Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN I DENGAN

SINDROM KOMPARTEMEN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Kegawatdaruratan I


Dosen pengampu M. Sandi Haryanto S.Kep.,Ners

Oleh : Kelompok 9
Wida Detri J

1112044

Elita Eksafitri

1112045

Suryani

1112046

Mia Teja Kusumah 1112047


Mariah Satriani

1112048

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN RAJAWALI
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Dalam makalah ini kami membahas tentang ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN SINDROM KOMPARTEMEN.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai asuhan
keperawatan

kegawatdaruratan

sindrom

kompartemen

dan

cara

penatalaksanaannya pada pasien gawat darurat dan sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa mengikuti mata kuliah Kegawatdaruratan Sistem I.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi dan saran, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak M. Sandi Haryanto, S.Kep.,Ners selaku dosen koordinator dan dosen
pembimbing.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak dan semoga laporan ini bermanfaat bagi pembacanya.

Bandung, 18 Maret 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................

ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................

iv

BAB I PENDAHULUAN
1
2
3
4

Latar Belakang Masalah....................................................................


Tujuan Penulisan...............................................................................
Manfaat..............................................................................................
Sistematika Penulisan........................................................................

1
2
2
3

BAB II TINJAUAN TEORETIS


1 Definisi .............................................................................................
2 Anatomi ............................................................................................
3 Patofisiologi .....................................................................................
4 Manifestasi klinik .............................................................................
5 Diagnosis ..........................................................................................
6 Diagnosis banding ............................................................................
7 Pemeriksaan penunjang ....................................................................
8 Tatalaksana .......................................................................................
9 Komplikasi .......................................................................................
2.10 Prognosis ........................................................................................
2.11 Pencegahan .....................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KOMPARTEMEN
3.1 Pengkajian..........................................................................................
3.2 Analisa Data.......................................................................................
3.3 Diagnosa Keperawatan......................................................................
3.4 Intervensi Keperawatan.....................................................................
3.5 Implementasi Keperawatan...............................................................
3.6 Evaluasi Keperawatan.......................................................................

4
4
7
8
9
10
11
12
14
15
15
16
16
18
19
21
22

BAB IV KESIMPULAN
1
2

Simpulan............................................................................................
Saran .................................................................................................

24
25

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

26

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1...............................................................................................................
...............................................................................................................................9
Gambar 2...............................................................................................................
...............................................................................................................................11
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan etiologinya, Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan
menjadi penurunan volume kompartemen dan peningkatan tekanan struktur
kompartemen, sdangkan berdasarkan lamanya gejala, dapat dibedakan menjadi
akut dan kronik. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah
fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan
sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang
berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, pemain sepak bola dan
militer.
Compartment syndrome paling sering melibatkan kompartemen flexor dari
lengan bawah dan kompartemen tibia anterior dari tungkai bawah (meskipun
dapat terjadi pada kompartemen osteofsial manapun).
Insiden compartment syndrome tergantung pada traumanya. Pada fraktur
humerus atau fraktur lengan bawah, insiden dari compartment syndrome
dilaporkan berkisar antara 0,6-2%. Pasien dengan kombinasi ipsilateral fraktur
humerus dan lengan bawah memiliki insiden sebesar 30%. Secara keseluruhan,
prevalensi compartment syndrome meningkat pada kasus yang berhubungan
dengan kerusakan vascular.
Insidens compartment syndrome yang sesungguhnya mungkin lebih besar
dari yan dilaporkan karena sindrom tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang
keadaanya sangat buruk. Prevalensinya juga lebih besar pada pasien dengan
kerusakkan vaskular. Insiden yang sesungguhnya mungkin tidak akan diketahui
karena banyak ahli bedah melakukan profilaksis fasiotomi ketika melakukan
perbaikkan vaskuler pada pasien risiko tinggi.

1.2 TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Mampu memahami

mengenai

sindrom

kompartemen

serta

cara

penatalaksanaannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan tentang definisi sindrom kompartemen.
b. Mampu memahami anatomi dari sindrom kompartemen.
c. Mampu memahami patofisiologi sindrom mompartemen.
d. Mampu mengetahui manifestasi klinik sindrom kompartemen.
e. Mampu mendiagnosis sindrom kompartemen.
f. Mampu melakukan diagnosis banding sindrom kompartemen.
g. Mampu melakukan pemeriksaan penunjang sindrom kompartemen.
h. Mampu melakukan tatalaksana sindrom kompartemen.
i. Mampu mengetahui komplikasi sindrom kompartemen.
j. Mampu mengetahui prognosis sindrom kompartemen.
k. Mampu melakukan pencegahan sindrom kompartemen.
1.3 MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
Mendapatkan pengetahuan tentang sindrom kompartemen dan
penalaksanaannya.
2. Manfaat Praktis
a. Mendapatkan pengetahuan tentang definisi sindrom kompartemen.
b. Dapat memahami anatomi dari sindrom kompartemen.
c. Dapat memahami patofisiologi sindrom mompartemen.
d. Dapat mengetahui manifestasi klinik sindrom kompartemen.
e. Dapat mendiagnosis sindrom kompartemen.
f. Dapat melakukan diagnosis banding sindrom kompartemen.
g. Dapat melakukan pemeriksaan penunjang sindrom kompartemen.
h. Dapat melakukan tatalaksana sindrom kompartemen.
i. Dapat mengetahui komplikasi sindrom kompartemen.
j. Dapat mengetahui prognosis sindrom kompartemen.
k. Dapat melakukan pencegahan sindrom kompartemen.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam makalah ini meliputi :
Bab I : Pendahuluan
Pada bab ini penyusun menguraikan Latar Belakang Masalah, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini penyusun menguraikan secara teoretis tentang definisi, anatomi,
patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, tatalaksana, komplikasi, prognosis dan pencegahan sindrom
kompartemen.
Bab III : Asuhan keperawatan sindrom kompartemen.

Bab IV : Penutup
Menjelaskan tentang kesimpulan dari bab II tinjauan pustaka dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom

kompartemen

merupakan

suatu

kondisi

dimana

terjadi

peningkatan tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan


penekanan terhadap saraf, pembuluh darah dan otot di dalam kompartemen
osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan
interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti
dengan kematian jaringan.
2.2 Anatomi

Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,


interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana
fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak
bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial,
dan

kompartemen

posterior),

empat

kompartemen

di

tungkai

bawah

(kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus).


Sindrom kompartemen yang paling sering terjadi di daerah tungkai bawah dan
lengan atas.
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.
Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen lateral
memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior profunda memiliki
nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior superfisial memiliki nervus
suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan
terpengaruh menyebabkan timbulnya parestesia.
Letak dan Isi Kompartemen
Letak
Lengan
Atas

Kompartemen
Anterior

Isi
M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica

Posterior

M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.

Lengan

Anterior

Bawah

Radialis dan N. Ulnaris


M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor

digitorum

superficialis,

M.

Flexor

pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,


M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
Lateral

N. Medianus
M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;

Posterior

N. Radialis
M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;

Tungkai

Anterior

Atas

Ramus profundus nervi radialis


M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;

Medial

N. femoralis
M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;

N. obturatorius
Posterior

M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.


Semimembranosus, M. Adductor magnus;

Tungkai

Anterior

Bawah

Cabang-cabang a. Profunda femoris


M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum
longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor
hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;

Lateral

N. Peroneus profundus
M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;

Posterior

N. peroneus superficialis
M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;

Superfisial

A. Tibialis posterior;

Posterior

N. Tibialis
M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.

Profundus

Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;


A. Tibialis posterior;
N. Tibialis

2.3 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan
terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam kompartemen
semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri
hebat.

Bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat.


Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu:
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. Theori of critical closing pressure. Akibat diameter yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara signifikan
berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk
memelihara patensi. Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol
menurun perbedaan tidak ada, yaitu critical closing pressure dicapai,
arteriol akan menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan
melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu dari kapiler,
tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi
tekanan jaringan dan drainase vena dibentuk kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine
like substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas
endotel. Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah
merah ke intramuskular dan menurunkan mikrosirkulasi.
Alasan yang mendasari untuk peningkatan tekanan pada sindrom
kompartemen

yaitu

peningkatan

isi

cairan

atau

berkurangnya

ukuran

kompartemen.
1. Peningkatan isi cairan dapat disebabkan sebagai berikut :
a. Penggunaan otot yang terus-menerus (antara lain : tetanus, kejang)
b. Aktivitas sehari-hari (bersepeda, menunggang kuda)
c. Terbakar
d. Injeksi intraarterial (paling sering karena iatrogenik)
e. Osmolaritas serum menurun
f. Perdarahan (terutama dari cedera pembuluh darah yang besar)

2. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan sebagai berikut :


a. Military Antishock Trousers (MAST)
b. Terbakar
c. Penutupan defek fascia
d. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2.4 Manifestasi klinik
Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen, yaitu
Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness.
1. Pain (Nyeri ) :
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting,
terutama jika munculnya nyeri tak sebanding dengan keadaan klnik (pada
anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak
dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang
spesifik dan sering. Gambarannya biasa berat, konstan dan nyeri terlokalisasi.
2. Parestesia : Rasa kesemutan
3. Pallor (pucat) : diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
4. Pulseness : berkurangnya atau hilangnya denyut nadi.
5. Paralisis : merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut

dengan

hilangnya

fungsi

bagian

yang

terkena

sindrom

kompartemen.. Pemeriksaan dengan uji sensasi raba dengan jarum dan peniti )
pada saraf kulit.

Gambar 1. Sindrom Kompartemen


2.5 Diagnosis
Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti
kasus lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh dan
dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda
khas dari sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu
penegakkan diagnosis.
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat
setelah kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia (namun parestesia
gejala klinis yang datangnya belakangan).
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat
menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindak lanjuti pemeriksaan fisik
penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri
pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,
terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut
biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.
Nyeri yang dikeluhkan pasien, harus kita pantau dan pertimbangkan ada
saraf yang terkena.
a. Saraf sensoris mulai hilang kemampuannya, diikuti oleh saraf motorik.
b. Beberapa saraf dapat mengakibatkan efek meningkatkan tekanan.
Sebagai contoh, dalam kompartemen tungkai bawah bagian depan, saraf
peroneal cepat terpengaruh, dan sensasi di anatara jari-jari kaki bisa hilang.
2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan


dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.
Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,
dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.
Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang
merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas.
Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian
proksimal, tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan
sindrom kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat
meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian
menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram. Diagnosis banding dari sindrom
kompartemen antara lain :
1. Selulitis
2. Coelenterate dan Jellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolis
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, antara lain :
1. Laboratorium
Hasil

laboratorium biasanya

normal dan tidak dibutuhkan untuk

mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis


banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile (CMP)
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin

10

d. Serum myoglobin
e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah
ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)
2. Imaging
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT).
3. Pemeriksaan Lainnya
a.

Pengukuran tekanan kompartemen

Gambar 2. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen


b.

Pulse oximetry Sangat membantu dalam mengidentifikasi


hipoperfusi ekstremitas, namun tidak cukup sensitif.

2.8 Tatalaksana
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan
bedah dekompresi. Tindakan non-operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti
menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan
operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi
dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen
memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindaklanjutinya.

11

Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom


sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi
disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular
adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Penanganan sindrom kompartemen meliputi :
1. Terapi medikamentosa/non operatif
Pemilihan terapi secara medikamentosa digunakan apabila masih menduga
suatu sindrom kompartemen, yaitu :
a. Menempatkan

ekstremitas

yang

terkena

setinggi

jantung,

untuk

mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari


karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat
iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut konstriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler,
dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi
sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi pembedahan / operatif
Terapi

operatif

untuk

sindrom

kompartemen

apabila

tekanan

intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan


segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai
dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,
kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang
dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau

12

tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan


dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Ada dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada
tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif,
sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko
kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti
membuka ke empat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen
fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau
dilakukan pencangkokan kulit.
Terapi untuk sindrom kompartemen biasanya adalah operasi. Insisi
panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di
dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan
ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis
otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa
regangan), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:
1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien
dengan masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan
jaringan lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan
jaringan yang normal.
Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena
penundaan dapat meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen.
Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen.
Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran
tekanan dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.

13

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua


sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk
mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga
dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap
yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit, dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur
selesai. Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi
kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.
2.9

Komplikasi
Tekanan yang tidak dapat teratasi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis

jaringan, saat perfusi kapiler mengalami gangguan terjadi hipoksia pada jaringan.
Hal ini dapat meningkatkan Volkman contracture. Bila semakin parah tidak
teratasi maka akan terjadi rhabdomyolis dan kidney failure.
Sindrom kompartemen dapat mengalami komplikasi antara lain :
1.

Kerusakan saraf yang permanen

2.

Infeksi
a.

Sepsis

b.

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

3.

Deformitas kosmetik akibat fasciotomi

4.

Kehilangan anggota tubuh

5.

Kematian

2.10

Prognosis
Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau

bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom


dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.
2.11
1.

Pencegahan
Lakukan

pemeriksaan

dengan

perkembangan

14

yang

ahli

dan

dipantau

2.

Hubungi atau kembali ke rumah sakit bila nyeri terasa berat, kaku,
sensasi terbakar atau kelemahan pada ekstremitas yang terkena.

3.

Rujuk bila sindrom kompartemen disertai dengan :


a.

ketidakmampuan atau tidak akurat dalam mendiagnosis


sindrom kompartemen karena keterbatasan alat atau diagnostik imaging

b.

Penanganan dengan bedah yang tidak memadai

c.

Tidak tersedianya fasilitas ICU

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KOMPARTEMEN
3.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama
: Tn. X
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Diagnosa
: Sindrom Kompartemen
b. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada saat dikaji kaki kiri pasien terpasang spalk dengan balutan yang
ketat, kaki tampak bengkak, pemeriksaan lain didapatkan pain, pallor,
pulselsness, parestesia, paralysis postif, tekanan intrakompartemen
lebih dari 30mmHg.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : 3 hari yang lalu pasien jatuh dari motor
dibawa berobat ke alternatif dan hanya dipasang spalk.
15

d. Riwayat Kesehatan Keluarga : c. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Rontgen
Didapatkan dari hasil rontgen yaitu fraktur tertutup tibia 1/3 distal sinistra.
3.2 Analisa Data
No
1.

Data

Etiologi

DS:

Trauma

- Klien

mengeluh

Merusak jaringan,

DO :
- Kaki

Keperawatan
Nyeri

(Jatuh dari motor)

sakit kaki sebelah


kiri.

Masalah

serabut saraf dan spasme


kiri

terpasang
dengan

klien

otot

spalk

balutan

Pembuluh darah terputus

yang ketat.
- Kaki
tampak

Perdarahan

bengkak.

Pengumpulan perdarahan
(hematoma)

Reaksi inflamasi

Pengeluaran bradikinin
dan berikatan dengan
nociceptor

Pengeluaran mediator
kimia (histamine)

2.

Nyeri
Trauma

DS :
16

Gangguan

- Klien

mengeluh

(Jatuh dari motor)

sakit kaki sebelah


kiri
- Klien 3 hari yang
lalu

jatuh

Merusak jaringan,
serabut saraf dan spasme

dari

otot

motor.

DO :
-

Pergeseran fragmen
Kaki

kiri

tulang

klien

terpasang
-

mobilitas fisik

spalk.
Kaki

Deformitas

klien

bengkak.

Ekstremitas tidak dapat


berfungsi dengan baik

1. 3.

DS :

Gangguan mobilitas fisik


Pembuluh darah terputus

Gangguan

perfusi jaringan

- Klien mengeluh kaki


sebelah kiri sakit.

Perdarahan

DO :

- Kaki klien tampak Pengumpulan perdarahan


bengkak.

(hematoma)

Pembengkakan

Tekanan
intrakompartemen

Penekanan tekanan
kapiler

Menekan jaringan

17


Hipoksia jaringan

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap
fraktur.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan
3.4 Intervensi Keperawatan
Diagnosa
1

Tujuan
Setelah dilakukan

Intervensi
1. Kaji nyeri

tindakan keperawatan

(PQRST).
2. Berikan posisi

selama 2x24 jam masalah

nyaman sesuai

keperawatan nyeri dapat

dengan kebutuhan

diminimalkan dengan
kriteria hasil :
1. Skala nyeri
berkurang (0-3).
2. Pasien merasa
nyaman.
3. TD, Nadi normal.

Rasional
1. Mengetahui skala
nyeri dan keadaan
nyeri secara
holistik.
2. Posisi yang

pasien.
3. Ajarkan tekhnik

nyaman dapat
sedikit mengubah

relaksasi.
4. Kolaborasi dengan

persepsi nyeri
yang dirasa

pemberian obat
analgesik.
5. Monitor TTV.

pasien.
3. Dengan teknik
relaksasi dapat
mengurangi rasa
nyeri.
4. Obat penghilang
rasa nyeri.
5. Ketahui adanya
peningkatan TTV
sebagai salah satu
indikasi nyeri.

Setelah dilakukan

1. Kaji tingkat

tindakan keperawatan

mobilitas yang

18

1.
Mengetahui

selama 2x24 jam pasien

biasa dilakukan

mampu menggerakan

pasien.
2. Bantu latihan

ekstremitas yang rusak

rentang gerak

dengan kriteria hasil :

kemandirian pasien
dalam mobilisasi.
2.
Meningkatkan sirkulasi

pasif aktif pada

darah

Pasien mampu melakukan

ekstremitas yang

muskuloskeletal,

aktivitas secara mandiri.

sakit maupun

mempertahankan

yang sehat sesuai

gerak sendi.

keadaan klien.
3. Bantu dan

3.
Meningkatkan

dorong

kemandirian klien

perawatan diri

dalam perawatan

(kebersihan/elim

diri sesuai kondisi

inasi) sesuai

keterbatasan klien.

keadaan klien.
4. Ubah secara

4.
Menurunkan insiden

periodik sesuai

komplikasi kulit

keadaan klien.
5. Kolaborasi

dan pernafasan
(dekubitus dan

pelaksanaan

atelektasis).

fisoterapi sesuai

5.

indikasi.

Kerjasama dengan

fisioterapi perlu
untuk menyusun
program aktivitas
fisik secara

individual.
1. Perfusi cerebral

Setelah dilakukan asuhan 1.


keperawatan selama 3x24 Monitoring perubahan

secara langsung b.d

jam klien diharapkan :

curah jantung dan

tiba-tiba

atau

Kecemasan

gangguan mental

dipengaruhi oleh

berkurang.
Status pertukaran

seperti

cemas,

elektrolit, hypoxia ,

bingung,

letargi,

ataupun emboli

19

gas : RR : 12-20

pingsan.

sistemik.
2. Agar tidak terjadi

2.
Monitor status cairan
dan

monitor

elektrolit.
3.

oedam pada daerah


tersebut dan
mengganti cairan

tubuh yang hilang.


pernafasan, 3. Pompa jantung

Pantau
catat

kerja

pernafasan.

mencetuskan

4.
Monitor TTV
5.
Kolaborasi

gagal dapat
distress pernafasan.
4. TTV kembali

normal.
dengan 5. Untuk memperbaiki

dokter

dalam

pemberian

obat

sesuai indikasi.

status kesehatan
klien, meningkatkan
fungsi fisologis.

3.5 Implementasi Keperawatan


Nama Pasien : Tn.X

Dx : Sindrom Kompartemen

No
Implementasi Keperawatan
Respon Klien
Diagnosa
1
1. Mengkaji
nyeri 1. Klien mengatakan tingkat nyeri berkurang
(PQRST)
2. Mengajarkan
relaksasi

dan

(skala 3)
tekhnik 2. Klien mengatakan nyeri berkurang setelah
nafas

melakukan relaksasi dan nafas dalam.

dalam.

2
2

1. Mengkaji tingkat

1. Klien dapat melakukan mobilisasi secara

mobilitas yang biasa

mandiri.

dilakukan pasien.
2. Membantu latihan

2. Klien tampak melakukan gerakan-gerakan

20

rentang gerak pasif

secara mandiri pada ektremitas yang sakit

aktif pada

maupun sehat.

ekstremitas yang
sakit maupun yang
sehat sesuai keadaan
klien.
3

1.

1. Hasil TTV normal.


2. Cairan klien dapat terpenuhi dan tidak

Memonitor TTV.
2.

terdapat oedem.

Memonitor status cairan dan


elektrolit.
n
Anjurkan kli

3.6 Evaluasi Keperawatan


Nama Pasien : Tn.X
No Diagnosa

Dx : Sindrom Kompartemen
Evaluasi Keperawatan
S : Klien mengatakan nyeri berkurang
(skala 3)
O : Klien nampak lebih tenang
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
S : Klien mengatakan

dapat

menggerakan kakinya.
O : Klien dapat melakukan mobilitas
secara mandiri.
A : Masalah teratasi.
P : Intervensi dihentikan.
S : Klien mengatakan kakinya masih
sedikit bengkak dan nyeri.
O : Kaki klien tampak masih bengkak.

21

Paraf

A : Masalah teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Simpulan

22

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan


tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap
saraf, pembuluh darah dan otot didalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus
membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Sindrom
kompartemen paling sering terjadi di tungkai bawah dan lengan atas.
Dapat disimpulkan bahwa compartment syndrome adalah sindrom yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di dalam
kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah maupun tungkai bawah
(di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara anatomis menggangu sirkulasi
otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan di dalam kompartemen tersebut dan pada pemeriksaan
ditemukan tekanan intrakompartemen yang meningkat di atas 45 mmHg atau
selisihnya dari tekanan diastolik kurang dari 30 mmHg serta ditandai dengan
tanda dan gejala berupa 7P yaitu pain (nyeri), paresthesi, pallor (pucat), puffiness
(kulit yang tegang), pulselessness (hilangnya pulsasi), paralisis, dan poikilotermis
(dingin).
Untuk penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan
menempatkan ekstremitas yang terkena sejajar dengan jantung dan harus segera
dilakukan fasciotomi untuk mencegah kerusakan jaringan intrakompartemen.
Pada pasien ini fasciotomi dilakukan segera setelah pasien dirawat di rumah sakit.
Penatalaksanan yang dianjurkan pada pasien ini meliputi ketorolac sebagai
analgesik untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon dan
gentamisin diberikan sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada
pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.
4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini penyusun berharap dapat menambah ilmu
pengetahuan kepada khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Dan
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

23

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. 2006.
Jakarta : EGC.

24

https://www.scribd.com/doc/143381432/135116405-Sindrom-Kompartemen
diakses tanggal 18 Maret 2015 pukul 19.30
Kowalak, dkk. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai