1.
Anatomi dan fisiologi hidung? disertai gambar berbagai
penampang.lengkap ya!!
2.1.1 Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang
anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.1 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian
kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua
adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi
kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk rongarongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke
otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002)
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang
masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk
lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan
berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh
invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar
disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai
dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian
atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar
meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu ,
dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi
konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda
sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang
pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid ,
dan sinus frontal. (Walsh WE, 2002)
2.1.1.2 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
1
Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke
arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL,
2007 ; Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan selsel goblet (Sobol SE, 2007).
2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan
lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan
keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media (Nizar NW, 2000).
2.1.1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
5
tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm
dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu
ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus.
Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran
lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk
keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar
kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses
supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila
lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi ratarata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
8
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior
dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius,
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid.
Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus
frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum
dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum
anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang
sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid
dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama
lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga
salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah :
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
9
o Tulang
o Tulang rawan hialin
o Otot bercorak
o Jaringan ikat
o Mempunyai lapisan sel yaitu Epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
o Terdiri atas Rambut -rambut halus
o Mengandung Kelenjar sebasea dan kelenjar keringat
Vestibulum nasi
o Secara anatomi Vestibulum nasi merupakan bagian dari cavum nasi yang
terletak tepat di belakang nares anterior.
o Secara histologi, vestibulum nasi terdiri atas :
Konka nasalis
o Secara anatomi Pada dinding lateral cavum nasi terdapat tiga tonjolan tulang
disebut konka, dimana ada empat buah konka yaitu Konka nasalis superior yang
tersusun atas epitel khusus, Konka nasalis media, Konka nasalis inferior dan
konka nasalis suprema yang kemudian akan rudimenter.
10
o Konka nasalis superior tersusun atas epitel khusus yaitu epitel olfaktorius untuk
penciuman
o Konka nasalis media dan Konka nasalis inferior dilapisi epitel bertingkat torak
bersilia bersel goblet.
o Epitel yang melapisi konka nasalis inferior banyak terdapat plexus venosus yang
disebut swell bodies yang berperan untuk menghangatkan udara yang melalui
hidung. Bila alergi akan terjadi pembengkakan swell bodies yang abnormal pada
kedua konka nasalis ,sehingga aliran udara yang masuk sangat terganggu.
o Dibawah konka inferior terdapat Plexus venosus berdinding tipis ,sehingga mudah
perdarahan
Mukosa Hidung
o Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius).
Regio Respiratorius
Lamina propria ini menjadi satu dengan periosteum / perikondrium (dinding konka
nasalis) oleh karena itu membran mukosa di hidung sering disebut
mukoperiosteum / mukoperikondrium / membrana Schneider
Terdapat serat kolagen, serat elastin, limfosit, sel plasma , sel makrofag
Jadi Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir pada permukaannya.
11
Regio Olfaktorius
Bagian dinding lateral atas dan atap posterior kavum nasi mengandung organ
olfaktorius
Pada konka nasalis superior terdapat epitel khusus / epitel olfaktorius yang
terdapat pada pertengahan kavum nasi
Daerah epitel olfaktorius ini mencakup 8 10 mm ke bawah pada tiap sisi septum
nasi dan pada permukaan konka nasalis superior, dengan batas tidak teratur dan
luas 500 mm2 dengan mukosa warna coklat kekuningan
Tunika mukosa terdapat epitel olfaktorius yang tersusun atas empat macam sel,
yaitu
Sel olfaktorius
Akson tak bermyelin dan bergabung dengan akson reseptor lain di lamina propia
membentuk Nervus Olfaktorius / N. II
Bentuk sel silindris tinggi dengan bagian apex lebar dan bagian basal menyempit
Inti lonjong
Sel basal
Bentuk segitiga
Inti lonjong
Merupakan reserve cell / sel cadangan yang akan membentuk sel penyokong dan
12
Sel sikat
Lamina propria:
akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka
dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel
akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media
dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang
berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia
dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan
fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan
diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994;
Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak
semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel
bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir ,
1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia,
menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah
muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
(Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
14
19
regio olfacto
o Inspirasi :
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea)
dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap
benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga
rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk
bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
20
udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan memecah
sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring
o Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna,
kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin dan
nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan
pankreas.
Mekanisme penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung selsel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf
kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk
serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak
(bulbus olfaktorius).
Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung,
sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung selsel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf
kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk
serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak
(bulbus olfaktorius).
Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara
inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung,
sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.
3.
23
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
24
meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi
sistem olfaktorius pada usia yang dini
Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:
1) Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel),
sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis
multipel.
2) Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman
syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius
dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan
bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.
3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh
pada fungsi pembauan.
4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat
menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus
dan mengakibatkan anosmia.
5) Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obatobatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obatobatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol,
nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.
6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi
pembauan.
7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena
berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi
proses kognitif di susunan saraf pusat.
8) Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer
disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus
Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala
pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya
fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya
nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya
edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga
menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang
pemanen melalui upregulated apoptosis
Sumber :
Akil, M. Amsyar. 2007. Penghidu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/Microsoft%
0PowerPoint%20-%20Gangguan%20penghidu%20dan%20pengecapan.pdf.
Anonym. 2006. Proses Penginderaan dan Persepsi. Universitas Gunadharma.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_3.pdf
29
6.
polip nasi seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin,
asma, sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma),
fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis
kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary
disease, azoospermia, polip nasi) (Kirtreesakul 2002).
Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan antara
lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan
transportasi ion transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel (Assanasen
2001, Kirtreesakul 2002).
Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah
dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan
predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi,
yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan
rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake
Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel
mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan
edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena
Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media.
Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001).
2.5 Gejala dan Tanda
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun
dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus
encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi.
Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasi (Drake Lee 1997, Ferguson et al 2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa
polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari
meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap
palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton et al 2008).
Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada
polip yang kecil di meatus media (Assanasen 2001). Penelitian Stamberger pada
200 pasien polip nasi yang telah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional
ditemukan polip sebanyak 80% di mukosa meatus media, processus uncinatus
dan infundibulum (Tos 2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan
nasoendoskopi menurut Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip,
stadium 1: polip terbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah meatus
media, stadium 3: polip masif (Assanasen 2001). Polip nasi hampir semuanya
bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk
menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted (Newton et
al 2008).
31
Definisi
Epistaxis adalah perdarahan dari cavum nasi, baik yang ke luar dari nares anterior ataunares
posterior turun ke farynx dan dikeluarkan melalui mulut.
Etiologi
Epistaxis dapat ditimbulkan karena sebab-sebab lokal atau umum.a .
S e b a b l o k a l :
1)Trauma, epistaxis dapat terjadi setelah suatu trauma ringan, misalnya
karenamengorek-ngorek hidung, atau akibat dari trauma berat,
misalnya terpukul,trauma kapitis karena sesuatu kecelakaan dan lain-lain.
2)Infeksi, misalnya diphteria hidung, sinusitis akuta, rhinitis atrofika.
3)Corpus allienum, misalnya terdapat lintah dalam cavum nasi.
4)Tumor-tumor, yang terkenal dalam angiofi broma nasopharynx,
haemangioma,tumor-tumor ganas baik dari dalam cavum nasi, sinus
paranasalis atau darinasopharynx.
5)Perubahan tekanan yang tiba-tiba, misalnya waktu menyelam.
6)Idiopathic.
7)Septum deviasi.
b.Sebab-sebab umum:
1 ) Pe n i n g g i a n t e k a n a n a r t e r i , m i s a l n y a p a d a h y p e r t e n s i y a n g
d i s e b a b k a n o l e h berbagai keadaan, seperti arteriosclerosis, nepheritis
kronika, kehamilan padatoxieosis gravidarum.
2)Peninggian tekanan vena, seperti pada decompensatio cordia,
penyakit paru- paru yang kronis dan pertusis.
3)Penyakit-penyakit darah, seperti leukemia, haemophilia, sickless-cells
anemia,defisiensi vitamin K dan C, thrombocytopenia purpura.
4)Infeksi akut, misalnya typhoid fever, influenzae dan morbilli.
5)Perubahan tekanan atmosfi r yang tiba-tiba.
6)Gangguan hormonal.
Lokasi perdarahan/sumberperdarahan
Menurut sumber perdarahan epistaxis dibagi dalam anterior bleeding
dan posterior bleeding.Anterior bleeding dapat berasal dari Plexus Kiesselbach (Littles area)
dan daria. Ethmoidalais anterior. Plexus Kiesselbach merupakan sumber
perdarahan yang paling sering, kira-kira 90% dari epistaxis bersumber dari
tempat ini, terutama padaanak-anak dan biasanya dapat berhenti spontan (selflimiting)
dan mudah diatasi.Posterior bleeding dapat berasal dari a. sphenopalatina
dan a. ethmoidalis p o s t e r i o r , b i a s a n y a t e r j a d i p a d a u s i a l a n j u t
y a n g d i s e r t a i d e n g a n h y p e r t e n s i , arteriosclrerosis atau pada penyakit
cardiovaskuler. Posterior bleeding biasanya tidak berhenti spontan,
perdarahan dapat hebat dan sumber perdarahan sukar dideteksi secara
langsung, sehingga penanggulangannya pun juga lebih sukar.
Penanggulangan
Prinsip penanggulangan epistaxis adalah pertama-tama
m en gh en ti kan p e rda rah an , me nc ega h kom p li kas i dan men ce gah
berulangnya epistaxis. Untuk menghentikan perdarahan, suatu
t i n d a k a n a k t i f p e r l u s e g e r a d i a m b i l , s e p e r t i pemasangan tampon dan
33
34
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
35
11. Mengapa pasien sering minum obat pilek tapi keluhannya masih?
Kandungan, farmakodinamik dan farmakokinetiknya!!
Di pasar, merek dagang obat flu jumlahnya bejibun. Harap maklum, permintaan
pasar memang sangat tinggi. Pabrik-pabrik farmasi berlomba membuat produk
obat flu. Semua diklaim paling manjur.
Secara umum, obat flu-pilek biasanya berisi:
1.
Analgesik-antipiretik.
Ini istilah medis untuk obat yang khasiatnya meredakan nyeri (analgesik) dan
menurunkan demam (antipiretik). Baca juga Bab Obat Sakit Kepala & Nyeri. Obat
flu berisi pereda nyeri karena memang salah satu gejala flu yang mungkin timbul
adalah sakit kepala. Adapun kandungan antipiretik dimaksudkan untuk
menurunkan gejala panas badan (demam) yang menyertai flu.
Dalam tulisan-tulisan medis, istilah analgesik biasanya berpasangan dengan
antipiretik. Ini karena obat yang berkhasiat meredakan nyeri biasanya juga
berkhasiat menurunkan demam. Contoh golongan obat ini antara lain
parasetamol dan asetosal. Di kemasan obat, parasetamol kadang ditulis sebagai
asetaminofen, sedangkan asetosal kadang ditulis dalam versi panjangnya, asam
asetil salisilat.
Di pasar, merek dagang obat flu jumlahnya bejibun. Harap maklum, permintaan
pasar memang sangat tinggi. Pabrik-pabrik farmasi berlomba membuat produk
obat flu. Semua diklaim paling manjur.
Sebetulnya, apa sih beda satu obat flu dengan obat lain? Untuk tahu jawabannya,
pertama-tama kita harus tahu isinya. Secara umum, obat flu-pilek biasanya
berisi:
2.
Dekongestan (Pelega Hidung)
Obat golongan ini bekerja melegakan hidung tersumbat. Istilah dekongestan
berasal dari kata de- yang berarti menghilangkan, dan congest yang merujuk
pada penyumbatan saluran hidung. Contohnya fenil propanolamin dan
pseudoefedrin. Mungkin telinga kita tidak begitu familiar dengan nama fenil
propanolamin. Ya, obat ini memang lebih dikenal sebagai PPA, singkatan dari
phenyl-propanolamine. PPA inilah bahan obat yang sempat berkali-kali diributkan
karena adanya berita bahwa obat ini ditarik dari pasar. Untuk lebih jelasnya,
silakan baca Bab PPA & Obat Pelega Hidung.
3.
Antihistamin (Obat Alergi)
Obat ini bekerja dengan cara menetralkan histamin. Histamin sendiri adalah
bahan yang bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala flu-pilek seperti
hidung meler dan bersin-bersin. Contoh obat golongan ini klorfeniramin maleat,
difenhidramin, tripolidin, bromfeniramin maleat.
Dari sekian banyak contoh antihistamin di atas, yang paling banyak digunakan
39
adalah klorfeniramin maleat. Nama ini mungkin tidak begitu akrab di telinga
awam. Dalam bahasa sehari-hari, kita mengenalnya dengan sebutan CTM,
singkatan dari chlor-trimeton, nama lain klorfeniramin maleat. CTM, klorfeniramin
maleat, chlor-trimeton, semuanya setali tiga uang alias sami mawon.
Selain punya khasiat antialergi, antihistamin juga punya khasiat sampingan
menekan refleks batuk dan efek samping membuat kantuk. Itu sebabnya, saat
minum obat flu yang mengandung antihistamin, kita disarankan untuk tidak
mengendarai kendaraan bermotor karena obat ini bisa menyebabkan kantuk dan
mengurangi konsentrasi.
Obat flu hanya akan menyebabkan kantuk kalau ia berisi golongan antihistamin,
misalnya CTM dan kawan-kawan. Kalau tidak mengandung antihistamin, obat flu
biasanya tidak menyebabkan kantuk. Jadi, agar kita tidak mengantuk, pilihlah
obat flu yang tidak mengandung kelompok antihistamin.
4.
Obat batuk
Karena flu kadang disertai batuk, banyak produk obat flu mengandung obat
batuk. Ada dua kelompok besar obat batuk, yaitu penekan batuk (antitusif) dan
pengencer dahak (ekspektoran). Antitusif bekerja langsung di otak dengan cara
menekan sistem refleks batuk. Contoh obat, dekstrometorfan dan noskapin.
Sementara ekspektoran bekerja dengan cara membantu mengurangi kekentalan
dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan. Contoh obat, bromheksin, guaifenesin
(biasa disebut juga gliseril guajakolat, GG), ambroksol, dan karbosistein. Untuk
penjelasan lebih detail, baca Bab Obat Batuk.
***
Obat flu-pilek umumnya berisi satu atau beberapa jenis obat golongan di atas.
Kadang, satu tablet berisi semua jenis obat di atas. Di Indonesia, sebagian pabrik
farmasi punya kecenderungan untuk membuat satu obat berisi bermacammacam kombinasi bahan aktif. Obat sapu jagat semacam ini memang bisa
sangat laris karena banyak orang membelinya. Namun, dari sisi keamanan terapi,
cara ini sebetulnya tidak sesuai dengan kaidah farmasi yang baik. Harusnya
pencampuran obat dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari interaksi
obat dan efek samping yang tidak perlu.
Sebaiknya pilihlah obat yang isinya memang benar-benar kita butuhkan. Jangan
membiasakan diri minum obat sapu jagat. Sebagai contoh, jika pileknya tidak
disertai dengan sakit kepala atau demam, kita tak perlu minum obat flu-pilek
yang berisi parasetamol. Jika flu kita tidak disertai penyumbatan saluran napas,
tak perlu minum obat yang mengandung PPA atau pseudoefedrin. Ingat, obat
sejatinya adalah racun. Makin banyak kita minum obat, artinya makin banyak kita
minum racunsesuatu yang tidak kita perlukan dan hanya akan membebani
tubuh.
Obat-obat flu-pilek di pasaran sebagian besar dalam bentuk kombinasi yang
berisi dua, tiga, empat, bahkan lima jenis obat dari kelompok parasetamol
(antinyeri-antidemam), CTM (antialergi), PPA (pelega hidung), dekstrometorfan
(penekan batuk), ekspektoran (pengencer dahak). Dari sisi keamanan, makin
banyak kombinasinya, makin besar efek samping dan mudaratnya. Karena itu,
sebagai pedoman umum: gunakan obat yang memang kita perlukan saja
40
Flu merupakan penyakit yang mungkin paling mudah dan sering menyambangi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Saking mudahnya, seringkali kita malah untuk
pergi ke dokter hanya sekedar minta resep obat flu. Di samping itu, obat flu
banyak beredar bebas dan sangat mudah didapat, ditambah lagi iklan bertebaran
yang membuat kita tidak sulit untuk mencari informasi mengenai obat flu.
Sayangnya, banyaknya informasi dan iklan obat flu tidak diikuti dengan sikap
kritis untuk mengenali kandungan obat di dalamnya agar sesuai dengan
kebutuhan kita. Walaupun bukan seorang ahli farmasi, namun memahami
kandungan obat dan khasiatnya dapat sangat berguna.
Sekedar mengumpulkan informasi yang sudah banyak beredar di internet,
ditambah pengalaman pribadi atas beberapa merk obat tertentu (tanpa
bermaksud iklan), semoga ulasan dasar berikut dapat memberikan wawasan dan
sedikit membantu untuk membaca kandungan obat.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
12. DD?
RHINITIS
Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung.
(Dipiro, 2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat
dibedakan menjadi dua:
42
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang
akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama
histamin.
Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga
tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi
secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi
kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang
diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada
alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki
komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing
tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan
IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi
permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik
(misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan
dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari
sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk
histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis
mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediatormediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore
(termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis,
pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa
dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler
meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang
menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang
menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam
hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau
segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks,
menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil,
eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon
44
fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada
respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah
dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama
beberapa jam sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung
yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi
dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan
antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator
farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi
otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon
peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis
alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen
hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi
dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk
gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme
terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
45
F.Pelaksanaan
1. Medis
Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan (pseudoefedrin
2x30mg)
Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk yang
non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine (2x60mg).
Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti histamin baru
non sedatif cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn (mast cell
stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone, betametasone) untuk
serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau oksimetazolin
0.025% 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai kalau sangat
perlu
46
Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011. Available from
URL: http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL: http:// www.nnno.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com
SINUSITIS
2.4.1. Definisi
47
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi
mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
2.4.5. Gejala Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik
biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri
pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga
(Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain).
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
49
dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal
atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen
(Mansjoer,2001).
2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu
menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan
mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret
dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapatmelihat
koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer,
2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinusfrontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat
diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi
lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila,
etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan
jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto
polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (airfluid
level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad,
2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis
disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus
50
berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan
irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik
pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua
(Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga
hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan
irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi
pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini;
Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan
kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk
memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini
dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila
dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).
2.4.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata
tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus
(Hilger, 1997).
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan
Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke
51
otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan
meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis
kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan (Ballenger, 2009).
2.4.9. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).
-
POLIP
Polip hidung adalah massa patologis yang lunak, licin dan berwarna putih
keabu-abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa) yang ditemukan pada selaput lendir rongga hidung dan sinus
paranasal. Umumnya terjadi akibat reaksi radang yang berkepanjangan tanpa
disertai rasa nyeri. Polip adalah tumor jinak yang harus diwaspadai karena bisa
berkembang menjadi ganas (kanker).
Polip yang nampak seperti daging tumbuh seperti tumor non kanker pada
rongga hidung ini jika sudah lama dapat berubah menjadi kekuning kuningan
atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip nasi bukan
merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai
macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis
kistik dan asma.
Sinonim dan kata yang berhubungan: Nasal polyps, nasal polyposis, nasal
mucosa, paranasal sinuses, nasal lesion, chronic sinusitis, allergic rhinitis, cystic
fibrosis, CF, allergic fungal sinusitis, AFS, antral-choanal polyp, encephaloceles,
gliomas, hemangiomas, papillomas, juvenile nasopharyngeal angiofibromas,
rhabdomyosarcoma, lymphoma, neuroblastoma, sarcoma, chordoma,
nasopharyngeal carcinoma, inverting papilloma, multiple nasal polyposis, asthma,
chronic rhinosinusitis, primary ciliary dyskinesia, Churg-Strauss syndrome, Young
syndrome, nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome, NARES, nasal
obstruction, anosmia, snoring, postnasal drainage, rhinorrhea, hyposmia,
proptosis, hypertelorism, diplopia, nasolacrimal duct cyst
Apa penyebab dan faktor predisposisi polip hidung??
Penyebab
Asma
Asma merupakan penyakit yang menyebabkan
53
Cystic fibrosis
Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses
peradangan yang melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya
terjadi setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam beberapa
kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri
54
hidung
55
Ras: Polip hidung dapat terjadi pada semua ras dan kelas sosial. Ada
kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang memiliki riwayat polip
nasi.
Polip Nasi atau biasa disebut Polip Hidung adalah kelainan mukosa
hidung dan sinus paranasal terutama pada kompleks osteomeatal (KOM) di
meatus nasi medius, dimana polip banyak mengandung cairan interseluler dan
sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau
pembuluh darah.
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi,fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi
pada setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang
besar ataupun polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan
suatu keganasan seperti: glioma, hemangioma,papiloma, limfoma,
neuroblastoma, sarcoma, karsinoma nasofaring dan papiloma inverted. Kita harus
mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel yang dihubungkan
dengan fibrosis kistik dan asma.
Apa saja gejala yang dapat dirasakan jika ada polip pada hidung??
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan
di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya.
Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuhsembuh, perubahan pengecapan, sengau, sakit kepala dan dijumpai lendir yang
menetes dari bagian belakang hidung ke tenggorokan, yang dikenal sebagai postnasal drip
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin
dan iritasi di hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu
pemeriksaan rutin. Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip
57
tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan
lewat mulut yang kronik.
bioelectric sodium channel pada lumen sel epitel saluran pernapasan mukosa
hidung. Respon ini meningkatkan penyerapan sodium, menyebabkan retensi air
dan terjadinya pembentukan polip .
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah
ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya
dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia sel epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.
Sel Eosinofil merupakan sel yang paling sering ditemukan yaitu sekitar
80-90% pada inflamasi polip hidung. Eosinofil, yang ditemukan dalam polip
hidung pada pasien dengan asma bronkial dan alergi, terdiri dari granula dan
produk toksin (misalnya, leukotriena, eosinofilic cationic protein, major basofilic
protein, platelet-activating factor, eosinophilic peroxidases, other vasoactive
substances dan chemotactic factors). Faktor-faktor toksin ini bertanggung jawab
atas terjadinya lisis epitel, kerusakan saraf, dan ciliostasis. Granula Protein
spesifik, leukotriena A4, dan platelet-activating factor mungkin bertanggung
jawab atas terjadinya edema mukosa dan hyperresponsiveness
Molekul adhesi
Vascular adhesion molecule 1 (VCAM-1) - ada
62
Imunoglobulin (Ig)
Pada Polip hidung yang lebih besar, menyebabkan gejala klinik seperti
hidung terasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, sehingga sukar bernafas
dari hidung, sukar membuang ingus, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai
bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal.
Gejala sekunder yang dapat timbul bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya
ialah sakit kepala, adanya post nasal drip, nyeri muka, telinga rasa penuh,
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, rhinorrhea, mendengkur dan
gangguan tidur yang dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup.
iritasi septum nasal anterior (area Kiesselbach) biasanya tidak disertai polip
multipel benigna dan lesi pada kavitas nasal.
Polip masif atau polip single yang besar, (misalnya, polip antral-choanal
yang mengobstruksi rongga hidung dan/atau nasofaring) dapat menyebabkan
gejala obstruksi saat tidur dan pernafasan kronis mulut. Polip masif yang terlihat
pada CF dan AFS jarang mempengaruhi struktur craniofacial dan menyebabkan
proptosis, hypertelorism, dan diplopia. Dalam suatu artikel, dilaporkan bahwa
40% dari anak-anak dengan AFS menunjukkan adanya kelainan craniofacial,
sedangkan pada orang dewasa dengan AFS adalah 10%. Polip masif jarang
memberi tekanan ekstrinsik yang cukup pada saraf optik sehingga berakibat
kurangnya ketajaman penglihatan. Karena pertumbuhan polip masif pelan, maka
biasanya tidak ditemukan adanya gejala neurologik, sekalipun pada polip yang
telah meluas ke rongga intracranial.
Pemeriksaan fisik :
Pada inspeksi hidung luar dapat ditemukan adanya hidung yang tampak
mekar oleh karena pelebaran batang hidung yang disebabkan oleh adanya polip
hidung yang masif.
Pemeriksaan Rinoskopi anterior .
Meatus media sering kali dapat dilihat dengan rhinoscopy pada anak
yang kooperatif dan tanpa adanya ada edema mukosa atau secret pada rongga
hidung anterior. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
64
Pada polip hidung benigna paling sering dijumpai pada meatus media.
Dengan melihat Meatus media, dapat diperkirakan adanya patologi dan
memperkirakan perlunya scan CT sinus, dibandingkan melakukan prosedur
endoscopic yang mungkin membuat pasien merasa tertekan.
Pemeriksaan Endoskopi .
Endoskopi dilakukan untuk melihat polip yang masih kecil dan belum
keluar dari kompleks osteomeatal. memberikan gambaran yang baik dari polip,
khususnya polip berukuran kecil di meatus media.
Pada anak-anak dan remaja yang lebih kooperatif, rigid endoscopy dapat
digunakan untuk menilai meatus media dan sphenoethmoid recess. Dilakukan
Pemberian dekongestan dan anesthesia yang cukup pada rongga hidung sebelum
melakukan prosedur endoscopic pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan.
anterior kiri.
Pemeriksaan penunjang
Untuk membantu menegakkan diagnosa adanya polip hidung pada seseorang,
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti:
Laboratorium:
Melakukan test klorida atau test genetik Cystik Fibrosis pada setiap
anak dengan polip hidung multipel benigna.
CT SCAN
Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia
lanjut, jika penampakan makroskopis menyerupai keganasan atau bila pada foto
roentgen terdapat gambaran erosi tulang.
Diagnosa banding polip nasi atau polip hidung???
Konka polipoid
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri
cirinya sebagai berikut :
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Mudah berdarah
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal
tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap
rongga hidung.
Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.
o
Polip hidung Multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal
dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).
Pemberian steroid oral dan topikal pada hidung merupakan terapi primer
untuk polip hidung. Antihistamin, dekongestan, dan cromolyn sodium
memberikan sedikit manfaat. Imunoterapi dapat berguna pada rhinitis alergi
tetapi bila digunakan sendirian, tidak selalu dapat menghilangkan polip hidung
yang ada. Antibiotik diberikan apabila ada superinfeksi bakteri.
Pembedahan:
Endoscopic Sinus Surgery (ESS) merupakan teknik yang lebih baik karena
tidak hanya mengangkat polip tetapi juga membuka celah dalam meatus media,
yaitu daerah yang paling sering membentuk polip, sehingga dapat menurunkan
tingkat kekambuhan. Perlu mengetahui luas daerah yang tepat saat pembedahan
sehingga dapat dilakukan ekstirpasi secara lengkap (Nasalide prosedur) atau
aerasi sederhana pada sinus. Prosedur ekstirpasi lebih efektive daripada aerasi
sinus karena komplikasi yang timbul lebih rendah apabila dilakukan oleh ahli
bedah. Penggunaan surgical microdebrider membuat prosedur ini lebih cepat dan
lebih aman, penyediaan gunting jaringan yang tepat mengurangi hemostasis
dengan visualisai yang lebih baik.
Untuk lesi selain polip hidung benigna yang menjadi polip hidung, polip
tersebut harus di biopsi atau diangkat, tergantung dari proses perjalanan
penyakit.
Tidak ada pembatasan aktivitas yang penting bagi seorang anak dengan
polip hidung. Tingkatan aktivitas anak mungkin dapat berkurang karena kesulitan
bernafas lewat hidung, sehingga aktivitas olahraga dan kinerja aktivitas fisik
menurun.
Untuk pasien dengan asma berat dan polip hidung yang memerlukan
pembedahan, penanganan postoperasi dengan pengamatan pernapasan
kompromis atau spasme ditentukan berdasar masing-masing individual.
Polip hidung yang kecil dikenali sejak awal pada follow-up routine
patients dengan multiple polip hidung benigna.
Penyakit lain dilakukan medis atau dengan procedures bedah kecil. Untuk
penyakit menyebabkan polip hidung selain multiple polip hidung benigna, perlu
perawatan jalan atau rawat inap ditentukan berdasar penyakit, gejala klinik dan
situasi patient, dan condisi medis yang berhubungan.
Komplikasi Apa yang timbul dari polip hidung ??
Polip hidung Massive atau polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) yang mengobstructsi Cavum nasi dan/atau nasopharynx dapat
menyebabkan gejala obstructive tidur dan pernafasan mulut chronic. Jarang, polip
hidung massive, pada CF dan pada AFS dapat mempengaruhi structure
craniofacial. Hal ini dapat mengakibatkan proptosis, hypertelorism, dan diplopia
Rekurensi Polip hidung sering terjadi setelah terapi medis atau therapy
bedah jika ada polip multipel benigna. polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) bersifat kurang rekuren.
Edukasi:
Banyak proses pada cavum nasi yang menyebabkan gejala klinis yang
sama dengan polip hidung. Seringnya infeksi pada upper respiratory tract, rhinitis
allergic, rhinitis nonallergic, sinusitis chronic, sinusitis recurrent acute,
hypertrophy adenoid, dan adenoiditis chronic, sering menimbulkan gejala klinik
yang sama dengan gejala yang disebabkan polip hidung atau tumor. Dengan
demikian, polip hidung atau tumor mungkin sebenarnya ada pada beberapa saat
sebelum terdiagnosa, sehingga menghasilkan diagnosis yang tertunda.
Bagaimana cara mencegah pilip hidung??
Pada banyak kasus, polip hidung tidak dapat dicegah. Tetapi jika
seseorang menderita asthma, hay fever atau infeksi kronis sinus, mengenali
gejala secara dini dapat membantu mengurangi gejala sumbatan hidung dan
gangguan pernapasan. Itu berarti pasien harus mengkonsumsi obat yang
dianjurkan dokter secara teratur dan menghindari kontak dengan alergen dan
polutan baik di dalam maupun di luar rumah.
77