menyelesaikan SMP, pasien langsung meneruskan sekolah
ke SMA. Menurut ibu pasien, pasien merupakan salah satu siswa kesayangan pemilik
yayasan sekolah SMA-nya. Setamat SMA, pasien tidak meneruskan ke bangku kuliah
karena keterbatasan biaya. Pada waktu itu, pasien lebih banyak membantu ibunya
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, menyapu halaman, dan
membereskan perabotan rumah. Pasien termasuk orang yang rapi dan rajin dalam
mengurus rumah.
2. Riwayat Pekerjaan
Pasien tidak pernah bekerja secara formal. Sekitar 2 tahun setelah tamat SMA,
pasien meminta dicarikan pekerjaan kepada ibunya karena merasa jenuh dengan
rutinitasnya setiap hari yang hanya membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Selain itu, pasien juga merasa bertanggung jawab sebagai laki-laki yang suatu saat
harus menafkahi keluarga ketika sudah berkeluarga kelak.
Tahun 2000, pasien mendapatkan pekerjaan melalui perantara teman ibunya di
sebuah bengkel tambal ban. Selang 1 minggu kemudian, posisi pasien di bengkel
tersebut telah diganti tanpa sepengetahuan pasien. Pasien merasa heran dan jengkel atas
kejadian tersebut. Sejak saat itu, pasien tidak pernah lagi mempunyai pekerjaan tetap
sampai sekarang. Pasien pernah sesekali menjadi tukang parkir di dekat rumahnya.
3. Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah sampai saat ini.
4. Riwayat Agama
Pasien adalah seorang nasrani, kristen protestan. Sejak kecil, pasien telah dididik
dalam ajaran agama yang cukup kuat dalam lingkungan keluarga pasien. Selama ini,
baik sebelum maupun sesudah sakit, pasien rajin ke gereja. Pasien juga aktif terlibat
dalam acara-acara yang diadakan oleh gereja. Keluarga pasien mengatakan bahwa
jemaat di lingkungan gereja sudah sangat memaklumi sakit yang dialami pasien.
5. Riwayat Psikoseksual
Pendidikan seksual tidak pernah diberikan oleh keluarga pasien. Semasa SMP dan
SMA, pasien memiliki seorang pacar perempuan yang setia menemani pasien. Setamat
5
= Perempuan
= Tinggal serumah
Seusai membantu ibu, pasien bisa bermain gitar di depan rumah, main ke rumah tetangga di lingkungan kompleks, atau sekedar duduk-duduk tanpa melakukan apapun. Pasien
juga sangat suka menghabiskan waktu dengan minum kopi dan merokok. Selain pasien,
ayah dan ibu pasien pun adalah perokok.
H. IMPIAN, FANTASI, DAN NILAI-NILAI
Pasien merasa hidupnya cukup bahagia saat ini. Pasien ingin sekali bekerja yang
sesuai dengan tingkat pendidikannya (lulusan SMA). Keinginannya ini dilandasi rasa
tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki yang kelak akan menjadi tulang punggung
keluarga. Pasien juga mengutarakan impiannya untuk menikah dan berumah tangga.
Pasien juga beberapa kali mengutarakan keinginannya untuk merayakan Natal bersamasama dengan keluarga di rumah.
Terhadap impian pasien untuk bekerja orang tua pasien sebenarnya ingin sekali
mencarikan pekerjaan bagi pasien akan tetapi mereka khawatir pasien sendiri tidak
akan mampu melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik. Mereka sangat menyadari
keterbatasan pasien saat ini sehingga mereka merasa bingung pekerjaan apa yang kirakira cocok dijalani pasien. Begitu pula dengan impian menikah pasien, orang tua pasien
meragukan apakah ada perempuan yang ingin menikah dengan pasien jika mengetahui
kondisi pasien yang mengalami gangguan seperti itu.
III. STATUS MENTAL
Hasil pemeriksaan status mental didasarkan pada pemeriksaan tanggal 21 Oktober 2008
A. Deskripsi Umum
Penampilan:
Seorang laki-laki, sesuai dengan usia, berpakaian kurang rapi, perawatan diri
C. Pembicaraan
Pembicaraan pasien spontan, lancar, volume cukup dan artikulasi jelas.
D. Persepsi
Terdapat halusinasi auditorik (pasien merasa mendengar suara-suara bisikan Tuhan
di telinga kiri sejak umur 2 tahun)
Terdapat halusinasi visual (pasien merasa mampu melihat Tuhan Yesus)
E. Pikiran
Isi Pikir :
Ditemukan adanya waham kejar: pasien memiliki perasaan seperti ada yang ingin
menjahati pasien (orang-orang Islam yang merasa mengenalnya lebih baik).
Selain itu, juga terdapat waham kebesaran, pasien merasa dirinya adalah utusan
Tuhan.
Tempat
Orang
Daya Ingat
Jangka panjang : Cukup, pasien dapat mengingat riwayat pendidikan dan
pekerjaan yang telah ditempuhnya tetapi lupa tanggal lahirnya.
Jangka sedang : Cukup, pasien dapat mengingat kegiatan satu hari
sebelum pasien dibawa ke RSCM.
Jangka pendek : Baik, pasien dapat mengingat aktivitas yang dilakukan
sehari-hari selama di RSCM.
Segera
: baik
10
: terganggu
Kesadaran
: Kompos mentis
Tekananan darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 80x / menit
Suhu
: 36,5oC
Gizi
: baik
Tinggi Badan
: 171 cm
Berat Badan
: 60 kg
Status Generalis
Kulit
Coklat
Kepala
Deformitas (-)
Rambut
Mata
THT
Leher
Dada
Jantung
Paru
Abdomen
: Datar, lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal, hepar
11
Alat Kelamin
: Tidak diperiksa
Anus
: Tidak diperiksa
Ekstremitas
Status Neurologi
Glasgow Coma Scale (GCS)
E4M6V5 = 15
Pupil
Bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm
Refleks cahaya
Langsung
+/+
Tidak langsung
+/+
produktivitas bicara cukup banyak, intonasi dan volume suara cukup. Terdapat gangguan
persepsi yaitu halusinasi auditorik dan visual. Proses pikir dan bentuk pikirnya asosiasi
longgar, namun kontinuitas tetap ada. Isi pikirnya terdapat waham kejar dan waham
kebesaran. RTA terganggu, tilikan derajat 1. Dari pemeriksaan status internus dan neurologikus tidak ditemukan kelainan.
VI. FORMULASI DIAGNOSTIK
Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang bermakna
secara klinis dan menimbulkan penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi
pekerjaan dan aktivitas sehari-hari pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami suatu gangguan jiwa sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III.
Diagnosis Aksis I
Dari wawancara psikiatrik yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya kondisi
medis umum yang menyebabkan gangguan jiwa. Pasien pernah mengkonsumsi ganja
semasa SMA akan tetapi tidak sampai ketergantungan dan penggunaannya telah
dihentikan sejak pasien tamat SMA. Menurut DSM IV, gangguan klinis bermakna atau
distress akibat penyalahgunaan zat atau alkohol didiagnosa bila gejala terjadi dalam
periode 1 tahun penggunaan zat atau alkohol. Pada kasus ini, riwayat penggunaan ganja
tidak merupakan penyebab langsung dari gangguan jiwa yang dialami pasien karena
interval tanpa penggunaan ganja sudah lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, (berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut) gangguan mental pada pasien yang disebabkan
oleh gangguan organik dan penggunaan zat psikotropika dapat disingkirkan. Pada
kasus, gangguan mental psikotik dapat ditegakkan karena terdapat hendaya dalam
menilai realita.
Pada pasien ditemukan riwayat adanya halusinasi visual, halusinasi auditorik yang
bersifat commanding, waham kejar, dan waham kebesaran. Akibat adanya gangguan isi
pikir tersebut, terdapat perubahan yang bermakna bagi kehidupan pasien, yakni pasien
menjadi mudah marah, kacau dan tidak nyambung dalam berbicara, hingga dapat
memukul keluarganya sendiri. Kejadian seperti ini sudah cenderung menetap dan berlangsung lebih dari 1 bulan. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka dapat
ditegakkan diagnosis skizofrenia paranoid. Untuk menentukan jenis dari skizofrenia
paranoidnya sendiri, didapati dari anamnesis bahwa pasien dapat berfungsi seperti biasa
ketika teratur meminum obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan pasien pernah kembali
14
ke baseline dalam suatu grafik kesehatan jiwa. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pasien ini termasuk jenis skizofrenia paranoid episodik berulang.
Diagnosis Aksis II
Tidak ditemukan gangguan kepribadian, maupun retardasi mental pada pasien.
15
Skizofrenia digambarkan oleh Freud sebagai keadaan pecahnya objek dari emosi,
pikiran, ide, atau seseorang, dan sebuah regresi yang merupakan respon terhadap frustrasi
atau konflik terhadap orang lain. Onset dari gejala-gejala skizofrenia biasanya mulai
muncul pada fase kehidupan adolesence, dimana pada saat ini seorang remaja membutuhkan ego yang kuat untuk berfungsi secara bebas, terlepas dari orang tua, untuk mengidentifikasi tugas, untuk mengkontrol insting-insting dasar, dan untuk menyeimbangkan diri
dengan stimulasi eksternal yang intense. Onset pada pasien ini dialami ketika pasien berumur sekitar 20 tahun.
Gangguan skizofrenia paranoid yang dialami oleh pasien ini dapat dilatarbelakangi
oleh berbagai interaksi kompleks dari beberapa faktor risiko neurobiologis dan psikososial.
Teori etiologi dan patogenesis menempatkan faktor genetik sebagai faktor penentu. Pada
ketiadaan faktor genetik, situasi keluarga yang disfungsional sekalipun tidak akan
menghasilkan gejala skizofrenia pada anak (Wahlberg et.al, 1997). Salah satu hipotesis
pendukung yang diajukan oleh Kendler dan Eaves (1986) yang menyatakan bahwa fungsi
gen menempati peran penting pada individu karena mengkibatkan sensitivitas terhadap
faktor predisposisi lingkungan, peningkatan resiko terhdap aspek pelindung dan pereduksi
faktor resiko lainnya. Pada pasien ini didapatkan adanya anggota keluarga (anak saudara
perempuan ayah) yang menderita gangguan yang sama dengan yang dialami pasien.
Teori psikoanalisis lain mengatakan bahwa setiap gejala psikosis memiliki makna
simbolik bagi pasien. Halusinasi timbul akibat ketidakmampuan pasien dalam menghadapi
kenyataan obyektif dan menggambarkan ketakutan atau keinginan pasien yang terpendam.
Sedangkan waham merupakan upaya-upaya regresif untuk menciptakan suatu realita yang
baru atau untuk mengekspresikan ketakutan atau impuls yang tersembunyi.
Dalam kehidupan sehari-hari seorang individu selalu mendapat masalah atau
mendapati suatu konflik. Untuk mengatasi masalah dan konflik tersebut seseorang selalu
menggunakan mekanisme defensif tertentu. Mekanisme defensif dalam arti luas adalah
semua cara pengulangan masalah, baik rasional maupun irasional yang sadar maupun
nirsadar yang realistik maupun fantastik. Dalam arti sempit adalah mekanisme yang
berlangsung sengan pemindahan ke fantasi dan pengolahan dengan berbagai cara.
Pada pasien ini mekanisme defensif yang dipakai adalah displacement, dimana
pasien mengalihkan segala kesedihannya kepada orang lain dengan mudah marah dan
menyerang orang lain.
VII. EVALUASI MULTIAKSIAL
16
Aksis I
Aksis II
Aksis III
Aksis IV
Aksis V
Masalah primary support group: ekspresi emosional ayah pasien yang tinggi
bila gejala psikotik pasien sedang kambuh.
IX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam
Bonam
Quo ad Functionam
Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam
Dubia ad bonam
17
X. RENCANA PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana Farmakologis
Risperidon 2x2 mg
Triheksifenidil 2x2 mg jika timbul gejala ekstrapiramidal symptoms
b. Tatalaksana Non-farmakologis
Psikoterapi suportif
Memberikan informasi dan edukasi tentang penyakit yang dideritanya, gejalanya, dampaknya, penyebabnya, cara pengobatan, prognosis, dan kekambuhan
untuk memperbaiki tilikan pasien
Memberi dukungan dan penghargaan pada pasien untuk terus berpikir positif
dalam mengatasi gejala yang dialaminya
Edukasi keluarga
prognosis,
risiko
kekambuhan,
serta
faktor-faktor
yang
Menjelaskan kondisi pasien sehingga dapat dibuat rencana terapi yang jelas
untuk pasien
Mengajak semua anggota keluarga untuk ikut berpartisipasi dalam penatalaksanaan pasien terutama dalam mendukung kepatuhan pasien menjalankan
terapi.
18
Menjalin hubungan yang harmonis antara keluarga dan pasien; dan berusaha
mengatasi masalah dalam keluarga, jika diperlukan dapat dilakukan konseling
pada keluarga dan terapi keluarga.
XI. DISKUSI
Pasien Tn. RS, 28 th, didiagnosis skizofrenia paranoid episodik berulang (F20.03)
menurut PPDGJ-III berdasarkan penemuan halusinasi auditorik dan visual yang menonjol
berupa suara bisikan bersifat commanding, serta adanya waham kebesaran dan waham
kejar. Pada pasien juga ditemukan gejala negatif seperti menyendiri, lebih banyak diam,
dan pergi tanpa tujuan. Namun, gejala positif pada pasien ini lebih menonjol dibandingkan
gejala negatifnya. Dari gejala-gejala tersebut, maka kriteria umum diagnosis skizofrenia
(F20) dapat dipenuhi. Sebagai tambahan, pada skizofrenia paranoid, halusinasi dan/atau
waham harus menonjol, biasanya halusinasi yang memberikan perintah atau mengancam
pasien dan/ atau waham yang berupa waham dikendalikan, dipengaruhi atau waham kejar.
Halusinasi auditorik yang bersifat commanding dapat ditemukan pada pasien ini sehingga
dapat mendukung diagnosis skizofrenia paranoid (F20.0).
Untuk kriteria waktu di mana gejala-gejala tersebut harus muncul selama 1 bulan
atau lebih, telah dapat dipenuhi karena pasien mulai mengalami gejala sejak 8 tahun yang
lalu akan tetapi pernah hilang ketika pasien teratur minum obat. Terakhir sebelum sekitar 3
minggu SMRS pasien mulai memperlihatkan gejala akut kembali. Mengingat pasien pernah
dirawat karena menderita skizofrenia paranoid 4 tahun yang lalu dan pasien sudah
mengalami remisi, maka dapat disimpulkan bahwa gejala yang dialami sekarang
merupakan eksaserbasi dari penyakitnya. Oleh karena itu diagnosis pasien ini adalah
skizofrenia paranoid episodik berulang.
Etiologi skizofrenia pada pasien ini belum dapat ditentukan dengan tepat. Menurut
kepustakaan terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan terjadinya gangguan
psikotik serta memodifikasi perjalanan dan prognosis penyakit. Faktor-faktor tersebut
adalah riwayat skizofrenia dalam keluarga, pembesaran ventrikel otak, abnormalitas
struktur otak, abnormalitas jumlah dan fungsi neurotransmitter, disfungsi kognitif dan
sosial premorbid, komplikasi persalinan, stressor psikososial, etnis minoritas, usia lebih
muda dan laki-laki. Faktor risiko yang dapat diidentifikasi pada pasien ini adalah stressor
19
psikososial berupa diberhentikannya pasien dari pekerjaannya tanpa alasan yang jelas.
Episode berulang pada pasien ini kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpatuhannya
dalam meminum obat selama 1 bulan terakhir dan penurunan dosis obat tanpa sepengetahuan dokter.
Diagnosis banding untuk pasien ini adalah Gangguan psikotik lir-skizofrenia akut
(F23.2) yang merupakan gangguan psikotik akut dengan gejala-gejala psikotik yang secara
komparatif bersifat cukup stabil dan memenuhi kriteria skizofrenia (F20.-) tetapi hanya
berlangsung selama kurang dari 1 bulan. Pasien tidak mengalami gangguan motorik atau
postur tubuh seperti katatonik sehingga skizofrenia katatonik dapat disingkirkan. Gejala
negatif pada pasien ini tidak menonjol dan pasien tidak pernah merasakan depresi sehingga
diagnosis depresi pasca-skizofrenia, skizofrenia residual dan skizofrenia simpleks tidak
terpenuhi. Pasien tidak memiliki keadaan premorbid yang khas terdapat pada skizofrenia
seperti kepribadian skizoid, keluhan-keluhan somatik.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah rawat inap karena pasien SMRS memukul
tamu dan anggota keluarga pasien tanpa alasan yang jelas. Orang tua pasien juga mengaku
sangat stres dan khawatir setiap malam memikirkan pasien kalau ternyata pasien melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.
Pada pasien ini, antipikotik yang pertama kali diberikan adalah risperidon dengan
dosis 2 x 2 mg. Antipsikotik jenis atipikal atau serotonin-dopamine antagonist seperti
risperidon sebenarnya menjadi pilihan pertama dalam tatalasana skizofrenia. Obat jenis ini
mengalahkan obat jenis tipikal atau dopamine receptor antagonist karena obat atipikal
lebih efektif untuk meredakan gejala baik positif maupun negatif pada pasien skizofrenia
dibandingkan obat tipikal. Selain itu, efek samping obat atipikal lebih ringan dibandingkan
dengan obat tipikal terutama pada gejala ekstrapiramidalnya.
Dipilihnya risperidon sebagai antipsikotik untuk tatalaksan pada pasien ini adalah
karena risperidon merupakan antipsikotik atipikal yang bekerja tidak hanya dengan
mengeblok reseptor dopamin D2, tetapi juga berfungsi sebagai antagonis pada reseptor 5HT2A. Efek samping ekstrapiramidal obat ini juga sangat jarang kecuali bila diberikan pada
dosis 6 mg atau lebih per harinya. Alasan lain yang mendukung dipilihnya risperidon
adalah karena obat ini sedikit sekali berinteraksi dengan obat-obat lain.
Dosis risperidon pada pasien ini awalnya adalah 2 x 2 mg. Kalau ternyata setelah
dipantau dari hari ke hari tidak didapati perbaikan, dosis dapat dinaikkan menjadi 2 x 3 mg.
Pemberian risperidon dengan dosis lebih dari 6 mg per harinya meningkatkan risiko
terjadinya efek samping ekstrapiramidal, oleh karena itu pasien ini harus dipantau dengan
20
ketat status neurologikusnya. Jika seandainya didapati gejala ekstrapiramidal pada pasien
ini dapat diberikan Triheksifenidil dengan dosis 2x2 mg.
Psikoterapi suportif berupa nasihat, reassurance, edukasi, modeling, limit setting
dan reality testing dapat diberikan pada pasien ini. Salah satu tujuannya adalah untuk
memperbaiki tilikan pasien sehingga nantinya akan mempengaruhi keberhasilan terapi dan
prognosis. Konseling keluarga juga sangat penting untuk dilakukan karena keluarga juga
memiliki peran yang besar dalam proses penyembuhan pasien. Keterlibatan keluarga tidak
dapat ditinggalkan. Pemberian informasi dan edukasi tentang penyakit pasien, gejala,
penyebab, pengobatan, prognosis, risiko kekambuhan serta faktor-faktor yang meningkatkan risiko kekambuhan, bertujuan untuk memotivasi keluarga agar terus memberikan
dukungan kepada pasien sehingga dapat membantu proses kesembuhan pasien. Edukasi
juga dilakukan kepada kedua orang tua pasien untuk berhenti merokok. Bukan hanya rokok
tidak baik bagi kesehatan mereka sendri tetapi juga dapat menolong pasien untuk mengurangi konsumsi rokoknya.
Prognosis pasien untuk quo ad vitam adalah bonam karena saat ini pasien tidak
memiliki ide bunuh diri dan hal lain yang dapat membahayakan dirinya. Prognosis untuk
quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena pada riwayat pasien didapati ketika
pasien minum obat secara teratur maka pasien ini dapat berfungsi seperti biasa. Sementara
itu, prognosis untuk quo ad sanactionam adalah dubia ad bonam karena dalam grafik
riwayat perjalanan penyakit, pasien pernah menyentuh baseline yang menandakan pasien
dapat kembali seperti sebelum sakit karena keteraturannya dalam meminum obat. Selain
itu, perhatian keluarga dalam mengawasi pasien minum obat juga sangat baik.
21
samping minimal
lanjutkan
atau 4
atau 4
atau 4
lanjutkan
samping minimal
ditoleransi, ke B
pertimbangkan ECT
lanjutkan
22
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. F20 Skizofrenia dalan
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 1993
Elvira SD. Psikodinamika dan Berbagai Mekanisme pertahanan. Kuliah Tingkat 4
Kepaniteraan Psikiatri FKUI.
Maslim R. Obat anti psikosis dalam Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
edisi 3. PT Nuh Jaya: Jakarta. 2001. Hal 14-22
Sadock BJ, Sadock VA. Psychotherapies dalam Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 9th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
2003. Hal 923-960
Sadock BJ, Sadock VA. Serotonin-Dopamine Antagonists: Atypical Antipsychotics dalam
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003. Hal 1104-1111
Sadock BJ, Sadock VA. Schizophrenia dalam Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 9th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
2003. Hal 471-504
23
LAMPIRAN
Mini Mental Status Examination (MMSE)
Nama pasien : Tn RS
Nama pemeriksa
: Bambang Dwiputra
Usia pasien
: 28 tahun
Pendidikan
: SMA
Jam mulai
: 10.00 WIB
Jam selesai
: 10.15 WIB
SKOR :
I.
ORIENTASI
Di bagian apa?
II.
Bola
Kursi
Sepatu
III.
24
IV.
Bola
Kursi
Sepatu
V.
BAHASA
VI.
KONSTRUKSI
_______
Total skor:
( 21 )
25
26
Umur 20 tahun
Gejala pertama kali
muncul setelah pasien
deiberhentikan dari
pekerjaannya.
Pasien mulai berbicara
sendiri, mendengar
bisikan, naik ke kandang
ayam, genteng tetangga,
dan sering tidak
nyambung bila diajak
berbicara.
Pasien berobat jalan di
RS Persahabatan.
Umur 21 tahun
Umur 24 tahun
Sebelumnya selama
pasien meminum obat
dengan teratur pasien
dapat berfungsi seperti
biasa.
Pasien tidak pernah
bekerja lagi dan selalu
membantu ibunya di
rumah.
Umur 28 tahun
Pasien dibawa orang
tuanya ke RSCM karena
memukul anggota
keluarga dan tamu tanpa
alasan yang jelas,
menyendiri,
mengumpulkan sampah,
pergi tanpa tujuan, dan
berbicara kacau.
Sebelumnya pasien tidak
teratur minum obat dan
ibu pasien sering
menurunkan dosis secara
sepihak.
27