Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sidat merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena sangat diminati di
pasar dunia. Negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan hingga
China merupakan negara pengonsumsi sidat paling tinggi (Roy, 2013). Jumlah komoditas
sidat hingga kini masih terbatas dikarenakan belum ada teknologi untuk pemijahan, sehingga
harga di pasaran terbilang cukup tinggi (Anonim, 2012). Permintaan ikan sidat untuk pasar
internasional tahun 2012 mencapai 300.000 ton/tahun dan permintaan tertinggi berasal dari
Jepang yaitu sekitar 150.000 ton/tahun. Kini harga tertinggi ikan sidat mencapai Rp
600.000/kg untuk kualitas terbaik dan Rp 300.000/kg untuk kualitas rendah. Saat ini
Indonesia merupakan produsen ikan sidat terbesar di dunia (P2HP, 2012).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER. 19/MEN/2012 menyebutkan
larangan bagi siapapun untuk membawa sidat yang berukuran kurang dari atau sama dengan
150 gram per ekor, keluar dari wilayah negara Republik Indonesia. Tujuannya adalah untuk
melindungi sumber daya benih sidat nasional agar tidak terkuras, serta mendorong budidaya
pembesaran untuk dikembangkan di dalam negeri, sehingga menggerakkan perekonomian
masyarakat. Peraturan Menteri yang terbaru mengenai larangan ekspor benih ini
mempermudah pengawasan pihak karantina dalam mencegah ekspor ilegal benih sidat.
Sebelumnya pengaturan larangan bersifat dimensi, yaitu ukuran panjang sampai 35 cm dan
atau berat sampai 100 gram per ekor dan atau berdiameter 2,5 cm (Anonim, 2013).
Daging sidat kaya akan protein, vitamin, asam lemak, dan unsur mikro. Kandungan
vitamin pada sidat di antaranya vitamin A, vitamin B1, dan vitamin B2, serta unsur-unsur
mikro seperti Zn. Selain vitamin dan unsur mikro, sidat juga mengandung asam lemak tak
jenuh yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti asam lemak omega yang berguna untuk
perkembangan sel otak anak. Ekstrak sumsum sidat juga mengandung tiga jenis bahan
bermanfaat yaitu DHA (docosahexaenoic acid), EPA (eiscosapentaenoic acid), dan AKG
(alkylglycerol). Selain dagingnya, lendir sidat juga dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional
seperti pengobatan pada luka (Roy, 2013).
Sidat memiliki kandungan gizi yang tinggi, sehingga rentan terhadap pembusukkan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat terjadinya pembusukan yaitu dengan
pendinginan. Prinsip pendinginan adalah menurunkan suhu ikan secepat mungkin tetapi tidak
sampai menjadi beku. Umumnya pendinginan tidak dapat mencegah pembusukkan secara
total, tetapi semakin rendah suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim.
Dengan demikian pendinginan hanya menunda proses bakteriologi dan biokimia yang terjadi
1

pada tubuh ikan. Mendinginkan ikan seharusnya diselimuti oleh medium yang lebih dingin
darinya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas. Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan
menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara
yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es
sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah didaratkan,
yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi, dan ketika dipasarkan. Penyimpanan ikan
segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang
terbatas untuk menjaga kesegaran ikan, biasanya 10-14 hari (Irianto dan Soesilo, 2007).
Budidaya pembesaran sidat di Indonesia mulai dikembangkan, sehingga diperlukan
penanganan pasca panen yang baik. Salah satu cara yang mudah dan murah adalah
penyimpanan pada suhu rendah menggunakan es. Seminar ini akan membahas pengaruh
pemberian es dalam penyimpanan pada suhu dingin terhadap kualitas sidat yang meliputi
mutu organoleptik, kimiawi, dan mikrobiologis.
B. Tujuan
1. Membandingkan pengaruh penambahan es dan tanpa es pada penyimpanan dingin
(3+1oC) berdasarkan parameter mutu sensoris, mutu kimiawi, dan mutu mikrobiologis.
2. Mengetahui umur simpan ikan sidat yang disimpan dalam suhu rendah ditambah es dan
tanpa es (3+1oC).
C. Manfaat
Memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pengaruh pemberian es dalam
penyimpanan pada suhu dingin terhadap kandungan gizi dan umur simpan ikan sidat
(Anguilla anguilla).

II.

PEMBAHASAN

A. Ikan Sidat
Sidat (Anguilla spp.) merupakan salah satu komoditas hasil perikanan bernilai ekonomi
tinggi. Sidat memiliki karakteristik unik yang mampu mendiami beberapa kondisi perairan,
2

termasuk perairan tawar, estuari, dan laut (Tesch, 1977). Aoyama et al. (2000) menjelaskan
bahwa sidat merupakan ikan yang bersifat katadromous, yaitu bermigrasi dari perairan tawar
ke laut untuk memijah dan bersifat nocturnal. Hampir di semua muara sungai di Indonesia
sedikitnya terdapat lima spesies ikan sidat, yaitu Anguilla bicolor, A. borneensis, A.
marmorata, A. celebesencis, dan A. nebulosa (Kottelat et al., 1993). Morfologi ikan sidat
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sidat merupakan hewan yang termasuk ke dalam famili Anguillidae. Tubuh sidat
memanjang dan dilapisi sisik kecil. Sirip di bagian anus menyatu dan berbentuk seperti jarijari yang terlihat lemah. Sirip dada terdiri atas 14-18 jari-jari sirip (Suitha dan Suhaeri, 2008).
Sidat tidak mempunyai sirip perut dan punggung tidak berduri. Sirip dada sempurna, mata
tertutup oleh kulit. Lubang hidung terletak di muka mata, mulut agak miring dan sampai
melewati mata (Sholeh, 2004). Punggung sidat berwarna cokelat kehitaman. Perutnya
berwarna kuning hingga perak. Pergerakan hewan ini terbantu lendir yang melapisi tubuhnya.
Hewan ini memiliki kemampuan mengambil oksigen langsung dari udara dan mampu
bernafas menggunakan seluruh bagian kulitnya (Suitha dan Suhaeri, 2008). Ciri yang
membedakan sidat dengan belut adalah sirip dada yang terletak di bagian kepalanya. Ukuran
sirip dada relatif kecil dan sepintas lalu terlihat menyerupai telinga sehingga banyak yang
menjuluki sidat dengan sebutan ikan bertelinga (Liviawaty dan Afrianto, 1989). Sasongko
(2007) mengklasifikasikan sidat dalam tata nama sebagai berikut:
Kelas : Osteichthyes
Ordo
: Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Spesies : Anguilla spp.

Gambar 2.1. Morfologi Ikan sidat


Sidat dikonsumsi di beberapa negara Asia dan Eropa karena memiliki kandungan nutrisi
yang tinggi (16,4% protein dan 4700 IU Vitamin A), memiliki daging yang kenyal, serta rasa
yang enak. Jepang menguasai lebih dari 50% total produksi sidat di seluruh dunia dan lebih
dari 130.000 ton sidat dikonsumsi setiap tahunnya (Tsukamoto, 1999).
3

Penelitian kedokteran modern menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien


dalam ikan sidat sangat tinggi, diantaranya vitamin B1 (25 kali lipat susu sapi), vitamin B2 (5
kali lipat susu sapi), vitamin A (45 kali lipat susu sapi), dan Zinc (9 kali lipat susu sapi). Sidat
juga mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi. Kandungan asam lemak
omega 3 dalam sidat sekitar 10,9 gram per 100 gram. Omega 3 dapat menguatkan fungsi otak,
memperlambat terjadinya kepikunan, meningkatkan fungsi mental, memori, dan konsentrasi
manusia. Omega 3 terbukti mampu mengobati depresi, gejala penyakit kejiwaan atau
schizophrenia. Ekstrak sumsum sidat mengandung tiga jenis bahan bermanfaat yaitu DHA,
EPA, dan AKG. Senyawa DHA dan EPA merupakan asam lemak tak jenuh yang dapat
menurunkan lemak darah dalam tubuh manusia. DHA merupakan salah satu senyawa yang
membentuk membran penglihatan. DHA memberikan gizi bagi syaraf penglihatan sehingga
bisa digunakan untuk mencegah gangguan penglihatan sejak dini. Mengkonsumsi ikan sidat
dapat menghilangkan racun, sebagai antioksidan, memperlambat penuaan, mendorong
terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar, meningkatkan daya ingat,
memperbaiki sirkulasi kapiler, mempertahankan tekanan darah normal, dan mengobati
pembuluh darah otak. Mengkonsumsi ikan sidat bermanfaat untuk penyakit rabun jauh, rabun
dekat, glukoma, dan penyakit mata kering yang disebabkan mata terlalu lelah. AKG
merupakan antioksidan yang dapat merangsang terbentuknya sel imunitas, meningkatkan
aktivitas sel imunitas, memperkuat fungsi imunitas, pembersih radikal bebas di dalam sel,
meningkatkan jumlah sel darah putih, sel limfa, dan keping darah (Roy, 2013).
Kandungan vitamin A, DHA, EPA, dan komposisi kimia dari daging ikan sidat
(Anguilla anguilla) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan Gizi dan Komposisi Kimia Daging Ikan Sidat
Komoditas
Sidat
Hati sidat

Vit. A
(IU/100g)
4700
15000

DHA

EPA

Air

(mg/gram)
1337

(mg/gram)
742

(%)
57,21

Protein
(%)
15,89

Lemak
(%)
25,61

Abu
(%)
2,12

(Sumber: Saleh, 1993)


B. Penyimpanan Dingin
Afrianto dan Liviawaty (1989) menjelaskan bahwa pendinginan ikan merupakan salah
satu proses yang umum digunakan untuk mengatasi masalah pembusukkan ikan, baik selama
penangkapan, pengangkutan, maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi
produk lain. Tubuh ikan yang didinginkan belum membeku, sebab suhu yang dapat dicapai
pada proses pendinginan terbatas, maksimal 0oC. Proses pengawetan ikan dengan cara
pendinginan dapat mempertahankan masa kesegaran (shelf life) ikan selama 12-18 hari,
tergantung dari jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran ikan yang akan didinginkan
4

dan suhu yang digunakan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari proses pendinginan ikan
adalah bahwa sifat asli ikan relatif tidak berubah. Ikan yang belum mengalami proses apapun
(kecuali diberi perlakuan pendinginan) masih dapat dianggap sebagai ikan segar. Pendinginan
disebut chilling yang mempunyai tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu
ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga
ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al., 2004).
Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 2.2. Semakin
rendah suhu penyimpanan, kegiatan bakteri semakin menurun, dan mutu ikan semakin baik.
Tabel 2.2. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan
Suhu
25oC sampai 10oC

Kegiatan Bakteri
Luar biasa cepat

10oC sampai 2oC

Pertumbuhan

2oC sampai -1oC

cepat
Pertumbuhan

-1oC

Mutu Ikan
Cepat menurun, daya awet sangat

bakteri
bakteri

kurang

pendek (3-10 jam)


Mutu menurun kurang cepat,

jauh

daya awet pendek (2-5 hari)


Penurunan mutu agak dihambat,

berkurang
Kegiatan bakteri dapat ditekan

-2oC sampai -10oC

suhu minimum sehingga daya


Kegiatan

-18oC
rendah

dan

lebih

daya awet wajar (3-10 hari)


Sebagai ikan basah, penurunan

bakteri

ditekan

menjadi tidak aktif


Ditekan

minimum,

tersisa tidak aktif

bakteri

awet maksimum 5-20 hari


Penurunan
mutu
minimum,
tekstur dan rasa ikan rendah, daya
awet panjang 7-30 hari
Mutu ikan beku lebih baik, daya
awet sampai setahun

(Sumber: Ilyas, 1983)


C. Es
Es merupakan salah satu medium yang digunakan dalam proses pendinginan ikan. Hal
yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan dingin menggunakan es adalah jumlah es yang
tepat. Es diperlukan untuk menurunkan suhu ikan, wadah dan udara sampai mendekati atau
sama dengan suhu ikan pada suhu serendah mungkin (biasanya 0oC). Perbandingan es dan
ikan yang ideal untuk penyimpanan dingin dengan es adalah 1:1 (Irianto dan Soesilo, 2007).
Es dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat tanpa mengubah kualitas ikan dan biaya
yang diperlukan relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan medium pendingin lain
(Afrianto dan Liviawaty, 1989). Es berperan penting dalam mencegah dehidrasi ikan selama
penyimpanan. Fungsi es dalam pendinginan ikan yaitu (Adawyah, 2007):
1. Menurunkan suhu daging sampai mendekati 0oC.
2. Mempertahankan suhu ikan tetap dingin.
5

3.

Menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah, dan bakteri dari permukaan

4.

badan ikan.
Mempertahankan keadaan berudara (aerobik) pada ikan, selama disimpan dalam

palka.
D. Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Kualitas Sidat
Ozogul et al. (2005) dan Ozogul et al. (2006) telah melakukan penelitian mengenai
pengaruh penyimpanan pada suhu rendah (3+1oC) dengan es dan tanpa es pada suhu rendah
terhadap kualitas sidat dan umur simpannya. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk
mengetahui pengaruh penyimpanan dengan es dan tanpa es pada suhu rendah terhadap
kualitas sidat dan umur simpannya berdasarkan mutu sensoris, mutu kimiawi, dan mutu
mikrobiologisnya.
D. 1. Persiapan Sampel dan Penyimpanan Sidat
Sidat Eropa (Anguilla anguilla) didatangkan dari perusahaan pengolahan ikan 1 hari
setelah ditangkap. Rata-rata berat sidat adalah 228,5+21,98 gram yang telah disiangi, dicuci,
dan dibagi menjadi dua kondisi penyimpanan yaitu disimpan dalam suhu rendah ditambah es
dengan perbandingan es dan sidat 2:1 (w/w) dan bagian kedua disimpan dalam suhu rendah
tanpa ditambah dengan es. Kedua perlakuan disimpan dalam refrigerator (3+1oC) sampai 19
hari. Parameter mutu sensoris yang diamati meliputi kenampakan, mata, dan belly cavity
menggunakan metode Demerit Point Score. Parameter mutu kimiawi yang diukur meliputi
penguraian ATP, nilai TVB-N, nilai pH, dan WHC. Penguraian lemak meliputi nilai PV, FFA,
dan TBA. Analisis mikrobiologi terdiri dari TVC. Analisis sensori dan kimia dilakukan pada
hari 1, 5, 8, 12, 15, 19. Nilai PV (Peroxide Value) dan FFA (Free Fatty Acid) dianalisis pada
hari 2, 6, 9, 13, 16 dan 20 setelah ekstraksi lemak. Data diperoleh dengan menggunakan tiga
sampel ikan untuk setiap sampling. Nilai gizi sidat yang digunakan dalam penelitian dapat
dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Analisis proksimat (%) sidat Eropa

Sidat
D. 2. Mutu Sensoris

Protein
17,5+0,83

Lemak
20,86+0,82

Air
60,12+0,40

Abu
1,05+0,11

Penilaian organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian sensoris banyak
digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Uji ini menghasilkan data
yang penganalisisan selanjutnya menggunakan metode statistika (Kartika, 1992). Panel
diperlukan untuk memberikan penilaian organoleptik dalam penilaian mutu atau sifat-sifat
sensoris suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel terdiri atas orang
atau kelompok yang bertugas menilai sifat dari suatu komoditi, orang yang menjadi anggota
panel disebut panelis (Oktavia, 2010).
6

Analisis sensori dilakukan dengan tiga ulangan sampel, dari masing-masing kondisi
penyimpanan, yang diambil secara berkala. Analisis sensori dinilai menggunakan Skema
Tasmania Food Research Unit (Branch dan Vail, 1985) dengan modifikasi untuk sidat.
Penilaian dilakukan oleh minimal 6 panelis terlatih. Panelis juga diminta untuk menyatakan
apakah ikan dapat diterima. Hal ini digunakan untuk menentukan umur simpan sidat.
Tabel 2.4. Skema Tasmanian Food Research Termodifikasi untuk Penaksiran Kesegaran pada
Sidat yang Telah Disiangi
Nilai
Kenampakan
-Kulit bagian

Sangat cerah,

Cerah, kurang

Sedikit kusam

Kusam

dorsal
-Kulit bagian

jelas kontras
Warna bersinar,

kontras
Sedikit

Kekuningan,

Kuning

abdominal
-Lendir
-Kekompakan

putih
Tidak ada
Sangat kaku dan

kekuningan
Sedikit berlendir
Cukup kaku dan

sedikit berkurang
Berlendir
Cukup lembek

kecokelatan
Sangat berlendir
Lembek atau

kokoh

kuat

Jelas
Normal
Terlihat

Sedikit keruh
Sedikit cekung
Tidak terlihat

Opalescent

Keabu-abuan

Merah
Ikan air tawar

Merah gelap
Netral, seperti

daging
Mata
-Cerah
-Bentuk
-Iris

sangat lembek
Keruh
Cekung

Kuning
Belly cavity
-Noda
-Darah
-Bau daging
Total demerit point

kecokelatan
Cokelat
Amis

Busuk

susu

*Jumlah nilai 0-24


Gambar 2.2 menunjukkan nilai kesegaran yang ditunjukkan oleh skor Demerit Point
diperoleh dari sidat yang telah disiangi dan disimpan dalam es dan tanpa es dari hari pertama
hingga hari ke-19. Penilaian dengan Demerit Point Score relatif lebih mudah, cepat dan
didasarkan pada penilaian deskriptif yang dikuantifikasikan untuk menentukan kualitas
kesegaran ikan. Metode ini mengevaluasi parameter dan atribut sensori yang berubah secara
nyata selama proses deteriorasi ikan. Atribut yang dinilai meliputi kenampakan, mata, dan
belly cavity serta nilai untuk setiap atribut berkisar antara 0-3. Nilai 0 untuk ikan dengan
kesegaran prima dan nilai 3 untuk atribut ikan yang sudah tidak segar. Jumlah dari semua poin
untuk semua parameter merupakan nilai DPS yang kemudian dikenal sebagai indek kualitas
(Huidobro et al., 2000). Metode DPS dapat digunakan untuk memprediksi sisa umur simpan
7

ikan pada kesegaran tertentu. Semakin tinggi peningkatan demerit point, maka menunjukkan
kualitas ikan semakin rendah.
Demerit point meningkat pada kedua kondisi. Peningkatan lebih tinggi terjadi pada ikan
yang disimpan dalam suhu rendah tanpa es. Secara keseluruhan, nilai kenampakan menurun
selama penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan berkurangnya kesegaran pada kedua kondisi
penyimpanan. Nilai kenampakan sidat yang disimpan dalam suhu rendah tanpa es lebih
rendah dibandingkan sidat yang disimpan dalam es. Kulit sidat yang disimpan tanpa es lebih
kering dibanding sidat yang disimpan dalam es. Mata sidat yang disimpan dalam es lebih
gelap dibanding sidat yang disimpan dalam kotak tanpa es. Batas penerimaan sidat yang
disimpan dalam es adalah 12-14 hari dan tanpa es adalah 5-7 hari. Nilai sensoris awal untuk
kedua kondisi penyimpanan adalah sama pada hari pertama, namun nilai untuk ikan yang
disimpan tanpa es secara signifikan lebih rendah dibanding ikan yang disimpan dalam es pada
hari ke-8 dan ke-12 (P<0,05). Dilihat dari polanya, hubungan antara nilai demerit point dan
waktu penyimpanan adalah linear. Hal ini berarti penurunan nilai demerit point dengan
peningkatan waktu penyimpanan hampir berjalan seiring. Penambahan es umumnya ditujukan
untuk memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging ikan
sampai -1 atau -2oC. Fungsi dari es untuk mempertahankan ikan tetap segar, mencegah
pembusukkan sehingga nilai gizi dapat dipertahankan. Di samping itu, lelehan es mencuci
lendir, sisa darah bersama bakteri dan kotoran lain akan terhanyut.

Gambar 2.2. Penilaian sensori terhadap sidat yang disimpan di dalam es dan tanpa es
D. 3. Mutu Kimiawi
1. Penguraian ATP
ATP (adenosine triphosphat) dan produk degradasinya dianalisis menggunakan metode
HPLC. ATP merupakan molekul yang berenergi tinggi. ATP adalah nukleotida yang tersusun
atas adenosin, gula ribosa, dan tiga gugus fosfat (Karmana, 2006). Dalam proses
pembusukkan, ATP dapat diubah karena proses autolisis yaitu:
ATP ADP AMP IMP Inosin Hypoxantine
8

Perubahan biokimia ATP yang normal akan menghasilkan energi dan energinya dipakai
untuk kontraksi otot dan mengikat jaringan, tetapi bila ATP berubah seperti reaksi di atas dan
sangat cepat maka energinya menjadi besar dan terjadi rigor. Tetapi setelah itu energi akan
habis karena hasil reaksi yaitu IMP (inosine monophosphat) tidak diubah lagi menjadi ATP.
Bila energi habis, otot tidak kontraksi dan jaringan tidak terikat dengan baik maka terjadi post
rigor dan akhirnya daging menjadi lembek dan tidak kenyal. Terjadinya IMP memberikan rasa
enak yang disebut middle quality. Maka beberapa orang lebih suka ikan yang tidak segar
karena banyak mengandung IMP yang memberikan rasa enak. Apabila perubahan tersebut
sudah sampai pada senyawa kimia terakhir (hypoxantine) maka rasanya agak pahit dan
memberikan bau dan flavor yang tidak disukai (busuk). Deteksi pembusukkan dapat dengan
menganalisis hypoxantine. Perubahan ATP ini berlangsung setelah ikan mati, dan akan
menjadi awal pembusukkan sebelum perubahan TMAO, urea, dan asam amino.
Produk pemecahan ATP pada sidat yang disimpan dalam suhu dingin dengan
penambahan es dan tanpa es (3+1oC) ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan 2.4. Terjadi
penurunan hingga hilangnya IMP dan peingkatan nilai Hx selama penyimpanan. Sedangkan
nilai ATP, ADP, dan AMP sangat redah hingga kurang dari 0,25 mol/g pada awal
penyimpanan dan semakin menurun selama penyimpanan baik pada kondisi penyimpanan
dengan es maupun pada kotak tanpa es. Degradasi IMP dan peningkatan Hx lebih cepat pada
sidat yang disimpan tanpa es (3+1oC).

Gambar 2.3. Perubahan konsentrasi ATP pada sidat yang disimpan dalam es

Gambar 2.4. Perubahan konsentrasi ATP pada sidat yang disimpan tanpa es
9

IMP (inosine monophosphat) sangat terkait dengan penerimaan terhadap ikan. Ada
perbedaan signifikan (P<0,05) terhadap konsentrasi IMP pada sidat yang disimpan dalam es
dan tanpa es, kecuali pada hari pertama. Tingkat degradasi IMP lebih lambat pada sidat yang
disimpan dalam es. Tingkat awal IMP pada sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es adalah
sekitar 2,2 mol/g dan menurun menjadi 0,75 mol/g pada hari ke-8 (dalam es) dan 0,66
mol/g pada hari ke-5 (tanpa es). Tingkat IMP menurun perlahan sampai hari ke-19 (0,09
mol/g) untuk sidat yang disimpan dalam es dan hari ke-12 (0,14 mol/g) untuk sidat yang
disimpan tanpa es. Selama metabolisme post mortem, hipoksantin (Hx) terbentuk.
Hipoksantin (Hx) merupakan indeks kesegaran ikan. Konsentrasi Hx meningkat dengan
meningkatnya periode penyimpanan. Ada perbedaan yang signifikan (P<0,05) terhadap
konsentrasi Hx antara dua kondisi penyimpanan, kecuali pada hari pertama. Nilai awal Hx
pada sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es yaitu 0,54 dan 0,75 mol/g pada hari pertama
dan meningkat menjadi 1,67 dan 3,15 mol/g pada akhir periode penyimpanan.
Konsentrasi INO (inosine) pada sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es adalah 1,07
dan 1,40 mol/g pada hari pertama. Pada hari ke-5, meningkat menjadi 1,68 untuk sidat yang
disimpan tanpa es dan 1,36 mol/g untuk sidat yang disimpan dalam es dan kemudian
menurun untuk kedua kondisi penyimpanan.
Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP. Nukleotida ATP
adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Degradasi ATP merupakan reaksi
autolisis yang disebabkan oleh enzim yang ada secara alami pada daging ikan. Ketika ikan
mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang, 1998).
Nukleotida ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah
menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim
deaminase dan IMP menjadi inosine dipengaruhi oleh enzim fosfatase (Eskin, 1990).
Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin sangat cepat berubah
menjadi hipoksantin. Pada tahap awal, hipoksantin terbentuk secara autolisis, namun pada
tahap kemunduran mutu ikan selanjutnya aktivitas bakteri juga berperan dalam menambah
jumlah hipoksantin (Hanna, 1992). Penguraian ATP terjadi karena bantuan enzim. Enzim
tersusun atas protein, sehingga sangat peka terhadap suhu. Pada umumnya enzim akan bekerja
pada suhu optimum yaitu antara 30-40oC (E-dukasi, 2010). Sehingga dengan adanya
penambahan es, menyebabkan kinerja enzim menjadi terhambat sehingga dalam proses
penguraian ATP menjadi kurang optimal.
2. Nilai TVB-N
Total Volatile Base (TVB) atau disebut juga basa yang mudah menguap terbentuk dalam
otot jaringan ikan yang sebagian besar terdiri dari amonia, trimethyl amine (TMA), dan
10

dimethyl. Kadar TVB menunjukkan mutu kesegaran ikan, maka kemunduran mutu ikan yang
semakin buruk kadar TVB semakin meningkat (Adhi, 2010). TVB merupakan indikator
kualitas ikan dan konsentrasi 200 mg/100 g merupakan batas maksimum ikan layak
dikonsumsi. Nilai TVB menggambarkan jumlah trimetil amin, dimetil amin, amonia, dan
basa-basa nitrogen lain yang merupakan hasil kerja bakteri enzim autolitik selama proses
pembusukkan (Pandit et al., 2010).
Kandungan TVB-N sidat dianalisis dengan metode Antonocopoulus (1973) yang
dinyatakan sebagai mg TVB-N/100 gr otot sidat. Konsentrasi TVB-N dari sidat yang
disimpan pada dua kondisi penyimpanan yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 2.5. Pada
awal penyimpanan, nilai TVB-N adalah 6,96 mgN/100 g untuk sidat yang disimpan baik
dalam es dan tanpa es. Nilai TVB-N naik menjadi 103 mgN/100 g pada akhir periode
penyimpanan untuk sidat yang disimpan tanpa es dan 19,4 mgN/100 g untuk sidat yang
disimpan dalam es. Perbedaan signifikan (P<0,05) ditemukan pada tingkat TVB-N setelah 5
hari penyimpanan antara kedua kondisi penyimpanan. Sidat yang disimpan tanpa es
mengalami kemunduran mutu lebih cepat dibandingkan sidat yang disimpan dalam es.
Perbedaan signifikan (P <0,05) yang ditemukan di tingkat TVB-N setelah 5 hari penyimpanan
antara kondisi penyimpanan. Sidat yang disimpan tanpa es mengalami kemunduran mutu
lebih cepat daripada sidat yang disimpan dalam es. Nilai TVB-N sebesar 12,4 mg TVB-N/100
g untuk sidat yang disimpan dalam es ditolak oleh panelis setelah penyimpanan hari ke-15.
Nilai TVB-N sebesar 22,6 mg TVB-N/100 g untuk sidat yang disimpan tanpa es ditolak oleh
panelis setelah penyimpanan hari ke- ke-8. Tingkat TVB-N pada ikan segar yang ditangkap
umumnya antara 5 dan 20 mgN/100 g otot. Nilai 30-35 mgN/100 g otot dianggap sebagai
batas penerimaan untuk ikan air dingin yang disimpan dalam es (Huss, 1988; Connel, 1995).
Dalam penelitian ini, tingkat TVB-N dari sekitar >10 mg TVB-N/100 g daging dapat
dianggap sebagai batas penerimaan sidat. Nilai TVB-N sidat yang disimpan dalam es di
bawah (19,4 mg/100 g), batas atas penerimaan selama seluruh periode penyimpanan. TVB-N
diproduksi oleh bakteri dekomposisi daging ikan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, TVB-N
dapat digunakan sebagai indikator kualitas sidat. Proses penyimpanan pada suhu rendah dapat
menghambat proses kemunduran mutu. Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi nitrogen
yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang disimpan pada suhu
lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih lambat sehingga ikan tetap segar
dalam jangka waktu lama. Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh
aktivitas autolisis dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Pada proses
enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti
11

peptida, asam amino, dan amonia. Di samping itu, hidrolisis protein membentuk sedikit basa
purin dan pirimidin (Kreuzer, 1965).

Gambar 2.5. Perubahan nilai TVB pada sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es
3. Nilai pH dan WHC (Water Holding Capacity)
Kondisi pH daging akan berpengaruh terhadap struktur, pengembangan (swelling) dan
daya larut protein. Kondisi protein ini akan berpengaruh terhadap daya ikat air (WHC) dan
juiciness, daya emulsi, kemampuan membentuk gel, kekerasan, warna, dan umur simpan.
Penurunan pH menyebabkan denaturasi protein. Akibat denaturasi protein, maka terjadi
penurunan kelarutan protein, daya ikat air hilang dan intensitas warna dari pigmen daging
menurun.
Nilai pH fillet sidat ditentukan dengan pHmeter (315i, Jerman). Sampel dihomogenkan
dalam air suling rasio 1:10 (w/v) diukur dengan pH meter. Rata-rata pH selama periode
penyimpanan dalam es dan tanpa es ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. pH rendah digunakan
sebagai indikator stres pada saat pemotongan. Hal ini disebabkan oleh menipisnya cadangan
energi, terutama glikogen, dengan meningkatnya produksi laktat. Tingkat pH yang relatif
rendah pada awal periode penyimpanan, juga mencerminkan keadaan sidat yang baik. Nilai
pH menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara statistik (P> 0,05) untuk sidat disimpan
dalam es dan tanpa es selama seluruh periode penyimpanan. Peningkatan pH setelah 5 hari
pada penyimpanan sidat dalam es, dan 8 hari untuk sidat yang disimpan tanpa es, dikaitkan
dengan pembusukan ikan. pH yang tinggi akan menyebabkan daging sangat mudah dirusak
oleh mikroba sehingga umur simpan menjadi pendek. Sedangkan penurunan pH akan
menyebabkan mikroba terseleksi sehingga keawetan akan meningkat. Setelah ikan mati, pH
akan mendekati netral. Selanjutnya ada pemecahan glikogen yang menghasilkan asam laktat
akan meningkatkan keasaman daging yang mengakibatkan pH daging menjadi menurun.
Penurunan pH merupakan salah satu indikator mulai masuknya fase rigor mortis. Penurunan
kekerasan daging ikan diakibatkan meningkatnya aktivitas enzim yang merombak daging
ikan. Enzim berasal dari daging ikan maupun sekresi oleh mikroba ke lingkungannya.
12

Perombakan oleh enzim akan menghasilkan senyawa bersifat basa, yang akan menyebabkan
pH meningkat (Wheaton dan Lawson, 1985). Peningkatan pH pada sidat yang disimpan
dalam es lebih lambat dibandingkan tanpa es karena suhu rendah dapat memperpanjang fase
rigor mortis pada ikan.
Water holding capacity atau daya ikat air oleh protein daging didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga
mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption). Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi
perubahan molekul air terikat, sedangkan air bebas yang berada diantara molekul akan
menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi (Wismen dan Pedersen, 1971).
Water Holding Capacity (WHC) bahan baku sampel ditentukan sebagai centrifuge
drip pada masing-masing sampel ikan. Ikan dengan berat 5 gr yang telah dihilangkan kulit
dan tulang ditimbang ke dalam tabung centrifuge bersih dan kering dan disentrifugasi pada
3000 rpm selama 30 menit pada -4oC. WHC dihitung secara berat basah 100 x (1-S/V),
dimana S adalah berat air yang dibuang, V adalah berat awal sampel (Del Valle & GonzalesInigo, 1968).
WHC sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es tidak memberikan perbedaan yang
signifikan (P<0,05). Sedangkan air yang hilang pada fillet sidat yang disimpan tanpa es lebih
tinggi daripada sidat yang disimpan dalam es. Peningkatan pH juga menyebabkan antar
filamen miofibril lebih terbuka sehingga lebih banyak air yang terperangkap sehingga WHC
meningkat (Ismail et al., 2010). Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti mengakibatkan
terhentinya suplai O2 sehingga terjadi proses glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dari
pemecahan glikogen. Akumulasi asam laktat akan menurunkan pH tubuh ditunjukkan oleh
penurunan pH daging ikan (Eskin, 1990). Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar,
dagingnya mempunyai pH lebih tinggi (basa) daripada yang masih segar. Hal ini disebabkan
karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amonia, trimethulamine, dan
senyawa-senyawa volatil lainnya (Hadiwiyoto, 1993). Daging yang memiliki nilai WHC
rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging yang memiliki nilai
WHC tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. WHC
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu
banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daya ikat air (WHC) yang rendah akan
mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. Apabila nilai pH tinggi atau lebih rendah dari

13

titik isoelektrik daging (5,0-5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah
(Soeparno, 1994).
Tabel 2.5. Perubahan pH dan WHC pada sidat selama penyimpanan dingin (3+1oC) dengan
penambahan es dan tanpa es
Penyimpanan
(hari)
1
5
8
12
15
19

pH

WHC (%)
Tanpa Es

Es

Tanpa Es

Es

6,03+0,03
6,14+0,01
6,37+0,23
6,44+0,03
6,79+0,03
6,84+0,26

6,09+0,05
6,04+0,13
6,16+0,06
6,65+0,01

13,33+1,46
12,81+1,45
12,28+1,22
12,18+0,48
12,01+0,72
11,77+1,21

12,45+1,2
11,84+2,49
11,55+1,11
11,04+1,30

D. 4. Penguraian Lemak
FFA (Free Fatty Acid) adalah asam lemak bebas yaitu asam lemak yang berada sebagai
asam lemak tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses
hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Semakin lama reaksi ini
berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk (Anonim, 2001). Asam lemak
bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan
penyimpanan. Nilai FFA merupakan indikasi dari kesegaran ikan. Semakin tinggi nilai FFA,
kemunduran mutu ikan semakin tinggi. Dalam bahan pangan, asam lemak dengan kadar lebih
besar dari berat lemak akan mengakibatkan rasa yang tidak diinginkan dan kadang-kadang
dapat meracuni tubuh. Analisis FFA, dinyatakan sebagai % asam oleat dengan metode AOAS
(1994).
Asam lemak bebas adalah asam organik yang terdiri dari rantai hidrokarbon lurus yang
salah satu ujungnya memiliki gugus karboksil (COOH) dan ujung satunya lagi mengandung
gugus metil (CH3). FFA dan produk oksidasi memiliki dampak pada tekstur dan fungsi otot
sejak berinteraksi dengan protein myofibril dan mempromosikan agregasi protein. Pelepasan
FFA meningkat (P<0,05) selama penyimpanan sidat dalam es dan tanpa es. Tetapi
peningkatan lebih tinggi pada penyimpanan tanpa es. Nilai awal berkisar antara sekitar 0,59%
asam oleat dan 0,57% asam oleat untuk sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es, sementara
nilai akhir sekitar 1,79% untuk sidat yang disimpan dalam es dan 1,6% untuk sidat yang
disimpan tanpa es. Hal tersebut mengindikasikan terdapat hubungan antara hilangnya FFA
dan berkurangnya nilai kesegaran. Peningkatan kadar FFA lebih cepat pada sidat yang
disimpan tanpa es dibanding pada sidat yang disimpan dalam es karena es dapat menghambat
proses oksidasi.
14

Peroxide Value (PV) adalah bilangan peroksida yang menunjukkan banyaknya senyawa
peroksida (mili equivalent) dalam setiap 1000 gram (1 kg) minyak atau lemak dan merupakan
parameter penentu mutu (kualitas) minyak. Senyawa peroksida dalam minyak atau lemak
terbentuk karena kandungan asam lemak tidak jenuhnya mengalami oksidasi. Asam lemak
tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya dan membentuk senyawa
peroksida. Proses oksidasi terjadi karena adanya paparan oksigen, cahaya, dan suhu yang
tinggi. Proses reaksi oksidasi asam-asam lemak tidak jenuh akan mengakibatkan minyak dan
lemak berbau tengik. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan
hidroperoksida yang kemudian terpecah menjadi senyawa berantai karbon yang lebih pendek.
Senyawa karbon berantai pendek ini adalah aldehid dan keton yang bersifat volatil (mudah
menguap) dan menimbulkan bau tengik. Timbulnya bau tengik dari minyak atau lemak
menandakan bahwa minyak atau lemak tersebut telah rusak, sehingga dapat dikatakan bahwa
bilangan peroksida juga merupakan angka penentu tingkat kerusakan minyak atau lemak
akibat oksidasi.
Nilai PV dinyatakan dalam miliekuivalen peroksida oksigen per kg lemak, ditentukan
menurut AOAS (1994). Umur simpan spesies ikan dengan kadar minyak yang tinggi terbatas
karena oksidasi lipid. Peningkatan nilai PV selama penyimpanan sidat diamati dalam
penelitian ini. Ada perbedaan nilai PV yang signifikan (P<0,05) antara dua kondisi
penyimpanan pada hari ke-8 dan ke-12. Nilai PV awal sebesar 5,19 meq/kg untuk sidat yang
disimpan dalam es dan 5,28 meq/kg untuk sidat yang disimpan tanpa es. Nilai PV tertinggi
yaitu sebesar 19,7 meq/kg untuk sidat yang disimpan dalam es dan 21,6 untuk sidat yang
disimpan tanpa es menunjukkan adanya oksidasi tertinggi pada sidat.
Uji bilangan Thio Barbituric Acid (TBA) umum digunakan untuk mengukur tingkat
ketengikan lemak atau minyak atau produk pangan yang mengandung lemak atau minyak.
Dalam reaksi oksidasi lemak, komponen hasil dekomposisi lemak yang dapat terbentuk
adalah senyawa turunan aldehida, yaitu malonaldehid. Keberadaan malonaldehid pada contoh
lemak atau minyak menunjukkan bahwa contoh telah mengalami oksidasi lanjut. Senyawa
malonaldehid yang terbentuk akan bereaksi dengan peraksi TBA dan menghasilkan pigmen
warna merah. Semakin tinggi bilangan TBA maka tingkat oksidasi lemak atau minyak
semakin tinggi. Nilai TBA ditentukan untuk mengevaluasi stabilitas oksidasi selama
penyimpanan dan hasilnya dinyatakan sebagai nilai TBA, mg dari malondialdehid per kg
daging.
Indeks TBA banyak digunakan sebagai indikator tingkat oksidasi lipid. Meskipun nilai
TBA ditemukan cukup rendah untuk kedua kondisi penyimpanan yang berbeda, nilai-nilai
15

TBA untuk sampel sidat yang telah disiangi lebih tinggi dari sidat yang disimpan dalam kotak
tanpa es. Nilai TBA mungkin tidak memberikan tingkat aktual oksidasi lipid sejak
malonaldehid dapat berinteraksi dengan komponen lain dari ikan seperti nukleosida, asam
nukleat, protein, asam amino fosfolipid dan aldehida lainnya yang produk akhirnya berupa
oksidasi lipid (Auburg, 1993). Meskipun nilai peroksida dan nilai TBA biasa digunakan untuk
mengukur ketengikan, tetapi tidak benar-benar menunjukkan tingkat kualitas kesegaran.
Tabel 2.6. Perubahan FFA, PV, dan TBA pada sidat selama penyimpanan dalam es dan tanpa
es
Penyimpanan
Hari
1
5
8
12
15
19

FFA (%asam oleat)


Es
Tanpa Es
0,59+0,04
0,68+0,1
0,77+0,32
1,07+0,23
1,61+0,91
1,79+0,11

1,60+0,38
1,05+0,2
1,49+0,51
1,60+0,38

PV (meq/kg)
Es
Tanpa Es
5,19+0,12
5,58+0,41
3,12+0,62
15,8+1,64
19,7+0,84
4,06+3,64

5,28+0,25
5,89+0,3
16+0,55
21,6+2,73

TBA (mg MA kg-1)


Es
Tanpa Es
0,07+0
0,08+0,01
0,07+0,02
0,04+0,01
0,06+0,02
0,08+0,01

0,07+0,02
0,10+0,02
0,13+0,02
0,08+0,01

D. 5. Analisis Mikrobiologi
TVC (Total Viable Count)
Analisis mikrobiologi merupakan bagian dari pelaksanaan keamanan mikroba dalam
rantai makanan. Kriteria proses higienis untuk kebanyakan makanan termasuk pengujian
untuk Total Viable Count (TVC) memberikan ide kuantitatif untuk menghadirkan bakteri
aerob mesophilic dari hewan asli (ISO 4833, 2003). Sampel dari ketiga ulangan sidat
disimpan pada dua kondisi penyimpanan yang berbeda, diambil untuk memperkirakan TVC.
Otot ikan seberat 10 gr dicampur dengan 90 ml larutan Ringer selama 3 menit. Pengenceran
lebih lanjut hingga 10-8 dan kemudian 0,1 ml dari setiap pengenceran dipipet ke PCA
sebanyak tiga ulangan. Kemudian diinkubasi 2 hari pada 3oC.
Jumlah mikroba pada sidat yang disimpan dalam es dan tanpa es ditunjukkan pada
Gambar 2.8. Ada peningkatan jumlah total yang layak selama periode penyimpanan. Bakteri
tumbuh lebih cepat pada sidat yang disimpan tanpa es dibandingkan disimpan dalam es. Ada
perbedaan yang signifikan (P <0,05) total jumlah yang layak dari ikan yang disimpan dalam
es dan di kotak tanpa es pada hari 5, 8 dan 12. Suhu penyimpanan produk harus serendah
penyimpanan es. Jika 106 mikroorganisme/g dianggap batas penerimaan TVC, umur simpan
sidat adalah sekitar 13-14 hari untuk penyimpanan dalam es dan 6-7 hari untuk sidat yang
disimpan dalam kotak tanpa es. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa analisis sensorik sidat
berkorelasi dengan baik dengan analisis mikrobiologi. Hasil analisis kimia menunjukkan
bahwa ikan mulai mengalami kerusakan setelah 5 hari karena aktivitas bakteri, sedangkan
16

oksidasi lipid hanya setelah 8 hari. Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi
oleh suhu. Semakin rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat.
Bakteri dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-45oC (Ilyas, 1983). Pada saat
ikan didinginakan, penurunan suhu terjadi ketika es-es itu mencair dan mencairnya es. Air
yang berasal dari cairnya es akan menghanyutkan substansi-substansi yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme sehingga pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat dan secara
langsung dapat memperpanjang kesegaran ikan sampai jangka waktu yang cukup lama (Ilyas,
1983). Semakin rendah suhu lingkungan, maka suhu daging juga akan semakin menurun
menyebabkan cairan yang ada pada daging ikan berubah menjadi kristal-kristal es sehingga
kehidupan bakteri akan terganggu dan mengalami kesulitan untuk menyerap makanannya.
Selain cairan pada daging ikan, cairan yang terdapat di dalam sel bakteri juga membeku.
Akibatnya volume cairan sel bakteri menjadi besar dan akan memecahkan dinding sel bakteri,
sehingga mematikan bakteri (Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Gambar 2.6. Perubahan TVC pada sidat Eropa yang disimpan dalam es dan tanpa es (3+1oC)
E. Umur Simpan
Berdasarkan parameter mutu sensoris, mutu kimiawi yang meliputi penguraian ATP, pH,
TVB-N, dan WHC, penguraian lemak meliputi FFA, PV, dan TBA, serta analisis mikrobiologi
meliputi TVC, umur simpan sidat yang disimpan dalam es lebih panjang dibandingkan sidat
yang disimpan tanpa es. Umur simpan sidat yang disimpan dalam suhu dingin dalam es
mencapai 12-14 hari, sedangkan tanpa es hanya mencapai 5-7 hari. Umur simpan ditentukan
dari beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Umur simpan sidat yang disimpan dalam suhu dingin dalam es dan tanpa es
Parameter

Nilai Batas Kesegaran

Mutu Sensoris
Mutu Kimiawi

Demerit point >10

Umur Simpan (Hari)


Es
Tanpa Es
12-14
5-7
17

- IMP
- Hypoxanthine
- INO
- TVB-N
- pH
- WHC
Penguraian Lemak
- FFA
- PV
- TBA
Analisis Mikrobiologi
- TVC

III.

30 mg N%

19
19
19
15
19
19

12
12
12
8
12
12

19
19
19

12
12
12

13-14

6-7

106 mikroorganisme/g

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Penambahan es dapat menghambat kemunduran mutu ikan sidat lebih lama dibanding
dengan tanpa es pada penyimpanan suhu dingin (3+1oC) baik dilihat berdasarkan
parameter mutu sensoris, mutu kimiawi yang meliputi penguraian ATP, pH, TVB-N,
dan WHC, penguraian lemak meliputi FFA, PV, dan TBA, serta analisis mikrobiologi
meliputi TVC.
2. Umur simpan ikan sidat yang disimpan dalam suhu dingin dalam es mencapai 12-14
hari, sedangkan tanpa es mencapai 5-7 hari.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh kedua perlakuan terhadap kandungan
gizi omega 3, maupun DHA, dan EPA yang merupakan kandungan gizi terpenting dari ikan
sidat.

18

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Adhi, Cathra. 2010. TVB Bahan Pangan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Anonim.
2012.
Budidaya
Sidat
Janjikan
Omzet
Menggiurkan.
(http://sidatmasapi.blogspot.com/2012/10/budidaya-sidat-janjikan-omzet.html). Diakses
2 Juni 2015.
Anonim.
2013.

Budidaya

Sidat

Masih

Sepi

Peminat.

(http://www.trobos.com/detail_berita.php?sid=3736&sir=12). Diakses 1 Juni 2015.


Antonocopoulus, N. 1973. Bestmmung des Fluchhtigen Basensticktoofs. In W. Ludorf & V.
Meyer (Eds.), Fischeund Fischerzeugnisse (pp.224-225). Berlin und Hamburg: Aulage
Verlag Paul Parey.
Aoyama, J., S. Watanabe, S. Ishikawa, Nishida & K. Tsukamoto. 2000. Discrimination of
Catadromous Eel of Genus Anguilla using PCR-RFLP Analysis of the Mitochondrial
16s Ribosomal RNA Domain. Trans Amer. Fish Soc. 129: 873-878.
Branch, A.C. dan Vail, A. M. A. 1985. Bringing Fish Inspection into the Computer Age. Food
Technol. Aust. 37(8), 352-355.
Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Foods. Academic Press. Inc., San Diago. California.
Gelman, A., Glatman, L., Drabkin, V., Harpaz S. 2004. Effect of Storage Temperature and
Preservative Treatment on Shelf Life of the Pond Raised Freshwater Fish, Silver Perch
(Bidyanus bidyanus). Journal Food Protevtion. 64:1584-1591.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Liberty. Yogyakarta.
Huidobro, A. P. Montero, A. J. Borderias. 2000. Emulsifying Properties of an Ultrafiltered
Protein from Minced Fish Wash Water. Food Chem. 61 (3): 339-343.
Ilyas. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Teknologi Pendinginan Ikan Jilid I. CV
Paripurna. Jakarta.
Irianto, H dan Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan.
19

Ismail, I., Huda, N., Ariffin, F., Ismail, N. 2010. Effect of Washing on the Funcional
Properties of Duck Meat. International Journal of Poultry Science 9(6): 556-561.
Jiang, S. T. 1998. Contribution of Muscle Proteinases to Meat Tenderization Proceedings of
the National Science Council. Roc. 22(3): 97-107.
Karmana, O. 2006. Biologi untuk Kelas XI Semester 2 Sekolah Menengah Atas. Grafindo
Media Pratama. Bandung.
Kartika, B. 1992. Petunjuk Evaluasi Sensori Hasil Industri Produk Pangan. Pav. Pangan dan
Gizi. Yogyakarta.
Karungi, C., Byaruhanga, Y. B., Muyonga, J. H. 2003. Effect of Pre Icing Duration on Quality
Deteriration of Iced Nile perch (Lates niloticus). Journal Food Chemistry 85: 13-17.
Kottelat, M., A. J. Whiten., S. N. Kartikasari dan S. Wirjoatmojo. 1993. Freshwater Fishes of
Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd. In Collaboration with the
Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project Ministru of
Stage for Ozogul, F. 1999. Comparison of Methods Used for Determination of Total
Volatile Basic Nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk. J.
Zool., 24, 113-120.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan 2012. Jakarta. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hal 1-22.
Ozogul, Y., Ozyurt, Y., Ozogul, F., Kuley, E., and Polat, A. 2005. Freshness Assessment of
European Eel (Anguilla anguilla) by Sensory, Chemical, and Microbiological Methods.
Food Chemistry 92(2005): 745-751.
Ozogul, Y., Ozogul, F., and Gokbulut, C. 2006. Quality Assessment of Wild European Eel
(Anguilla anguilla) Stored in Ice. Food Chemistry 95(2006): 458-465.
Population and Environment, Republic of Indonesia. 291 pp.
Pandhit. 2010. Kadar Air Ikan Nila. Grafika Pustaka. Jakarta.
Roy, Ruslan. 2013. Budidaya Sidat. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Setyaningsih, D. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor.
Sholeh, S. A. 2004. Peranan Jumlah Shelter yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Benih Ikan Sidat (Anguilla sp.) Skripsi. Teknologi dan
Manajemen Akuakultur. Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Soeparno. 1994. Pembuatan Fillet Ikan. Kumpulan Makalah Seminar Sehari Pengembangan
Agribisnis Ikan Nila Merah di Jawa Barat. Kerjasama Indonesia Society for Scientific
Fisheries dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan BBAT, Sukabumi.
Suitha, I. M dan A. Suhaeri. 2008. Budidaya Sidat. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Tesch. 1997. The eel: Biology and Management of Anguilla eels. Chapman and Hall. London.
Tsukamoto, K. 1999. The Eel: Mystery of the Great Migration. Keynote Speech in the
International Ocean Symposium (IOS). 1999: 164-182.

20

Wheaton, F. W. Dan T. B. Lawson. 1985. Processing Aquatic Food Product. John Wiley and
Sons, Inc. Canada.

21

Anda mungkin juga menyukai