Anda di halaman 1dari 14

ECOLABELING AMERIKA SERIKAT TERHADAP MINYAK SAWIT

INDONESIA: PROTEKSIONISME LINGKUNGAN

Paper Presentasi Kelompok Besar


Ekonomi Politik Global MAIR 25

Oleh:
Aghnaita Firdayanti (376415)
Sri Hartati (376433)
Zulfikar Bayu (376437)

PROGRAM PASCA SARJANA


ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015

A. Pendahuluan
Globalisasi menuntut adanya perdagangan bebas (free trade) dan keterbukaan
pasar (open market) dalam sistem perekonomian neo-liberal yang diatur dalam WTO.
Dalam peraturan WTO, negara dilarang untuk melakukan segala bentuk hambatan atau
proteksionisme. Karena hal ini akan menghambat prinsip dan tujuan utama dari
globalisasi. Adapun aturan dalam perdagangan bebas yang harus dipatuhi oleh negara
anggota adalah trade without discrimination: (most favoured nation yaitu prinsip
perlakuan yang sama terhadap semua anggota baik itu negara maju mapun negara
miskin, sehingga tidak ada negara yang boleh membaut kebijakan proteksionisme) dan
(national treatment yaitu perlakuan yang sama terhadap produk lokal ataupun produk
dari luar), freer rider dan predictability. Negara-negara yang tergabung dalam WTO
terikat dalam peraturan tersebut sehingga bila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh
suatu negara maka negara tersebut dapat dikenakan sanki yang berlaku.
Meski globalisasi memberikan dampak baik pada pertumbuhan ekonomi negaranegara yang mampu bersaing didalamnya, tidak jarang globalisasi juga menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, terutama negara-negara berkembang
yang produk-produknya sulit bersaing dalam konteks pasar global. Prinsip pasar bebas
adalah negara dituntut untuk membuka pasar bagi masuknya produk-produk asing dan
menghapus segala bentuk hambatan. Kemudian, produk-produk luar tersebut masuk
dengan leluasanya, hingga sulit untuk dibendung. Hal ini berdampak pada persaingan
ketat antara produk domestik dengan produk dari luar. Dan tidak jarang produk-produk
luar ini menjadi produk pilihan para konsumen, sehingga produk dalam negeri
mengalami kemandekan. Tentu permasalah ini menjadi tugas penting pemerintah, yang
harus segera diatasi agar produk luar negeri tidak merajai pasar domestik. Banyak cara
yang dilakukan oleh sebuah pemerintah dalam menghambat masuknya produk-produk
luar, baik itu dengan cara menetapkan tarrif dan memberlakukan kuota terhadap barangbarang yang akan masuk. Hal tersebutlah yang lazim dilakukan oleh negara untuk
melindungi produk dalam negeri.
Salah satu bentuk proteksionisme non-trade yaitu proteksionisme dalam bentuk
lingukungan yang melibatkan isu labeling atau sertifikasi terhadap sebuah produk. Studi
kasusnya yaitu ecolabeling Amerika terhadap masuknya minyak kelapa sawit mentah
2

dari Indonesia ke negara tersebut. Alasan yang diajukan oleh Amerika adalah mengenai
standarisasi produk minyak mentah yang dinilai tidak memenuhi ketentuan
pengurangan gas karbon yang telah ditetapkan Amerika dalam merespon isu
meningkatnya kerusakan lingkungan hidup dunia.
B. Proteksionisme Perdagangan
Globalisasi dan kebijakan proteksionisme merupakan dua hal bertentangan yang
menjadi masalah dan perdebatan hingga saat ini. Disatu sisi, perdagangan bebas dan
open market berupaya agar terjadinya interkoneksi ekonomi internasional dan berupaya
menghilangkan segala bentuk hambatan. Namun disisi lain kebijakan proteksionisme
justru menghambat terjadinya globalisasi ekonomi. Dampak dari proteksionime tidak
hanya menghambat masuknya suatu produk ke suatu negara lain, tetapi kebijakan
proteksionisme sesungguhnya juga dapat merugikan konsumen, karena membatasi
pilihan konsumen.1 Sehingga diperlukan solusi atas ketidaksinkronan antara tujuan
globalisasi dan proteksionisme oleh lembaga yang memiliki kepentingan dalam hal ini
yaitu World Trade Centre (WTO). Meski bagi suatu negara, proteksi perlu dilakukan
untuk mengantisipasi dampak negatif dari persaingan perdagangan internasional dan
demi mencapai kepentingan nasional. Selain menggunakan isu-isu perdagangan, untuk
memproteksi pasar domestik pemerintah juga menggunkan isu-isu non-perdagangan.
Proteksi melalui isu non-trade tersebut bisa berupa alasan mengenai keamanan
lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan buruh2.
Sejak belasan tahun terakhir, banyak upaya yang dilakukan suatu negara untuk
melawan dampak dari adanya globalisasi, salah satunya dengan proteksi pasar. Istilah
perlindungan terhadap pasar domestik atas dominasi produk-produk luar dikenal juga
dengan sebutan proteksionisme. Proteksionisme sendiri dapat diartikan sebagai sebuah
kebijakan ekonomi yang buat dengan tujuan untuk membatasi laju kebebasan
perdagangan melalui penetapan tarif bea masuk impor (tarrif protection), pembatasan
1 Rothbard, M. N. 1986. Protectionism and The Destruction of Prosperity.
Monograph. Hal 1-6
2 C.Ford Runge. Trade Protectionism and Environmental Regulation: The New
Nontarrif Barries. Hal 47

quota atau pemberian subsidi (non-tarrif protection), dan penetapan hambatan lainnya
yang lebih ekstrim, seperti larangan impor.3 Kebijakan proteksi dalam bentuk larangan
impor pernah dilakukan oleh Indonesia. Pada tahun 2008 silam, Indonesia melarang
masuknya susu dari Cina, karena susu tersebut diduga mengandung melamin4 sebanyak
8,4mg per kg susu, sehingga menyebabkan 6000 lebih korban keracunan dan 3 bayi
meninggal.5 Pemerintah melarang impor susu tersebut dengan alasan kesehatan karena
bahan pembuatan susu yang dinilai membahayakan konsumen dan tidak memenuhi
standar kesehatan.
C. Proteksionisme Lingkungan sebagai bentuk Proteksionisme Baru
Sudah kodratnya bahwa suatu negara akan terus berusaha melindungi dirinya.
Sesuai dengan pemikiran realis bahwa suatu negara berupaya mencapai kepentingannya
dengan berbagai cara, meskipun cara tersebut dapat merugikan pihak lain. Begitupula
apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika terhadap minyak sawit mentah dari
Indonesia, yang sebenarnya kebijakan tersebut melanggar perjanjian yang telah
disepakati dalam WTO dan hal tersebut sangat merugikan ekspor minyak sawit mentah
Indonesia. Hal ini sangat bertentangan dengan pemikiran kaum neo-liberalis yang
menghendaki adanya saling keterbukaan pasar antar negara.
Penggunaan isu-isu non trade seperti isu buruh, lingkungan, kesehatan
menunjukkan bahwa masih ada upaya suatu negara menghambat terjadinya globalisasi
perdagangan. Pengunaan isu-isu non perdagangan bisa dijadikan sebagi proteksionisme
terselubung dibalik adanya kebijakan tersebut. Dalam kasus Ecolabeling Amerika
Serikat terhadap minyak sawit Indonesia, dapat kita lihat bahwa pemerintah Amerika
3 J.A Fried & D.A. Lake, International Political Economy: Perspective On
Global Power and Wealth, Fourth Edition, St. Martins Press, New York, 2000.
Hal. 306.
4 Melamin adalah suatu zat organik yang biasa digunakan pada produksi
plastik seperti bahan pembuatan alat makan.
5 Departemen kesehatan 2008. Bahaya Susu Bermelamin. Edisi XIV. Diakses
pada tanggal 1 Juni 2015 dari
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/536/4/MEDIAK
OM141008.pdf

menggunakan proteksi. Pemerintah Amerika menggunakan alasan-alasan yang


berkenaan dengan masalah lingkungan untuk menghindari impor minyak kepala sawit
Indonesia, seperti permasalahan tingginya gas emisi yang dihasilkan oleh minyak
kelapa Indonesia dan isu-isu mengenai tata cara penanaman kelapa sawit yang tidak
memenuhi standar Amerika.
Dewasa ini kita dihadapkan pada era dimana besar kemungkinan terjadinya
konflik sistemik antara norma dan aturan terkait perdagangan dengan norma dan aturan
mengenai lingkungan hidup, terutama antara regulasi yang dimiliki WTO dengan
persetujuan multilateral terkait lingkungan (Multilateral Environmental Agreement /
MEA) . Alih-alih digunakan untuk menanggulangi permasalahan lingkungan, atensi
masyarakat dunia atas kerusakan lingkungan dimanfaatkan oleh negara-negara untuk
memproteksi perdagangan dalam negerinya. Penurunan kualitas lingkungan hidup
seperti permasalahan ketersediaan air bersih, kerusakan hutan, keberlangsungan hayati
dan peningkatan emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global dijadikan dalih
untuk menjaga daya saing produk dalam negeri suatu negara.
Jika dilihat dari sisi perekonomian, proteksionisme dapat membatasi
perdagangan antar negara melalui tariff protection (bea impor), non-tariff protection
(pembatasan kuota impor, subsidi), dan aturan lain yang dimaksudkan untuk
meminimalisir atau bahkan mencegah masuknya produk-produk dari luar negeri.
Meskipun bertentangan denga prinsip perdagangan bebas, proteksionisme banyak
dilakukan oleh negara-negara untuk melindungi produk dalam negeri supaya tidak kalah
atau bahkan tergantikan oleh produk impor. Salah satu bentuk proteksionisme tersebut
adalah green protectionism. Green protectionism dilakukan dengan membentuk
regulasi, pembatasan, ataupun standar-standar terkait proses produksi, distribusi dan
konsumsi dimana negara berusaha melindungi produk dalam negeri dengan cara
melakukan klaim, menarik pajak, dll dengan dalih menjaga keberlangsungan
lingkungan hidup. Bentuk proteksionisme ini menjadi baru karena sebelum-sebelumnya
negara menerapkan pembatasan perdagangan langsung melalui import tariff,
pemberlakuan kuota impor, pelarangan impor, subsidi, dll.
Keberlangsungan hidup manusia dengan lingkungannya menjadi penting untuk
dikaji karena terjadi penurunan kualitas lingkungan dalam beberapa dekade terakhir ini.
5

Peningkatan suhu rata-rata bumi, peningkatan permukaan air laut, meningkatnya jumlah
karbondioksida di atmosfer dan berkurangnya volume gletser di kutub menjadi kajian
besar yang akan berpengaruh pada sustainabilitas kehidupan di bumi. Kesadaran
manusia akan lingkungan tersebut membuahkan perjanjian, konvensi, dan pembentukan
organisasi internasional. Pada 5 Juni 1972, diadakannya Convention on the Human
Environment di Stockholm, Swedia yang membahas mengenai meningkatnya polusi di
dunia dan pembentukkan United Nation Environmental Programme (UNEP)
menandakan adanya peningkatan perhatian masyarakat internasional terhadap isu-isu
lingkungan. Dari sisi rezim perekonomian internasional, pada perjanjian pertamanya di
tahun 1947, General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tidak membahas secara
jelas isu-isu perdagangan terkait lingkungan. Permasalahan lingkungan hanya dibahas
pada Artikel ke-20 yang isinya himbauan terhadap negara-negara untuk memperhatikan
sustainabilitas makhluk hidup di dunia dan pengolahan berkelanjutan terkait sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
D. Ecolabeling
Pengertian ecolabeling berasal dari kata eco yang berarti lingkungan dan label yang
berarti tanda atau sertifikat, jadi ekolabel merupakan kegiatan yang bertujuan
melindungi lingkungan, mendorong inovasi industri yang ramah lingkungan dan
membangun kesadaran masyarakat terhadap produk ramah lingkungan6 . Ekolabel
menuntut setiap produk dagangan harus telah berdasarkan pada kelestarian sumberdaya
dan ekosistem dari lingkungan hidup. Dimulai dari pengambilan bahan baku,
pengangkutan bahan baku ke pabrik, proses dalam pabrik, pengangkutan produk pabrik
ke konsumen, pemakaian produk dan pembuangan sampahnya secara keseluruhan tidak
mencemari lingkungan7.
Keuntungan dalam penerapan ekolabel diantaranya ialah:
6 Sophie Lavallee, Sylvain Plouffe. The Ecolabel and Sustainable
Development. The International Journal of Life Cycle Assessment November
2004, Volume 9 Issue 6 hal 349-354
7 Ibid

a. Meningkatkan daya saing produk di pasar skala domestik maupun internasional


b. Meningkatkan citra perusahaan
c. Meningkatkan efisiensi produksi, penghematan sumber daya melalui program
3R (Reduce, Reuse, Recycle) serta pengendalian polusi
d. Membantu upaya pemerintah dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
E. Minyak Sawit Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih mengandalkan
komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas minyak
dan gas bumi merupakan jenis sumber daya alam dengan jumlah yang terbatas dan tidak
dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan untuk penggunannya. Negara Indonesia
tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh
devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan.
Salah satu sektor non Migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara
adalah sektor pertanian. Minyak sawit adalah salah satu minyak yang banyak
dikonsumsi dan diproduksi di seluruh dunia, industri perkebunan dan pengolahan sawit
adalah industri kunci bagi perekonomian Indonesia. Ekspor minyak sawit merupakan
penghasil devisa yang penting dan industri ini memberikan kesempatan kerja bagi
jutaan orang indonesia, hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra tempat
industri ini sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda sebagian sisanya 30% berada di
pulau Kalimantan8. Berdasarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia pada tahun 2010
hal ini disebabkan Malaysia yang dahulunya merupakan pemasok minyak sawit mentah
dunia sudah tidak memiliki lahan yang baru.
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan
salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non
migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditas minyak sawit dalam perdagangan
minyak nabati dunia sebagai bahan bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar
minyak bumi telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan
areal perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia dari
8Minyak Kelapa Sawit dalam https://www.indonesiainvestments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166

tahun 1967 sampai dengan 2007 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 luas
areal perkebunan kelapa sawit hanya sebesar 105.808 hektar dengan produksi Crude
Palm Oil (CPO) sebesar 197.669 ton dan mengalami peningkatan luasan areal
signifikan memasuki tahun 1990 dengan luasan sebesar 1,12 juta hektar dan mampu
menghasilkan CPO sebesar 2,41 juta ton. Pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia
telah mencapai 17,37 juta ton dengan luasan areal perkebunan sebesar 6,61 juta hektar.
Indonesia memproduksi minyak sawit mentah terbesar dengan volume 20,5 juta ton
pada tahun 2009 dan Indonesia memasok 47% kebutuhan minyak sawit mentah dunia.
Untuk pasar ekspor ke Amerika, Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 341 ribu
ton dan pengekspor terbesar ke Amerika ialah Malaysia dengan 1,1 juta ton.
F. Environmental Protection Agency Amerika Serikat
Environmental Protection Agency AS merupakan badan pemerintah Amerika
Serikat yang bertujuan merumuskan dan menerapkan peraturan berdasarkan undangundang yang disahkan oleh kongres mengenai perlindungan terhadap lingkungan. EPA
pertama kali didirikan pada tanggal 2 Desember 1970, dengan misi antara lain sebagai
berikut9 :
1. Melindungi seluruh warga Amerika dari segala bentuk penyakit yang disebabkan
oleh kerusakan lingkungan dimanapun mereka tinggal, belajar dan bekerja
2. Negara berupaya untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan dengan cara
memberikan informasi rutin kepada masyarakat
3. Negara memiliki hukum untuk melindungi kesehatan masyarakat beserta
lingkungannya secara efektif
4. Perlindungan lingkungan meliputi perhatian terhadap sumber daya alam,
kesehatan manusia, pertumbuhan ekonomi, energi, transportasi, pertanian,
industri dan perdagangan internasional
5. Seluruh bagian masyarakat baik itu komunitas, individu, pengusaha negara dan
pemerintah negara bagian memiliki akses untuk mendapatkan informasi yang
akurat untuk berpartisipasi menanggulangi dampak kerusakan lingkungan dan
kesehatan manusia

9 EPA United States Environmental Protection Agency dalam


www.epa.gov/aboutepa/epas-themes-meetings-challenge-ahead

6. Perlindungan lingkungan berkontribusi untuk menciptakan bermacam-macam


7.

komunitas, memelihara ekosistem sehingga dapat mendukung stabilitas ekonomi


Pemerintah Amerika Serikat bekerjasama dengan negara lain untuk melindungi
lingkungan global
Berdasarkan visi misi tersebut yang dikemukakan oleh EPA dapat disimpulkan

bahwa Amerika melakukan proteksi terhadap minyak sawit mentah Indonesia dengan
alasan minyak sawit mentah yang dihasilkan tidak ramah lingkungan. EPA memberikan
logo yang bersifat standar internasional bekerjasama dengan departemen energi dan
diberi nama Energy Star. Program pemberian logo Energy Star pada sebuah produk
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa produk tersebut telah memenuhi standar
internasional ramah lingkungan dan mengurangi konsumsi energi, gas rumah kaca oleh
pembangkit listrik. EPA berperan untuk melihat apakah bahan bakar minyak sawit
sudah memenuhi standar pengurangan emisi gas rumah kaca dan menentukan bahan
bakar minyak sawit sebagai bahan bakar yang dapat diperbarui atau bahan bakar diesel
biomassa atau bahan bakar nabati mutakhir10.
G. Ecolabeling Amerika Serikat terhadap Minyak Sawit Indonesia
Kebijakan non-tarif menjadi permasalahan yang tidak dapat dihindari oleh
kegiatan ekspor. Kemampuan negara-negara berperekonomian kuat dalam
memanipulasi keunggulan kompetitif suatu produk menjadi permasalahan bagi negaranegara yang masih mengandalkan keunggulan komparatif dalam kegiatan ekspornya.
Keunggulan kompetitif tersebut diimplementasikan oleh negara-negara untuk
memproteksi produk dalam negerinya dan menjadi hambatan non-tarif bagi negara lain.
Salah satunya adalah kasus eco-labeling yang dilakukan AS melalui Environmental
Protection Agency (EPA) terhadap produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil
CPO) dari Indonesia. Produksi minyak sawit Indonesia menyumbang devisa negara
sebesar US$ 2,79 milyar dengan jumlah ekspor sebesar 5,72 juta ton pada tahun 2007,
menjadikan Indonesia pengekspor minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah

10 TIM Pencari Fakta EPA Tinjau Bahan Bakar Nabati Berbasis Minyak Sawit
dalam
www.indonesian.jakarta.usaembassy.gov/news/embnews_24102112.html

Malaysia. Indonesia sendiri mampu mengekspor sekitar 1-1,5 juta ton minyak sawit ke
Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya.
Salah satu kebijakan AS terkait pemanasan global adalah upaya meningkatkan
konsumsi bioenergy melalui peningkatan konsumsi biodiesel. AS sendiri
memperkirakan kebutuhan biodiesel dalam negeri sebesar 36 milyar galon pada tahun
2022. Peningkatan kebutuhan biodiesel tersebut dikhawatirkan akan mendorong
pembukaan lahan kelapa sawit secara besar-besaran dan mengakibatkan peningkatan
emisi karbon dunia. Menanggapi permasalahan peningkatan emisi karbon tersebut, AS
menerapkan ketentuan minimum 20% ambang batas pengurangan emisi karbon.11
Alasan AS melakukan diskriminasi produk minyak sawit mentah Indonesia ialah
karena tidak ramah lingkungan dan tidak sesuai standar environmental goods. Selain itu,
AS juga menyatakan bahwa Indonesia melakukan pembabatan hutan alam secara besarbesaran serta merusak lahan gambut dalam praktek membuka kebun kelapa sawit12.
Meskipun jumlah ekspor minyak sawit mentah Indonesia ke AS tidak besar namun dari
sikap AS tersebut dapat dijadikan contoh oleh negara lain hal ini mengingat bahwa AS
merupakan negara adidaya, jika semua negara mengikuti sikap AS terhadap minyak
sawit mentah Indonesia maka Indonesia akan rugi besar mengingat posisinya sebagai
produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa
AS melakukan diskriminasi produk tersebut dikarenakan ingin melindungi industri
minyak nabatinya yang berbahan baku jagung, kedelai, biji bunga matahari. Komoditas
minyak nabati tersebut kalah bersaing dipasaran bila dibandingkan dengan minyak sawit
mentah Indonesia hal ini dikarenakan minyak sawit mentah Indonesia lebih murah.
Pada tahun 1980 minyak kedelai mendominasi pasar minyak nabati dengan total
13,4 juta ton atau 33% dan pada saat yang sama minyak sawit memiliki pasar sebesar
11% dan total produksi sebesar 4,5 juta ton, keadaan terbalik terjadi pada tahun 2009
dimana minyak sawit menguasai 34 persen pasar dengan total produksi sebesar 45 juta
11 Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI. 2012. Kajian
Kerja Sama Bilateral Indonesia Amerika Serikat Di Bidang Ekonomi Dan Keuangan.
Hlm: 27

12 https://www.kemenperin.go.id/artikel/2781/Sawit-Sinar-Mas-Meluas

10

ton sementara minyak kedelai hanya 27 persen dengan total produksi 35,9 juta ton13.
Sebagai produsen utama kedelai dunia, AS mulai mencari alasan untuk
mempertahankan kedelainya dan menyingkirkan minyak sawit mentah Indonesia
dengan melakukan non tariff barier serta pemberlakuan tarif bea masuk yang
bergantung dari skema generalized system of preferences yang didasarkan pengurangan
gas rumah kaca dan biodiesel yang dibuat dari minyak sawit mentah. AS juga
melakukan kampanye anti minyak tropis dengan menyebarkan isu perkebunan kelapa
sawit sangat merusak alam dan merupakan penyebab pemanasan global padahal
sebenarnya tanaman kedelai sejenis kacang polong membutuhkan lahan yang lebih luas
untuk volume hasil yang sama dengan perkebunan sawit.14
Pasar minyak nabati di pasar internasional merupakan salah satu pasar
kompetitif melibatkan lebih dari empat jenis minyak juga hampir habis diproduksi dan
dikonsumsi semua negara. Minyak nabati yang banyak diperdagangkan dipasar antara
lain minyak kedelai, minyak sawit, rapressed oil, sunflower oil, minyak kelapa, minyak
jagung, dan minyak kacang tanah. Dari sisi daya saing dan kinerja minyak sawit
memiliki daya saing dan kinerja yang baik karena pangsa pasarnya terus meningkat
sekitar 10 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 28 persen pada tahun 2000an.
Dalam beberapa tahun terakhir tren pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan
baku biodiesel meningkat tajam dari sekitar 27% menjadi 47%.15 Hal tersebut
disebabkan oleh faktor efisiensi lahan; 1 ton minyak sawit hanya membutuhkan 0,26 ha
lahan, sementara 1 ton minyak kedelai memerlukan 2,22 ha lahan dan 1 ton minyak
bunga matahari membutuhkan 2 ha lahan. Impor minyak sawit Indonesia mengancam
produksi bahan baku pembuatan biodiesel AS; untuk pembuatan biodiesel, AS
memproduksi kedelai dan bunga matahari. AS sendiri hanya menghasilkan 0,5 ton
minyak kedelai per hektar, sementara Indonesia mampu menghasilkan 3,5 ton minyak
13 http://edisicetak.joglosemar.co/berita/tolak-sawit-dituding-cari-carialasan-68590.html
14 Financing EU Responsibility dalam http://www.greenpeace.org/financingeu-responsibility
15 http://www.sthgroup.com/palm/pages/news/view_news/3

11

sawit per hektar. Oleh karena itu, untuk melindungi produki kedelai dan bunga
mataharinya, pada bulan Januari 2012, AS mempublikasikan hasil analisis efektivitas
penurunan emisi karbon mengenai biodiesel berbahan dasar minyak sawit dari
Indonesia. EPA mengkalkulasikan pembukaan lahan sawit baru, proses produksi dan
transportasinya di Indonesia. Hasilnya, minyak sawit dari Indonesia tidak memenuhi
regulasi batas minimal penurunan emisi karbon AS yang telah ditetapkan standarnya
sebesar 20%. Berdasarkan hasil analisis EPA, biodiesel berbahan baku minyak sawit
dari Indonesia hanya dapat menurunkan emisi karbon sebesar 11-17%.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh tim penyelesaian masalah
ecolabeling dari Indonesia, penelitian yang dilakukan EPA tersebut tidak valid karena
analisis yang dilakukan pada tahun 2011 tersebut menggunakan data tahun 2007.16 Hal
ini bertentangan dengan ketentuan WTO bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh suatu
pemerintah yang berdampak besar terhadap akses pasar barang yang diimpor maupun
produksi lokal harus dapat dibuktikan secara ilmiah.17 Kasus ini tidak sampai pada
sidang Dispute Settlement Body WTO. Meskipun demikian, AS jelas terbukti
melakukan pelanggaran ketentuan Perjanjian WTO yaitu Technical Barrier to Trade
Agreement18 (TBT). AS dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 2.1 TBT mengenai less
favourable treatment atau diskriminasi perdagangan yang isinya adalah:
members shall ensure that in respect of technical regulations, products
imported from the territory of any Member shall be accorded treatment no less
favourable than that accorded to like products of national origin and to like
products originating in any other country.19
16 http://mutucertification.com/id/ri-malaysia-bentuk-tim-tangani-embargo-minyak
sawit

17 Ibid. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI.


Hlm: 29
18 Cetak biru yang isinya adalah acuan peninjauan apakah regulasi,
standarisasi, uji coba dan sertifikasi menjadi hambatan perdagangan yang
tidak diperlukan dan menjadi alasan proteksionisme.
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm4_e.htm#TRS
19 https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/17-tbt_e.htm

12

AS terbukti melakukan diskriminasi terhadap produk minyak sawit Indonesia dengan


cara mempublikasikan hasil analisis EPA berupa ecolabeling terhadap produk minyak
sawit Indonesia. Meskipun tidak ada pernyataan resmi dari WTO bahwa AS melakukan
proteksionisme perdagangan, tindakan diskriminasi perdagangan yang dilakukan
mengakibatkan produk minyak sawit Indonesia kesulitan untuk dapat mengakses pasar
domestik AS.
Tidak hanya berdampak pada ekspor minyak sawit ke AS, ecolabeling yang
dilakukan AS ini menjadi masalah hambatan non-tarif yang mengakibatkan
menurunnya ekspor minyak sawit mentah Indonesia, penurunan dari 1,82 juta ton pada
Oktober 2011 menjadi 1,38 juta ton pada September 2011. Beberapa perusahaan AS
membatalkan kerjasama dengan perusahaan minyak sawit Indonesia antara lain
perusahaan Burger King, Nestle, Kraft, Cargill dan Unilever memutuskan untuk tidak
memakai minyak sawit dari Indonesia karena dinilai tidak ramah lingkungan.

13

Daftar Pustaka
Arnold, Frank. S. 1999. Environmental Protection: Is It Bad for the Economy?. U.S.
Environmental Protection Agency
Korber, Achim. 2000. The Political Economy of Environmentalist Protectionism. Pada:
http://econweb.umd.edu/~oates/research/PoliticalEconomyEnvironmentalPolicy.p
df
Oatlay, Thomas. 2011. International Political Economy 5th Ed. Pearson
Sophie Lavallee, Sylvain Plouffe. The Ecolabel and Sustainable Development. The
International Journal of Life Cycle Assessment November 2004, Volume 9 Issue 6
hal 349-354
United Nations Environmental Programme. 2014. Trade and Green Economy.
Switzerland

14

Anda mungkin juga menyukai