Anda di halaman 1dari 77

Hidungku Selalu Tersumbat

1.
Anatomi dan fisiologi hidung? disertai gambar berbagai
penampang.lengkap ya!!
2.1.1 Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang
anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.1 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian
kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua
adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi
kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk rongarongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke
otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002)
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang
masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk
lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan
berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh
invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar
disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai
dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian
atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar
meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu ,
dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi
konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda
sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang
pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid ,
dan sinus frontal. (Walsh WE, 2002)
2.1.1.2 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
1

digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari


atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3)
puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1)
tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam


2

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam


2.1.1.3.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
3

n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan


menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. .
(Ballenger JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger
JJ,1994)
2.1.1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
Universitas Sumatera Utara
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya
sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang
batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
4

2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke
arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL,
2007 ; Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan selsel goblet (Sobol SE, 2007).
2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan
lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan
keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media (Nizar NW, 2000).
2.1.1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
5

epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani


RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.6 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto
D & Wardani RS,2007
1
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal,
empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus
etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar,
kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri.
Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior
dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di
dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka
media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara
kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus
paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang
6

dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)


2.2.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia
2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar
agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat.
Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. .
(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus
tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil
di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat
ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini
akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan
berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm
anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar
rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan
akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan
dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi
permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.
(Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi
7

tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm
dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu
ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus.
Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran
lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk
keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar
kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses
supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila
lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi ratarata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
8

ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior
dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius,
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid.
Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus
frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum
dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum
anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang
sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid
dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama
lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga
salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah :
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
9

sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.


( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Histology dari hidung !
STUKTUR HISTOLOGI HIDUNG Stuktur histologi hidung, terdiri atas :

Jika dilihat pada mikroskop rongga hidung terdiri dari :

o Tulang
o Tulang rawan hialin
o Otot bercorak
o Jaringan ikat

Kulit luar Hidung, secara mikroskopis nampak:

o Mempunyai lapisan sel yaitu Epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
o Terdiri atas Rambut -rambut halus
o Mengandung Kelenjar sebasea dan kelenjar keringat

Vestibulum nasi

o Secara anatomi Vestibulum nasi merupakan bagian dari cavum nasi yang
terletak tepat di belakang nares anterior.
o Secara histologi, vestibulum nasi terdiri atas :

Epitel berlapis gepeng

Terdapat vibrissae yaitu rambut-rambut kasar yang berfungsi menyaring udara


pernafasan

Terdapat kelenjar sebasea dan kelenjar keringat

Konka nasalis

o Secara anatomi Pada dinding lateral cavum nasi terdapat tiga tonjolan tulang
disebut konka, dimana ada empat buah konka yaitu Konka nasalis superior yang
tersusun atas epitel khusus, Konka nasalis media, Konka nasalis inferior dan
konka nasalis suprema yang kemudian akan rudimenter.
10

o Konka nasalis superior tersusun atas epitel khusus yaitu epitel olfaktorius untuk
penciuman
o Konka nasalis media dan Konka nasalis inferior dilapisi epitel bertingkat torak
bersilia bersel goblet.
o Epitel yang melapisi konka nasalis inferior banyak terdapat plexus venosus yang
disebut swell bodies yang berperan untuk menghangatkan udara yang melalui
hidung. Bila alergi akan terjadi pembengkakan swell bodies yang abnormal pada
kedua konka nasalis ,sehingga aliran udara yang masuk sangat terganggu.
o Dibawah konka inferior terdapat Plexus venosus berdinding tipis ,sehingga mudah
perdarahan

Mukosa Hidung

o Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius).

Regio Respiratorius

Tersusun atas Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet

Silia berperan mendorong lendir kearah belakang yaitu nasofaring sehingga


kemudian lendir tertelan atau dibatukkan

Pada lamina propria

Terdapat glandula nasalis yang merupakan kelenjar campur dimana Sekret


kelenjar disini menjaga kelembaban kavum nasi dan menangkap partikel partikel
debu yang halus dalam udara inspirasi

Terdapat noduli limfatisi

Lamina propria ini menjadi satu dengan periosteum / perikondrium (dinding konka
nasalis) oleh karena itu membran mukosa di hidung sering disebut
mukoperiosteum / mukoperikondrium / membrana Schneider

Terdapat serat kolagen, serat elastin, limfosit, sel plasma , sel makrofag

Jadi Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir pada permukaannya.
11

Regio Olfaktorius

Bagian dinding lateral atas dan atap posterior kavum nasi mengandung organ
olfaktorius

Pada konka nasalis superior terdapat epitel khusus / epitel olfaktorius yang
terdapat pada pertengahan kavum nasi

Daerah epitel olfaktorius ini mencakup 8 10 mm ke bawah pada tiap sisi septum
nasi dan pada permukaan konka nasalis superior, dengan batas tidak teratur dan
luas 500 mm2 dengan mukosa warna coklat kekuningan

Tunika mukosa terdapat epitel olfaktorius yang tersusun atas empat macam sel,
yaitu

Sel olfaktorius

Terletak diantara sel basal dan sel penyokong

Merupakan neuron bipolar dengan dendrit kepermukaan dan akson ke lamina


propria

Ujung dendrit menggelembung disebut vesikula olfaktorius

Dari permukaan keluar 6 8 silia olfaktorius

Akson tak bermyelin dan bergabung dengan akson reseptor lain di lamina propia
membentuk Nervus Olfaktorius / N. II

Sel sustentakuler / sel penyokong

Bentuk sel silindris tinggi dengan bagian apex lebar dan bagian basal menyempit

Inti lonjong

Pada permukaan terdapat mikrovili

Sitoplasma mempunyai granula kuning kecoklatan

Sel basal

Bentuk segitiga

Inti lonjong

Merupakan reserve cell / sel cadangan yang akan membentuk sel penyokong dan
12

mungkin menjadi sel olfaktorius

Sel sikat

Sel yang mempunyai mikrovili di bagian apikal

Lamina propria:

Mempunyai banyak vena

Mengandung kelenjar terutama jenis serosa / kelenjar Bowman,berperan untuk


membasahi epitel dan silia, dan juga sebagai pelarut zat zat kimia yang dalam
bentuk bau / dapat melarutkan bau-bauan
2.3 Sistem Mukosiliar Hidung
2.3.1 Mukosa hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan
kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum
nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan
berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara
histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori) .
Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri
atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel
pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia,
sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri
atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius.
Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri
atas epitel,membran basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi
sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam
sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang
mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum
13

akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka
dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel
akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media
dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang
berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia
dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan
fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan
diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994;
Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak
semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel
bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir ,
1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia,
menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah
muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
(Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)

14

Gambar mukosa hidung


I. Lapisan Mukosa Hidung
Ia. Sel bersilia
Ib. Goblet sel
Ic. Sel tidak bersilia
Id. Sel basalis
II. Lapisan sel radang
(Sel plasma,limfosit dan eosinofil)
III. Lapisan Kelenjar superfisial
IV. Lapisan vaskular
V. Lapisan kelenjar dalam
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar
mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994;
Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam
sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa
dibawah kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
15

endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein


polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel
goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di septum
nasi (5700 sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak
dijumpai didaerah nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )
2.3.3 Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki
mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang
bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan
struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan
dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh
membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap
selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kirakira 9-15 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain
oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar
2.3 tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani
RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan
silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi
berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak
maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat
mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan
beban yang disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini
merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron.
Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada
tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara
aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal.
Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada
hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga
memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden
melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang
hidung. Dan berikutnya , Messerklinger memperkenalkan alat diagnostik,
endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang
pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami
inflamasi. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA,
2006)
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus
hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari
udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus
16

menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta


melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk
melembabkan udara yang sangat kering yang dapat berakibat mengeringnya
mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat kelembaban selimut
mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada
submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit
pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D
& Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2.
Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan
sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double
microtubulus). Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi
subfibril A dan subfibril B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan
dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan
dengan tubulus sentral melalui radial spokes (Lang,1989; Waguespack, 1995;
McCaffrey,1997)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan
antara pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan
elastik yang disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya
sama. (Ballenger;1994)
2.3.4 Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi
oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada
keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum),
sinus, telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan
lendir ini, bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya,
17

secara berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan


atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti
batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di
atasnya adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya
(superfisialis) terdapat lendir yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia
bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir
yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini
dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan
silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara
keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ;
Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein
sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh
elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi
digerakkan oleh klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan
oleh keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini
menentukan kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein mukus.
Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan
oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai
pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang
terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;
Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka
ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan
kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal
permukaan cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua
keadaan ini sangat mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger ,
1994; Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan
palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan
penting dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger
JJ,1994 ; Sakakura, 1997)
2.4 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
18

atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ;


Waguespack R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari
dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus
alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri . Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) ,
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan
perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea rah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS
sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /
menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ; 2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan
mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah
gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997).
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius
akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior
dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui
posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga
nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani
RS,2007 )
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung.
Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6
segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)

19

regio olfacto

fisiologi dari hidung !


2.1.2 Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu,
karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)
FISIOLOGI HIDUNG

Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius,


alat penghidu dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan

o Inspirasi :

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea)
dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap
benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga
rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk
bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
20

berfungsi menghangatkan udara yang masuk.


o Ekspirasi :

udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan memecah
sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring

o Untuk mekanisme pernapasan dapat di baca disini

Resonansi suara : dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia


(suara sengau) dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng)
sehingga rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara
Refleks nasal :

o Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna,
kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin dan
nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan
pankreas.
Mekanisme penciuman

Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung selsel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf
kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk
serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak
(bulbus olfaktorius).

Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung,
sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.

Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu


akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori).

Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke


rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan
impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk
diinterpretasikan.

Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
21

Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini


adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka
tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan
oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa,
tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa
kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu
dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organorgan yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
(6) Membantu produksi mukus.
22

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil


dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.
Mekanisme membau?

Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung selsel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf
kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk
serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak
(bulbus olfaktorius).

Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung,
sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.

Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu


akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori).

Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke


rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan
impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk
diinterpretasikan.

3.

Mengapa hidung tersumbat makin lama makin berat sejak bekerja di


meubel?
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 24 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.

23

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
24

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi selsel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
25

reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe


3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko
untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu
yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan
dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
(Kaplan, 2003).
4.
Mengapa penderita mengeluh rhinore, bersin2, dan hidung gatal?
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
5.
Mengapa penderita kurang bisa membau parfum bila aromanya tidak
tajam?
Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah yang terbentang
di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang berhadapan.
Akson dari sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang
melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini
26

membentuk traktus olfaktorius yang menuju ke otak.


Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat
erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus
(N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ
penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut
saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid
menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi
pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena
penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat
mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan
merupakan kelainan pembauan yang sejati maka artikel ini terutama difokuskan
pada fungsi pembauan dan penurunannya. Hasil survei tahun 1994 menunjukkan
bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita gangguan pembauan,
sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian yang
dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa
mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.
Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian sepertiga
atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina
kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior. Partikel
bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau
partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut
hiposmia bila daya menghidu berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, dan
disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu. Disosmia terbagi lagi menjadi
phantosmia (persepsi adanya bau tanpa ada stimulus) dan parosmia atau
troposmia (perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus).
Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform
plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini
merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat
reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar
neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi
antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia
seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain
neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan
glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang
berfungsi pada regenerasi epitel
Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahanbahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor
olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga
hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan
reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi,
volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan
neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari
100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus
dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru
dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant termasuk bagian dari
27

G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase.


Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap
neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari
dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor
yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson
gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia,
kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20
keluarga yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompokkelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom
manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung
protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal.
Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling
banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau.
Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting, yaitu:
1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang
sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau,
2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga
memungkinkan pembedaan bau, dan
3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa
terjadinya paparan dilupakan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di
sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan
pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek
konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel
olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang
lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi
saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala. Berikut adalah defek
konduktif dari gangguan penciuman:
1) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk
rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit
sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti
dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis,
alergis dan pembedahan secara agresif.
2) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga
menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal
(paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.
3) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga
dapat menyebabkan obstruksi.
4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia
karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien
anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan
dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan
28

meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi
sistem olfaktorius pada usia yang dini
Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:
1) Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel),
sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis
multipel.
2) Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman
syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius
dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan
bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.
3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh
pada fungsi pembauan.
4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat
menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus
dan mengakibatkan anosmia.
5) Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obatobatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obatobatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol,
nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.
6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi
pembauan.
7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena
berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi
proses kognitif di susunan saraf pusat.
8) Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer
disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus
Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala
pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya
fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya
nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya
edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga
menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang
pemanen melalui upregulated apoptosis

Sumber :
Akil, M. Amsyar. 2007. Penghidu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/Microsoft%
0PowerPoint%20-%20Gangguan%20penghidu%20dan%20pengecapan.pdf.
Anonym. 2006. Proses Penginderaan dan Persepsi. Universitas Gunadharma.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_3.pdf
29

6.

Mengapa penderita sering mengeluh keluar ingus kental dan


berwarna kuning yg terasa mengalir ditenggorok dan disertai demam?
Telah terjadi infeksi sekunder sehingga sekret yang biasanya berwarna putih
berubah kenjadi hijau. Rinore yang hebat danbersifat mukus atau serous sering
dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangatbervariasi yang dapat bergantian dari
satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersinbersin tidak begitu nyata bila dibandingkandengan rinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari
waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu juga dapat
dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).
7.
Apa hubungan pernah di diagnosa polip dg keluhannya sekarang?
2.2 Definisi
Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus
paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga
hidung (Erbek et al,2007).
Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema, jaringan
fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar (Tos & Larsen,2001).
Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal
dari dalam kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar,
edema, sel-sel inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan
berbagai jenis epitel, terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia
dan sel goblet (Fokkens et al,2007).

Gambar 3. Polip Nasi (Archer 2009)


2.4 Etiologi dan Patogenesis
Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama dari
inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis
dapat menyebabkan polip nasi. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan
30

polip nasi seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin,
asma, sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma),
fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis
kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary
disease, azoospermia, polip nasi) (Kirtreesakul 2002).
Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan antara
lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan
transportasi ion transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel (Assanasen
2001, Kirtreesakul 2002).
Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah
dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan
predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi,
yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan
rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake
Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel
mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan
edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena
Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media.
Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001).
2.5 Gejala dan Tanda
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun
dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus
encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi.
Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasi (Drake Lee 1997, Ferguson et al 2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa
polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari
meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap
palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton et al 2008).
Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada
polip yang kecil di meatus media (Assanasen 2001). Penelitian Stamberger pada
200 pasien polip nasi yang telah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional
ditemukan polip sebanyak 80% di mukosa meatus media, processus uncinatus
dan infundibulum (Tos 2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan
nasoendoskopi menurut Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip,
stadium 1: polip terbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah meatus
media, stadium 3: polip masif (Assanasen 2001). Polip nasi hampir semuanya
bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk
menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted (Newton et
al 2008).
31

Pada pemeriksaan histopatologi, polip nasi ditandai dengan epitel kolumnar


bersilia, penebalan dasar membran, stoma edematous tanpa vaskularisasi dan
adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil. Eosinofil dijumpai sebanyak 85% pada
polip dan sisanya merupakan neutrofil (Bernstein 2001, Bachert et al 2003,
Newton et al 2008).
Berdasarkan penemuan histopatologi, Hellquist HB mengklassifikasikan polip nasi
menjadi 4 tipe yaitu : (I) Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan
eosinofil yang banyak), (II) Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung
banyak sel inflamasi terutama limfosit dan neutrofil dengan sedikit eosinofil), (III)
Seromucinous gland type (tipe I+hiperplasia kelenjar seromucous), (IV) Atypical
stromal type (Kirtsreesakul 2002, Kim 2002).
2.6 Diagnosis
Diagnosis polip nasi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi (Assanasen 2001, Ferguson et al
2006, Fokkens et al 2007).
2.7 Penatalaksanaan
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering
berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun.
Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau
menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita
dapat bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan
dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan
untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional
sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang
memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap
tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang (Munir 2006).
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhankeluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik
memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi
dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan
terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk
terapi bedah (Mangunkusumo, Wardani 2007).
Penanganan polip nasi adalah obat-obatan, pembedahan atau kombinasi antara
keduanya. Pembedahan merupakan pengangkatan polip dari rongga hidung atau
pembedahan yang lebih ekstensif melibatkan sinus-sinus paranasal (Bateman
2003).
Tujuan dari penanganan polip nasi adalah untuk mengeliminasi atau secara
signifikan mengurangi ukuran polip nasi sehingga meredakan gejala hidung
tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi penciuman dan
pengecapan (Newton 2008).
8.

Apa hub. Penderita riwayat hipertensi dan epistaksis dg keluhan?


EPISTAKSIS
32

Definisi
Epistaxis adalah perdarahan dari cavum nasi, baik yang ke luar dari nares anterior ataunares
posterior turun ke farynx dan dikeluarkan melalui mulut.
Etiologi
Epistaxis dapat ditimbulkan karena sebab-sebab lokal atau umum.a .
S e b a b l o k a l :
1)Trauma, epistaxis dapat terjadi setelah suatu trauma ringan, misalnya
karenamengorek-ngorek hidung, atau akibat dari trauma berat,
misalnya terpukul,trauma kapitis karena sesuatu kecelakaan dan lain-lain.
2)Infeksi, misalnya diphteria hidung, sinusitis akuta, rhinitis atrofika.
3)Corpus allienum, misalnya terdapat lintah dalam cavum nasi.
4)Tumor-tumor, yang terkenal dalam angiofi broma nasopharynx,
haemangioma,tumor-tumor ganas baik dari dalam cavum nasi, sinus
paranasalis atau darinasopharynx.
5)Perubahan tekanan yang tiba-tiba, misalnya waktu menyelam.
6)Idiopathic.
7)Septum deviasi.
b.Sebab-sebab umum:
1 ) Pe n i n g g i a n t e k a n a n a r t e r i , m i s a l n y a p a d a h y p e r t e n s i y a n g
d i s e b a b k a n o l e h berbagai keadaan, seperti arteriosclerosis, nepheritis
kronika, kehamilan padatoxieosis gravidarum.
2)Peninggian tekanan vena, seperti pada decompensatio cordia,
penyakit paru- paru yang kronis dan pertusis.
3)Penyakit-penyakit darah, seperti leukemia, haemophilia, sickless-cells
anemia,defisiensi vitamin K dan C, thrombocytopenia purpura.
4)Infeksi akut, misalnya typhoid fever, influenzae dan morbilli.
5)Perubahan tekanan atmosfi r yang tiba-tiba.
6)Gangguan hormonal.
Lokasi perdarahan/sumberperdarahan
Menurut sumber perdarahan epistaxis dibagi dalam anterior bleeding
dan posterior bleeding.Anterior bleeding dapat berasal dari Plexus Kiesselbach (Littles area)
dan daria. Ethmoidalais anterior. Plexus Kiesselbach merupakan sumber
perdarahan yang paling sering, kira-kira 90% dari epistaxis bersumber dari
tempat ini, terutama padaanak-anak dan biasanya dapat berhenti spontan (selflimiting)
dan mudah diatasi.Posterior bleeding dapat berasal dari a. sphenopalatina
dan a. ethmoidalis p o s t e r i o r , b i a s a n y a t e r j a d i p a d a u s i a l a n j u t
y a n g d i s e r t a i d e n g a n h y p e r t e n s i , arteriosclrerosis atau pada penyakit
cardiovaskuler. Posterior bleeding biasanya tidak berhenti spontan,
perdarahan dapat hebat dan sumber perdarahan sukar dideteksi secara
langsung, sehingga penanggulangannya pun juga lebih sukar.
Penanggulangan
Prinsip penanggulangan epistaxis adalah pertama-tama
m en gh en ti kan p e rda rah an , me nc ega h kom p li kas i dan men ce gah
berulangnya epistaxis. Untuk menghentikan perdarahan, suatu
t i n d a k a n a k t i f p e r l u s e g e r a d i a m b i l , s e p e r t i pemasangan tampon dan
33

kaustik, lebih dapat dipertanggungjawabkan dari pemberianobat-obat haemostatik


sambil menunggu epistaxis berhenti.Sebelum kita membahas tindakan
penanggulangan epistaxis secara sistematis,sebaiknya diketahui alat-alat apa yang
diperlukan untuk menanggulanginya.
1.Lampu kepala
2.Spekulum hidung
3.Bayonet pinset
4.Alat pengisap (aspirator)
5.Penekan lidah
6.Kateter karet
7.Pelilit kapas (cotton applicator) 8 . L a m p u s p i r i t u s 9 . K a p a s ,
k a i n k a s a 10.Tampon Bellocq.11.Boorzalf atau Bipp (Bisthmus iodine
parafin paste).12.Xylocain 2% untuk topical anesthesi atau untuk spray.13.Sol.
Adrenalin 0,001.14.Sol. Nitras argenti 20 30%.K a l a u p e n d e r i t a e p i s t a x i s
d a t a n g , m a k a p e n d e r i t a h a r u s d i p e r i k s a d a l a m keadaan duduk, kecuali
penderita sangat lemah atau dalam keadaan shock.Sebelum kita mulai menanggulangi
epistaxis sebaiknya si pemeriksa dan si penderita dilindungi dengan pakaian khusus
untuk menghindari dari percikan darah.Tindakan pertama adalah membersihkan
bekuan darah dari dalam cavum nasiuntuk mencari sumber perdarahan, kalau
ada aspirator pergunakanlah alat aspirato
9.
Mengapa keluhan hidung tersumbt dan bersin2 pagi hari?
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 24 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.

34

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
35

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi selsel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
36

reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe


3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
10. Bagaimana proses terbentuknya polip dan apa saja keluhan yg bisa
ditimbulkan polip?
Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah
dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan
predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi,
yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan
rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake
Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel
mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan
edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena
Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media.
Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasi dan sering kali bilateral atau multiple
(Nizar & Mangunkusumo 2001).
Bagaimana patofisiologi atau proses terjadinya polip nasi??

Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip


dihubungkan dengan adanya inflamasi kronis, kelainan sistem saraf otonom, dan
predisposisi genetik. Teori-teori yang ada, pada umumnya beranggapan bahwa
polip hidung merupakan hasil akhir inflamasi kronis. Oleh karena itu, kondisikondisi dengan inflamasi kronis dalam rongga hidung dapat memicu terjadinya
polip hidung.

Penelitian-penelitian pada umumnya menyatakan bahwa polip sangat


berhubungan erat pada penyakit non-alergi dibandingkan penyakit alergi. Secara
statistik, polip hidung lebih sering ditemukan pada penderita asma non-alergi
(13%) dibandingkan dengan asma alergi (5%), dan hanya 05% dari 3000 individu
atopic yang mempunyai polip hidung.

Beberapa teori telah didalilkan untuk menjelaskan patogenesis polip


hidung , meskipun tidak semuanya sesuai dengan fakta yang telah diketahui.
Beberapa peneliti percaya bahwa polip merupakan suatu exvaginasi dari mukosa
normal sinus atau hidung yang terisi dengan stroma edematous; sebagian
mempercayai bahwa polip merupakan kesatuan terpisah yang berasal dari
mukosa.
37

Berdasar tinjauan ulang literatur dan studi bioelectric pada polip,


Bernstein meyakinkan teori patogenesis polip hidung, berdasarkan teori lain dan
informasi Tos. Dalam teori Bernstein, dijelaskan bahwa perubahan inflamasi
pertama-tama terjadi pada dinding sinus lateral atau mukosa sinus sebagai hasil
interaksi host bakteri - virus yang menghasilkan turbulent airflow secara
sekunder. Pada banyak kasus, polip berasal dari kontak area pada meatus media,
terutama pada cleft sempit pada regio ethmoid anterior yang menghasilkan
turbulent airflow, terutama bila terjadi penyempitan akibat peradangan mukosa.
Ulserasi atau prolaps submukosa dapat terjadi dengan disertai reepithelialisasi
serta pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini berlangsung, dapat
terbentuk polip dari mukosa karena adanya proses radang sel epitelium, sel
endotelium vaskuler, dan fibroblas yang dapat mempengaruhi integritas
bioelectric sodium channel pada lumen sel epitel saluran pernapasan mukosa
hidung. Respon ini meningkatkan penyerapan sodium, menyebabkan retensi air
dan terjadinya pembentukan polip .

Teori lain menyatakan bahwa ada keterlibatan dari ketidak-seimbangan


vasomotor atau ruptur epithelial. Teori ketidak-seimbangan vasomotor
mendalilkan peningkatan pemeabilitas vaskuler dan regulasi vaskuler yang lemah
dapat menyebabkan detoksifikasi produk sel mast (misalnya, histamin). Hasil
akhir produk-produk dalam stroma polip yang ditandai dengan edema (terutama
pada pedicle polip) diperburuk dengan adanya obstruksi aliran vena. Teori ini
berdasarkan pada cell-poor stroma polip, yang mempunyai vascularisasi kurang
baik dan inervasi vasokonstriktor yang kurang.

Menurut Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, polip hidung diawali dengan ditemukannya edema mukosa yang
kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar dan kemudian turun ke
dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip
dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan
sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat
iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus.

Teori ruptur Epithel lain menyatakan bahwa ruptur epitelium mukosa


nasal dapat disebabkan oleh adanya peningkatan turgor jaringan pada penyakit
(misalnya, alergi, infeksi). Ruptur ini dapat menyebabkan prolaps mukosa lamina
propria, sehingga membentuk polip. Defek tersebut mungkin diperbesar dengan
efek gravitasi atau obstruksi aliran vena, sehingga dapat menyebabkan polip.
Teori ini mirip dengan teori Bernstein's tetapi memberikan penjelasan yang lebih
sedikit tentang bagaiman terjadinya pembesaran polip dibandingkan dengan
teori sodium flux yang didukung dengan data Bernstein. Sebenarnya Tidak ada
teori yang sepenuhnya menggambarkan penyebab radang.
38

Pasien dengan Cystis Fibrotik mempunyai defek pada chloride


conductance channel kecil, yang diregulasi oleh cyclic adenosine monophosphate
(cAMP), yang dapat menyebabkan transport klorida yang abnormal ke membran
sel apikal pada sel epitelium. Patogenesis polip hidung pada pasien dengan cystis
fibrotik mungkin dapat dihubungkan dengan adanya defek ini.

11. Mengapa pasien sering minum obat pilek tapi keluhannya masih?
Kandungan, farmakodinamik dan farmakokinetiknya!!
Di pasar, merek dagang obat flu jumlahnya bejibun. Harap maklum, permintaan
pasar memang sangat tinggi. Pabrik-pabrik farmasi berlomba membuat produk
obat flu. Semua diklaim paling manjur.
Secara umum, obat flu-pilek biasanya berisi:
1.
Analgesik-antipiretik.
Ini istilah medis untuk obat yang khasiatnya meredakan nyeri (analgesik) dan
menurunkan demam (antipiretik). Baca juga Bab Obat Sakit Kepala & Nyeri. Obat
flu berisi pereda nyeri karena memang salah satu gejala flu yang mungkin timbul
adalah sakit kepala. Adapun kandungan antipiretik dimaksudkan untuk
menurunkan gejala panas badan (demam) yang menyertai flu.
Dalam tulisan-tulisan medis, istilah analgesik biasanya berpasangan dengan
antipiretik. Ini karena obat yang berkhasiat meredakan nyeri biasanya juga
berkhasiat menurunkan demam. Contoh golongan obat ini antara lain
parasetamol dan asetosal. Di kemasan obat, parasetamol kadang ditulis sebagai
asetaminofen, sedangkan asetosal kadang ditulis dalam versi panjangnya, asam
asetil salisilat.
Di pasar, merek dagang obat flu jumlahnya bejibun. Harap maklum, permintaan
pasar memang sangat tinggi. Pabrik-pabrik farmasi berlomba membuat produk
obat flu. Semua diklaim paling manjur.
Sebetulnya, apa sih beda satu obat flu dengan obat lain? Untuk tahu jawabannya,
pertama-tama kita harus tahu isinya. Secara umum, obat flu-pilek biasanya
berisi:
2.
Dekongestan (Pelega Hidung)
Obat golongan ini bekerja melegakan hidung tersumbat. Istilah dekongestan
berasal dari kata de- yang berarti menghilangkan, dan congest yang merujuk
pada penyumbatan saluran hidung. Contohnya fenil propanolamin dan
pseudoefedrin. Mungkin telinga kita tidak begitu familiar dengan nama fenil
propanolamin. Ya, obat ini memang lebih dikenal sebagai PPA, singkatan dari
phenyl-propanolamine. PPA inilah bahan obat yang sempat berkali-kali diributkan
karena adanya berita bahwa obat ini ditarik dari pasar. Untuk lebih jelasnya,
silakan baca Bab PPA & Obat Pelega Hidung.
3.
Antihistamin (Obat Alergi)
Obat ini bekerja dengan cara menetralkan histamin. Histamin sendiri adalah
bahan yang bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala flu-pilek seperti
hidung meler dan bersin-bersin. Contoh obat golongan ini klorfeniramin maleat,
difenhidramin, tripolidin, bromfeniramin maleat.
Dari sekian banyak contoh antihistamin di atas, yang paling banyak digunakan
39

adalah klorfeniramin maleat. Nama ini mungkin tidak begitu akrab di telinga
awam. Dalam bahasa sehari-hari, kita mengenalnya dengan sebutan CTM,
singkatan dari chlor-trimeton, nama lain klorfeniramin maleat. CTM, klorfeniramin
maleat, chlor-trimeton, semuanya setali tiga uang alias sami mawon.
Selain punya khasiat antialergi, antihistamin juga punya khasiat sampingan
menekan refleks batuk dan efek samping membuat kantuk. Itu sebabnya, saat
minum obat flu yang mengandung antihistamin, kita disarankan untuk tidak
mengendarai kendaraan bermotor karena obat ini bisa menyebabkan kantuk dan
mengurangi konsentrasi.
Obat flu hanya akan menyebabkan kantuk kalau ia berisi golongan antihistamin,
misalnya CTM dan kawan-kawan. Kalau tidak mengandung antihistamin, obat flu
biasanya tidak menyebabkan kantuk. Jadi, agar kita tidak mengantuk, pilihlah
obat flu yang tidak mengandung kelompok antihistamin.
4.
Obat batuk
Karena flu kadang disertai batuk, banyak produk obat flu mengandung obat
batuk. Ada dua kelompok besar obat batuk, yaitu penekan batuk (antitusif) dan
pengencer dahak (ekspektoran). Antitusif bekerja langsung di otak dengan cara
menekan sistem refleks batuk. Contoh obat, dekstrometorfan dan noskapin.
Sementara ekspektoran bekerja dengan cara membantu mengurangi kekentalan
dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan. Contoh obat, bromheksin, guaifenesin
(biasa disebut juga gliseril guajakolat, GG), ambroksol, dan karbosistein. Untuk
penjelasan lebih detail, baca Bab Obat Batuk.
***
Obat flu-pilek umumnya berisi satu atau beberapa jenis obat golongan di atas.
Kadang, satu tablet berisi semua jenis obat di atas. Di Indonesia, sebagian pabrik
farmasi punya kecenderungan untuk membuat satu obat berisi bermacammacam kombinasi bahan aktif. Obat sapu jagat semacam ini memang bisa
sangat laris karena banyak orang membelinya. Namun, dari sisi keamanan terapi,
cara ini sebetulnya tidak sesuai dengan kaidah farmasi yang baik. Harusnya
pencampuran obat dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari interaksi
obat dan efek samping yang tidak perlu.
Sebaiknya pilihlah obat yang isinya memang benar-benar kita butuhkan. Jangan
membiasakan diri minum obat sapu jagat. Sebagai contoh, jika pileknya tidak
disertai dengan sakit kepala atau demam, kita tak perlu minum obat flu-pilek
yang berisi parasetamol. Jika flu kita tidak disertai penyumbatan saluran napas,
tak perlu minum obat yang mengandung PPA atau pseudoefedrin. Ingat, obat
sejatinya adalah racun. Makin banyak kita minum obat, artinya makin banyak kita
minum racunsesuatu yang tidak kita perlukan dan hanya akan membebani
tubuh.
Obat-obat flu-pilek di pasaran sebagian besar dalam bentuk kombinasi yang
berisi dua, tiga, empat, bahkan lima jenis obat dari kelompok parasetamol
(antinyeri-antidemam), CTM (antialergi), PPA (pelega hidung), dekstrometorfan
(penekan batuk), ekspektoran (pengencer dahak). Dari sisi keamanan, makin
banyak kombinasinya, makin besar efek samping dan mudaratnya. Karena itu,
sebagai pedoman umum: gunakan obat yang memang kita perlukan saja
40

Flu merupakan penyakit yang mungkin paling mudah dan sering menyambangi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Saking mudahnya, seringkali kita malah untuk
pergi ke dokter hanya sekedar minta resep obat flu. Di samping itu, obat flu
banyak beredar bebas dan sangat mudah didapat, ditambah lagi iklan bertebaran
yang membuat kita tidak sulit untuk mencari informasi mengenai obat flu.
Sayangnya, banyaknya informasi dan iklan obat flu tidak diikuti dengan sikap
kritis untuk mengenali kandungan obat di dalamnya agar sesuai dengan
kebutuhan kita. Walaupun bukan seorang ahli farmasi, namun memahami
kandungan obat dan khasiatnya dapat sangat berguna.
Sekedar mengumpulkan informasi yang sudah banyak beredar di internet,
ditambah pengalaman pribadi atas beberapa merk obat tertentu (tanpa
bermaksud iklan), semoga ulasan dasar berikut dapat memberikan wawasan dan
sedikit membantu untuk membaca kandungan obat.
1.

Parasetamol atau acetaminophen sebagai bahan aktif parasetamol,


seperti yang banyak diketahui, parasetamol memiliki khasiat untuk menurunkan
demam (antipiretik) dan meredakan nyeri (analgesik). Karena biasanya ketika kita
menderita flu, demam pun ikut menghampiri dan badan atau kepala rasanya
nyeri akibat demam tersebut. Yang harus diperhatikan adalah anjuran minum
obat 3x sehari maka lebih baik parasetamol diminum setiap 7-8 jam sekali. Hal ini
untuk menghindarkan kemungkinan kelebihan dosis dalam tubuh. Selain itu,
harus pula diperhatikan kandungan total parasetamol dalam beberapa obat yang
diminum sekaligus. Biasanya setiap obat flu terdapat kandungan parasetamol
250-500 mg, sehingga kita tidak perlu meminum obat demam secara khusus
yang hanya mengandung parasetamol lagi. Perlu diingat bahwa dosis maksimal
parasetamol yang direkomendasikan dokter adalah 8 tablet 500 mg dalam 24
jam, atau maksimal 1 tablet 500mg setiap 4 jam. Kelebihan beberapa mg saja
dalam sehari bisa fatal karena dapat menyebabkan kerusakan liver dan
penumpukan cairan di otak.

2.

Fenilpropanolamin (PPA) memiliki efek untuk melonggarkan hidupng


tersumbat dengan cara menciutkan pembuluh darah di sekitar mukosa hidung,
atausering disebut sebagai khasiat dekongestan hidung. Namun, selain itu, PPA
juga memiliki efek lain, yaitu menekan nafsu makan, makanya PPA ini sering juga
dipakai sebagai obat pelangsing (75-150 mg). Hasil studi di Yale University
diketahui bahwa penggunaan PPA dapat memicu stroke perdarahan. Badan POM
Indonesia kemudian mengeluarkan anjuran agar tidak mengkonsumsi PPA lebih
dari 300-350 mg sehari dan meminta agar produsen obat mengurangi dosis PPA
dalam obat flu hingga menjadi 15 mg, dimana dosis ini dianggap masih relatif
aman. Meskipun dibilang masih aman, namun bagi yang sudah memiliki riwayat
hipertensi memang sebaiknya waspada menggunakan obat flu yang mengandung
PPA. Saat ini, lebih banyak obat flu yang mengganti kandungan PPA menjadi
pseudoefedrin yang memiliki khasiat relatif sama namun relatif kurang
menyebabkan efek peningkatan tekanan darah.
41

3.

Pseudoefedrin, memiliki khasiat yang sama dengan PPA, yaitu


dekongestan hidung dan melegakan saluran pernapasan. Meskipun memiliki
resiko bagi penderita hipertensi namun jenis zat ini relatif lebih aman daripada
PPA. Obat-obatan yang mengandung ini dapat digunakan untuk menghentikan
pilek encer (meler).

4.

Klorfeniramin Maleat, memiliki khasiat sebagai anti alergi dan dapat


menimbulkan rasa kantuk, meskipun kandungannya hanya 1-2 mg dalam
tabletnya. Kandungan ini efektif untuk mengatasi pilek karena alergi. Apabila
obat flu anda mengandung zat ini, maka sangat tidak direkomendasikan untuk
menjalankan kendaraan atau mengoperasikan alat.

5.

Salisilamida, merupakan turunan salisilat, memiliki efek analgesik yang


hampir sama dengan parasetamol. Namun karena sifatnya sedikit asam,
sehingga dapat mengiritasi lambung. Hati-hati bagi penderita maag atau
gangguan lambung kalau ingin mengkonsumsi obat ini.

6.

Codein, Dekstrometorfan, berkhasiat sebagai obat batuk untuk jenis


batuk kering (antitusif) karena bekerja dengan cara menghambat langsung pusat
batuk di otak.

7.

Gliserilguaiakolat, Guaifenesin, berkhasiat sebagai obat batuk untuk


jenis batuk berdahak karena dapat membantu mengeluarkan dahak. Perlu diingat
untuk banyak minum air putih apabila mengkonsumsi obat ini.

8.

Loratadine, mengobati gejala-gejala yang berhubungan dengan rinitis


alergi, seperti pilek, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung serta rasa gatal dan
terbakar pada mata. Loratadine adalah antihistamine yang mengurangi efek
alami terjadinya histamine di dalam tubuh. Histamine dapat menyebabkan gejala
bersin, hidung basah, gatal dan mata berair. Selain itu, Loratadine juga digunakan
untuk mengobati alergi, seperti bersin, mata berair, dan hidung basah. Obat ini
juga digunakan untuk mengobati bintik merah yang gatal dan rasa gatal kulit
pada mereka dengan reaksi kulit kronis.

12. DD?
RHINITIS
Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung.
(Dipiro, 2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat
dibedakan menjadi dua:
42

a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran


mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan
bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan
sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim
hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang
disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis
vasomotor.
Epidemologi
Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi
penyakit rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari
jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit
umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3
penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi
pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter
dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi,
akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua
orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya
(PERSI,2007).
Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rhinitis alergi agak sulit berkisar 4
40%
Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan di seluruh
dunia
Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya ada kaitan dengan
meningkatnya polusi udara, Populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah
atau kantor, dll.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.
Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik
dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau
bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti
histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8
jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan
dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4
+ sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan,
kongesti dan sekret kental.
43

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang
akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama
histamin.
Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga
tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi
secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi
kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang
diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada
alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki
komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing
tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan
IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi
permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik
(misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan
dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari
sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk
histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis
mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediatormediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore
(termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis,
pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa
dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler
meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang
menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang
menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam
hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau
segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks,
menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil,
eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon
44

fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada
respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah
dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama
beberapa jam sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung
yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi
dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan
antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator
farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi
otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon
peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis
alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen
hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi
dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk
gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme
terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
45

Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.


E. Diagnosis
1. Amnesis
Gejala khas yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut :
serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab
didahului rasa gatal di hidung, mata, atau kadang pada pallatum molle
bersin-bersin paroksismal (dominan) : > 5kali/serangan, diikuti produksi sekret yg
encer danhidung buntu gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang
disertai sakit kepala tidak didapatkan tanda infeksi (mis : demam) mungkin
didapatkan riwayat alergi pada keluarga
2. Pemeriksaan Fisis
konka edema dan pucat, secret seromucinou
3. Pemeriksaan Penunjang
Tes kulit prick test
Eosinofil sekret hidung. Positif bila 25%
Eosinofil darah. Positif bila 400/mm3
bila diperlukan dapat diperiksa
IgE total serum (RIST & PRIST). Positif bila > 200 IU
IgE spesifik (RAST)
X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis

F.Pelaksanaan
1. Medis
Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan (pseudoefedrin
2x30mg)
Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk yang
non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine (2x60mg).
Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti histamin baru
non sedatif cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn (mast cell
stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone, betametasone) untuk
serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau oksimetazolin
0.025% 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai kalau sangat
perlu
46

agar tidak menjadi rhinitis medikamentosa


Dekongestan oral : pseudoefedrine 2-3 x 30-60mg sehari. Dapat dikombinasi
dengan
antihistamin (triprolidin + pseudoefedrine, setirizin + pseudoefedrine, loratadine
+
pseudoefedrine)
R.A persisten sedang berat : bisa digunakan steroid semprot hidung
Pembedahan : apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip
hidung, atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah
2. Asuhan Keperawatan
Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan,
perkembangan dan prognosis kesehatan
Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak
dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
Membersihkan kasur secara rutin.
G. Prognosis
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif

Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011. Available from
URL: http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL: http:// www.nnno.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com

SINUSITIS
2.4.1. Definisi
47

Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.


Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitissehingga sering disebut rinosinusitis
(Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan
lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan
bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paruparu
juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan
perluasan-perluasan anatomik harus dianggap sebagai satu kesatuan
(Hueston,2002).2.4.2. Insidens dan Epidemiologi
Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang
dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi
gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis
maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh
abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman
menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh
penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua
dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger
(1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen
kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut
Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di
Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang
terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).
2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari
gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering
terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh
tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai
sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
(Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi
dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila (Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki,
2001).g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).
48

2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi
mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
2.4.5. Gejala Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik
biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri
pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga
(Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain).
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
49

dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal
atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen
(Mansjoer,2001).
2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu
menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan
mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret
dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapatmelihat
koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer,
2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinusfrontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat
diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi
lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila,
etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan
jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto
polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (airfluid
level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad,
2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis
disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus
50

berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan
irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik
pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua
(Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga
hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan
irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi
pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini;
Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan
kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk
memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini
dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila
dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).
2.4.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata
tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus
(Hilger, 1997).
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan
Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke
51

otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan
meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis
kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan (Ballenger, 2009).
2.4.9. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).
-

POLIP

Polip hidung adalah massa patologis yang lunak, licin dan berwarna putih
keabu-abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa) yang ditemukan pada selaput lendir rongga hidung dan sinus
paranasal. Umumnya terjadi akibat reaksi radang yang berkepanjangan tanpa
disertai rasa nyeri. Polip adalah tumor jinak yang harus diwaspadai karena bisa
berkembang menjadi ganas (kanker).

Polip yang nampak seperti daging tumbuh seperti tumor non kanker pada
rongga hidung ini jika sudah lama dapat berubah menjadi kekuning kuningan
atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip nasi bukan
merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai
macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis
kistik dan asma.

Dilihat dari bentuknya, polip dibagi menjadi 3, yaitu bertangkai, tidak


bertangkai dan campuran. Ukuran polip berkisar antara 1-2 cm. Polip dengan
ukuran lebih dari 2 cm dianggap berbahaya karena dapat terjadi displasia, yaitu
perubahan ke arah ganas secara histologis
52

Sinonim Polip nasi atau polip hidung

Sinonim dan kata yang berhubungan: Nasal polyps, nasal polyposis, nasal
mucosa, paranasal sinuses, nasal lesion, chronic sinusitis, allergic rhinitis, cystic
fibrosis, CF, allergic fungal sinusitis, AFS, antral-choanal polyp, encephaloceles,
gliomas, hemangiomas, papillomas, juvenile nasopharyngeal angiofibromas,
rhabdomyosarcoma, lymphoma, neuroblastoma, sarcoma, chordoma,
nasopharyngeal carcinoma, inverting papilloma, multiple nasal polyposis, asthma,
chronic rhinosinusitis, primary ciliary dyskinesia, Churg-Strauss syndrome, Young
syndrome, nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome, NARES, nasal
obstruction, anosmia, snoring, postnasal drainage, rhinorrhea, hyposmia,
proptosis, hypertelorism, diplopia, nasolacrimal duct cyst
Apa penyebab dan faktor predisposisi polip hidung??

Penyebab

Polip hidung dengan gambaran klinis seperti daging yang tumbuh


pada rongga hidung yang merupakan pertumbuhan dari selaput lendir yang
bersifat jinak ini hingga kini, penyebab pastinya saat ini belum diketahui.

Walaupun penyebabnya tidak di ketahui, namun diperkirakan


bahwa polip hidung terjadi sebagai akibat dari inflamasi atau peradangan kronik
berulang sehingga menimbulkan pembengkakan pada lapisan selaput
lendir rongga hidung dan sinus. Pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus akibat inflamasi ini akan menyebabkan terbentuknya cairan
dalam sel-sel selaput lendir rongga hidung dan sinus. Seiring dengan waku, akan
menyebabkan pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus,
yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.
Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah

Faktor- faktor predisposisi

Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung


atau sinus, seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip
hidung.

Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip


hidung antara lain:

Asma
Asma merupakan penyakit yang menyebabkan
53

peradangan saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan

Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana


sekitar 20-40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.
Rhinitis alergi

Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi


alergi dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitasi dengan alergen yang
sama.

Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai


dari hidung, mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan. Gejala dan tanda
pada hidung seperti hidung mengeluarkan air/ingus (rinore), hidung tersumbat,
bersin-bersin, gatal pada hidung, berkurangnya indera penciuman, Gejala dan
tanda pada mata seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan
berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut dengan istilah
allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga dan tenggorokan seperti nyeri
tenggorokan, suara serak, gatal pada tenggorokan atau telinga dan bengkak
pada telinga

Cystic fibrosis

Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang


diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan produksi dan sekresi
dari mukus dan lendir yang abnormal, lengket, cair dan tebal dari membran
mukosa hidung dan sinus.

Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan


mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat menimbulkan
peradangan atau inflamasi.

Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua


orang tua merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari empat
anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic fibrosis.
Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan

menderita polip hidung.

Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses
peradangan yang melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya
terjadi setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam beberapa
kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri
54

pada permukaan rongga sinus.

Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah


terutama apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk, sakit
tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga dirasakan nyeri dan penuh
pada telinga.

Adanya respon alergi, misalnya alergi terhadap obat aspirin


atau penghilang nyeri seperti ibuprofen (Advil, Motrin, lainnya) dan naproxen
(Aleve).

Churg-Strauss syndrome yaitu suatu kondisi langka yang


menyebabkan peradangan pada pembuluh darah

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi


septum dan hipertrofi konka juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang
mempermudah terjadinya polip nasi atau polip hidung.

Rhinitis Nonallergic dengan sindrom eosinofilia (NARES)


polip nasal ditemukan 20% pada pasien dengan NARES

Riwayat polip pada keluarga juga mungkin memainkan peran.


Ada beberapa bukti bahwa variasi genetik tertentu yang berkaitan dengan fungsi
sistem kekebalan tubuh sehingga memungkinkan terjadinya polip yang
diwariskan dala keluarga.
Sindrom Young

Sindrom Young yang juga dikenal sebagai infeksi


sinopulmonary Azoospermia, Sindrom Sinusitis-infertilitas dan Sindrom BarryPerkins-Young adalah suatu kondisi langka yang mencakup kombinasi dari
sindrom seperti bronkiektasis , rinosinusitis dan mengurangi kesuburan atau
infertilitas.
Intoleranansi alkohol ditemukan 50% pasien dengan polip

hidung

Diskinesia cilia primer


Diskinesia cilia primer merupakan kelainan genetik
langka yang diturunkan secara autosomal resesif, dimana pada kelainan ini
dijumpai ketidaknormalan fungsi silia sehingga timbul penumpukan lendir yang
berlebih yang dapat mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga
terjadi reaksi peradangan atau inflamasi.

55

Siapa saja yang rentan terkena polip???

Di Amerika Serikat: Insiden polip hidung keseluruhan pada anak-anak


adalah 0.1%; insiden pada anak-anak dengan Cystik Fibrosis adalah 6-48%. Pada
orang dewasa, insidennya secara keseluruhan adalah 1-4%, dengan range 0.228%. Secara Internasional: insiden polip hidung di seluruh dunia adalah sama
dengan insiden polip hidung di Amerika Serikat.

Polip hidung menyerang orang dewasa dan anak-anak, pada orang


dewasa biasanya polip dijumpai pada usia lebih dari 20 tahun dan terbanyak
pada usia 40 tahun. Sedangkan pada anak-anak polip jarang terjadi, bila ada
polip pada anak dibawah dua tahun maka harus disingkirkan kemungkinan
meningokel atau meningoensefalokel. Seorang anak dengan polip hidung juga
harus diperiksa untuk cystic fibrosis, karena cystic fibrosis merupakan faktor
risiko untuk terjadinya polip hidung pada anak (Sekitar 1 dari 2 orang dengan
cystic fibrosis memiliki polip hidung.)

Mortality/Morbidity: Tidak ada angka Mortalitas yang signifikan yang


berhubungan dengan polip hidung. Angka Morbiditas biasanya dihubungkan
dengan perubahan kualitas hidup, obstruksi hidung, anosmia, sinusitis kronis,
sakit kepala, mendengkur, dan drainase postnasal. Pada situasi tertentu, polip
hidung dapat mempengaruhi susunan rangka craniofacial, karena polip hidung
dapat meluas ke intracranial dan menuju daerah orbita.

Ras: Polip hidung dapat terjadi pada semua ras dan kelas sosial. Ada
kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang memiliki riwayat polip
nasi.

Jenis Kelamin: Rasio laki- laki- perempuan dewasa adalah 2-4:1,


sedangkan perbandingan pada anak-anak belum ada laporannya. Tinjauan ulang
artikel melaporkan kejadian polip hidung pada anak-anak yang memerlukan
pembedahan menunjukkan bahwa insidennya sama pada anak laki-laki dan anak
perempuan. Prevalensi yang sama juga dilaporkan pada pasien dengan asma.
Dimana saja polip hidung itu??

Polip Nasi atau biasa disebut Polip Hidung adalah kelainan mukosa
hidung dan sinus paranasal terutama pada kompleks osteomeatal (KOM) di
meatus nasi medius, dimana polip banyak mengandung cairan interseluler dan
sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau
pembuluh darah.

Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas


hidung, di bagian lateral konka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus
56

etmoid. Di tempat inilah mukosa hidung saling berdekatan kebanyakan berasal


dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang
berasal dari sinus maksila (antrum) yang merupakan polip hidung yang paling
sering dan polip dari sinus maksila ini sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang keluar melalui ostium sinus maksilla, dan masuk ke ronga hidung dan
membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip koana

Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi,fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi
pada setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang
besar ataupun polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan
suatu keganasan seperti: glioma, hemangioma,papiloma, limfoma,
neuroblastoma, sarcoma, karsinoma nasofaring dan papiloma inverted. Kita harus
mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel yang dihubungkan
dengan fibrosis kistik dan asma.
Apa saja gejala yang dapat dirasakan jika ada polip pada hidung??

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan
di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya.

Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia yaitu


berkurangnya kemampuan untuk mencium bau atau anosmia yaitu tidak mampu
sama sekali mencium bau.

Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir


dari sinus ke hidung (menyumbat sinus paranasal). Penyumbatan ini
menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama
berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi
sinusitis dengan keluhan rinore, sakit kepala dan nyeri pada muka biasanya pada
daerah periorbita dan sinus maksila.

Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuhsembuh, perubahan pengecapan, sengau, sakit kepala dan dijumpai lendir yang
menetes dari bagian belakang hidung ke tenggorokan, yang dikenal sebagai postnasal drip

Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin
dan iritasi di hidung.

Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu
pemeriksaan rutin. Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip
57

tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan
lewat mulut yang kronik.

Pasien dengan polip soliter (hanya satu massa) seringkali hanya


memperlihatkan gejala obstruktif hidung yang dapat berubah dengan perubahan
posisi.

Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin


memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat
Bagaimana patofisiologi atau proses terjadinya polip nasi??

Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip


dihubungkan dengan adanya inflamasi kronis, kelainan sistem saraf otonom, dan
predisposisi genetik. Teori-teori yang ada, pada umumnya beranggapan bahwa
polip hidung merupakan hasil akhir inflamasi kronis. Oleh karena itu, kondisikondisi dengan inflamasi kronis dalam rongga hidung dapat memicu terjadinya
polip hidung.

Penelitian-penelitian pada umumnya menyatakan bahwa polip sangat


berhubungan erat pada penyakit non-alergi dibandingkan penyakit alergi. Secara
statistik, polip hidung lebih sering ditemukan pada penderita asma non-alergi
(13%) dibandingkan dengan asma alergi (5%), dan hanya 05% dari 3000 individu
atopic yang mempunyai polip hidung.

Beberapa teori telah didalilkan untuk menjelaskan patogenesis polip


hidung , meskipun tidak semuanya sesuai dengan fakta yang telah diketahui.
Beberapa peneliti percaya bahwa polip merupakan suatu exvaginasi dari mukosa
normal sinus atau hidung yang terisi dengan stroma edematous; sebagian
mempercayai bahwa polip merupakan kesatuan terpisah yang berasal dari
mukosa.

Berdasar tinjauan ulang literatur dan studi bioelectric pada polip,


Bernstein meyakinkan teori patogenesis polip hidung, berdasarkan teori lain dan
informasi Tos. Dalam teori Bernstein, dijelaskan bahwa perubahan inflamasi
pertama-tama terjadi pada dinding sinus lateral atau mukosa sinus sebagai hasil
interaksi host bakteri - virus yang menghasilkan turbulent airflow secara
sekunder. Pada banyak kasus, polip berasal dari kontak area pada meatus media,
terutama pada cleft sempit pada regio ethmoid anterior yang menghasilkan
turbulent airflow, terutama bila terjadi penyempitan akibat peradangan mukosa.
Ulserasi atau prolaps submukosa dapat terjadi dengan disertai reepithelialisasi
serta pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini berlangsung, dapat
terbentuk polip dari mukosa karena adanya proses radang sel epitelium, sel
endotelium vaskuler, dan fibroblas yang dapat mempengaruhi integritas
58

bioelectric sodium channel pada lumen sel epitel saluran pernapasan mukosa
hidung. Respon ini meningkatkan penyerapan sodium, menyebabkan retensi air
dan terjadinya pembentukan polip .

Teori lain menyatakan bahwa ada keterlibatan dari ketidak-seimbangan


vasomotor atau ruptur epithelial. Teori ketidak-seimbangan vasomotor
mendalilkan peningkatan pemeabilitas vaskuler dan regulasi vaskuler yang lemah
dapat menyebabkan detoksifikasi produk sel mast (misalnya, histamin). Hasil
akhir produk-produk dalam stroma polip yang ditandai dengan edema (terutama
pada pedicle polip) diperburuk dengan adanya obstruksi aliran vena. Teori ini
berdasarkan pada cell-poor stroma polip, yang mempunyai vascularisasi kurang
baik dan inervasi vasokonstriktor yang kurang.

Menurut Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, polip hidung diawali dengan ditemukannya edema mukosa yang
kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar dan kemudian turun ke
dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip
dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan
sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat
iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus.

Teori ruptur Epithel lain menyatakan bahwa ruptur epitelium mukosa


nasal dapat disebabkan oleh adanya peningkatan turgor jaringan pada penyakit
(misalnya, alergi, infeksi). Ruptur ini dapat menyebabkan prolaps mukosa lamina
propria, sehingga membentuk polip. Defek tersebut mungkin diperbesar dengan
efek gravitasi atau obstruksi aliran vena, sehingga dapat menyebabkan polip.
Teori ini mirip dengan teori Bernstein's tetapi memberikan penjelasan yang lebih
sedikit tentang bagaiman terjadinya pembesaran polip dibandingkan dengan
teori sodium flux yang didukung dengan data Bernstein. Sebenarnya Tidak ada
teori yang sepenuhnya menggambarkan penyebab radang.

Pasien dengan Cystis Fibrotik mempunyai defek pada chloride


conductance channel kecil, yang diregulasi oleh cyclic adenosine monophosphate
(cAMP), yang dapat menyebabkan transport klorida yang abnormal ke membran
sel apikal pada sel epitelium. Patogenesis polip hidung pada pasien dengan cystis
fibrotik mungkin dapat dihubungkan dengan adanya defek ini.
Bagaimana gambaran makroskopis dan mkroskopis histopatologi polip
hidung??
Gambaran makroskopis polip hidung
59

Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan licin,


berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat
tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa
sakit).

Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah
ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya
dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di


bagian atas hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus
maksila dan sinus etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling
berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat
asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80% polip
nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan infundibulum.

Polip pada kedua rongga hidung

Tempat tumbuhnya Polip

NASAL POLYPS FROM TWO DIFFERENT


NASAL POLYPS FROM TWO DIFFERENT
PEOPLE
PEOPLE
Gambaran mikroskopis histopatologik polip hidung

Secara mikroskopik epitel polip serupa dengan mukosa hidung normal


yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab, membran
tipis epitel dasar, dan beberapa ujung saraf, Stroma polip hidung bersifat
edematosus.

Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan


60

makrofag, mukosa mengandung sel-sel goblet. Vascularisasinya dan


persarafannya buruk, kecuali pada dasar polip. Hiperplasia kelenjar dapat
menyebabkan dilatasi kistik dan degenerasi kelenjar yang terdiri dari inspissated
mucous.

Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia sel epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.

Sel Eosinofil merupakan sel yang paling sering ditemukan yaitu sekitar
80-90% pada inflamasi polip hidung. Eosinofil, yang ditemukan dalam polip
hidung pada pasien dengan asma bronkial dan alergi, terdiri dari granula dan
produk toksin (misalnya, leukotriena, eosinofilic cationic protein, major basofilic
protein, platelet-activating factor, eosinophilic peroxidases, other vasoactive
substances dan chemotactic factors). Faktor-faktor toksin ini bertanggung jawab
atas terjadinya lisis epitel, kerusakan saraf, dan ciliostasis. Granula Protein
spesifik, leukotriena A4, dan platelet-activating factor mungkin bertanggung
jawab atas terjadinya edema mukosa dan hyperresponsiveness

Eosinofil dalam darah perifer dan di dalam mukosa normal hidung


biasanya bertahan 3 hari. Pada kultur sel polip hidung, eosinofil dapat bertahan
selama 12 hari. Delayed apoptosis dari eosinofil dimediasi dengan blokade Fas
receptors, dibantu oleh enzim protease yang memulai proses kematian sel.
Delayed apoptosis juga dimediasi dengan peningkatan interleukin 5 (IL-5), IL-3,
dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) yang di sekresi
oleh limfosit T, yang membantu eosinophil bertahan dari kematian.

Sel inflamasi neutrofil ditemukan 7% dari kasus polip hidung. Terjadinya


polip jenis ini berhubungan dengan Cystik Fibrotik, primary ciliary dyskinesia
syndrome, atau Young Sindrom. Polip ini tidak berespon terhadap kortikosteroid
akibat kekurangan kortikosteroid corticosteroid-sensitive eosinophils. Ditemukan
degranulasi sel mast. Terjadinya degranulasi mungkin dimediasi oleh suatu nonimunoglobulin E (IgE)-mediated. Peningkatan jumlah sel plasma, limfosit, dan
myofibroblasts juga ditemukan.
Mediator kimia pada polip

Stroma polip hidung mempunyai banyak mediator, termasuk cytokines,


growth factors, adhesion molecules, dan immunoglobulins; polip hidung juga
berisi vasoactive amines, serotonin, prostaglandins, leukotrienes, norepinephrine,
kinins, esterases, heparin, dan histamine. Jumlah histamin dalam polip hidung
adalah 100-1000 kali jumlah yang ditemukan dalam aliran darah.
Sitokin pada polip :
61

Interleukin 1 ( IL-1) - Ditemukan secara teratur

IL-3 - Bervariasi, berdasar studi, kemunculannya mulai dari


bersifat intermiten pada tingkat rendah sampai dengan muncul secara teratur

IL-4 - tidak terdeteksi secara konsisten

IL-5 - Ditemukan secara teratur; IL-5 merupakan faktor


penting bagi proliferasi dan diferensiasi eosinofil. IL-5 adalah kemotaktik eosinofil,
mempromosikan migrasi eosinofil dari sirkulasi sistemik ke polip hidung, dan
menghalangi kematian sel eosinofil.
IL-6 - Sama seperti kontrol (tidak ada peningkatan)

IL-8 - Bervariasi, berdasar pada studi, dari tidak terdeteksi


sampai dengan terdeteksi secara teratur; dapat menyebabkan perekrutan
leukosit ke dalam polip hidung dan mengurangi proliferasi fibroblastik.

IL-10 - Sama seperti kontrol; tidak ada peningkatan RANTES,


bervariasi, berdasar studi, dari terdeteksi secara regular seperti kontrol untuk
meningkatkan level gamma interferon; peningkatan eosinofil, peningkatan
kelenjar seromucous, dan epitel polip hidung

Growth factor ditemukan dalam polip hidung.

Tumor necrosis factor (TNF) alpha dan beta -Bervariasi,


berdasar studi, dari sama seperti kontrol sampai dengan terdeteksi secara
teratur; dipercaya berasal dari eosinofil.

GM-CSF - jumlah mRNA dan protein bervariasi, berdasarkan


studi, dari tidak pernah hingga secara intermiten.

Platelet derived growth factor - ada

Vascular permeable factors (VPFs) - ada

Vascular endothelial growth factors (VEGFs) -ada

Insulinlike growth factor I - ada

Stem cell factor - ada

Molekul adhesi
Vascular adhesion molecule 1 (VCAM-1) - ada
62

E dan P selectin - ada

Imunoglobulin (Ig)

IgG -Tidak ada peningkatan; level sama seperti pada turbinasi


mukosa media dan mukosa inferior

IgA Lebih pada polip hidung dibandingkan pada mukosa


pertengahan dan mukosa turbinasi inferior, terutama IgA1 (di) atas IgA2

IgM -Tidak ada peningkatan, sama seperti pada turbinasi


mukosa media dan mukosa inferior

LgD -Tidak ada peningkatan, sama seperti pada turbinasi


mukosa media dan mukosa inferior

IgE meningkat, dibandingkan sama seperti pada turbinasi


mukosa media dan mukosa inferior, level yang sama pada pasien non-alergi
seperti di pasien dengan alergi
Bagaimana cara diagnosa polip nasi???
Anamnesa:

Manifestasi polip hidung tergantung dari ukurannya. Polip yang


ukurannya kecil mungkin tidak menimbulkan gejala-gejala dan hanya bisa
diidentifikasi selama pemeriksaan fisik. Polip letaknya posterior sering tidak
terlihat pada rhinoscopy anterior dengan menggunakan otoskop, kecuali jika
ditemukan adanya gejala simtomatik. Polip kecil yang terletak pada area di mana
polip biasanya muncul (misalnya meatus media) mungkin menunjukkan gejalagejala disertai blokade saluran outflow sinus, dapat juga menyebabkan gejalagejala sinusitis kronik atau rekuren.

Pada Polip hidung yang lebih besar, menyebabkan gejala klinik seperti
hidung terasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, sehingga sukar bernafas
dari hidung, sukar membuang ingus, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai
bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal.
Gejala sekunder yang dapat timbul bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya
ialah sakit kepala, adanya post nasal drip, nyeri muka, telinga rasa penuh,
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, rhinorrhea, mendengkur dan
gangguan tidur yang dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup.

Adanya hyposmia atau anosmia yang menyertai gejala sinusitis kronis


dapat menjadi petunjuk adanya polip hidung. Epistaksis yang timbul bukan dari
63

iritasi septum nasal anterior (area Kiesselbach) biasanya tidak disertai polip
multipel benigna dan lesi pada kavitas nasal.

Polip masif atau polip single yang besar, (misalnya, polip antral-choanal
yang mengobstruksi rongga hidung dan/atau nasofaring) dapat menyebabkan
gejala obstruksi saat tidur dan pernafasan kronis mulut. Polip masif yang terlihat
pada CF dan AFS jarang mempengaruhi struktur craniofacial dan menyebabkan
proptosis, hypertelorism, dan diplopia. Dalam suatu artikel, dilaporkan bahwa
40% dari anak-anak dengan AFS menunjukkan adanya kelainan craniofacial,
sedangkan pada orang dewasa dengan AFS adalah 10%. Polip masif jarang
memberi tekanan ekstrinsik yang cukup pada saraf optik sehingga berakibat
kurangnya ketajaman penglihatan. Karena pertumbuhan polip masif pelan, maka
biasanya tidak ditemukan adanya gejala neurologik, sekalipun pada polip yang
telah meluas ke rongga intracranial.
Pemeriksaan fisik :

Pada inspeksi hidung luar dapat ditemukan adanya hidung yang tampak
mekar oleh karena pelebaran batang hidung yang disebabkan oleh adanya polip
hidung yang masif.
Pemeriksaan Rinoskopi anterior .

Rinoskopi anterior mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam


rongga hidung. Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah
dapat dilihat, polip yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung
bagian luar.

Dilakukan Pemeriksaan Rhinoscopy Anterior. Pada anak kecil, umumnya


digunakan handheld otoskop dan speculum otologic. Otoskop ditempatkan pada
rongga hidung sehingga terlihat turbinasi inferior septum anterior, dan area
dalam rongga hidung septum bagian tengah.

Meatus media sering kali dapat dilihat dengan rhinoscopy pada anak
yang kooperatif dan tanpa adanya ada edema mukosa atau secret pada rongga
hidung anterior. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.

64

Rhinoscopy anterior polip nasi

Rhinoscopy anterior polip nasi

Pada polip hidung benigna paling sering dijumpai pada meatus media.
Dengan melihat Meatus media, dapat diperkirakan adanya patologi dan
memperkirakan perlunya scan CT sinus, dibandingkan melakukan prosedur
endoscopic yang mungkin membuat pasien merasa tertekan.
Pemeriksaan Endoskopi .

Endoskopi dilakukan untuk melihat polip yang masih kecil dan belum
keluar dari kompleks osteomeatal. memberikan gambaran yang baik dari polip,
khususnya polip berukuran kecil di meatus media.

Rigid or flexible endoscopy merupakan metoda terbaik untuk


pemeriksaan rongga hidung dan nasofaring untuk secara penuh dapat menilai
anatomi hidung dan menentukan tingkat dan lokasi polip hidung. Untuk anak
kecil flexible nasopharyngoscope fiberoptic sering digunakan karena lebih sedikit
traumatis karena anak-anak mungkin menggerakkan kepala mereka karena
merasa cemas atau tidak nyaman.

Pada anak-anak dan remaja yang lebih kooperatif, rigid endoscopy dapat
digunakan untuk menilai meatus media dan sphenoethmoid recess. Dilakukan
Pemberian dekongestan dan anesthesia yang cukup pada rongga hidung sebelum
melakukan prosedur endoscopic pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan.

Pada anak-anak, mengevaluasi dinding posterior rongga mulut dapat


mengindikasikan gejala-gejala polip hidung (misalnya, postnasal drip yang terjadi
bersamaan dengan sinusitis kronis). Polip yang besar atau adanya lesi pada
rongga hidung dapat memasuki oropharynx posterior lewat nasofaring; dapat
juga menjadi lesi di balik palatum dan uvula, dapat menekan palatum inferior dan
anterior. Pemeriksaan otoscopic polip hidung yang meluas dapat menyebabkan
disfungsi tuba eustachian sehingga dapat menyebabkan cairan dan infeksi dalam
ruang telinga bagian tengah. Pemeriksaan seksama sistem innervasi saraf
kranium dan struktur craniofacial dapat membantu menggambarkan perluasan
lesi hidung yang potensial meluas pada struktur penting sekitarnya.

rigid rhinoscopy pada cavum nasi


65

anterior kiri.

rigid rhinoscopy pada cavum nasi


anterior kiri.

Pemeriksaan penunjang
Untuk membantu menegakkan diagnosa adanya polip hidung pada seseorang,
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti:

Laboratorium:

Berdasarkan Studi Laboratorium langsung, proses patologis


dipercaya bertanggung jawab pada terjadinya polip hidung .

Anak-anak dengan polip hidung yang berhubungan dengan


sinusitis alergi perlu mendapatkan evaluasi alergi; yaitu test serological
radioalergosorben (RAST) atau test alergi kulit. Mabry dan Marple menunjukkan
adanya penurunan kekambuhan polip hidung pada anak-anak yang telah
mendapatkan imunoterapi antigen sesuai dengan penyebab alerginya, oleh
karena itu, test alergi penting dalam AFS.

Melakukan test klorida atau test genetik Cystik Fibrosis pada setiap
anak dengan polip hidung multipel benigna.

Ditemukannya Eosinofil pada hapusan hidung dapat digunakan


untuk membedakan penyakit sinus alergi dan non-alergi serta menandai apakah
anak tersebut memberikan respon terhadap glukokortikoid. Ditemukannya
neutrofil mengindikasikan adanya sinusitis kronis

CT SCAN

Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk melihat keadaan hidung dan


sinus paranasal secara jelas. Apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip
atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. Pemeriksaan ini terutama
diindikasikan untuk kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa,
jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi.

Kriteria standar untuk mengevaluasi lesi di hidung, terutama polip


hidung atau sinusitis, adalah dengan potongan tipis (1-3 mm) CT scan pada
daerah maxillofacial, axis sinus, dan coronal plane. Pengukuran yang benar
sehingga menghasilkan CT yang kompatibel sehingga dapat digunakan sebagai
gambaran pemandu intraoperative. Gambar foto polos radiology tidak
mempunyai nilai penting apabila polip telah terdiagnosa.
Sinus dapat menunjukkan polyps (P) yang berada dalam sinus cavities. Polyp
terlihat menghalangi saluran outflow sinus tract yang merupakan
66

penyebabpotensial infeksi berulang dan nyeri.

Pemeriksaan MRI

Diperlukan pemeriksaan MRI pada pasien apabila dicurigai telah


terjadi perluasan intracranial atau perluasan polip hidung benigna.

CT dan MRI dapat membantu diagnosa polip hidung;


menggambarkan lesi dalam rongga hidung, sinus-sinus, dan membatasi diagnosis
diferensial pada polip atau presentasi klinis yang tidak biasa.

Cystik Fibrosis mempunyai suatu karakteristik bulging yang


simetris pada sebelah medial dinding lateral hidung.

Suatu polip antral-choanal dapat menunjukkan opacified sinus


maxillary disertai penonjolan lesi yang berasal dari antrum maxillary ke koana

Tumor seperti Rhabdomyosarcoma dapat menunjukkan adanya


perluasan lesi disertai dengan invasi mukosa sekitarnya.

Kista Duktus Nasolakrimaris dapat menunjukkan adanya dilatasi


pada Duktus Nasolakrimaris

Encephalocele dapat menunjukkan ekspansi pada region


nasofrontal (foramen caecum) disertai herniasi otak atau dura.

Glioma dapat menunjukkan lesi hidung terisolasi mungkin


mempunyai tangkai berserat pada CNS.
67

Pasien dengan AFS memperlihatkan adanya area heterogen pada


sinus-sinus di CT scan dan MRI; area ini terdiri dari polip hidung dan alergic mucin
fungal. Allergic Mucin fungal ini terlihat hitam pada MRI. adanya penyakit lain
dapat mengacaukan hasil dari pemeriksaan ini.
Pemeriksaan Biopsi

Pemeriksaan ini diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia
lanjut, jika penampakan makroskopis menyerupai keganasan atau bila pada foto
roentgen terdapat gambaran erosi tulang.
Diagnosa banding polip nasi atau polip hidung???

Konka polipoid
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri
cirinya sebagai berikut :

Tidak bertangkai

Sukar digerakkan

Nyeri bila ditekan dengan pinset

Mudah berdarah

Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas


adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk


membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian
vasokonstriktor yang juga harus hati hati pemberiannya pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
meningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan
dengan penyakit jantung lainnya.
Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal
tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap
rongga hidung.

Dari anamnesis diperoleh adanyakeluhan sumbatan pada hidung


dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga
timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba
68

Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.
o

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya


massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi.

Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat


gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan
prosesus Pterigoideus ke belakang. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat
kontras akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya.

Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan


memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena
merupakan kontraindikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma
Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki

Keganasan pada hidung

Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia


seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi
pada laki-laki.

Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis,


diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi,
sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea.

Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari


massa tumor. Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk selsquamous
berkeratin
Apa saja klasifikasi polip nasi???

Menurut Subhan Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal


dari sel-sel permukaan dinding sinus tulang pipi.

Polip hidung Multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal
dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).

Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan


dapat dilaporkan dengan standar yang sama, Mackay dan Lund pada tahun 1997
membuat pembagian stadium polip sebagai berikut:
69

Stadium 0 : Tidak ada polip

Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius

Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di


rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3 : Polip yang massif.

Bagaimana pengobatan polip hidung??


Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi
infeksi berkurang, mengurangi atau menghilangkan keluhan pernapasan pada
pasien yang disertai asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk polip yang masih kecil (belum memenuhi
rongga hidung) yaitu dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan
dengan dosis tinggi dalam jangka waktu singkat. Dapat juga berupa
kortikosteroid intranasal yang diberikan selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik,
maka terapi ini diteruskan sampai polip dan gejalanya hilang. Apabila tidak ada
reaksi yang adekuat dari terapi kortikosteroid intranasal maka terapi dapat
ditambahkan dengan kortikosteroid sistemik, sehingga pengobatan bersifat
kombinasi. Contohnya adalah dengan pemberian Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa.

Pemberian steroid oral dan topikal pada hidung merupakan terapi primer
untuk polip hidung. Antihistamin, dekongestan, dan cromolyn sodium
memberikan sedikit manfaat. Imunoterapi dapat berguna pada rhinitis alergi
tetapi bila digunakan sendirian, tidak selalu dapat menghilangkan polip hidung
yang ada. Antibiotik diberikan apabila ada superinfeksi bakteri.

Kortikosteroid merupakan obat terpilih, baik diberikan secara sistemik


maupun topikal. Injeksi langsung pada polip tidak disetujui oleh Food and Drug
Administration karena adanya laporan kehilangan penglihatan unilateral pada 3
pasien setelah mendapatkan suntikan steroid intranasal dengan Kenalog.
Keamanan penggunaannya tergantung dari ukuran partikel spesifik obat. Bobot
molekular yang besar seperti Aristocort sifatnya lebih aman dan lebih sedikit
ditransfer ke daerah intracranial. Hindari injeksi langsung dalam pembuluh
darah.
70

Penggunaan steroid oral merupakan terapi medis paling efektive pada


polip hidung. Pada orang dewasa, kebanyakan digunakan prednison (30-60 mg)
selama 4-7 hari dan kemudian dilakukan tappering off selama 1-3 minggu. Dosis
bervariasi untuk anak-anak, tetapi dosis maksimum biasanya adalah 1 mg/kg/bb
untuk 5-7 hari, kemudian dilakukan tappering off selama 1-3 minggu. Respon
terhadap kortikosteroid tergantung pada ada atau tidak adanya eosinofilia. Maka
pasien dengan polip hidung dan rhinitis alergi atau asma seharusnya berespon
terhadap pengobatan ini.

Pasien polip hidung tanpa dominasi eosinofilia (misalnya, pasien-pasien


dengan Cystik Fibrosis, primary ciliary dyskinesia syndrome, atau Young
syndrome) mungkin tidak berespon terhadap pengguanaan steroid. Penggunaan
steroid oral jangka panjang tidak dianjurkan karena mempunyai banyak efek
potensial yang tak diinginkan (misalnya, keterlambatan pertumbuhan, diabetes
melitus, hipertensi, efek psikotropik, efek GI, katarak, glaukoma, osteoporosis,
dan nekrosis aseptik pada kaput femoris).

Penggunaan steroid topikal untuk polip hidung banyak dianjurkan, baik


sebagai pengobatan primer atau sekunder pada pemberian steroid Per Oral atau
pembedahan. Steroid hidung (misalnya, fluticasone, beclomethasone,
budesonide) efektif untuk menghilangkan gejala-gejala subjektif dan
meningkatkan aliran udara ke hidung ketika diukur secara obyektif (terutama
pada double-blind plasebo- controlled studies). Beberapa penelitian menyatakan
bahwa fluticasone mempunyai onset lebih cepat daripada beclomethasone.

Pemberian kortikosteroid topikal secara umum menyebabkan lebih


sedikit efek tak diinginkan dibanding penggunaaan kortikosteroid sistemik karena
pembentukan bioavailabilitas yang terbatas. Pada penggunaan jangka panjang,
terutama pada dosis tinggi atau pada kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi,
mempunyai resiko supresi axis hypothalamic-pituitary-adrenal, katarak,
keterlambatan pertumbuhan, pendarahan hidung, dan perforasi septum nasal
(jarang).

Seperti halnya pengobatan jangka panjang yang lain, perlu dilakukan


monitoring penggunaan kortisteroid spray. Penggunaan kortikosteroid jangka
panjang (lebih dari 5 tahun) dengan pemakaian beclomethasone menunjukkan
tidak adanya degradasi epitelium pada epitel normal pernapasan epitelium
skuamosa pada rhinitis atrophic kronis. Generasi steroid sistemik yang lebih baru
(misalnya, fluticasone, Nasonex) memiliki bioavailibilitas lebih sedikit dibanding
steroid hidung sebelumnya, seperti beclomethasone.

Antibiotika juga harus diberikan apabila didapatkan tanda-tanda infeksi.


Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya
selama 10-14 hari. Selain itu, perlu diperhatikan juga pengobatan alergi bila
merupakan penyebab timbulnya polip.
71

Pembedahan:

Untuk kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa


atau polip yang massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang
dipilih tergantung dari luasnya penyakit (besarnya polip, dan adanya sinusitis
yang menyertai).

Intervensi pembedahan diperlukan pada anak-anak dengan polip hidung


mltiple benigna atau rhinosinusitis kronis yang gagal dengan pemberian terapi
medis maksimum. Polipectomy sederhana secara awal efektif membebaskan
gejala-gejala hidung, terutama untuk polip hidung terisolasi atau polip hidung
yang kecil. Pada polip hidung multipel benigna, polipectomy memiliki angka
kekambuhan yang tinggi.

Polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/


polipektomi intranasal dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang
tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus
maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan
tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai unsinektomi atau lebih
luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional lengkap.

Alat mutakhir saat ini yang digunakan untuk membantu operasi


polipektomi endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang
dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat
berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.

Endoscopic Sinus Surgery (ESS) merupakan teknik yang lebih baik karena
tidak hanya mengangkat polip tetapi juga membuka celah dalam meatus media,
yaitu daerah yang paling sering membentuk polip, sehingga dapat menurunkan
tingkat kekambuhan. Perlu mengetahui luas daerah yang tepat saat pembedahan
sehingga dapat dilakukan ekstirpasi secara lengkap (Nasalide prosedur) atau
aerasi sederhana pada sinus. Prosedur ekstirpasi lebih efektive daripada aerasi
sinus karena komplikasi yang timbul lebih rendah apabila dilakukan oleh ahli
bedah. Penggunaan surgical microdebrider membuat prosedur ini lebih cepat dan
lebih aman, penyediaan gunting jaringan yang tepat mengurangi hemostasis
dengan visualisai yang lebih baik.

Pembedahan langsung jaringan yang terlihat pada CT scan saat


dilakukan pembedahan. Pasien pasien dengan penyakit seperti CF primary ciliary
dyskinesia syndrome, atau Young syndrome dapat langsung memulai
pembedahan tanpa perlu perawatan medis ekstensive, karena biasanya penyakit
ini tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid. Setelah jaringan yang sakit
diangkat dari rongga hidung dan sinus, sistem paru-paru biasanya akan
72

membaik. Penggunaan image-guided system memandu untuk mengetahui lokasi


yang tepat pada intranasal, sinus, orbital, dan struktur intracranial pada
pembedahan atau revisi polip hidung.

Polip hidung terjadi 6-48% pada anak-anak dengan CF. Pembedahan


dilakukan apabila anak-anak tersebut menunjukkan gejala simtomatik.
Kekambuhan polip hidung pada CF hampir besifat universal, sehingga sering
diperlukan pembedahan ulang tiap beberapa tahun, sehingga pasien perlu
mendapat konseling preoperative tentang adanya kemungkinan ini.

Untuk lesi selain polip hidung benigna yang menjadi polip hidung, polip
tersebut harus di biopsi atau diangkat, tergantung dari proses perjalanan
penyakit.

Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan


kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan
perdarahan berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan
kemungkinan trauma dapat dihindari. Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan
teratur mengunakan endoskop, dan telah terbukti bahwa pemberian
kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kekambuhan.
Konsultasi:

Pertama-tama memberitahu otolaryngologist, terutama jika pengobatan


medis sudah gagal atau jika asal diagnosa dasar penyakit polip hidung tidak
diketahui.

Perlu diertimbangkan untuk berkonsultasi dengan spesialis paru-paru


apabila polip hidung diakibatkan karena asma, alergi, atau CF. Biasanya pasien
dengan penyakit ini sudah sering kali berhubungan dengan permasalahan paruparu.
Diet: Perawatan polip hidung tanpa diet khusus.
Aktivitas:

Tidak ada pembatasan aktivitas yang penting bagi seorang anak dengan
polip hidung. Tingkatan aktivitas anak mungkin dapat berkurang karena kesulitan
bernafas lewat hidung, sehingga aktivitas olahraga dan kinerja aktivitas fisik
menurun.

Setelah pembedahan sinus, aktivitas perlu dibatasi. Pembatasan ini


berbeda dari ahli bedah satu dan ahli bedah lainnya. Kebanyakan ahli bedah
membatasi tiupan dari hidung karena meningkatkan tekanan intranasal karena
73

potensial untuk menyebabkan permasalahan pada area already thinned bony


dividers pada pasien dengan polip hidung.
FOLLOW UP POLIP HIDUNG
Penanganan pasien lebih lanjut

Secara historis, anak-anak yang didiagnosa dengan Cystic Fibrosis telah


mempunyai penyakit digestive dan pulmoner dengan bentuk penyakit yang lebih
parah. Anak-anak ini sering mendapat perawatan dengan antibiotic IV
berdasarkan kuman-kuman patogen yang paling banyak ditemukan dalam paruparu dan sinus (misalnya, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus),
diberikan baik pada preoperatively maupun post-operative. Sebagai tambahan,
anak-anak ini mempunyai toilet paru-paru untuk meningkatkan fungsi paru-paru
mereka dalam periode perioperative, termasuk steroid IV, terapi perkusi,
bronchodilators inhalasi. Sebagaian besar proses ini dapat dilaksanakan pada
pasien rawat jalan, tergantung dari beratnya penyakit yang berhubungan.

Untuk pasien dengan asma berat dan polip hidung yang memerlukan
pembedahan, penanganan postoperasi dengan pengamatan pernapasan
kompromis atau spasme ditentukan berdasar masing-masing individual.

Perawatan pasien rawat jalan biasanya dilakukan karena anak-anak yang


lebih tua mengalami ESS polip hidung tanpa kondisi-kondisi medis yang berat.

Penanganan pasca bedah:

Memonitor dekat anak-anak dengan multiple polip hidung benigna,


apapun penyebabnya, karena kekambuhan mungkin terjadi pada yang
diperlakukan dengan terapi medis maupun pembedahan. Postoperative follow-up
perlu dilakukan 3-4 kali pada bulan pertama untuk memonitor penyembuhan
sinus cavities; frequency tergantung dari lokasi dan gejala masing-masing
pasien.

Pasien dengan Cystik Fibrosis dapat dimonitor secara symptomatic


karena pembedahan tidak dapat dilakukan sebelum pasien menunjukkkan gejalagejala yang symptomatic, meskipun polip hidung terlihat pada CT scan atau nasal
endoscopy. Secara pasti, tiap pasien mendapat penatalaksanaan berdasarkan
dasar individual.

Karena polip hidung berhubungan dengan AFS, follow-up tertutup yang


dilakukan otolaryngologist direkommendasikan sampai pasien dianggap bebas
dari penyakit, mingkin diperlukan beberapa tahun atau lebih.
74

Setiap acumulasi fungus dapat mempercepat proces antigenic, yang


menyebabkan gejala-gejala dan penyakit rekuren. Terjadinya Rekurensi umum
pada polip s, dan dapat tercontrol lebih effectif jika dikenali sejak awal.

Polip hidung yang kecil dikenali sejak awal pada follow-up routine
patients dengan multiple polip hidung benigna.

Penyakit lain dilakukan medis atau dengan procedures bedah kecil. Untuk
penyakit menyebabkan polip hidung selain multiple polip hidung benigna, perlu
perawatan jalan atau rawat inap ditentukan berdasar penyakit, gejala klinik dan
situasi patient, dan condisi medis yang berhubungan.
Komplikasi Apa yang timbul dari polip hidung ??

Polip hidung Massive atau polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) yang mengobstructsi Cavum nasi dan/atau nasopharynx dapat
menyebabkan gejala obstructive tidur dan pernafasan mulut chronic. Jarang, polip
hidung massive, pada CF dan pada AFS dapat mempengaruhi structure
craniofacial. Hal ini dapat mengakibatkan proptosis, hypertelorism, dan diplopia

Pada suatu article publikasi, pengarang melaporkan 40% anak-anak


(dibandingkan 10% pada dewasa) dengan AFS yang disertai abnormalittas
craniofacial. polip osis Massive jarang menyebabkan kompresi extrinsic yang
cukup pada nerve optic sehingga tajam penglihatan berkurang. Newcomber
melaporkan bahwa 3 dari 82 pasien dengan AFS mempunyai perubahan
penglihatan akibat compresi nerve optic pada sinus sphenoid setelah
pengangkatan polip hidung. Bagaimanapun, karena polip s bertumbuh pelan,
bisanya tidak menimbulkan gejala neurological, meskipuntelah meluas ke
intracranial cavity.
Prognosis polip hidung:

Rekurensi Polip hidung sering terjadi setelah terapi medis atau therapy
bedah jika ada polip multipel benigna. polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) bersifat kurang rekuren.
Edukasi:

Edukasi pasien tentang kronisnya penyakit penting untuk membuat


mereka lebih waspada pada rekurensi.
Kegagalan terapi
75

Banyak proses pada cavum nasi yang menyebabkan gejala klinis yang
sama dengan polip hidung. Seringnya infeksi pada upper respiratory tract, rhinitis
allergic, rhinitis nonallergic, sinusitis chronic, sinusitis recurrent acute,
hypertrophy adenoid, dan adenoiditis chronic, sering menimbulkan gejala klinik
yang sama dengan gejala yang disebabkan polip hidung atau tumor. Dengan
demikian, polip hidung atau tumor mungkin sebenarnya ada pada beberapa saat
sebelum terdiagnosa, sehingga menghasilkan diagnosis yang tertunda.
Bagaimana cara mencegah pilip hidung??

Pada banyak kasus, polip hidung tidak dapat dicegah. Tetapi jika
seseorang menderita asthma, hay fever atau infeksi kronis sinus, mengenali
gejala secara dini dapat membantu mengurangi gejala sumbatan hidung dan
gangguan pernapasan. Itu berarti pasien harus mengkonsumsi obat yang
dianjurkan dokter secara teratur dan menghindari kontak dengan alergen dan
polutan baik di dalam maupun di luar rumah.

Irigasi rongga sinus dengan air garam dapat mengurangi sumbatan


hidung dan mengurangi adanya sekret. Menghindari spray yang mengandung
bahan aditif seperti benzalkonium, yang dapat menginflamasi mukosa hidung dan
menyebabkan timbulnya eksaserbasi gejala.

Untuk membuat larutan saline, campurkan 1/4 sendok teh garam


kedalam 8 ounces air hangat. Tuangkan larutan ke dalam tangan lalu hirup
dengan hidung. Dapat juga larutan disuntikkan menggunakan bulbus telinga atau
dengan spuit. Lalu bersihkan hidung secara lembut dengan menggunakan tisue.
Gunakan larutan yang tersisa dalam 24 jam atau buang.
Sumber :
Vaidyanathan S, Barnes M, Williamson P, et al; Treatment of chronic
rhinosinusitis with nasal polyposis with oral steroids Ann Intern Med.
2011 Mar 1;154(5):293-302
Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta 2000
Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan
dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta 2000
Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit
Media Aesculapius FK-UI 2000
Hamilos DL. Clinical manifestations, pathophysiology and diagnosis
of chronic rhinosinusitis. http://www.uptodate.com/home/index.html.
Accessed Nov. 10, 2010
Scadding GK, et al. BSACI guidelines for the management of
76

rhinosinusitis and nasal polyposis. Clinical and Experimental Allergy.


2007;38:260.
Antunes MB, et al. The role of local steroid injection for nasal
polyposis. Current Asthma and Allergy Reports. 2010;10:175.
Dykewicz MS, et al. Rhinitis and sinusitis. Journal of Allergy and
Clinical Immunology. 2010;125(Suppl 2):S103.
Wood AJ, et al. Pathogenesis and treatment of chronic rhinosinusitis.
Postgraduate Medical Journal. 2010;86:359.
Hamilos DL. Medical management of chronic rhinosinusitis.
http://www.uptodate.com/home/index.html. Accessed Nov. 10, 2010.
Tosun F, et al. Impact of endoscopic sinus surgery on sleep quality in
patients with chronic nasal obstruction due to nasal polyposis. The
Journal of Craniofacial Surgery. 2009;20:446.
Citardi MJ. An introduction to nasal endoscopy. American Rhinologic
Society. http://www.americanrhinologic.org/patientinfo.introendoscopy.phtml. Accessed Nov. 10,
2010.
Dutton JM. Endoscopic sinus surgery. American Rhinologic Society.
http://www.american-rhinologic.org/patientinfo.sinussurgery.phtml.
Accessed Nov. 19, 2010.
Fried MP. Nasal polyps. The Merck Manuals: The Merck Manual for
Healthcare Professionals.
http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091d.html. Accessed Nov.
12, 2010.
Levine M. Nasal polyps. American rhinologic society.
http://www.american-rhinologic.org/patientinfo.nasalpolyps.phtml.
Accessed Nov. 10, 2010
Li JT (expert opinion). Mayo Clinic, Rochester, Minn. Nov. 23, 2010.
Rabago D, et al. Nasal irrigation for chronic sinus symptoms in
patients with allergic rhinitis, asthma, and nasal polyposis: A hypothesis
generating study. Wisconsin Medical Journal. 2008;107:69
Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck.
Lea and Febiger 14th edition. Philadelphia 1991

77

Anda mungkin juga menyukai